Demikianlah maka Darasoma pun segera menyiapkan pasukan yang akan berangkat bersamanya ke bukit Tandingan. Sebelum pasukan utama berangkat, sudah lebih dulu Darasoma menugaskan belasan prajurit telik sandi. Mereka diberi tugas untuk melihat kondisi terkini di wilayah pemukiman para kelompok jahat itu, sekaligus menyelidiki peta kekuatan pasukan musuh yang selama ini sudah membuat resah para penduduk yang ada di sekitar bukit Tandingan. "Mohon maaf, Panglima. Kapan waktunya kita akan berangkat ke bukit Tandingan?" tanya salah seorang perwira. "Kemungkinan sore nanti, tapi kita tunggu dulu informasi dari para prajurit telik sandi," jawab Darasoma. "Sebaiknya, kau atur saja dulu kawan-kawanmu. Supaya mereka segera mempersiapkan segala keperluan yang kita butuhkan nanti!" sambungnya lirih. "Baik, Panglima." Perwira itu menjura, kemudian pamit kepada Darasoma dan langsung berlalu dari hadapan pemimpinnya itu. Beberapa jam kemudian, dua orang prajurit telik sandi yang mendapatkan tugas
Ki Bargowi mengangguk-angguk. Tetapi meskipun demikian ia berpesan, “Waspadalah dengan kelicikan para prajurit Sanggabuana yang mempunyai seribu macam akal dan kecerdasan. Aku akan melihat pertempuran ini untuk menilai kelebihan dan kekurangan pasukan kita." "Benar, Panglima. Mereka tidak bisa dianggap sebelah mata, kita harus mewaspadai pergerakan mereka!" sahut salah seorang prajurit. Demikianlah, maka Ki Bargowi pun segera memerintahkan pasukannya untuk bergerak menuruni bukit tersebut. Dengan segenap kekuatan yang ada di padepokannya, Ki Bargowi ingin membuktikan bahwa pasukannya bukan sekadar sekelompok pencuri kecil yang bergabung menjadi satu seperti kelompok-kelompok lainnya. Akan tetapi, ia sudah menganggap bahwa kelompoknya telah tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kelompok besar yang setara dengan induk pasukan kerajaan Sanggabuana yang ada di wilayah kepatihan Kuta Tandingan Barat. Ki Bargowi mempunyai tujuan yang lebih besar dari perkembangan kelompoknya itu, meskipun
Demikian, maka Ki Bargowi pun bersama pasukannya langsung bersiap-siap. Mereka akan menjadi umpan untuk memancing pasukan kerajaan memasuki daerah yang sudah diisi puluhan pasukan panah dari kelompok bukit Tandingan. Dalam pada itu maka Ki Bargowi dan anak buahnya pun sadar, bahwa mereka akan mengalami kesulitan apabila kawan-kawannya terlambat bertindak. Jika yang lain dengan sengaja memperlambat serangannya beberapa saat saja, maka Ki Bargowi dan pasukannya akan benar-benar menjadi sasaran empuk pasukan kerajaan Sanggabuana. Meskipun demikian, Ki Bargowi sudah tidak memiliki pilihan lain, karena di antara anak buahnya tidak ada yang mau memimpin pasukan untuk memancing pergerakan pasukan kerajaan untuk masuk ke dalam hutan itu. Sejenak kemudian, maka pasukan kerajaan Sanggabuana dari desa Tunggala sudah semakin dekat saja. Beberapa pengawas telah melaporkan bahwa iring-iringan para prajurit kerajaan yang mengerikan itu sudah mulai merayap mendekati kubu Ki Bargowi. "Benturan sema
