Evan dan Alana saling pandang, lalu tersenyum. Mereka teringat kembali akan perdebatan kecil saat di kampus dulu. Di mana hanya karena masalah nama anak, keduanya pernah sampai terlibat adu mulut."Jadi, apa kita benar-benar akan memakai nama itu?" Evan membelai Alana dengan penuh kasih sayang."Iya, aku sangat suka nama itu. Arabella dan Zayn, nama-nama yang menggemaskan." Wajah Alana berseri kembali."Menggemaskan seperti ibunya." Evan mencubit hidung Alana."Aku juga ingin mereka memanggilku mama. Rasanya tidak sabar menunggu saatnya pulang ke rumah." Alana yang semula sudah sedikit lupa dengan keadaan kedua anaknya itu pun tiba-tiba menangis karena teringat lagi pada anaknya.Evan tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa mengusap, memeluk, dan sesekali mencium rambut Alana yang terus terisak."Sayang, mereka akan baik-baik saja." Evan berusaha menenangkan istrinya itu."Tapi, mereka terus tidur. Apa mereka akan berumur panjang? Apakah aku bisa bersama mereka sampai besar nanti?"
"Memang apa lagi yang sudah mereka perbuat?" Evan langsung duduk di kursi dekat ruang Alana.Roby juga mulai mengikuti Evan dengan duduk di sampingnya."Ada salah seorang yang mencoba memanipulasi data penjualan di salah satu cabang. Saya tidak terlalu paham mengapa dia melakukannya karena penjualan di cabang itu sudah sangat baik," terang Roby."Dia terlalu berambisi untuk menang, membuat jarak yang begitu jauh dengan pesaingnya." Evan menghela napas dalam.Tak pernah terbayang sebelumnya jika jajaran direksi di Astira akan menjadi seperti ini. Terlebih, Evan sangat tahu seperti apa orang-orang itu dulu, lalu semuanya berubah begitu saja seiring berjalannya waktu."Apa saya masih harus melanjutkan tugas dari Bapak?""Ya, tetap lanjutkan. Kalau ada perlu apa-apa, kamu bisa menghubungi Danu. Ingat untuk tidak terlalu gegabah saat mengawasi mereka," titah Evan."Baik, Pak. Kalau begitu, saya pulang dulu. Semoga Bu Alana dan Bayi And bisa lekas sembuh," ucap Roby yang kemudian berlalu pe
Pandangan Evan kabur dan perlahan menjadi gelap, menyisakan pendengaran yang masih bisa mendengar suara teriakan Alana dengan jelas. Untuk beberapa waktu kemudian, Evan pun tak sadarkan diri.Beberapa jam berlalu, Evan perlahan membuka matanya. Ia memandangi sekeliling dengan kepala yang masih terasa berdenyut pusing."Di mana ini?" Evan memegangi kepalanya yang meninggalkan sedikit memar akibat terbentur saat terjatuh tak sadarkan diri."Tentu saja di ruang perawatan. Di mana lagi?" ujar Jeni, ketus."Ayah, Ibu, kenapa ada di sini?""Menurutmu, kenapa?" Jeni menatap kesal."Tadi kamu pingsan, Evan. Dokter bilang kalau kamu kurang istirahat, stres dan kelelahan," terang Alex.Evan terdiam sejenak, berusaha mengingat hal yang terakhir kali terjadi."Apa Alana baik-baik saja?" Evan berusaha beranjak."Evan, istirahatlah dulu! Alana itu baik-baik saja, kenapa kamu begitu berlebihan mengkhawatirkannya?" Alex menahan tubuh Evan agar berbaring kembali."Alana sedang bersedih Ayah! Aku harus
"Sayang…" Alana menatap Evan dengan sorot mata penuh luka sekaligus bahagia."Apa yang terjadi saat aku tidak ada? K-kenapa? Bukankah…" Evan kesulitan untuk berbicara lagi, terlebih saat menyaksikan sosok tubuh mungil dalam gendongan Alana yang sebelumnya hanya bisa dilihat tanpa bisa disentuh.Kini, Evan sudah berdiri di samping Alana sambil mematung. Ia menyelipkan telunjuknya dalam genggaman jari-jari mungil anak perempuannya, Arabella."Sayang, kondisi Bella perlahan membaik, perawat mengantarnya kemari agar aku bisa menyusuinya," terang Alana dengan mata yang terus berkaca-kaca."Arabella… anakku!" Evan berlutut di samping kasur sambil memeluk Alana dan Arabella yang sedang di gendong.Alana dan Evan secara bersamaan meneteskan air mata yang entah sudah keberapa kalinya dalam beberapa hari ini mereka menangis.Sebuah kebahagiaan yang bercampur pilu seakan menyatu menjadi sebuah butiran-butiran air yang mengandung bermacam rasa di dalamnya."Cantik, sepertimu." Evan berkata dengan
