"Apa mungkin dia salah satu orang yang saat itu merundungku," gumam Alana, merasa gelisah."Hah, merundungmu? Bisa saja dia orangnya, yang namanya istri orang kaya wajar saja jika seenaknya pada orang lain," bisik Risa yang takut ucapannya terdengar oleh orang lain.Alana hanya tersenyum mendengar ucapan Risa yang ceplas-ceplos. Namun, ia sedikit tak menyangka jika salah satu peserta seleksi kemarin salah satunya adalah istri Presdir. Meski begitu, Alana sangat salut pada Presdir yang tetap memberi sanksi pada orang yang salah meski itu adalah istrinya sendiri.Jam isitirahat pun habis, Alana dan Risa kembali ke ruang kerja. Hingga waktu pulang tiba, barulah mereka bisa sedikit bersantai dari pekerjaan yang tak kunjung habis."Alana, kamu bawa kendaraan sendiri?" tanya Risa, sambil meregangkan badan."Biasanya suamiku datang menjemput," jawab Alana."Suami? Jadi, kamu sudah menikah?" Risa tertawa, ia tak menyangka jika orang yang terlihat muda seperti Alana ternyata sudah menikah.Ala
Meski cemas mereka berdua tetap pulang ke rumah."Sayang, kamu masuk duluan saja, aku akan mencari tahu siapa mereka sebenarnya," titah Evan.Alana tak berpikir macam-macam, ia langsung menuruti saja apa yang Evan suruh. Karena terlihat dari sisi mana pun dua orang itu sangatlah menyeramkan, yang membuat Alana takut untuk berurusan dengan mereka.Setelah Alana masuk ke dalam rumah, Evan pun langsung meminta kedua orang itu untuk berbincang dengan sedikit menjauh dari rumah."Jadi, ada urusan apa kalian kemari? Bukankah aku sudah mengatakan agar kalian tak usah menemuiku lagi," gertak Evan."Maaf Tuan muda! Kami diperintahkan untuk menyampaikan sesuatu pada Anda," ujar salah satu dari dua pria tersebut."Apa lagi?" tanya Evan, kesal.Pria itu kemudian memberikan sepucuk surat yang ternyata adalah tulisan dari kedua orang tuanya.Evan kemudian membuka surat tersebut.'Evanders Lucio. Ibu sudah tahu jika perempuan itu adalah penyebab yang telah membuatmu menjadi seperti ini. Ibu benar-ben
Danu yang sejak tadi mengintai dari kejauhan pun menjadi panik saat melihat Alana pingsan. Sedangkan Evan, sejak meninggalkan perusahaan, ia sama sekali tak bisa di hubungi.Kehabisan akal, akhirnya, Danu pun menelepon Risa."Hallo, Risa. Om melihat temanmu tergeletak pingsan. Apa kamu bisa kemari membantunya?" tanya Danu yang kini sudah berada di samping Alana."Teman? Yang karyawan baru itu? Kenapa Om mengenalnya?" tanya Risa setengah berteriak."Sudah, cepat kemari jangan banyak tanya lagi!" Omel Danu.Risa pun bergegas kembali ke kantor dengan mengendarai motor.Ia langsung kembali ke tempat dimana Alana duduk tadi."Om, kenapa Alana pingsan begini?" tanya Risa, panik."Sepertinya dia kelelahan, apalagi belum lama kakinya terluka," jelas Danu."Bagaimana ini?" tanya Risa yang tak dapat berpikir dengan jernih."Tentu saja bawa dia ke rumah sakit, dasar bodoh!" gertak Danu yang kesal pada Risa karena banyak tanya.Risa pun langsung menggendong Alana menuju mobil Danu. Beruntung gadi
"Saya rekan kerjanya, Sus," ucap Risa yang kemudian menghampiri Perawat tersebut."Apa keluarganya tidak ada?" tanya perawat itu lagi."Kebetulan saya tidak tahu keluarganya, dan ponsel teman saya juga dalam keadaan dikunci," terang Risa.Perawat tersebut tampak kebingungan dan kemudian masuk ke dalam UGD lagi. Risa dan Danu tampak cemas. Hanya bisa berharap tidak terjadi apa-apa lada Alana.Beberapa menit kemudian, Perawat tersebut keluar lagi dan menghampiri Risa."Saya sudah konfirmasi ke atasan, pasien sudah bisa pindah ke ruang rawat inap. Tolong tanda tangan berkas terlebih dahulu," jelas perawat tersebut."Terima kasih, Sus. Kalau begitu, saya akan pergi ke bagian administrasi dulu." Risa kemudian menghampiri Danu."Bagaimana?" tanya Danu, cemas."Om urus administrasinya dulu saja! uangku tak akan cukup untuk membiayai rumah sakit besar begini," bisik Risa.Danu menatap sinis pada Risa. Bisa-bisanya keponakannya itu masih memikirkan uang disaat genting seperti ini."Om juga tah
