Dengan demikian, terjadilah sebuah pertarungan di tengah hutan belantara itu, Hingga pada akhir pertarungan tersebut, terbunuhlah sang pemimpin pasukan kerajaan Sirnabaya yang dikenal sebagai punggawa kerajaan yang gagah perkasa. "Akhirnya kau binasa juga," desis Anggareksa kembali memasukkan pedang yang berlumuran darah ke dalam selongsongnya. "Kesaktian orang ini sangat luar biasa," gumam Anggareksa sambil menatap jasad Panglima Jumbila Lumpa yang sudah binasa dengan tubuh berlumuran darah. Setelah itu, ia menepuk tangan keras sebagai isyarat panggilan kepada kudanya yang selama dalam perjalanan tersebut mengikutinya dari belakang. Kuda itu bernama Selangka pemberian ayahnya, Selangka merupakan seekor kuda yang jinak dan cerdas, mengerti dengan apa yang diperintahkan oleh Anggareksa. Setelah Selangka berada di hadapannya, Anggareksa langsung menaikkan jasad Panglima Jumbila Lumpa ke atas punggung kuda tersebut, dan langsung membawanya ke barak prajurit kerajaan Sanggabuana. Jasad
Dua prajurit itu hanya mengangguk dan kembali memacu derap langkah kuda mereka mengikuti laju kuda yang ditunggangi oleh Senapati Kalabraja. Perjalanan dari pos keamanan pasukan Sirnabaya yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Hoda Buana menuju pos keamanan pasukan Sirnabaya yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Sanggabuana, ternyata memakan waktu hampir seharian penuh. Menjelang senja, Senapati Kalabraja dan pengawalnya baru tiba di perbatasan kerajaan tersebut yang langsung terhubung ke jalur utama wilayah kedaulatan kerajaan Sanggabuana. Ketika sudah mendekati pos keamanan di ujung perbatasan itu, maka kedua pengawal pribadi Senapati Kalabraja barulah mengetahui maksud Senapati Kalabraja yang akan membuat siasat cemerlang untuk mengelabui para prajurit keamanan Sirnabaya yang bertugas di perbatasan itu. "Kita tidak boleh berhenti di pos keamanan para prajurit Sirnabaya, karena mereka tidak mungkin mengizinkan kita melewatinya," desis Senapati Kalabraja mulai
Setibanya di barak pasukan kerajaan Sanggabuana, mereka langsung disambut hangat oleh para petinggi pasukan Sanggabuana yang berada di barak tersebut. "Senang sekali bisa bertemu denganmu, Senapati," ucap Senapati Kalabraja sembari merangkapkan kedua telapak tangannya penuh hormat. Senapati Lintang tersenyum lebar, ia balas menjura dengan sikap yang sama seperti yang dilakukan oleh Senapati Kalabraja terhadapnya. Mereka pun langsung berbincang-bincang sembari menikmati jamuan yang sudah disediakan oleh para pelayan yang bekerja di batam tersebut. Ada banyak hal yang mereka bahas dalam kesempatan itu, terutama terkait permasalahan keamanan dua wilayah kerajaan tersebut. Senapati Kalabraja menghendaki agar pasukannya terus menjalin hubungan baik dengan pasukan kerajaan Sanggabuana. "Aku akan menyampaikan kabar baik ini kepada gusti prabu. Dua hari mendatang aku dan Anggareksa akan kembali ke istana," kata Senapati Lintang di sela perbincangannya dengan Senapati Kalabraja. "Baik, Se
Demikianlah maka Darasoma pun segera menyiapkan pasukan yang akan berangkat bersamanya ke bukit Tandingan. Sebelum pasukan utama berangkat, sudah lebih dulu Darasoma menugaskan belasan prajurit telik sandi. Mereka diberi tugas untuk melihat kondisi terkini di wilayah pemukiman para kelompok jahat itu, sekaligus menyelidiki peta kekuatan pasukan musuh yang selama ini sudah membuat resah para penduduk yang ada di sekitar bukit Tandingan. "Mohon maaf, Panglima. Kapan waktunya kita akan berangkat ke bukit Tandingan?" tanya salah seorang perwira. "Kemungkinan sore nanti, tapi kita tunggu dulu informasi dari para prajurit telik sandi," jawab Darasoma. "Sebaiknya, kau atur saja dulu kawan-kawanmu. Supaya mereka segera mempersiapkan segala keperluan yang kita butuhkan nanti!" sambungnya lirih. "Baik, Panglima." Perwira itu menjura, kemudian pamit kepada Darasoma dan langsung berlalu dari hadapan pemimpinnya itu. Beberapa jam kemudian, dua orang prajurit telik sandi yang mendapatkan tugas
