Gadis itu terus membatin. Pucuk-pucuk ilalang yang tersiram cahaya keemasan sang rembulan bergoyang lembut dihembus udara malam kemudian memainkan anak rambut Sekar Pandan.
Setelah semua obat boreh menutupi lukanya, Sekar Pandan duduk di atas batu menatap bayangan rembulan yang terpantul pada air sungai di bawah kakinya. Selendang sutra jingga menjulur ke kanan dan kiri tubuhnya.Satu helai selendang tertarik ke atas digunakan untuk menutupi kakinya. Kedua tangannya menyangga wajah yang menengadah ke bomantara --langit. Bibir meranum itu tersenyum sembari bergerak ingin mengucapkan sebuah kalimat. Namun, satu patah kata pun tidak keluar."Aku senang ibu ada di sampingku saat ini. Menemaniku sendirian di tepi sungai kecil. Ibu tahu, akhir-akhir ini semua orang yang kutemui membuatku kecewa dan marah. Senopati Prana Kusuma diam-diam meninggalkan aku sendirian. Dia pulang ke Majapahit tanpa pamit padaku. Padahal hanya dia kawanku di sini, Bu. Pria itu memangMalam itu. Terjadilah perkelahian tak seimbang antara mereka. Tenaga Elakshi yang kuat tidak bisa dilawan oleh Dewi Bunga Malam yang baru terbangun dari tidur. Apalagi dia harus mempertahankan Pedang Sulur Naga dari tangan Bimala yang ingin merampasnya. Keadaan Sekar Pandan sangat memprihatinkan. Di tengah hutan yang luas dan malam hari, tidak memungkinkan adanya pertolongan. Perlahan tenaga gadis berkemban dan berkain hijau itu melemah. Kedua tangannya terkulai di samping badan. Bersama dengan itu, Bimala berhasil merebut pedang dari tangan Sekar Pandan. Terkulainya tangan Sekar Pandan yang memegang warangka dan tarikan kuat dari Bimala terhadap Pedang Sulur Naga, mengakibatkan pedang itu terhunus dari warangkanya.Sinar putih kehijauan seketika menerangi tempat itu. Bimala yang kaget karena Pedang Sulur Naga tercabut dari warangka tampak ketakutan. Ketakutan perempuan itu beralasan, sebab setelah itu, pedang yang ada di genggaman tangannya bergetar hebat. Membu
Tidak terasa, perutnya berbunyi. Dia ingat, sejak kemarin satu butir nasi pun belum mampir ke perutnya. Diremasnya perut ramping itu dengan wajah meringis. Naluri laparnya memaksa kedua netra berhias bulu lentik itu berburu ikan dalam sungai. Beberapa ikan gabus yang besar tampak diam di dasar sungai.Warna tubuhnya memang samar saat diam di dasar sungai, tetapi sepasang mata pemburu Sekar Pandan berhasil membidiknya. Gadis berambut panjang bergelombang sepinggul itu beringsut mengambil beberapa batu kecil.Dia mengendap-endap mendekati tempat ikan gabus. Setelah dekat mulailah dia membidikkan batu-batu itu pada ikan gabus yang tetap diam. Kecepatan dan ketepatan dalam membidik ikan dalam air adalah salah satu kemampuan hebat Sekar Pandan. Bagaimana tidak? Sejak kecil kedua ayah angkat sekaligus gurunya itu selalu mengajarinya berburu ikan di laut. Ya, mereka hidup di sebuah tempat indah yang bernama perguruan Pulau Pandan. Lambat laun, kemampuannya dalam berburu
Dengan cekatan, selendang itu disampirkan untuk menutupi tubuh atasnya. Si muka codet menyeringai ke arah Sekar Pandan yang kini telah berdiri gagah di tepi sungai. Gadis itu mendengkus marah."Cantik sekali, siapa namamu, Dewi?" Sekar Pandan diam. Kedua matanya tajam memperhatikan gerak gerik tiga laki-laki itu."Mengapa kau diam, Gadis cantik?" Laki-laki bermuka codet itu menyeringai buas. Sekar Pandan diam dan tetap dengan kewaspadaan penuh. Urat-uratnya menegang. Baru saja dia ingin menikmati kebebasannya dari kejaran dua wanita itu, kini telah muncul lagi pengganggu."Kau terlalu basa basi, Kakang. Cepat tangkap dia," usul laki-laki berkepala botak tidak sabar. Yang segera diiyakan temannya yang berbadan gempal dan pendek.Si muka codet mendengkus. "Dasar mata keranjang." Laki-laki itu mendekati Sekar Pandan dengan mengerling genit. Gadis itu menatapnya dengan kening berkerut. Perutnya terasa mual. Gadis polos itu menaksir bahwa ti