Risa datang dengan membawa bakso. Didapatinya Alana sedang menangis tersedu. Ia pun buru-buru menaruh bakso ke meja samping kasur dan langsung memeluk Alana."Apa ada yang sakit? Atau kamu sedih karena belum ada kabar dari suamimu?" tanya Risa, berusaha menenangkan Alana.Bukannya berhenti, perasaan Alana malah semakin merasa tersentuh. Bukan orang terdekatnya, tapi malah orang yang baru beberapa hari dikenalnya lah yang saat ini sedang memeluknya.Risa semakin bingung, jangankan berhenti, Alana malah menangis semakin kencang."Alana, katakanlah padaku, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Risa yang panik."Barusan, aku menelepon suamiku, dan seorang perempuan yang mengangkatnya," terang Alana sambil menghapus air mata.Risa bingung harus mengatakan apa, ia takut salah bicara, apalagi suami Alana adalah sang Presdir."Bersabarlah dulu, kita tunggu suamimu, biar dia yang akan menjelaskannya nanti." Risa menjawab sebisanya, beruntung selama ini ia selalu menjadi tempat curhat teman-temann
"Siapa perempuan yang mengangkat teleponku?" bentak Alana, membuat Risa tersentak kaget."Anu… Aku ke toilet dulu, Ya!" ujar Risa yang tak mau masuk ke dalam urusan rumah tangga orang lain.Seolah tak dihiraukan, tak ada yg menjawab Risa. Alana dan Evan malah sibuk berdebat."Aku sama sekali tak tahu siapa perempuan itu!" Evan berusaha membela diri."Lalu, memangnya dimana kamu seharian kemarin? Bahkan kamu lupa pada janjimu untuk menjemputku!"Evan berusaha mencari alasan, karena terburu-buru menemui Alana, ia sampai lupa untuk memikirkan sebuah alasan yang tepat."Kenapa diam saja? Apa kamu berselingkuh di belakangku?" tanya Alana yang mulai meneteskan air mata."Aku sangat mencintaimu! Mana mungkin aku menyelingkuhimu!" sanggah Evan yang memang tak mungkin selingkuh disaat cintanya pada Alana begitu besar.Evan berusaha untuk berpikir. Hingga terbesit sebuah pikiran untuk mengatakan yang sebenarnya saja."Aku habis menemui kedua orang tuaku," jelas Evan."Lalu, mengapa ada suara pe
"Jangan angkat!" teriak Evan berusaha menghentikan Alana."Memangnya kenapa?" Alana merasa heran."Itu… itu ponsel Pak Bos yang tak sengaja terbawa olehku," jelas Evan dengan perasaan berdebar. Ia takut jika Alana tak percaya padanya."Oh, maaf. Kupikir ponsel Risa, karena barusan sepertinya ada yang menelepon dengan nama Danu," sahut Alana yang kali ini tak menaruh curiga pada Evan karena ponsel tersebut harganya mahal. Ia berpikir jika tak mungkin suaminya mampu membeli ponsel semahal itu.Evan kembali keluar dari ruangan, ia belum sempat membeli bubur karena buru-buru kembali setelah ingat ponsel kerjanya tertinggal di kursi.Saat diluar rumah sakit, Evan tak hanya membeli bubur, ia juga membeli beberapa makanan dan buah-buahan kesukaan Alana."Banyak sekali, beli apa saja?" tanya Alana saat melihat Evan membawa banyak kantong plastik."Beberapa makanan kesukaanmu," jawab Evan sambil menyusun makanan di meja."Terima kasih." Alana merasa senang dengan perhatian kecil Evan.Evan men
