Evan tetap memilih pergi meski tau jika istrinya sedikit berat untuk mengizinkan. Namun, mau bagaimana lagi, masalah ini harus segera ia selesaikan demi bisa membalas semua penderitaan yang telah Alana alami.Saking bersemangat, Evan sampai lupa jika di rumahnya ada lift dan berjalan perlahan menuruni anak tangga meski sedikit melelahkan."Kita pergi sekarang!" titah Evan pada Danu yang sudah menunggunya di bawah tangga."Apa perlu membawa pengawal lain?""Tidak usah. Kamu saja sudah cukup, di sana juga ada anak buah Kakek yang sudah menunggu." Evan berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke halaman depan, di mana mobil sport hitam miliknya sudah terparkir.Merasa tertinggal dari sang atasan, Danu langsung berlari mendahului Evan."Kamu sangat tidak sopan!" protes Evan."Tapi, saya sengaja berlari agar bisa membukakan pintu untuk Bapak," balas Danu.Evan tak menjawab ucapan Danu. Bagaimanapun, apa yang dikatakan sang bawahan ada benarnya. Hanya saja egonya yang tinggi, membuatnya tak ingin
Evan menatap pria itu dengan penuh kemenangan. Ide ini tersirat saat tahu pria itu benar-benar menutup rapat mulutnya dan tak ingin mengatakan apa-apa meski sudah lama mendapat siksaan."Sudah mau bicara?" tanya Evan lagi.Seorang wanita serta anak laki-laki yang diperkirakan berusia sepuluh tahunan itu berjalan perlahan mendekati mantan bos Alana. Mereka tampak terkejut saat melihat kondisi sang pria yang wajahnya sudah tak karuan dipenuhi banyak lebam."Sayang, katakan saja yang sebenarnya. Kami tak ingin kamu kenapa-kenapa." Istri pria itu perlahan melangkah mendekat."T-tapi, perempuan itu menyimpan rahasiaku. Aku tidak mau kalau sampai kita berpisah.""Rahasia apa? Katakan saja! Aku akan selalu memaafkanmu.""Benar, Ayah. Aku dan Ibu sangat sayang Ayah. Tolong katakan saja," sambung anak dari mantan bos Alana.Pria itu menunduk, jelas sekali jika ia mulai mempertimbangkan tawaran Evan. Apalagi, kini anak dan istrinya sedang berada di depan mata."Baiklah, apa kamu bisa berjanji un
Evan memutar bola matanya. Baru saja bisa bernapas lega, sekarang malah datang masalah baru."Aku pikir mereka sudah melupakanku." Alana menghela napas panjang.Evan tertawa meledek. "Kamu kan sekarang sudah jadi orang kaya," sahutnya.Alana memanyunkan bibirnya, ia mencubit gemas tangan Evan. "Kamu sangat menyebalkan!" protesnya."Sudah, kita mandi dulu saja. Biarkan mereka kelelahan dulu agar nanti tidak mengoceh terus," Evan menyelimuti tubuh polos Alana dengan handuk.Mereka berdua pun memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Mau seperti apa pun berisiknya di luar, keduanya tetap santai dan melakukan aktifitas seperti biasanya, tanpa tergesa-gesa.Saat sudah selesai mandi dan berganti pakaian, keduanya pun langsung bergegas ke luar kamar dan menghampiri orang tua Alana yang sejak tadi sudah membuat keributan."Itu… lihatlah, dia itu anakku! Apa kalian masih berani melarang kami masuk?" hardik Desy pada Danu dan beberapa orang yang sedang menahannya."Alana! Alana!" teriak Rudi samb
