Panglima Lomaya mengerutkan keningnya, kemudian menjawab, "Mereka tidak mengetahuinya. Aku rasa, mereka hanya mengetahui tentang kedatangan Senapati dan pasukan Randakala saja yang sudah tiba di barak ini." Senapati Rawana menarik napas dalam-dalam. Lalu, ia pun berkata, “Kami telah melakukan kesalahan besar, seharusnya kedatangan kami ini tidak diketahui oleh mereka, jika kami menempuh perjalanan pada esok hari. Kami terlalu tergesa-gesa." Apa yang dikatakan oleh Senapati Rawana seolah melukiskan tentang perasaan sesalnya yang sudah tergesa-gesa dalam melakukan perjalanan menuju barak prajurit Sanggabuana. "Sudahlah, Senapati tidak perlu berbicara seperti itu. Justru karena peristiwa yang dialami oleh Senapati dan semua prajurit Randakala menjadi sebuah informasi penting yang selama ini tidak kami ketahui. Ternyata secara diam-diam pasukan Sirnabaya sudah memasuki wilayah kedaulatan kerajaan Sanggabuana," sahut Senapati Lintang sambil meletakkan tangannya di atas pundak Senapati Raw
Salah seorang perwira senior dari induk pasukan keamanan Hoda Buana tampaknya memang segan sekali. Tetapi kemudian menjawab, “Baiklah, hamba akan menyaksikan pertempuran yang tentu akan terjadi dengan sengitnya. Tetapi jika perlu, untuk mempercepat akhir dari pertempuran itu, hamba pun dapat ikut melibatkan diri bersama para prajurit kita untuk membantu pasukan kerajaan Sanggabuana dan pasukan kerajaan Randakala." "Jika pasukan kerajaan Sanggabuan dan pasukan kerajaan Randakala mengalami kesulitan, kau boleh mengerahkan pasukan kita untuk membantu mereka," kata Senapati Kalabraja menanggapi perkataan perwira seniornya. "Tapi, aku rasa itu tidak mungkin, mereka pasti dapat mengalahkan pasukan kerajaan Sirnabaya dan pasukan kerajaan Kuta Waluya," tandas Senapati Kalabraja menambahkan dengan penuh rasa percaya akan kemampuan pasukan Sanggabuana dan pasukan Randakala. “Hamba ingin melihat mayat-mayat dari pasukan Sirnabaya dan Kuta Waluya memenuhi arena pertempuran di perbatasan ini," de
Kemudian perwira itu menjawab, "Kami sudah mengetahuinya, mereka sudah bergerak untuk membantu pihak kerajaan Sanggabuana, dan aku rasa ini adalah hal berat jika kita harus berhadapan dengan mereka. Sebaiknya kita jangan terlalu mendekati benteng pertahanan para pemberontak!" Panglima Jumbila Lumpa menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Baiklah jika memang seperti itu, aku tidak akan menugaskan kalian terlalu merapat ke perbatasan jika itu berbahaya," tandas Panglima Jumbila Lumpa. Selanjutnya, Panglima Jumbila Lumpa segera memerintahkan para prajurit seniornya agar melakukan persiapan jelang pertempuran melawan pasukan kerajaan Sanggabuana yang disokong penuh oleh pasukan kerajaan Randakala. Karena pada saat itu, mereka sudah bersiap hendak melakukan serangan terhadap pihak pasukan kerajaan Sirnabaya. "Perintahkan kepada seluruh pasukan untuk segera merapat ke perbatasan kerajaan Sanggabuana!" seru Panglima Jumbila Lumpa. "Kita akan menyongsong serangan pasukan kerajaan Sanggabu
Dengan demikian, terjadilah sebuah pertarungan di tengah hutan belantara itu, Hingga pada akhir pertarungan tersebut, terbunuhlah sang pemimpin pasukan kerajaan Sirnabaya yang dikenal sebagai punggawa kerajaan yang gagah perkasa. "Akhirnya kau binasa juga," desis Anggareksa kembali memasukkan pedang yang berlumuran darah ke dalam selongsongnya. "Kesaktian orang ini sangat luar biasa," gumam Anggareksa sambil menatap jasad Panglima Jumbila Lumpa yang sudah binasa dengan tubuh berlumuran darah. Setelah itu, ia menepuk tangan keras sebagai isyarat panggilan kepada kudanya yang selama dalam perjalanan tersebut mengikutinya dari belakang. Kuda itu bernama Selangka pemberian ayahnya, Selangka merupakan seekor kuda yang jinak dan cerdas, mengerti dengan apa yang diperintahkan oleh Anggareksa. Setelah Selangka berada di hadapannya, Anggareksa langsung menaikkan jasad Panglima Jumbila Lumpa ke atas punggung kuda tersebut, dan langsung membawanya ke barak prajurit kerajaan Sanggabuana. Jasad
