"Itu… Ajudan keluarga Lucio masih terus mengintai perusahaan kita. Tadi saya bertemu dengan mereka saat di restoran," jelas Danu."Apa mereka melihatmu?" tanya Evan, yang masih menatap istrinya."Tidak, saya sengaja mengenakan masker untuk berjaga-jaga.""Bagus. Nanti, suruh orang bayaran untuk mengintai Ajudan keluarga Lucio. Jangan sampai mereka mendekati perusahaan, apalagi sampai tahu keberadaanku.""Baik, Pak!"Menit hingga jam berganti, tak terasa sudah waktunya pulang. Evan sengaja pulang lebih awal agar bisa berpura-pura menjemput Alana dengan motor pinjaman tadi pagi.Evan sudah menunggu di depan gedung dengan mengenakan masker dan jaket bertudung. Hingga saat keluar dari gedung, Alana yang sedang berbincang dengan Aldi pun langsung melihat Evan."Sayang, ini Kak Aldi yang aku ceritakan kemarin," ucap Alana."Evan!" Menyodorkan tangan mengajak berjabat."Aldi... aku suami dari sahabatnya Alana," jelasnya yang takut Evan salah paham. "Kalau begitu, aku duluan ya." Aldi pamit d
Alana heran mengapa orang tuanya langsung bersembunyi saat melihat pria di luar rumah. Ia pun langsung keluar menghampiri pria tersebut."Maaf, cari siapa?" tanya Alana, penasaran."Apa benar ini rumah Alana? Anak dari Rudi dan Desy?" tanya pria itu dengan nada meninggi.Alana sedikit ragu saat menjawab."I-iya, saya Alana," jawabnya, sedikit gugup."Oh, ternyata kamu! Cantik juga," goda pria itu sambil menatap Alana dengan genit.Alana merasa ngeri sendiri melihat tatapan genit dari pria yang penampilannya seperti preman itu.Mendengar pria itu menggoda Alana, Evan langsung keluar dan menemuinya."Ada apa mencari istriku?" Evan menatap tajam pria bertubuh gempal tersebut."Aku tidak ada urusan denganmu. Orang tua perempuan ini mengatakan jika dialah yang akan melunasi hutang mereka padaku," jelas pria itu.Alana memegang tangan Evan sambil gemetaran. Ia sungguh tak menyangka jika orang tuanya sampai hati meminta dirinya untuk bertanggung jawab atas hutang mereka."Mengapa harus istri
"Ini, Kakak lihatlah sendiri." Brian menunjukan selembar kertas pada Alana."Tiga puluh juta? Hanya uang pendaftaran kuliah saja sudah sebanyak ini! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum masuk ke universitas bergengsi seperti ini?" bentak Alana."Kan Kakak sudah mulai kerja di Astira! Semua orang tahu kalau gaji di sana itu besar, makanya aku berani daftar kuliah," sahut Brian."Astira… Astira… Astira…! Kalian pikir aku tidak memiliki kebutuhan?" bentak Alana yang benar-benar muak dengan keluarganya sendiri.Evan hanya menyimak. Ia ingat sekali jika uang yang mereka pinjam dari Joni adalah lima puluh juta. Sedangkan uang pendaftaran Joni hanya tiga puluh juta."Rentenir itu menagih lima puluh juta! Lantas kemana yang dua puluh juta?" tanya Evan yang terpaksa ikut campur.Mendengar Evan ikut bicara, Rudi dan Desy langsung menatap tajam pada menantunya itu."Apa? Lima puluh juta? Kemana uang yang dua puluh juta?" gertak Alana, sambil memegangi keningnya karena pusing."Untuk membayar uan