Alana langsung duduk di kursi yang menghadap sang ibu. Kini tatapannya beralih ke arah Danu dan Cherry."Duduklah, kita makan bersama!" titah Alana."Tapi, mereka itu hanya orang rendahan. Tidak sepantasnya duduk bersama kita!" timpal Desy.Mata Alana kini menatap tajam ke arah sang ibu. "Apa ibu pikir derajat ibu lebih tinggi daripada mereka berdua?""Tentu saja, aku ini mertua dari seorang bos kaya!" timpal Desy lagi."Yang kaya itu Evan! Dia memang berasal dari keluarga terpandang. Sedangkan kita, jika saja aku tidak menikah dengan Evan,apa Ibu pikir bisa menginjakan kaki di rumah ini?" tegas Alana.Desy terdiam, sedikit tak percaya jika Alana sekarang telah berani membantahnya. Ia juga merasa jika anak perempuanya itu mulai sedikit berbeda dari sebelumnya.Rudi yang sedari tadi hanya menyimak pun kini mulai merasa segan pada Alana. Ia takut jika sang anak akan berani mengusirnya jika tak segera meminta maaf."Alana, maafkan ibumu. Dia pasti masih sangat kaget saat melihat rumah in
Alana membelalak, baru saja datang sudah harus berpapasan dengan wanita paruh baya yang malah menganggapnya pembantu."Maaf, saya bukan pembantu!" tolak Alana yang kemudian berniat pergi dari hadapan perempuan itu."Heh, jangan mentang-mentang kamu sedang hamil, berharap mendapat keringanan dari majikan. Jeng Desi itu memang terlalu baik, pembantu malas begini saja dipelihara," ujar perempuan paruh baya itu seraya mencibir dan mendelik ke arah Alana.Cherry geram dengan sikap perempuan bersanggul tinggi dan riasan tebal itu. Ia pun mendekati perempuan itu sambil mengambil piring kotor yang disodorkan pada Alana, lalu menaruhnya ke lantai."Semuanya, dengarkan saya! Perempuan yang sedang ada di hadapan saya ini adalah pemilik rumah yang sebenarnya!" Cherry berteriak dengan menggunakan bahasa Inggris.Semua mata langsung tertuju pada Cherry, suasana yang semula riuh, kini berubah menjadi sunyi. Orang-orang yang berada di sana seakan terkejut saat asisten Alana itu mendadak berteriak.Be
"Tapi, ini hanya masalah sepele. Hanya saja, saya merasa tak nyaman dengan hal itu." Cherry masih terlihat ragu."Katakan saja. Mungkin aku bisa membantumu."Cherry belum benar-benar berani mengatakannya. Sesekali ia tampak menoleh ke belakang, seakan memastikan sesuatu."Ini menyangkut ibu Anda." Lagi-lagi Cherry menunjukan keraguannya.Alana mulai paham mengapa Cherry ragu untuk mengatakan semuanya."Katakan saja. Aku tidak akan membela ibu jika dia berbuat salah."Ucapan Alana barusan membuat Cherry menjadi sedikit memiliki keberanian untuk mengatakan."Ibu Anda telah mengambil alih kamar saya. Bahkan beliau menginginkan semua barang milik saya yang ada di kamar, dan hanya mengizinkan saya membawa pakaian saja," terang Cherry sembari menunduk karena merasa tak enak telah mengadu."Tenang saja, nanti aku akan membicarakannya dengan Ibu. Sebentar lagi suamiku pulang, aku mau menyambutnya dulu," sahut Alana.Cherry mengangkat kepalanya dan mulai berani memandangi sang atasan."Baik, B
Evan terdiam, bingung harus mengatakan apa pada istrinya."Katakan saja! Diammu malah membuatku berpikir yang tidak-tidak." Wajah Alana sudah menunjukan rasa kesal."Itu hanya teman lama saja. Tidak lebih.""Lalu, kenapa kamu terlihat cemas saat aku melihat ponselmu?" Alana semakin curiga, gelagatan sang suami membuatnya berpikiran jelek.Lagi-lagi Evan hanya diam, membuat Alana semakin merasa tak nyaman dengan sikapnya yang seperti sedang menutupi sesuatu."Dia… mantan kekasihku dulu." Evan menunduk, merasa bersalah pada Alana."Kenapa tidak bilang dari awal?""Aku tidak mau kamu salah sangka, Sayang." Evan memeluk Alana, takut jika istrinya itu marah."Dengan kamu banyak berpikir saja sudah membuatku salah paham. Untuk apa dia menelepon?" Mata Alana berkaca-kaca."Aku juga tidak tahu. Sayang, jangan marah, aku hanya mencintaimu saja!" Evan mengecup kening Alana.Ada perasaan ragu di hati Alana. Kepercayaannya pada Evan sedikit berkurang semenjak kejadian kebohongan besar yang dilaku