Seperti yang diduga oleh Darasoma, maka pasukannya itu pun memang sudah siap dalam segala hal. Mereka tidak mau melepaskan korban lagi dengan mengumpankan kawan-kawannya menjadi sasaran empuk serangan tersembunyi dari lawan mereka. Oleh sebab itu, pasukan yang berperisai telah lebih dahulu menempatkan diri di barisan terdepan untuk melindungi para prajurit lainnya. Melihat pergerakan pasukan kerajaan Sanggabuana yang sudah hampir keseluruhan masuk ke dalam hutan itu, maka pasukan kelompok bukit Tandingan yang dipimpin oleh Rispata dan Denda Kira menjadi ragu-ragu untuk melakukan serangan tersebut. Tetapi, Rispata dan Denda Kira sudah bertekad untuk melawan para prajurit kerajaan Sanggabuana. Sehingga mereka pun menyeru kepada pasukannya agar tetap maju melakukan serangan terhadap jantung pertahanan pasukan kerajaan Sanggabuana. Mereka beranggapan bahwa keputusan tersebut adalah langkah satu-satunya yang terbaik yang harus mereka tempuh. Sehingga mereka pun langsung mencari akal untu
Dalam pertempuran tersebut, tak semua orang setuju dengan keputusan Ki Bargowi. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Durkifa, ia berkata langsung kepada pemimpinnya itu. "Ki Bargowi benar-benar sudah kehilangan akal sehat, ini merupakan pengerahan pasukan yang hanya akan mengorbankan nyawa orang-orang kita saja," desis Durkifa. Mendengar perkataan kawan sejawatnya itu, lantas Ki Bargowi menyahut dengan nada tinggi, “Kau yang tidak waras, Durkifa! Itu adalah jawaban yang wajar atas perlakukan pasukan kerajaan terhadap kelompok kita!" bentak Ki Bargowi merasa tersinggung dengan ucapan Durkifa. "Ya, aku paham itu. Tapi kita harus mengukur diri sebelum ambil sikap, bukankah kau ini seorang pendekar yang tahu betul bagaimana cara terbaik dalam menghadapi kesulitan?" sahut Durkifa geram karena sudah dibentak oleh Ki Bargowi. "Aku melakukan ini, karena aku paham dan sudah dapat mengukur diri dan kemampuanku. Tidak seorang pun di antara kita yang memiliki ilmu Naga Geni seperti aku, yang
Ki Bargowi menarik napas dalam-dalam, ia tampak bingung harus menggunakan cara apa lagi untuk membendung derasnya alur serangan pasukan kerajaan."Kita sudah terdesak, tapi kita masih memiliki peluang untuk memenangkan pertempuran ini," kata Ki Bargowi menjawab pertanyaan Rungkiwa.Rungkiwa mengerenyitkan keningnya, ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh pemimpinnya itu.'Sudah jelas pasukan kerajaan Sanggabuana memiliki kemampuan yang lebih unggul, tapi mengapa Ki Bargowi begitu yakin jika pasukan ini akan meraih kemenangan?' kata Rungkiwa dalam hati.Sesaat kemudian, Rungkiwa kembali bertanya, "Bagaimana caranya, Ki. Jumlah mereka terlalu banyak, tidak seimbang dengan jumlah pasukan kita?""Kita gempur terus, manfaatkan pasukan yang ada di barisan terdepan!" jawab Ki Bargowi."Baik, Ki."Dengan demikian, Rungkiwa langsung maju dengan mengangkat pedangnya ke barisan terdepan pasukannya."Jangan mundur, serang lagi mereka!" seru Rungkiwa.Anak buahnya yang pada saat itu suda
Apa yang dikatakan oleh Prabu Wihesa benar-benar terjadi, Ki Bargowi akhirnya menarik pasukannya, karena merasa sudah terdesak oleh pasukan kerajaan Sanggabuana.Menjelang malam tiba, mereka berhamburan meninggalkan lembah yang ada di dalam hutan itu. Mereka berlarian menuju ujung hutan Tandingan untuk mencari tempat baru yang akan mereka jadikan markas dan tempat persembunyian.Dengan demikian, Patih Aryadana pun memerintahkan Darasoma agar menarik pasukannya untuk kembali ke desa Tunggala yang mereka jadikan basis pertahanan selama menjalankan misi tersebut.Setibanya di perkemahan yang sudah merenggut dirikan satu hari yang lalu, para prajurit kerajaan Sanggabuana langsung diperintahkan oleh Patih Aryadana untuk beristirahat terlebih dahulu.Sementara itu, dirinya dan Darasoma serta beberapa orang perwira senior langsung mengadakan pertemuan untuk membahas rencana mereka ke depan dalam melakukan pengamanan di wilayah tersebut."Sebaiknya kita jangan meninggalkan desa ini, kita akan