Ki Bargowi mengangguk-angguk. Tetapi meskipun demikian ia berpesan, “Waspadalah dengan kelicikan para prajurit Sanggabuana yang mempunyai seribu macam akal dan kecerdasan. Aku akan melihat pertempuran ini untuk menilai kelebihan dan kekurangan pasukan kita." "Benar, Panglima. Mereka tidak bisa dianggap sebelah mata, kita harus mewaspadai pergerakan mereka!" sahut salah seorang prajurit. Demikianlah, maka Ki Bargowi pun segera memerintahkan pasukannya untuk bergerak menuruni bukit tersebut. Dengan segenap kekuatan yang ada di padepokannya, Ki Bargowi ingin membuktikan bahwa pasukannya bukan sekadar sekelompok pencuri kecil yang bergabung menjadi satu seperti kelompok-kelompok lainnya. Akan tetapi, ia sudah menganggap bahwa kelompoknya telah tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kelompok besar yang setara dengan induk pasukan kerajaan Sanggabuana yang ada di wilayah kepatihan Kuta Tandingan Barat. Ki Bargowi mempunyai tujuan yang lebih besar dari perkembangan kelompoknya itu, meskipun
Demikian, maka Ki Bargowi pun bersama pasukannya langsung bersiap-siap. Mereka akan menjadi umpan untuk memancing pasukan kerajaan memasuki daerah yang sudah diisi puluhan pasukan panah dari kelompok bukit Tandingan. Dalam pada itu maka Ki Bargowi dan anak buahnya pun sadar, bahwa mereka akan mengalami kesulitan apabila kawan-kawannya terlambat bertindak. Jika yang lain dengan sengaja memperlambat serangannya beberapa saat saja, maka Ki Bargowi dan pasukannya akan benar-benar menjadi sasaran empuk pasukan kerajaan Sanggabuana. Meskipun demikian, Ki Bargowi sudah tidak memiliki pilihan lain, karena di antara anak buahnya tidak ada yang mau memimpin pasukan untuk memancing pergerakan pasukan kerajaan untuk masuk ke dalam hutan itu. Sejenak kemudian, maka pasukan kerajaan Sanggabuana dari desa Tunggala sudah semakin dekat saja. Beberapa pengawas telah melaporkan bahwa iring-iringan para prajurit kerajaan yang mengerikan itu sudah mulai merayap mendekati kubu Ki Bargowi. "Benturan sema
Seperti yang diduga oleh Darasoma, maka pasukannya itu pun memang sudah siap dalam segala hal. Mereka tidak mau melepaskan korban lagi dengan mengumpankan kawan-kawannya menjadi sasaran empuk serangan tersembunyi dari lawan mereka. Oleh sebab itu, pasukan yang berperisai telah lebih dahulu menempatkan diri di barisan terdepan untuk melindungi para prajurit lainnya. Melihat pergerakan pasukan kerajaan Sanggabuana yang sudah hampir keseluruhan masuk ke dalam hutan itu, maka pasukan kelompok bukit Tandingan yang dipimpin oleh Rispata dan Denda Kira menjadi ragu-ragu untuk melakukan serangan tersebut. Tetapi, Rispata dan Denda Kira sudah bertekad untuk melawan para prajurit kerajaan Sanggabuana. Sehingga mereka pun menyeru kepada pasukannya agar tetap maju melakukan serangan terhadap jantung pertahanan pasukan kerajaan Sanggabuana. Mereka beranggapan bahwa keputusan tersebut adalah langkah satu-satunya yang terbaik yang harus mereka tempuh. Sehingga mereka pun langsung mencari akal untu
Dalam pertempuran tersebut, tak semua orang setuju dengan keputusan Ki Bargowi. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Durkifa, ia berkata langsung kepada pemimpinnya itu. "Ki Bargowi benar-benar sudah kehilangan akal sehat, ini merupakan pengerahan pasukan yang hanya akan mengorbankan nyawa orang-orang kita saja," desis Durkifa. Mendengar perkataan kawan sejawatnya itu, lantas Ki Bargowi menyahut dengan nada tinggi, “Kau yang tidak waras, Durkifa! Itu adalah jawaban yang wajar atas perlakukan pasukan kerajaan terhadap kelompok kita!" bentak Ki Bargowi merasa tersinggung dengan ucapan Durkifa. "Ya, aku paham itu. Tapi kita harus mengukur diri sebelum ambil sikap, bukankah kau ini seorang pendekar yang tahu betul bagaimana cara terbaik dalam menghadapi kesulitan?" sahut Durkifa geram karena sudah dibentak oleh Ki Bargowi. "Aku melakukan ini, karena aku paham dan sudah dapat mengukur diri dan kemampuanku. Tidak seorang pun di antara kita yang memiliki ilmu Naga Geni seperti aku, yang