"Kau ... Kau hampir saja kehilangan kehormatan sebagai seorang gadis yang masih suci, Sekar. Pria itu hendak mengambilnya darimu secara paksa," omel Umang Sari geram. Kening gadis bisu yang polos itu semakin mengernyit dalam. Dia masih belum mengerti dengan penjelasan gadis berselendang kuning itu.
Umang Sari bingung bagaimana menjelaskannya pada gadis itu. Dia memandang Palasari, meminta temannya itu untuk ikut membantu menjelaskan.Akhirnya Palasari angkat bicara." Kesucian seorang gadis sangatlah penting, Sekar. Jika kau kehilangan itu, pemuda yang kelak kau cintai dan mencintaimu tidak akan lagi percaya padamu. Dia akan menganggap dirimu sebagai gadis tidak baik."Sekar Pandan termenung. Sebuah wajah tampan dengan sorot mata redup terbayang di matanya. Wajah itu milik Mahisa Dahana. Ah, mungkinkah pemuda itu menyukainya? Tapi saat bersama Umang Sari, pemuda itu begitu bahagia. Tidak mungkin jika dia menyukainya. Hati Sekar Pandan kecewa setiap meliha"Kau kenapa? Lepaskan tanganku!" Umang Sari menepis tangan Sekar Pandan dengan kasar. Namun, Sekar Pandan kembali menangkap lengan Umang Sari dan menggoyangkan kembali dengan wajah memohon."Kau memintaku mencari pedang itu?" tanya Umang Sari berusaha mengartikan gerakan Sekar Pandan. Gadis berambut panjang bergelombang sepinggang itu mengangguk. "Kemana aku harus mencarinya? Siapa yang mencuri pedangmu saja aku tidak tahu," pungkasnya.Mendengar penolakan Umang Sari secara halus Sekar Pandan beringsut ke depan gadis penari itu. Menjatuhkan diri berlutut di depannya. Dengan cekatan, kaki Umang Sari ditarik ke belakang. "Hei, kau jangan bersikap seperti itu, Sekar." Mata Umang Sari melotot.Sekar Pandan tidak perduli. Baginya bisa mendapat bantuan Umang Sari untuk membantu menemukan kembali pedangnya adalah yang terpenting. "Aku tidak mau berurusan dengan pedang berbahaya itu. Dia sangat mengerikan. Maaf, Sekar Pandan. Aku tida
Sekar Pandan segera duduk bersila untuk mengerahkan tenaga dalamnya guna mengobati dirinya. Sebagai anak angkat datuk ahli racun, gadis yatim piatu itu bisa mengetahui jika saat ini tengah keracunan. Saat tenaga dalamnya hendak melawan racun dalam tubuh, justru racun itu seperti mendapat jalan leluasa dan menyatu dengan tenaga dalamnya. Racun itu makin liar dalam tubuhnya, menyerang isi dadanya dengan dahsyat.Darah merah pun menyembur dari mulut si gadis. Dia belum mengenal jenis racun yang telah masuk ke dalam tubuhnya ini. Perlahan tubuhnya ambruk di rerumputan. Dari sudut matanya, setetes air mata bergulir. "Ayah angkat ... tolong aku," bisiknya tanpa suara.Dia yakin, Umang Sari dan Palasari lah dalang dibalik semua ini. Mereka tidak hanya telah mencuri Pedang Sulur Naga, tetapi juga telah memasukkan racun yang tidak berasa dan berbau di dalam makanan atau minumannya. Sejenis racun warangan, demikianlah dia menduga."Tega sekali kalian pada
"Ibu memiliki keahlian racun. Tolong dia, Bu. Aku ... Aku tidak ingin gadis kecil ini mengalami nasib sepertinya." Lelaki itu tampak gelisah dan khawatir.Wanita itu mengerti perasaan anak semata wayangnya. Luka di hati anaknya ini belum sembuh akibat kematian kekasihnya lima tahun yang lalu. Gadis itu tewas akibat racun. Yang membuat hati Asta Renggo selalu diselimuti dendam adalah pelaku tewasnya sang kekasih belum ditemukan."Renggo. Kejadian itu sudah berlalu lima tahun. Tidakkah kau ingin menyembuhkan luka hatimu? Kau berhak bahagia. Wulan Kinasih telah pergi selamanya." Hampir tiap hari wanita tua itu menasihati anaknya dengan kata-kata serupa. Namun, hati anaknya itu terlalu setia kepada kekasihnya hingga menciptakan sebuah dendam di hatinya."Cah Bagus, kau keluarlah dulu. Aku ingin mengobatinya dengan cara membuka sebagian pakaiannya." Nenek Bunga Seruni berkata lagi. Lelaki itu beranjak keluar.Di luar pondok, tampak Sekar Wangi tengah t
Pria yang selalu setia dengan perguruan Tangan Seribu itu pun memandangnya. Siapa pun tahu, akhir-akhir ini Mahisa Dahana dan Umang Sari terlihat dekat. Ki Sempana pun seperti setuju jika anak gadisnya menjadi pendamping putra bungsu ketua perguruan Tangan Seribu yang lama."Aku dan Sekar Pandan hanya berteman," ujar Mahisa Dahana ingin menjaga perasaan Ki Sempana. Lelaki itu berjalan menuju bagian dapur umum. Sejak kemarin perutnya belum terisi apa pun. Saatnya minta jatah makanan yang mengenyangkan."Aku tahu suara hatimu seperti apa, Adikku." Paksi Jingga berbisik di depan adiknya. Mahisa Dahana menentang pandangan mata saudaranya itu. Kicauan burung-burung di sekitar gua menjadi penengah gejolak perasaan mereka. "Apa menurut kakang Paksi Jingga, aku tidak tahu isi hatimu ini?" Telunjuk Mahisa Dahana menekan dada berbulu Paksi Jingga. Raut wajah yang terdapat tanda luka itu pias. Tangannya menyingkirkan telunjuk adiknya dari dadanya. "Kau tah