Beberapa hari kemudian ....Mahapatih Randu Aji, Saketi, dan Sami Aji sudah berada di kediaman Kuwu Jurnada yang ada di desa Tunggala. Sebelumnya mereka singgah terlebih dahulu di istana kepatihan Kuta Tandingan Barat, dan rombongan tersebut menginap satu malam di sana. Kemudian, pagi harinya langsung berangkat menuju desa Tunggala.Mereka baru saja tiba beberapa jam lalu bersama para pengawalnya. Tampak juga Senapati Lintang dan Abdullah dalam rombongan tersebut. Sementara Junada tidak diperbolehkan ikut oleh Prabu Erlangga, karena pada saat itu, dirinya sudah diangkat menjadi seorang panglima yang bertanggung jawab atas keamanan istana.Kuwu Jurnada dan para badega serta para pejabat kadipaten dan kademangan setempat, sudah mempersiapkan segalanya dalam menyambut kedatangan rombongan dari istana kerajaan."Mohon maaf, Gusti Mahapatih. Junjungan kami tidak dapat hadir dalam menyambut kedatangan rombongan Gusti Mahapatih," ujar Demang Srikunda yang merupakan pemimpin di wilayah kadema
Prabu Erlangga menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab lirih pertanyaan putra mahkota dari kerajaan musuh itu."Kembalilah ke istanamu! Berbuatlah kebaikan, tunjukkan kepada ayahandamu bahwa apa yang kau lakukan sangat disukai rakyat kerajaanmu! Niscaya, ayahandamu akan menilai sendiri kebaikan yang ada padamu.""Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah hal seperti ini mampu merubah sikap dan pemikiran ayahanadaku?" tanya Jula Karna lirih."Bisa, tapi secara perlahan," jawab sang raja. "Karena semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, kau harus sabar! Niscaya, lambat-laun ayahandamu akan mengikuti jejakmu jika dia tidak ingin kehilangan kedudukannya," sambung sang raja penuh nasihat."Terima kasih, Gusti Prabu. Aku sangat berharap ayahandaku bisa berubah," ucap Jula Karna.Prabu Erlangga dan Mahapatih Randu Aji tersenyum lebar melihat sikap Jula Karna, mereka merasa kagum karena sikapnya sungguh berbeda dengan sikap ayahandanya.Demikianlah, maka Jula Karna pun paham dan sangat meng
"Dia adalah Prabu Serta Madya yang semasa menjadi prajurit kerajaan Sirnabaya lebih dikenal dengan nama Rintang Lingga Husaini," jawab Uluma.Pemuda itu menjelaskan sebagaimana yang ia ketahui dari berbagai sumber, karena semua rakyat di kerajaan tersebut sudah mengetahui bahwa pemimpin kerajaan Hoda Buana adalah seorang prajurit biasa yang menjelma menjadi seorang pahlawan kuat hingga berhasil membebaskan rakyat Hoda Buana dari jerat pemerintahan zalim kerajaan Sirnabaya."Sungguh aku sangat tertarik dengan cerita ini. Jika berkenan, apakah kau sudi menceritakan semua kepada kami?!" kata Jula Karna penuh harap.Dengan senang hati, Uluma pun langsung menceritakan tentang kisah perjalanan hidup Prabu Serta Madya atau Rintang Lingga Husaini. Semua berdasarkan pengetahuan dari ayahnya yang mengetahui keseluruhan perjalanan hidup Rintang Lingga Husaini sebelum menjadi seorang raja di kerajaan Hoda Buana."Terima kasih, Uluma. Kau sudah banyak memberikan keterangan untuk kami, dan kami san