Evan pun baru sadar dengan kehadiran orang tersebut saat Alana berkata seperti itu. Benar-benar diluar dugaan."Kenapa kamu ada di sini? Cepat jawab!" Alana yang sedang sensitif pun secara mendadak emosinya memuncak tak karuan.Desy dan Alex buru-buru menghampiri Alana. Mereka berniat membujuk perempuan itu agar tidak terus terbawa emosi."Alana, kamu tidak boleh seperti itu! Brian sekarang sudah bertaubat. Dia bisa keluar karena dianggap berkelakuan baik," terang Desy seraya mengusap bahu Alana."Benar Alana. Brian juga sudah menyesal dan berjanji akan berubah. Dia ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi saat tahu sudah memiliki keponakan," sambung Rudi yang berusaha terlihat berwibawa tersebut."Berubah karena memiliki keponakan? Kenapa tidak memakai alasan lain? Alasan itu terlalu tidak masuk akal," timpal Alana.Evan merasa tak nyaman dengan keadaan ini. Penyambutan Alana yang seharusnya berakhir bahagia malah menjadi kacau dengan kehadiran Brian yang datang tanpa diundang. Ia p
Alana kebingungan sendiri. Ia berjalan sambil mengamati Bella yang ternyata masih terlelap di samping Evan."Apa aku salah dengar? Tapi suara tangis Bella itu terdengar sangat jelas," oceh Alana yang masih menggaruk kepala yang tak gatal.Beberapa menit Alana terus memikirkan kejadian tadi. Ia bingung, entah dirinya yang salah dengar atau memang Bella sempat menangis. Semuanya masih menjadi misteri.Hingga tak berselang lama, Evan yang merasa tidurnya sudah cukup pun langsung membuka mata dan meregangkan tubuh yang terasa pegal-pegal."Sayang, apa kamu mendengar Bella menangis saat sedang tidur tadi?" Alana buru-buru menghampiri suaminya itu."Entahlah, Tapi sepertinya Bella tidur nyenyak dari tadi, kalau pun menangis, aku pasti terbangun," jawab Evan sambil menguap."Apa aku mulai stres? Suara tangisan Bella itu terdengar jelas saat aku mandi.""Mungkin hanya perasaanmu saja, atau suara air yang sekilas terdengar seperti tangisan Bella."Alana melamun untuk sejenak. Dia masih berusah
"Aku harus pergi ke rumah sakit sekarang!" ujar Evan.Perasaan Alana semakin tidak enak. Firasat seorang Ibu mengatakan jika ada sesuatu sedang yang terjadi pada anaknya, Zayn."Katakan dulu apa yang sebenarnya terjadi!" Dada Alana semakin terasa sesak."Berjanjilah untuk tetap tenang jika aku memberitahumu," ujar Evan memegang bahu istrinya itu."Iya, tolong cepat katakan!" Dada Alana semakin berdebar kencang."Kondisi Zayn menurun, aku diminta Dokter untuk pergi ke sana sekarang," terang Evan yang sudah bersiap pergi."Aku mau ikut!" Alana tak ingin melewatkan segala sesuatu tentang Zayn."Kamu harus menjaga Bella, dia juga masih butuh kamu di sisinya. Biar aku yang urus Zayn, percayalah padaku!" Evan menatap tajam sang istri.Alana sempat ragu, dadanya begitu sesak, jantungnya berdegup tak karuan. Pikiran jelek mulai melayang-layang di benaknya. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Zayn? Bagaimana jika dia tak bisa melihat Zayn lagi?Namun, perasaan ragu itu seakan sirna saat tatap
Semua mata tertuju pada Evan. Di ruang tunggu itu tidak hanya ada Dokter dan perawat saja, tetapi ada juga beberapa orang tua bayi yang bernasib sama dengan Evan.Setelah mereka semua terdiam mendengar ucapan Evan. Mendadak beberapa orang tua bayi itu menertawakan perkataan yang menurut mereka konyol.Lain dengan para perawat yang sudah tahu identitas Evan. Mereka lebih memilih diam karena segan pada sang pewaris Lucio tersebut."Jangan pikir karena kamu memiliki uang jadi bisa berkhayal membeli rumah sakit semewah ini. Aku juga pemilik perusahaan di salah satu kawasan industri, tapi tidak arogan sepertimu," ucap salah satu orang tua yang bayinya juga sedang di rawat."Sudahlah, mungkin dia orang kaya baru. Berpikir bisa berbuat seenaknya dengan uang yang tak seberapa," ujar istri dari pria tersebut."Pak Evan, lebih baik pergi ke ruangan saya, kita berbicara empat mata," ajak manajer yang masih tidak yakin dengan ucapan Evan.Evan semakin geram dengan sikap orang-orang yang malah men