Evan hampir saja menabrak pejalan kaki yang sedang menyebrang. Ia menghindar dengan membelokkan motor ke sembarang arah. Hingga, tanpa sengaja kaki Alana menyerempet badan mobil yang berada di sebelah motor mereka."Aw… sayang, dengkulku sakit," ringis Alana.Mendengar Alana kesakitan, Evan pun segera menepikan motornya dan mengecek kondisi istrinya tersebut."Maafkan aku, gara-gara keteledoranku kamu malah jadi terluka begini." Evan panik sekaligus merasa bersalah."Tidak apa-apa, nanti lebih berhati-hati saja. Jangan mengendarai motor sambil melamun," protes Alana."I-iya, Sayang. Sekarang kita obati dulu ya. Ada klinik bagus dekat sini," ajak Evan.Alana menahan tangan Evan. "Tidak usah! Klinik itu terkenal mahal, belikan aku alkohol dan plester saja. Itu sudah cukup," pintanya.Evan merasa sesak saat mendengar ucapan istrinya itu. Di saat ia memiliki banyak uang dan harta, Alana malah berpikir untuk berhemat meski lututnya sudah bercucuran darah."Jangan pikirkan soal uang! Aku ak
"Ah ini, aku mau mengantarkan obat pereda nyeri," ucap Evan sambil berpura-pura meraba-raba saku, "kenapa tidak ada, padahal tadi sudah aku bawa," sambungnya.Alana tak sedikitpun curiga pada suaminya itu, ia malah khawatir kalau ada karyawan lain yang melihat Evan disini dan mengusirnya karena bukan bagian dari perusahaan.Alana segera menarik Evan. "Sayang, kamu harus cepat keluar dari sini. Aku takut nanti kamu malah kena marah."Evan hanya pasrah, ia berusaha untuk terlihat senatural mungkin dengan berpura-pura merasa gelisah.Alana beberapa kali berpapasan dengan karyawan lain. Sebagian dari Karyawan itu menatap Alana dan Evan dengan tatapan terkejut, tak percaya jika sang Presdir yang mengerikan itu sedang dituntun oleh seorang karyawan biasa.Lain dengan Alana yang berpikir jika para karyawan itu terkejut karena melihat orang biasa bisa seenaknya masuk ke perusahaan bergengsi sekelas Astira."Sayang, setiap kali berpapasan dengan karyawan lain mereka malah menatap aneh pada kit
"Apa mungkin dia salah satu orang yang saat itu merundungku," gumam Alana, merasa gelisah."Hah, merundungmu? Bisa saja dia orangnya, yang namanya istri orang kaya wajar saja jika seenaknya pada orang lain," bisik Risa yang takut ucapannya terdengar oleh orang lain.Alana hanya tersenyum mendengar ucapan Risa yang ceplas-ceplos. Namun, ia sedikit tak menyangka jika salah satu peserta seleksi kemarin salah satunya adalah istri Presdir. Meski begitu, Alana sangat salut pada Presdir yang tetap memberi sanksi pada orang yang salah meski itu adalah istrinya sendiri.Jam isitirahat pun habis, Alana dan Risa kembali ke ruang kerja. Hingga waktu pulang tiba, barulah mereka bisa sedikit bersantai dari pekerjaan yang tak kunjung habis."Alana, kamu bawa kendaraan sendiri?" tanya Risa, sambil meregangkan badan."Biasanya suamiku datang menjemput," jawab Alana."Suami? Jadi, kamu sudah menikah?" Risa tertawa, ia tak menyangka jika orang yang terlihat muda seperti Alana ternyata sudah menikah.Ala
Meski cemas mereka berdua tetap pulang ke rumah."Sayang, kamu masuk duluan saja, aku akan mencari tahu siapa mereka sebenarnya," titah Evan.Alana tak berpikir macam-macam, ia langsung menuruti saja apa yang Evan suruh. Karena terlihat dari sisi mana pun dua orang itu sangatlah menyeramkan, yang membuat Alana takut untuk berurusan dengan mereka.Setelah Alana masuk ke dalam rumah, Evan pun langsung meminta kedua orang itu untuk berbincang dengan sedikit menjauh dari rumah."Jadi, ada urusan apa kalian kemari? Bukankah aku sudah mengatakan agar kalian tak usah menemuiku lagi," gertak Evan."Maaf Tuan muda! Kami diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu pada Anda," ujar salah satu dari dua pria tersebut."Apa lagi?" tanya Evan, kesal.Pria itu kemudian memberikan sepucuk surat yang ternyata adalah tulisan dari kedua orang tuanya.Evan kemudian membuka surat tersebut.'Evanders Lucio. Ibu sudah tahu jika perempuan itu adalah penyebab yang telah membuatmu menjadi seperti ini. Ibu benar-ben