Setelah selesai makan siang dan beristirahat sebentar, sang raja dan para punggawanya kembali melanjutkan perjalanan menuju sebuah desa yang berada di pinggiran kadipaten Kunadapa. Selanjutnya mereka akan meneruskan perjalanan tersebut kembali memasuki hutan agar segera sampai di kuta utama Randakala.Senapati Lintang merasa senang, bahwa dirinya sudah bisa menjadi bagian dari pasukan kerajaan Sanggabuana meskipun bukan tumpah darah nenek moyangnya, karena Randakala adalah tumpah darah dirinya yang sebenarnya."Terima kasih banyak Gusti Prabu, karena hamba sudah diajak dalam misi ini. Hari ini hamba bisa kembali melihat pemandangan indah di tanah kelahiran hamba," ucap Senapati Lintang tampak semringah."Apakah Senapati masih memiliki sanak saudara di kerajaan ini? Jika masih, alangkah baiknya nanti kita mampir saja terlebih dahulu.""Sudah tidak ada, Gusti Prabu. Keluarga hamba sudah tewas semua semenjak peristiwa agresi yang dilakukan oleh pihak kerajaan Tonggon," jawab Senapati Lin
Prabu Erlangga hanya diam menyimak perbincangan para pengawalnya dengan pemuda tersebut. Ia khawatir jika terlalu banyak bicara, Burama tentu akan mengetahui tentang penyamarannya itu, sehingga Prabu Erlangga lebih memilih diam dan menyimak dengan santai penuturan dari pemuda desa tersebut."Apakah raja tidak bertindak tegas terhadap pihak yang bersekutu dengan pemerintah kerajaan Kuta Waluya?" tanya Senapati Lintang."Sang raja hanya diam saja, entah kenapa? Aku pun tidak mengerti apa yang ada dalam pikirkan sang raja. Seakan-akan, dirinya seperti bersembunyi di dalam terang," jawab Burama lirih."Kau jangan berprasangka buruk terhadap pemimpin kerajaan ini. Bisa jadi, itu semua dikarenakan adanya kesimpangsiuran, karena aku yakin bahwa pemimpin kerajaan ini sungguh menyayangi rakyatnya," timpal Senapati Lintang.Burama hanya tersenyum menanggapi perkataan Senapati Lintang. Lalu berkata lagi, "Ketika terjadi pertentangan yang menabur benih perpecahan, aku sebagai rakyat kecil lebih m
Sembilan hari berikutnya ....Prabu Erlangga bersama ratusan prajurit pengawal, sudah berada di wilayah kerajaan Randakala. Hampir satu pekan lamanya, mereka melakukan perjalanan dari kerajaan Sanggabuana menuju wilayah kerajaan tersebut.Perjalanan itu dimulai dari istana menuju kepatihan Kuta Gandok, kepatihan Waluya Jaya, dan terakhir masuk ke wilayah kerajaan Randakala melalui jalur timur kepatihan Waluya Jaya."Kita ini sudah masuk ke wilayah kadipaten Kunadapa," kata sang raja sedikit memperlambat laju kudanya. "Di masa lalu aku pernah berkelana di tempat ini, dan itu berlangsung hampir dua tahun lamanya bersama Paman Landuka," lanjut sang raja berkata kepada Senapati Lintang dan para prajurit lainnya.Tempat yang indah dengan panorama alam yang sungguh menakjubkan, memukau pandangan. Tampak bukit-bukit menjulang tinggi dengan pepohonan lebat menghijau menambah warna bagi keindahan alam di kerajaan tersebut, yang sebagian besar dihuni oleh suku yang sama dengan yang ada di keraj
Di ruang utama istana, Prabu Erlangga sedang berbincang dengan Mahapatih Randu Aji dan juga para penasihat istana. Mereka sedang membahas tentang keamanan batas wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Kuta Waluya.Di wilayah tersebut setiap harinya sering terjadi penyelundupan barang-barang ilegal dari para penduduk kerajaan Kuta Waluya. Mereka masuk tanpa izin melewati jalur-jalur tikus yang ada di dalam hutan di sepanjang perbatasan.Mereka sangat cerdik dan pintar ketika melancarkan aksi mereka, sehingga pihak prajurit keamanan tidak dapat mendeteksi pergerakan mereka."Seharusnya, kita ini sudah membangun tembok raksasa sebagai pembatas wilayah kerajaan, agar para penyusup dari Kuta Waluya tidak mudah memasuki wilayah kerajaan ini!" ujar Prabu Erlangga di sela perbincangannya dengan para petinggi istana."Benar, Gusti Prabu. Saat ini memang sudah waktunya kita untuk membangun tembok raksasa di sepanjang perbatasan wilayah kerajaan Kuta Waluya," sahut Anggadita men