"Tentu saja tidak, itu adalah hadiah untuk keluarga Alana," jelas Rudi."Tapi, ini tidak ada satu pun hadiah untuk Alana." Evan merasa heran."Ya, karena Alana akan menikah denganmu. Kelak dia akan sering mendapat hadiah darimu bukan?""I-iya, Om. Bagaimana kalau semua permintaan Om dan Tante ini saya berikan dalam bentuk uang lima puluh juta?" tanya Evan yang merasa sedikit tak nyaman.Rudi langsung terkejut saat mendengar uang lima puluh juta, karena apa yang tertulis di daftar saja jika dijumlahkan hanya sekitar tiga puluh jutaan."Baiklah, kapan kamu akan mengirimkan uangnya?" tanya Rudi sudah tak sabar menerima uang."Mungkin besok siang, Om. Nanti saya kabari lagi kalau sudah di transfer," ucap Evan.Ternyata Alana menguping di dalam, ia tak menyangka jika kedua orang tuanya sampai hati meminta uang untuk mereka. Alana saja yang kekasih Evan, malah tidak pernah berani meminta apapun meski hanya sekedar makanan murah sekalipun."Apa yang Ayah dan Ibu lakukan? Kenapa kalian tega s
Bagaimana dengan akhir kisah yang lainnya?Danu, sungguh sebuah keberuntungan di pesta kecil. Pelayan yang waktu itu ia temui ternyata sudah sejak lama menaruh perasaan padanya. Tak ingin membuang-buang waktu, asisten Evan tersebut langsung melamar sang gadis dan buru-buru menentukan tanggal pernikahan.Cherry dan Alvin, benar-benar sesuatu yang tak terduga. Berawal dari sebuah sandiwara, perempuan yang sama sekali tak pernah mengenal cinta itu pun pada akhirnya memilih untuk melabuhkan hati pada laki-laki yang pantang menyerah untuk memperjuangkannya. Meski Alvin sedikit lebih lemah darinya, pria itu selalu saja berusaha melindungi dalam situasi apa pun. Benar-benar sosok yang sangat Cherry impikan.Sasa dan Deo, mereka terus bertengkar sampai akhirnya muncul perasaan saling suka. 'Bisa karena biasa', mungkin itulah salah satu pepatah yang cocok untuk mereka, mengingat kebencian mereka awalnya begitu mendalam, tetapi bisa-bisanya malah berubah menjadi rasa suka.Brian, beberapa kali b
"Sayang hati-hati! Kamu sedang menggendong Zayn," teriak Alana."Ya, tenang saja," sahut Evan yang sekilas menoleh ke arah Alana.Dengan menggendong Zayn, Evan yang sudah bersemangat pun menghampiri mobil tersebut. Lalu semua yang berada dalam kendaraan itu pun keluar bersamaan.Evan menghampiri sang kakek yang tengah diangkat ajudannya ke kursi roda."Kakek, tumben sekali. Ada perlu apa?" tanya Evan dengan tatapan bahagia bertemu sang kakek."Dasar cucu durhaka! Bukannya menanyakan kabar malah tanya ada perlu apa!" hardik Willy.Evan tertawa melihat kakeknya itu marah. "Ayo masuk dulu."Disaat bersamaan muncul Jeny yang sejak tadi hanya diam di dalam mobil tak berani menunjukan batang hidungnya. Ia tampak malu-malu karena sadar pernah melakukan kesalahan.Evan yang hatinya sedang dalam keadaan baik pun tak memperdulikan masalah yang telah berlalu. Ia malah tersenyum menatap ibunya itu."Ibu, ayo masuk! kebetulan aku akan mengadakan pesta kecil-kecilan," ajak Evan seraya melambai ke ar
Tanpa berpikir dua kali, Evan langsung pulang meski Candra sempat mengundangnya untuk makan siang merayakan keberhasilan rencana mereka."Maaf, mungkin lain kali," ujar Evan yang pikirannya sudah melayang-layang entah ke mana."Tidak masalah, lain kali masih bisa. Pulang dulu saja, istrimu sudah menunggu di rumah," ujar Candra.Evan tersenyum simpul. "Kalau begitu, sampai jumpa di lain waktu."Evan berlari menuju mobil, diikuti oleh Danu dan Deo yang juga tampak gelisah, khawatir terjadi sesuatu di rumah.Danu langsung melajukan mobil dengan kecepatan melebihi biasanya.Selama perjalanan, Evan tak hentinya menelepon Alana. Namun, hasilnya nihil karena tak sekalipun sang istri menjawab panggilan tersebut."Apa yang terjadi?" Evan mengacak-acak rambutnya, saking kesal."Seharusnya tidak terjadi apa-apa, semua musuh sudah berada dalam genggaman kita. Kecuali…" Deo seolah ragu untuk melanjutkan kalimatnya."Apa? Kenapa kamu selalu saja menyebalkan!" hardik Evan."Hey tenanglah, kamu terla