Danu yang sejak tadi mengintai dari kejauhan pun menjadi panik saat melihat Alana pingsan. Sedangkan Evan, sejak meninggalkan perusahaan, ia sama sekali tak bisa di hubungi.Kehabisan akal, akhirnya, Danu pun menelepon Risa."Hallo, Risa. Om melihat temanmu tergeletak pingsan. Apa kamu bisa kemari membantunya?" tanya Danu yang kini sudah berada di samping Alana."Teman? Yang karyawan baru itu? Kenapa Om mengenalnya?" tanya Risa setengah berteriak."Sudah, cepat kemari jangan banyak tanya lagi!" Omel Danu.Risa pun bergegas kembali ke kantor dengan mengendarai motor.Ia langsung kembali ke tempat dimana Alana duduk tadi."Om, kenapa Alana pingsan begini?" tanya Risa, panik."Sepertinya dia kelelahan, apalagi belum lama kakinya terluka," jelas Danu."Bagaimana ini?" tanya Risa yang tak dapat berpikir dengan jernih."Tentu saja bawa dia ke rumah sakit, dasar bodoh!" gertak Danu yang kesal pada Risa karena banyak tanya.Risa pun langsung menggendong Alana menuju mobil Danu. Beruntung gadi
Bagaimana dengan akhir kisah yang lainnya?Danu, sungguh sebuah keberuntungan di pesta kecil. Pelayan yang waktu itu ia temui ternyata sudah sejak lama menaruh perasaan padanya. Tak ingin membuang-buang waktu, asisten Evan tersebut langsung melamar sang gadis dan buru-buru menentukan tanggal pernikahan.Cherry dan Alvin, benar-benar sesuatu yang tak terduga. Berawal dari sebuah sandiwara, perempuan yang sama sekali tak pernah mengenal cinta itu pun pada akhirnya memilih untuk melabuhkan hati pada laki-laki yang pantang menyerah untuk memperjuangkannya. Meski Alvin sedikit lebih lemah darinya, pria itu selalu saja berusaha melindungi dalam situasi apa pun. Benar-benar sosok yang sangat Cherry impikan.Sasa dan Deo, mereka terus bertengkar sampai akhirnya muncul perasaan saling suka. 'Bisa karena biasa', mungkin itulah salah satu pepatah yang cocok untuk mereka, mengingat kebencian mereka awalnya begitu mendalam, tetapi bisa-bisanya malah berubah menjadi rasa suka.Brian, beberapa kali b
"Sayang hati-hati! Kamu sedang menggendong Zayn," teriak Alana."Ya, tenang saja," sahut Evan yang sekilas menoleh ke arah Alana.Dengan menggendong Zayn, Evan yang sudah bersemangat pun menghampiri mobil tersebut. Lalu semua yang berada dalam kendaraan itu pun keluar bersamaan.Evan menghampiri sang kakek yang tengah diangkat ajudannya ke kursi roda."Kakek, tumben sekali. Ada perlu apa?" tanya Evan dengan tatapan bahagia bertemu sang kakek."Dasar cucu durhaka! Bukannya menanyakan kabar malah tanya ada perlu apa!" hardik Willy.Evan tertawa melihat kakeknya itu marah. "Ayo masuk dulu."Disaat bersamaan muncul Jeny yang sejak tadi hanya diam di dalam mobil tak berani menunjukan batang hidungnya. Ia tampak malu-malu karena sadar pernah melakukan kesalahan.Evan yang hatinya sedang dalam keadaan baik pun tak memperdulikan masalah yang telah berlalu. Ia malah tersenyum menatap ibunya itu."Ibu, ayo masuk! kebetulan aku akan mengadakan pesta kecil-kecilan," ajak Evan seraya melambai ke ar
Tanpa berpikir dua kali, Evan langsung pulang meski Candra sempat mengundangnya untuk makan siang merayakan keberhasilan rencana mereka."Maaf, mungkin lain kali," ujar Evan yang pikirannya sudah melayang-layang entah ke mana."Tidak masalah, lain kali masih bisa. Pulang dulu saja, istrimu sudah menunggu di rumah," ujar Candra.Evan tersenyum simpul. "Kalau begitu, sampai jumpa di lain waktu."Evan berlari menuju mobil, diikuti oleh Danu dan Deo yang juga tampak gelisah, khawatir terjadi sesuatu di rumah.Danu langsung melajukan mobil dengan kecepatan melebihi biasanya.Selama perjalanan, Evan tak hentinya menelepon Alana. Namun, hasilnya nihil karena tak sekalipun sang istri menjawab panggilan tersebut."Apa yang terjadi?" Evan mengacak-acak rambutnya, saking kesal."Seharusnya tidak terjadi apa-apa, semua musuh sudah berada dalam genggaman kita. Kecuali…" Deo seolah ragu untuk melanjutkan kalimatnya."Apa? Kenapa kamu selalu saja menyebalkan!" hardik Evan."Hey tenanglah, kamu terla
