"Ada apa, Pak?" Danu ikut panik.Evan tak menjawab, terdiam sejenak sambil memandangi jemarinya yang barusan merasakan sesuatu."Basah, banyak air yang terus keluar. Apa yang terjadi?" Evan ketakutan, mulai berpikir yang tidak-tidak.Evan menggendong Alana sambil berlari kecil. Ia mendapat kekuatan dari rasa takutnya. Sang istri yang sebenarnya berat pun kini seakan ringan."Sayang, bertahanlah!" ucap Evan, lirih.Dengan langkah cepat, Evan memasuki ruang IGD sambil menggendong Alana yang dari bagian bawahnya terus mengeluarkan air."Panggilkan Dokter! Aku akan bayar berapa pun!" teriak Evan, memecah keheningan ruangan IGD."Bapak tunggu sebentar, saya sudah menghubungi Dokter. Beliau akan segera kemari," ucap seorang perawat yang sedang berjaga."Cepatlah! Istriku terus mengeluarkan air! Bagaimana kalau dia sampai kekurangan cairan?" Evan tak bisa menahan emosinya.Saat Evan tengah marah-marah, seorang Dokter muda pun datang, langsung buru-buru menangani Alana."Ketubannya sudah peca
Danu dan Cherry menghampiri atasannya tersebut, tetapi mereka malah disuruh menyingkir oleh Jeni yang merasa lebih pantas untuk bertanya lebih dulu pada Evan."Apa yang terjadi? Apa Alana tidak selamat?" Jeni mengusap bahu Evan.Evan mendelik, kesal pada pertanyaan menyebalkan yang terlontar dari mulut ibuya."Itu, apa menantu dan cucuku baik-baik saja?" Alex berusaha mengalihkan perhatian Evan pada pertanyaannya. Alex sadar betul jika pertanyaan dari Jeni sangatlah tidak pantas diucapkan, khawatir malah akan memancing emosi Evan."Alana baik-baik saja meski tubuhnya masih lemah. Tapi, anak-anakku…" Evan seakan berat untuk melanjutkan kalimatnya lagi."Ada apa, Evan?" Jeni semakin penasaran, khawatir jika terjadi sesuatu pada calon penerus Lucio tersebut."Mereka masih sangat lemah, aku saja belum sempat menyentuh anak-anakku. Dan sekarang mereka malah di bawa ke ruang khusus untuk perawatan," jelas Evan, sambil memegangi kepalanya.Alex mengusap bahu anaknya itu, kemudian memeluknya
"Kenapa kamu ragu begitu? Katakan saja!" Alana menatap Evan dengan tatapan curiga."Ah, itu... mereka ada di ruang bayi," jawab Evan sambil berusaha memikirkan alasan berikutnya."Apa aku sudah bisa melihat mereka?" Alana berusaha bangkit."Jangan…" Evan menahan tubuh istrinya itu.Alana menatap Evan dengan penuh tanda tanya. Sejak tadi ia merasa jika suaminya itu sedang menyembunyikan sesuatu."Apa yang sebenarnya terjadi?" Alana mulai menatap Evan dengan tajam."Kamu baru saja melahirkan, jahitan juga masih basah! Dokter bilang tidak boleh sembarangan bergerak," timpal Evan dengan lantangnya.Alana tersenyum kecil, merasa bersalah karena telah salah paham pada sang suami yang ternyata sedang mengkhawatirkan dirinya."Ah, maaf, aku terlalu semangat barusan," sahut Alana.Evan tersenyum simpul seraya membelai rambut sang istri. Ia tak tega mengatakan pada Alana tentang keadaan anak-anak mereka yang sebenarnya. Wajah Alana saja masih terlihat pucat, rasanya tak ingin menambah beban pik
"Memangnya apa yang sudah kulakukan?" Evan mengerutkan alis, heran dengan pernyataan Alana."Sudahlah, Alana. Mungkin Evan tak mau membuatmu stres," ujar Desy seraya mengusap bahu Alana.Sekilas ada perasaan kesal yang tiba-tiba menyelimuti Evan saat melihat sikap mertuanya yang seakan berpura-pura baik itu."Kenapa harus berbohong lagi padaku?" teriak Alana di tengah tangisnya."Berbohong apa?""Kenapa tidak bilang kalau anak kita keadaannya seperti itu?""Aku tidak pernah membohongimu. Aku bilang kalau kamu harus beristirahat dulu! Apa itu salah?"Alana terdiam sejenak, mengingat kembali perbincangan mereka sebelumnya."Tapi…" Lagi-lagi tangis Alana pecah."Setidaknya tunggu keadaanmu membaik baru kita melihat mereka," Evan mendekati Alana, lalu memeluknya.Tangis Alana semakin pecah, tak menyangka jika anak-anaknya sampai mendapat perawatan. Ia merasa bodoh sekaligus bersalah karena tak bisa menjaga kandungannya ketika di pertemuan kemarin malam."Aku sangat bodoh! Aku seorang Ibu
Evan dan Alana saling pandang, lalu tersenyum. Mereka teringat kembali akan perdebatan kecil saat di kampus dulu. Di mana hanya karena masalah nama anak, keduanya pernah sampai terlibat adu mulut."Jadi, apa kita benar-benar akan memakai nama itu?" Evan membelai Alana dengan penuh kasih sayang."Iya, aku sangat suka nama itu. Arabella dan Zayn, nama-nama yang menggemaskan." Wajah Alana berseri kembali."Menggemaskan seperti ibunya." Evan mencubit hidung Alana."Aku juga ingin mereka memanggilku mama. Rasanya tidak sabar menunggu saatnya pulang ke rumah." Alana yang semula sudah sedikit lupa dengan keadaan kedua anaknya itu pun tiba-tiba menangis karena teringat lagi pada anaknya.Evan tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa mengusap, memeluk, dan sesekali mencium rambut Alana yang terus terisak."Sayang, mereka akan baik-baik saja." Evan berusaha menenangkan istrinya itu."Tapi, mereka terus tidur. Apa mereka akan berumur panjang? Apakah aku bisa bersama mereka sampai besar nanti?"