"Apa maksudmu, Deo?" Evan menatap temannya itu dengan tatapan heran."Kamu lihat saja!" titah Deo.Beberapa menit menjelang berakhirnya sesi visi misi, Anwar sempat menunjukan beberapa program hebat yang ia rencanakan akan dikerjakan jika dirinya terpilih menjadi walikota nanti."Beberapa lahan kosong akan saya buat menjadi taman yang sisi lainnya dikhususkan untuk area bermain anak-anak. Ini salah satu contoh desain taman." Anwar menunjuk ke layar besar dengan penuh percaya diri.Namun, yang muncul di layar tersebut bukanlah apa yang Anwar maksudkan, melainkan sebuah video di mana dirinya sedang berjabat tangan dengan si pemilik panti asuhan. Suaranya terdengar jelas ke seluruh penjuru."Bagaimana dengan uang dari donatur panti asuhanmu?" tanya Anwar yang wajahnya terpampang jelas dalam video tersebut."Sudah saya transfer semua ke rekening Bapak, bahkan uang hasil mengemis dan mengamen anak-anak pun sudah saya setor," ujar pemilik panti asuhan yang tampak begitu hormat pada Anwar."B
Danu langsung menoleh ke arah Deo. Ia merasa jika ternyata ada yang berpenampilan lebih parah darinya. Gelak tawa seakan membuat sang bos dan asistennya itu sedikit melupakan ketegangan yang akan mereka hadapi.Deo masih belum sadar jika dirinya sedang menjadi bahan tertawaan. Ia pun langsung masuk dan duduk di samping Evan dengan santainya."Maaf, tadi aku terlalu lama menyiapkan penyamaran ini," ujar Deo, "ayo kita berangkat sekarang!"Danu langsung melajukan mobil murah yang sengaja dipinjam untuk mendukung penyamaran tersebut."Kenapa kamu harus menyamar jadi perempuan?" Evan bertanya sambil terus terbahak-bahak. "Lalu, kenapa dadamu menggembung begitu?""Setidaknya penampilan ini akan membuatku mudah menyelinap ke belakang layar," ujar Deo yang sedang fokus menatap layar ponselnya.Alasan Deo tak membuat Evan berhenti tertawa. Ia terus saja terpingkal setiap kali menatap Danu dan Deo, merasa jika kini mereka terlihat seperti grup lawak."Berhenti tertawa! Kita ini sedang berangka
Laki-laki jahat di depan Evan tertawa puas, merasa kemenangan telah berada di tangannya.Karena kalah jumlah, anak buah Evan tak bisa menghalau lagi orang-orang yang baru saja datang itu. Meski begitu, beberapa di antaranya masih berusaha menghadang meski pada akhirnya berakhir lengah dan pihak Dody berhasil melumpuhkannya."Menyerahlah, Evanders. Kami bukanlah lawanmu!" timpal pria yang berada di hadapan Evan."Menyerah? Aku tidak takut pada penjahat yang memakan uang anak yatim piatu seperti kalian!" balas Evan."Masih besar kepala juga rupanya? Apa kamu tidak sadar dengan kondisimu sendiri? Jangan sok menjadi pahlawan jika diri sendiri saja sedang dalam keadaan terdesak," ujar pria tersebut."Aku, terdesak? Seharusnya kamu sedikit menoleh ke belakang." Evan pada akhirnya bisa tersenyum penuh kemenangan saat tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.Pria jahat di hadapan Evan awalnya ragu, tetapi pada akhirnya memilih untuk menoleh saat ia merasa jika suasana menjadi sedikit hening.