"Apa maksudmu, Deo?" Evan menatap temannya itu dengan tatapan heran."Kamu lihat saja!" titah Deo.Beberapa menit menjelang berakhirnya sesi visi misi, Anwar sempat menunjukan beberapa program hebat yang ia rencanakan akan dikerjakan jika dirinya terpilih menjadi walikota nanti."Beberapa lahan kosong akan saya buat menjadi taman yang sisi lainnya dikhususkan untuk area bermain anak-anak. Ini salah satu contoh desain taman." Anwar menunjuk ke layar besar dengan penuh percaya diri.Namun, yang muncul di layar tersebut bukanlah apa yang Anwar maksudkan, melainkan sebuah video di mana dirinya sedang berjabat tangan dengan si pemilik panti asuhan. Suaranya terdengar jelas ke seluruh penjuru."Bagaimana dengan uang dari donatur panti asuhanmu?" tanya Anwar yang wajahnya terpampang jelas dalam video tersebut."Sudah saya transfer semua ke rekening Bapak, bahkan uang hasil mengemis dan mengamen anak-anak pun sudah saya setor," ujar pemilik panti asuhan yang tampak begitu hormat pada Anwar."B
Danu langsung menoleh ke arah Deo. Ia merasa jika ternyata ada yang berpenampilan lebih parah darinya. Gelak tawa seakan membuat sang bos dan asistennya itu sedikit melupakan ketegangan yang akan mereka hadapi.Deo masih belum sadar jika dirinya sedang menjadi bahan tertawaan. Ia pun langsung masuk dan duduk di samping Evan dengan santainya."Maaf, tadi aku terlalu lama menyiapkan penyamaran ini," ujar Deo, "ayo kita berangkat sekarang!"Danu langsung melajukan mobil murah yang sengaja dipinjam untuk mendukung penyamaran tersebut."Kenapa kamu harus menyamar jadi perempuan?" Evan bertanya sambil terus terbahak-bahak. "Lalu, kenapa dadamu menggembung begitu?""Setidaknya penampilan ini akan membuatku mudah menyelinap ke belakang layar," ujar Deo yang sedang fokus menatap layar ponselnya.Alasan Deo tak membuat Evan berhenti tertawa. Ia terus saja terpingkal setiap kali menatap Danu dan Deo, merasa jika kini mereka terlihat seperti grup lawak."Berhenti tertawa! Kita ini sedang berangka
Laki-laki jahat di depan Evan tertawa puas, merasa kemenangan telah berada di tangannya.Karena kalah jumlah, anak buah Evan tak bisa menghalau lagi orang-orang yang baru saja datang itu. Meski begitu, beberapa di antaranya masih berusaha menghadang meski pada akhirnya berakhir lengah dan pihak Dody berhasil melumpuhkannya."Menyerahlah, Evanders. Kami bukanlah lawanmu!" timpal pria yang berada di hadapan Evan."Menyerah? Aku tidak takut pada penjahat yang memakan uang anak yatim piatu seperti kalian!" balas Evan."Masih besar kepala juga rupanya? Apa kamu tidak sadar dengan kondisimu sendiri? Jangan sok menjadi pahlawan jika diri sendiri saja sedang dalam keadaan terdesak," ujar pria tersebut."Aku, terdesak? Seharusnya kamu sedikit menoleh ke belakang." Evan pada akhirnya bisa tersenyum penuh kemenangan saat tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.Pria jahat di hadapan Evan awalnya ragu, tetapi pada akhirnya memilih untuk menoleh saat ia merasa jika suasana menjadi sedikit hening.