Dua prajurit itu hanya mengangguk dan kembali memacu derap langkah kuda mereka mengikuti laju kuda yang ditunggangi oleh Senapati Kalabraja. Perjalanan dari pos keamanan pasukan Sirnabaya yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Hoda Buana menuju pos keamanan pasukan Sirnabaya yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Sanggabuana, ternyata memakan waktu hampir seharian penuh. Menjelang senja, Senapati Kalabraja dan pengawalnya baru tiba di perbatasan kerajaan tersebut yang langsung terhubung ke jalur utama wilayah kedaulatan kerajaan Sanggabuana. Ketika sudah mendekati pos keamanan di ujung perbatasan itu, maka kedua pengawal pribadi Senapati Kalabraja barulah mengetahui maksud Senapati Kalabraja yang akan membuat siasat cemerlang untuk mengelabui para prajurit keamanan Sirnabaya yang bertugas di perbatasan itu. "Kita tidak boleh berhenti di pos keamanan para prajurit Sirnabaya, karena mereka tidak mungkin mengizinkan kita melewatinya," desis Senapati Kalabraja mulai
Setibanya di barak pasukan kerajaan Sanggabuana, mereka langsung disambut hangat oleh para petinggi pasukan Sanggabuana yang berada di barak tersebut. "Senang sekali bisa bertemu denganmu, Senapati," ucap Senapati Kalabraja sembari merangkapkan kedua telapak tangannya penuh hormat. Senapati Lintang tersenyum lebar, ia balas menjura dengan sikap yang sama seperti yang dilakukan oleh Senapati Kalabraja terhadapnya. Mereka pun langsung berbincang-bincang sembari menikmati jamuan yang sudah disediakan oleh para pelayan yang bekerja di batam tersebut. Ada banyak hal yang mereka bahas dalam kesempatan itu, terutama terkait permasalahan keamanan dua wilayah kerajaan tersebut. Senapati Kalabraja menghendaki agar pasukannya terus menjalin hubungan baik dengan pasukan kerajaan Sanggabuana. "Aku akan menyampaikan kabar baik ini kepada gusti prabu. Dua hari mendatang aku dan Anggareksa akan kembali ke istana," kata Senapati Lintang di sela perbincangannya dengan Senapati Kalabraja. "Baik, Se
Demikianlah maka Darasoma pun segera menyiapkan pasukan yang akan berangkat bersamanya ke bukit Tandingan. Sebelum pasukan utama berangkat, sudah lebih dulu Darasoma menugaskan belasan prajurit telik sandi. Mereka diberi tugas untuk melihat kondisi terkini di wilayah pemukiman para kelompok jahat itu, sekaligus menyelidiki peta kekuatan pasukan musuh yang selama ini sudah membuat resah para penduduk yang ada di sekitar bukit Tandingan. "Mohon maaf, Panglima. Kapan waktunya kita akan berangkat ke bukit Tandingan?" tanya salah seorang perwira. "Kemungkinan sore nanti, tapi kita tunggu dulu informasi dari para prajurit telik sandi," jawab Darasoma. "Sebaiknya, kau atur saja dulu kawan-kawanmu. Supaya mereka segera mempersiapkan segala keperluan yang kita butuhkan nanti!" sambungnya lirih. "Baik, Panglima." Perwira itu menjura, kemudian pamit kepada Darasoma dan langsung berlalu dari hadapan pemimpinnya itu. Beberapa jam kemudian, dua orang prajurit telik sandi yang mendapatkan tugas
Ki Bargowi mengangguk-angguk. Tetapi meskipun demikian ia berpesan, “Waspadalah dengan kelicikan para prajurit Sanggabuana yang mempunyai seribu macam akal dan kecerdasan. Aku akan melihat pertempuran ini untuk menilai kelebihan dan kekurangan pasukan kita." "Benar, Panglima. Mereka tidak bisa dianggap sebelah mata, kita harus mewaspadai pergerakan mereka!" sahut salah seorang prajurit. Demikianlah, maka Ki Bargowi pun segera memerintahkan pasukannya untuk bergerak menuruni bukit tersebut. Dengan segenap kekuatan yang ada di padepokannya, Ki Bargowi ingin membuktikan bahwa pasukannya bukan sekadar sekelompok pencuri kecil yang bergabung menjadi satu seperti kelompok-kelompok lainnya. Akan tetapi, ia sudah menganggap bahwa kelompoknya telah tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kelompok besar yang setara dengan induk pasukan kerajaan Sanggabuana yang ada di wilayah kepatihan Kuta Tandingan Barat. Ki Bargowi mempunyai tujuan yang lebih besar dari perkembangan kelompoknya itu, meskipun