"Memang apa lagi yang sudah mereka perbuat?" Evan langsung duduk di kursi dekat ruang Alana.Roby juga mulai mengikuti Evan dengan duduk di sampingnya."Ada salah seorang yang mencoba memanipulasi data penjualan di salah satu cabang. Saya tidak terlalu paham mengapa dia melakukannya karena penjualan di cabang itu sudah sangat baik," terang Roby."Dia terlalu berambisi untuk menang, membuat jarak yang begitu jauh dengan pesaingnya." Evan menghela napas dalam.Tak pernah terbayang sebelumnya jika jajaran direksi di Astira akan menjadi seperti ini. Terlebih, Evan sangat tahu seperti apa orang-orang itu dulu, lalu semuanya berubah begitu saja seiring berjalannya waktu."Apa saya masih harus melanjutkan tugas dari Bapak?""Ya, tetap lanjutkan. Kalau ada perlu apa-apa, kamu bisa menghubungi Danu. Ingat untuk tidak terlalu gegabah saat mengawasi mereka," titah Evan."Baik, Pak. Kalau begitu, saya pulang dulu. Semoga Bu Alana dan Bayi And bisa lekas sembuh," ucap Roby yang kemudian berlalu pe
Pandangan Evan kabur dan perlahan menjadi gelap, menyisakan pendengaran yang masih bisa mendengar suara teriakan Alana dengan jelas. Untuk beberapa waktu kemudian, Evan pun tak sadarkan diri.Beberapa jam berlalu, Evan perlahan membuka matanya. Ia memandangi sekeliling dengan kepala yang masih terasa berdenyut pusing."Di mana ini?" Evan memegangi kepalanya yang meninggalkan sedikit memar akibat terbentur saat terjatuh tak sadarkan diri."Tentu saja di ruang perawatan. Di mana lagi?" ujar Jeni, ketus."Ayah, Ibu, kenapa ada di sini?""Menurutmu, kenapa?" Jeni menatap kesal."Tadi kamu pingsan, Evan. Dokter bilang kalau kamu kurang istirahat, stres dan kelelahan," terang Alex.Evan terdiam sejenak, berusaha mengingat hal yang terakhir kali terjadi."Apa Alana baik-baik saja?" Evan berusaha beranjak."Evan, istirahatlah dulu! Alana itu baik-baik saja, kenapa kamu begitu berlebihan mengkhawatirkannya?" Alex menahan tubuh Evan agar berbaring kembali."Alana sedang bersedih Ayah! Aku harus
"Sayang…" Alana menatap Evan dengan sorot mata penuh luka sekaligus bahagia."Apa yang terjadi saat aku tidak ada? K-kenapa? Bukankah…" Evan kesulitan untuk berbicara lagi, terlebih saat menyaksikan sosok tubuh mungil dalam gendongan Alana yang sebelumnya hanya bisa dilihat tanpa bisa disentuh.Kini, Evan sudah berdiri di samping Alana sambil mematung. Ia menyelipkan telunjuknya dalam genggaman jari-jari mungil anak perempuannya, Arabella."Sayang, kondisi Bella perlahan membaik, perawat mengantarnya kemari agar aku bisa menyusuinya," terang Alana dengan mata yang terus berkaca-kaca."Arabella… anakku!" Evan berlutut di samping kasur sambil memeluk Alana dan Arabella yang sedang di gendong.Alana dan Evan secara bersamaan meneteskan air mata yang entah sudah keberapa kalinya dalam beberapa hari ini mereka menangis.Sebuah kebahagiaan yang bercampur pilu seakan menyatu menjadi sebuah butiran-butiran air yang mengandung bermacam rasa di dalamnya."Cantik, sepertimu." Evan berkata dengan