Evan langsung keluar dari mobil saat sudah berada di depan gerbang. Ia buru-buru menghampiri security yang sedang berusaha mengusir seorang ojek online."Ada apa ini?" tanya Evan, berjalan mendekat."Ini, Pak. Orang ini bilang Bu Alana memesan bakso. Tapi saat saya ingin melihat isi pesannya, dia bilang kalau itu privasi," terang security."Sudah kamu tanyakan pada Alana, apa dia memesan bakso?" Evan terus menatap ojek online yang sejak tadi terus menunduk."Sudah, Bu Alana bilang memang pesan bakso. Plat nomornya pun sama dengan yang ada di aplikasi. Saya ingin mengeceknya lagi untuk memastikan saja," ujar security tersebut.Evan masih terus memandangi tukang ojek online tersebut dengan wajah datarnya."Apa Alana memesan Bakso Mas Jo? dia sangat menyukai itu.""Benar, Pak. Seperti yang Anda bilang, ini memang Bakso Mas Jo," ucap tukang ojek tersebut seraya menatap security dengan tatapan penuh kemenangan.Evan tersenyum simpul seraya menatap pria tersebut. "Berapa totalnya?""Dua rat
Evan buru-buru menelepon anak buahnya dengan perasaan cemas dan gelisah."Ada apa, Pak?" tanya anak buah Evan dengan suara yang terdengar santai."Perketat keamanan rumah! Jaga setiap sudut jangan sampai ada yang terlewatkan. Jangan biarkan siapa pun masuk!" seru Evan."Baik, Pak," jawab anak buah Evan yang dari nada suaranya terdengar serius.Evan menutup telepon, lalu berjalan menuju ruang kerjanya yang telah berantakan. Beruntung sebelumnya ia telah mengamankan seluruh barang bukti."Pak, memangnya apa yang tertulis di kertas itu?" Danu mengekor sejak tadi, rasa penasarannya semakin besar saat melihat perubahan wajah Evan yang menjadi tampak semakin emosi.Namun, bukannya menjawab, Evan malah langsung mencari nomor kontak dan menekannya untuk melakukan panggilan."Orang itu masih di tempatmu?""Ya, dia masih bersama saya. Ada apa, Pak?""Cepat pindah dari tempat itu sekarang! Dody sudah mengirim pesan pada orang-orangnya, di sana sudah tidak aman!" Evan semakin gelisah."Tapi, saya
Alana tertawa geli melihat ekspresi Evan yang terlihat muak saat memandangi setiap foto di tangannya."Foto ini terlihat seperti sungguhan. Jika bukan karena kamu menunjukan gambar aslinya, mungkin aku masih akan terus tertipu," terang Alana yang masih tertawa."Orang di foto sangat jelek, wajahku terlihat aneh, tidak simetris pula." "Sudahlah, bakar saja fotonya. Aku lupa membuangnya kemarin."Evan beranjak, bergegas ke teras kamarnya hanya demi untuk membakar foto-foto dirinya bersama banyak perempuan pemberian Jessica untuk Alana saat itu.Dengan perasaan kesal, Evan membakar foto tersebut satu persatu. Sekilas terbesit bayangan kejadian dengan Jessica saat itu. Ia sangat yakin jika semua masalah yang terkait dengannya memiliki satu sumber yang sama, di mana orang tersebut memang berniat membuat rumor buruk demi menjatuhkannya."Akan kubasmi semua hama di Lucio Group." Evan mengepalkan tangannya dengan sangat kuat.Bayangan akan kehidupan yang tenang saat menguasai Lucio Group tern