"Memang apa yang terjadi?" Alana dibuat keheranan dengan pengakuan Evan barusan.Evan terhanyut dalam lamunannya yang kembali melayang ke masa lalu. Waktu di mana ia masih duduk di bangku SMA.Saat itu, hari senin pagi. Di saat semua siswa sedang melaksanakan upacara."Evan, apa kamu tahu rumor tentang Jessica?" tanya salah seorang teman sebangku Evan yang kebetulan sedang berbaris berdekatan."Rumor apa? Aku tidak tahu," sahut Evan yang tengah fokus menatap ke depan.."Pacarmu itu sedang hamil!" bisik teman sebangku Evan.Bagai disambar petir di siang bolong, Evan dibuat terkejut setengah mati. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."I-ini tidak mungkin! Kamu pasti salah dengar!" sanggah Evan."Aku tahu kamu pasti terkejut. Yang jadi masalah sekarang... Jessica bilang kalau dia hamil anakmu." Teman sebangku Evan merasa tak nyaman mengatakannya."Dari mana kamu tahu rumor itu?""Dari temanku yang berjaga di UKS. Jessica sedang berada di sana sambil menangis. Lalu, kabar
Bagaimana dengan akhir kisah yang lainnya?Danu, sungguh sebuah keberuntungan di pesta kecil. Pelayan yang waktu itu ia temui ternyata sudah sejak lama menaruh perasaan padanya. Tak ingin membuang-buang waktu, asisten Evan tersebut langsung melamar sang gadis dan buru-buru menentukan tanggal pernikahan.Cherry dan Alvin, benar-benar sesuatu yang tak terduga. Berawal dari sebuah sandiwara, perempuan yang sama sekali tak pernah mengenal cinta itu pun pada akhirnya memilih untuk melabuhkan hati pada laki-laki yang pantang menyerah untuk memperjuangkannya. Meski Alvin sedikit lebih lemah darinya, pria itu selalu saja berusaha melindungi dalam situasi apa pun. Benar-benar sosok yang sangat Cherry impikan.Sasa dan Deo, mereka terus bertengkar sampai akhirnya muncul perasaan saling suka. 'Bisa karena biasa', mungkin itulah salah satu pepatah yang cocok untuk mereka, mengingat kebencian mereka awalnya begitu mendalam, tetapi bisa-bisanya malah berubah menjadi rasa suka.Brian, beberapa kali b
"Sayang hati-hati! Kamu sedang menggendong Zayn," teriak Alana."Ya, tenang saja," sahut Evan yang sekilas menoleh ke arah Alana.Dengan menggendong Zayn, Evan yang sudah bersemangat pun menghampiri mobil tersebut. Lalu semua yang berada dalam kendaraan itu pun keluar bersamaan.Evan menghampiri sang kakek yang tengah diangkat ajudannya ke kursi roda."Kakek, tumben sekali. Ada perlu apa?" tanya Evan dengan tatapan bahagia bertemu sang kakek."Dasar cucu durhaka! Bukannya menanyakan kabar malah tanya ada perlu apa!" hardik Willy.Evan tertawa melihat kakeknya itu marah. "Ayo masuk dulu."Disaat bersamaan muncul Jeny yang sejak tadi hanya diam di dalam mobil tak berani menunjukan batang hidungnya. Ia tampak malu-malu karena sadar pernah melakukan kesalahan.Evan yang hatinya sedang dalam keadaan baik pun tak memperdulikan masalah yang telah berlalu. Ia malah tersenyum menatap ibunya itu."Ibu, ayo masuk! kebetulan aku akan mengadakan pesta kecil-kecilan," ajak Evan seraya melambai ke ar
Tanpa berpikir dua kali, Evan langsung pulang meski Candra sempat mengundangnya untuk makan siang merayakan keberhasilan rencana mereka."Maaf, mungkin lain kali," ujar Evan yang pikirannya sudah melayang-layang entah ke mana."Tidak masalah, lain kali masih bisa. Pulang dulu saja, istrimu sudah menunggu di rumah," ujar Candra.Evan tersenyum simpul. "Kalau begitu, sampai jumpa di lain waktu."Evan berlari menuju mobil, diikuti oleh Danu dan Deo yang juga tampak gelisah, khawatir terjadi sesuatu di rumah.Danu langsung melajukan mobil dengan kecepatan melebihi biasanya.Selama perjalanan, Evan tak hentinya menelepon Alana. Namun, hasilnya nihil karena tak sekalipun sang istri menjawab panggilan tersebut."Apa yang terjadi?" Evan mengacak-acak rambutnya, saking kesal."Seharusnya tidak terjadi apa-apa, semua musuh sudah berada dalam genggaman kita. Kecuali…" Deo seolah ragu untuk melanjutkan kalimatnya."Apa? Kenapa kamu selalu saja menyebalkan!" hardik Evan."Hey tenanglah, kamu terla