Evan langsung keluar dari mobil saat sudah berada di depan gerbang. Ia buru-buru menghampiri security yang sedang berusaha mengusir seorang ojek online."Ada apa ini?" tanya Evan, berjalan mendekat."Ini, Pak. Orang ini bilang Bu Alana memesan bakso. Tapi saat saya ingin melihat isi pesannya, dia bilang kalau itu privasi," terang security."Sudah kamu tanyakan pada Alana, apa dia memesan bakso?" Evan terus menatap ojek online yang sejak tadi terus menunduk."Sudah, Bu Alana bilang memang pesan bakso. Plat nomornya pun sama dengan yang ada di aplikasi. Saya ingin mengeceknya lagi untuk memastikan saja," ujar security tersebut.Evan masih terus memandangi tukang ojek online tersebut dengan wajah datarnya."Apa Alana memesan Bakso Mas Jo? dia sangat menyukai itu.""Benar, Pak. Seperti yang Anda bilang, ini memang Bakso Mas Jo," ucap tukang ojek tersebut seraya menatap security dengan tatapan penuh kemenangan.Evan tersenyum simpul seraya menatap pria tersebut. "Berapa totalnya?""Dua rat
Evan buru-buru menelepon anak buahnya dengan perasaan cemas dan gelisah."Ada apa, Pak?" tanya anak buah Evan dengan suara yang terdengar santai."Perketat keamanan rumah! Jaga setiap sudut jangan sampai ada yang terlewatkan. Jangan biarkan siapa pun masuk!" seru Evan."Baik, Pak," jawab anak buah Evan yang dari nada suaranya terdengar serius.Evan menutup telepon, lalu berjalan menuju ruang kerjanya yang telah berantakan. Beruntung sebelumnya ia telah mengamankan seluruh barang bukti."Pak, memangnya apa yang tertulis di kertas itu?" Danu mengekor sejak tadi, rasa penasarannya semakin besar saat melihat perubahan wajah Evan yang menjadi tampak semakin emosi.Namun, bukannya menjawab, Evan malah langsung mencari nomor kontak dan menekannya untuk melakukan panggilan."Orang itu masih di tempatmu?""Ya, dia masih bersama saya. Ada apa, Pak?""Cepat pindah dari tempat itu sekarang! Dody sudah mengirim pesan pada orang-orangnya, di sana sudah tidak aman!" Evan semakin gelisah."Tapi, saya
Alana tertawa geli melihat ekspresi Evan yang terlihat muak saat memandangi setiap foto di tangannya."Foto ini terlihat seperti sungguhan. Jika bukan karena kamu menunjukan gambar aslinya, mungkin aku masih akan terus tertipu," terang Alana yang masih tertawa."Orang di foto sangat jelek, wajahku terlihat aneh, tidak simetris pula." "Sudahlah, bakar saja fotonya. Aku lupa membuangnya kemarin."Evan beranjak, bergegas ke teras kamarnya hanya demi untuk membakar foto-foto dirinya bersama banyak perempuan pemberian Jessica untuk Alana saat itu.Dengan perasaan kesal, Evan membakar foto tersebut satu persatu. Sekilas terbesit bayangan kejadian dengan Jessica saat itu. Ia sangat yakin jika semua masalah yang terkait dengannya memiliki satu sumber yang sama, di mana orang tersebut memang berniat membuat rumor buruk demi menjatuhkannya."Akan kubasmi semua hama di Lucio Group." Evan mengepalkan tangannya dengan sangat kuat.Bayangan akan kehidupan yang tenang saat menguasai Lucio Group tern