Singkat cerita ....Senapati Lintang dan rombongannya sudah berhasil menangkap Sukara yang selama ini menjadi buruan pihak kerajaan Sanggabuana. Namun, ketika dalam perjalanan menuju pulang ke Sanggabuana. Sukara nekat melarikan diri, pada akhirnya dua prajurit pengawal dengan terpaksa melemparkan tombak ke tubuh Sukara, hingga penjahat itu pun tewas dan tubuhnya jatuh ke jurang."Tidak apa-apa dia tewas juga, yang terpenting keris ini sudah berhasil kita ambil," kata Saketi lirih sambil menggenggam sebilah keris pusaka milik Kyai Bagaswara.Keris tersebut akan dibawa ke istana, dan akan disimpan di museum kerajaan. Semua berdasarkan restu Kyai Bagaswara yang sudah menghibahkan keris pusaka miliknya kepada pihak kerajaan Sanggabuana."Dia nekat melarikan diri, karena takut jika tiba di istana akan dijatuhi hukuman mati oleh sang raja," kata Senapati Lintang."Benar, Paman. Sehingga Sukara nekat mengambil keputusan seperti itu," sahut Saketi.Beberapa hari kemudian ....Abdullah dan be
Senapati Lintang dan semua yang ada di tempat tersebut, mengerutkan kening. Mereka merasa heran dengan sikap pemerintah kerajaan tersebut. Mengapa tidak menghukum Sukara yang sudah jelas telah melakukan tindakan melawan hukum."Ada apa dengan Sukara? Kenapa pihak pemerintah kerajaan tidak menjatuhi hukuman untuknya, Ki?" tanya Saketi mengerutkan keningnya menatap wajah pria senja itu."Entahlah, kami pun tidak mengetahui alasan tersebut. Namun, yang paling membuat kami kecewa adalah, Raja justru menjadikan Sukara sebagai seorang punggawa. Meski pada akhirnya, di dipecat karena sudah melakukan kesalahan besar."Apa yang dikatakan oleh Ki Rustapa tentang Sukara memang senada dengan apa yang pernah dikatakan oleh Jundaka beberapa hari lalu kepada Saketi dan yang lainnya.Tidak terasa, perbincangan mereka tiba di waktu tengah malam. Dengan demikian, Ki Rustapa langsung mempersilakan para tamunya itu untuk segera beristirahat.***Di tempat terpisah tepatnya di sebelah timur dari kediaman
Apa yang ada dalam benak sang senapati, ternyata senada dengan apa yang dipikirkan oleh Saketi dan Sami Aji. Mereka khawatir jika Salima dan Ki Rustapa tahu tentang jati diri mereka yang sesungguhnya. Sudah barang tentu, keduanya akan kecewa dan bahkan akan melaporkan semuanya kepada pihak prajurit kerajaan Kuta Waluya.Meskipun seperti itu, Senapati Lintang pun akhirnya tetap mengizinkan Salima untuk ikut bersama rombongannya. Senapati Lintang sudah memiliki rencana, dirinya akan mengatakan hal yang sebenarnya kepada pemuda itu ketika mereka sudah tiba di kademangan Duri Jaya.Dengan raut wajah berbinar-binar, Salima kemudian berkata kepada Senapati Lintang sembari merangkapkan kedua telapak tangannya."Bagaimana, Paman. Apakah Paman mengizinkan aku untuk ikut bersama rombongan ini?" tanya Salima penuh hormat.Dari raut wajahnya terpancar asa yang begitu besarnya. Dia sangat berharap agar Senapati Lintang menyetujui keinginannya itu.Setelah mempertimbangkan semuanya, maka Senapati L