"Apa maksudmu, Deo?" Evan menatap temannya itu dengan tatapan heran."Kamu lihat saja!" titah Deo.Beberapa menit menjelang berakhirnya sesi visi misi, Anwar sempat menunjukan beberapa program hebat yang ia rencanakan akan dikerjakan jika dirinya terpilih menjadi walikota nanti."Beberapa lahan kosong akan saya buat menjadi taman yang sisi lainnya dikhususkan untuk area bermain anak-anak. Ini salah satu contoh desain taman." Anwar menunjuk ke layar besar dengan penuh percaya diri.Namun, yang muncul di layar tersebut bukanlah apa yang Anwar maksudkan, melainkan sebuah video di mana dirinya sedang berjabat tangan dengan si pemilik panti asuhan. Suaranya terdengar jelas ke seluruh penjuru."Bagaimana dengan uang dari donatur panti asuhanmu?" tanya Anwar yang wajahnya terpampang jelas dalam video tersebut."Sudah saya transfer semua ke rekening Bapak, bahkan uang hasil mengemis dan mengamen anak-anak pun sudah saya setor," ujar pemilik panti asuhan yang tampak begitu hormat pada Anwar."B
Danu langsung menoleh ke arah Deo. Ia merasa jika ternyata ada yang berpenampilan lebih parah darinya. Gelak tawa seakan membuat sang bos dan asistennya itu sedikit melupakan ketegangan yang akan mereka hadapi.Deo masih belum sadar jika dirinya sedang menjadi bahan tertawaan. Ia pun langsung masuk dan duduk di samping Evan dengan santainya."Maaf, tadi aku terlalu lama menyiapkan penyamaran ini," ujar Deo, "ayo kita berangkat sekarang!"Danu langsung melajukan mobil murah yang sengaja dipinjam untuk mendukung penyamaran tersebut."Kenapa kamu harus menyamar jadi perempuan?" Evan bertanya sambil terus terbahak-bahak. "Lalu, kenapa dadamu menggembung begitu?""Setidaknya penampilan ini akan membuatku mudah menyelinap ke belakang layar," ujar Deo yang sedang fokus menatap layar ponselnya.Alasan Deo tak membuat Evan berhenti tertawa. Ia terus saja terpingkal setiap kali menatap Danu dan Deo, merasa jika kini mereka terlihat seperti grup lawak."Berhenti tertawa! Kita ini sedang berangka
Laki-laki jahat di depan Evan tertawa puas, merasa kemenangan telah berada di tangannya.Karena kalah jumlah, anak buah Evan tak bisa menghalau lagi orang-orang yang baru saja datang itu. Meski begitu, beberapa di antaranya masih berusaha menghadang meski pada akhirnya berakhir lengah dan pihak Dody berhasil melumpuhkannya."Menyerahlah, Evanders. Kami bukanlah lawanmu!" timpal pria yang berada di hadapan Evan."Menyerah? Aku tidak takut pada penjahat yang memakan uang anak yatim piatu seperti kalian!" balas Evan."Masih besar kepala juga rupanya? Apa kamu tidak sadar dengan kondisimu sendiri? Jangan sok menjadi pahlawan jika diri sendiri saja sedang dalam keadaan terdesak," ujar pria tersebut."Aku, terdesak? Seharusnya kamu sedikit menoleh ke belakang." Evan pada akhirnya bisa tersenyum penuh kemenangan saat tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.Pria jahat di hadapan Evan awalnya ragu, tetapi pada akhirnya memilih untuk menoleh saat ia merasa jika suasana menjadi sedikit hening.