"Kau tidak mengalami kendala?" tanyanya pada lelaki yang baru datang. Tangan orang itu melepaskan tali pedang pada punggungnya. Bibir tipis sedikit kemerahan itu tertarik cepat ke samping. Sinar matanya jelas menunjukkan kepuasan atas kerja orang kepercayaannya itu."Elang Gunung, kerjamu bagus sekali. Berikan Pedang Sulur Naga itu padaku." Dengan suara menahan rasa senang, pemuda itu mengulurkan tangannya. Elang Gunung memberikan pedang itu pada Paksi Jingga.Dengan masih tidak percaya, Paksi Jingga menimang-nimang pedang itu. Saat itu juga terlintas bayangan di benaknya, bagaimana dia menghabisi musuh-musuhnya. Terutama musuh besar keluarganya."Tuan, seperti perintahmu aku telah mengambil pedang ini dari Sekar Pandan, tapi maaf, Tuan. Aku juga telah ...." Elang Gunung menghentikan kalimatnya. Kedua matanya bergerak gelisah. Melihat gelagat aneh dari anak buahnya, Paksi Jingga menegurnya."Kau tidak mencelakai gadis itu, kan?" Kedua mata lelaki
"Kau ini, pernikahan saja belum dilangsungkan, kau sudah menyuruh buat anak," celetuk Manggala pada murid perguruan Tangan Seribu yang duduk bersila di sampingnya. Pria berewok itu mengerling nakal kepadanya."Kan kau bisa main belakang," bisiknya.Manggala menggertakkan giginya menahan geram. Berani sekali dia berpikiran buruk pada putri ketua perguruan Tangan Seribu. Setelah dipikir-pikir, bagus juga usul kawannya itu. Mayang merupakan bunga indah di perguruan Tangan Seribu. Semua lelaki di tempat ini mengaguminya. Toh, gadis itu akan tetap menjadi istrinya jika dia mengikuti saran kawannya itu."Kau dengar harapan semua anggota kita itu, Senayudha? Kelak kau dan keturunanmu yang akan menggantikan ketua perguruan Tangan Seribu. Jadi kau harus memiliki keturunan," ucap Dewa Jari Maut pada anaknya yang duduk di sampingnya. Wajah pemuda berpedang perak itu pias. Dia memang menyukai perempuan cantik, tetapi dia tidak sudi menikahi mereka. Baginya bunga-bung
"Nini, mereka belum keluar semua. Lebih baik kita tunggu di sini," usul Sari mengajak Mayang bersembunyi di balik pagar batu bata merah.Kepala gadis cantik itu menyembul dari persembunyian. Dari dalam bangunan yang dipakai untuk pertemuan, masih terdengar gelak tawa orang-orang kepercayaan ayahnya. Mereka tampak gembira. Entah apa yang mereka bicarakan."Sepertinya mereka akan lama di dalam sana. Kita kembali ke rumah." Mayang memutar tubuhnya dan berjalan pulang. Sari menyusulnya."Katanya Nini Mayang ingin bertemu ketua?Kita bisa menunggu mereka, Nini." Gadis pelayan itu mengusulkan. Jika mereka berdua masuk ke dalam bangunan pertemuan, dia bisa bertemu dengan lelaki pujaannya. Dia yakin orang yang telah membuatnya tidak bisa tidur itu juga di sana.Sayang sekali, putri ketuanya justru membatalkan pergi menemui Dewa Jari Maut. Keinginannya untuk bertemu lelaki pujaan pun gagal. Gadis berwajah bundar itu menggigit jarinya dengan kecewa.
"Nenek bukan orang jahat, Cah ayu. Anak nenek menemukan dirimu tengah tergelatak di jalanan. Entah siapa yang telah jahat padamu." Nenek Bunga Seruni menjelaskan kecurigaan Sekar Pandan terhadap dirinya.Sekar Pandan mencerna kata-kata wanita tua di depannya dengan hati ragu. Hampir semua orang yang dia temui mempunyai hati busuk. Mereka semua menginginkan Pedang Sulur Naga. Pedang warisan ayahnya itu telah menarik hati orang-orang jahat untuk mencelakainya.Awalnya dia mencurigai Umang Sari sebagai pencuri pedangnya kemudian beralih ke Palasari. Hanya mereka berdua lah yang sangat menginginkan Pedang Sulur Naga. Tidak mungkin pemilik rumah yang mencurinya. Sepasang suami istri itu belum pernah bertemu dan melihat Pedang Sulur Naga miliknya. Apalagi mereka hanya warga desa biasa, bukan sepasang pendekar yang membutuhkan benda pusaka.Sekar Pandan kembali meringis kesakitan. Sekujur tubuhnya bagai dibelah-belah saking sakitnya. Dia ingin berteriak menyeruka