Evan langsung keluar dari mobil saat sudah berada di depan gerbang. Ia buru-buru menghampiri security yang sedang berusaha mengusir seorang ojek online."Ada apa ini?" tanya Evan, berjalan mendekat."Ini, Pak. Orang ini bilang Bu Alana memesan bakso. Tapi saat saya ingin melihat isi pesannya, dia bilang kalau itu privasi," terang security."Sudah kamu tanyakan pada Alana, apa dia memesan bakso?" Evan terus menatap ojek online yang sejak tadi terus menunduk."Sudah, Bu Alana bilang memang pesan bakso. Plat nomornya pun sama dengan yang ada di aplikasi. Saya ingin mengeceknya lagi untuk memastikan saja," ujar security tersebut.Evan masih terus memandangi tukang ojek online tersebut dengan wajah datarnya."Apa Alana memesan Bakso Mas Jo? dia sangat menyukai itu.""Benar, Pak. Seperti yang Anda bilang, ini memang Bakso Mas Jo," ucap tukang ojek tersebut seraya menatap security dengan tatapan penuh kemenangan.Evan tersenyum simpul seraya menatap pria tersebut. "Berapa totalnya?""Dua rat
Evan buru-buru menelepon anak buahnya dengan perasaan cemas dan gelisah."Ada apa, Pak?" tanya anak buah Evan dengan suara yang terdengar santai."Perketat keamanan rumah! Jaga setiap sudut jangan sampai ada yang terlewatkan. Jangan biarkan siapa pun masuk!" seru Evan."Baik, Pak," jawab anak buah Evan yang dari nada suaranya terdengar serius.Evan menutup telepon, lalu berjalan menuju ruang kerjanya yang telah berantakan. Beruntung sebelumnya ia telah mengamankan seluruh barang bukti."Pak, memangnya apa yang tertulis di kertas itu?" Danu mengekor sejak tadi, rasa penasarannya semakin besar saat melihat perubahan wajah Evan yang menjadi tampak semakin emosi.Namun, bukannya menjawab, Evan malah langsung mencari nomor kontak dan menekannya untuk melakukan panggilan."Orang itu masih di tempatmu?""Ya, dia masih bersama saya. Ada apa, Pak?""Cepat pindah dari tempat itu sekarang! Dody sudah mengirim pesan pada orang-orangnya, di sana sudah tidak aman!" Evan semakin gelisah."Tapi, saya
Alana tertawa geli melihat ekspresi Evan yang terlihat muak saat memandangi setiap foto di tangannya."Foto ini terlihat seperti sungguhan. Jika bukan karena kamu menunjukan gambar aslinya, mungkin aku masih akan terus tertipu," terang Alana yang masih tertawa."Orang di foto sangat jelek, wajahku terlihat aneh, tidak simetris pula." "Sudahlah, bakar saja fotonya. Aku lupa membuangnya kemarin."Evan beranjak, bergegas ke teras kamarnya hanya demi untuk membakar foto-foto dirinya bersama banyak perempuan pemberian Jessica untuk Alana saat itu.Dengan perasaan kesal, Evan membakar foto tersebut satu persatu. Sekilas terbesit bayangan kejadian dengan Jessica saat itu. Ia sangat yakin jika semua masalah yang terkait dengannya memiliki satu sumber yang sama, di mana orang tersebut memang berniat membuat rumor buruk demi menjatuhkannya."Akan kubasmi semua hama di Lucio Group." Evan mengepalkan tangannya dengan sangat kuat.Bayangan akan kehidupan yang tenang saat menguasai Lucio Group tern