"Songko," desis si Muka Codet dan si Botak berbarengan. Mereka tidak percaya dengan kenyataan di depannya. Tubuh Songko perlahan diam tak bergerak. Dia tewas setelah merogoh isi tas kecil anyaman pandan berisi bubuk hijau beracun."Songko telah mati, Kakang." Si Botak mendesis tak percaya. Matanya menatap tak berkedip pada tubuh temannya itu. Saat dia hendak melompat memeriksa tubuh Songko, si Muka Codet mencekal lengannya."Mengapa kau mencegahku, Kang?" tanya si Botak kebingungan. Kedua matanya telah berlinang. Wajah garangnya hilang sudah. "Kau tidak melihat Songko tewas terkena racun ganas?" Alih-alih menjawab, si Muka Codet justru melempar pertanyaan. Wajah si Botak mengernyit.Si Muka Codet berbalik menatap Sekar Pandan dengan wajah membesi penuh dendam kesumat. Telunjuknya menuding pada gadis yang masih berdiri di tepi sungai. Kedua tangannya tetap memasang kuda-kuda."Apa yang kau sembunyikan di dalam tas anyaman pandan itu, Boca
Dua gadis itu mengambil daun talas yang tumbuh di tepian sungai. Rasa haus akibat perjalanan jauh mengharuskan mereka berhenti tepat dekat sungai. Jernihnya air sungai menggoda keduanya untuk mencicipi segarnya air yang mengalir deras itu. Daun talas di tangan mereka mulai terisi air. Warnanya bening menyegarkan. Mereka minum air itu hingga tandas. Sejuknya air yang mereka minum mulai memasuki kerongkongan dan perut. Perlahan tubuh dua gadis cantik berpakaian penari itu terasa segar."Perjalanan ke Gunung Tengger masih jauh. Sebenarnya aku malas bertemu gadis bisu itu lagi," desah Palasari sembari mengelap keringat dengan ujung selendangnya. Gadis itu memang tidak suka dengan Sekar Pandan."Ini demi perkumpulan Sapu Tangan Merah dan cita-cita luhur perguruan Tangan Seribu, Palasari." Umang Sari berkata bijak berharap Palasari tidak putus asa.Palasari memberengut kesal. Pengusiran Sekar Pandan merupakan saat yang paling ditunggu gadis itu. Terutama Umang S
Dua gadis itu mengambil daun talas yang tumbuh di tepian sungai. Rasa haus akibat perjalanan jauh mengharuskan mereka berhenti tepat dekat sungai. Jernihnya air sungai menggoda keduanya untuk mencicipi segarnya air yang mengalir deras itu. Daun talas di tangan mereka mulai terisi air. Warnanya bening menyegarkan. Mereka minum air itu hingga tandas. Sejuknya air yang mereka minum mulai memasuki kerongkongan dan perut. Perlahan tubuh dua gadis cantik berpakaian penari itu terasa segar."Perjalanan ke Gunung Tengger masih jauh. Sebenarnya aku malas bertemu gadis bisu itu lagi," desah Palasari sembari mengelap keringat dengan ujung selendangnya. Gadis itu memang tidak suka dengan Sekar Pandan."Ini demi perkumpulan Sapu Tangan Merah dan cita-cita luhur perguruan Tangan Seribu, Palasari." Umang Sari berkata bijak berharap Palasari tidak putus asa.Palasari memberengut kesal. Pengusiran Sekar Pandan merupakan saat yang paling ditunggu gadis itu. Terutama Umang S
"Kakang Diro sendirian?" tanya Umang Sari dengan tersenyum manis."Tidak. Sebelumnya kakang tinggal bertiga." Sabandiro menjawab dengan tersenyum pula. Dia ingin membalas senyuman Umang Sari yang semanis madu. Mereka berjalan menuju anak tangga."Ke mana teman, Kakang?" Umang Sari kembali menyerangnya dengan pertanyaan. Dia yakin Sekar Pandan ada di dalam pondok itu. Meskipun demikian, dia tidak boleh ceroboh. Teman orang itu belum keluar. Sabandiro berhenti. Dia mengawasi dua gadis penari itu dengan kening berkerut."Dia tewas," jawab lelaki botak itu sedih."Aih, mengenaskan sekali!" seru Palasari pura-pura kaget."Kalian mencari gadis itu?" Tiba-tiba lelaki anggota Penjagal Hutan itu melontarkan pertanyaan yang mengejutkan Umang Sari dan Palasari.Simpul-simpul syaraf kedua gadis cantik itu menegang. Kedua tangan mereka mengepal. Bersiap menghadapi serangan dari lelaki botak di depannya."Kenapa diam? Jawab pertanyaan
Umang Sari mundur selangkah melihat keindahan pamor pedang yang menjadi incaran perkumpulan Sapu Tangan Merah. Hatinya begitu kagum. Namun, rasa kagum berubah menjadi tegang saat tangan Sutolarang bergetar hebat.Sekar Pandan berdiri menghampiri Suto. "Lepaskan pedang itu!" Tangannya memberi isyarat pada si Muka Codet agar melepaskan pedang Sulur Naga. Pemimpin Penjagal Hutan yang mulai dalam pengaruh kekuatan pedang milik Sekar Pandan tidak memperhatikan saran pemiliknya. Tubuhnya semakin bergetar.Pedang itu terus mengeluarkan kekuatannya membelit seluruh tubuh Sutolarang seperti seekor ular naga. Pria kasar itu merasakan belitan naga begitu kuat. Kekuatan itu menjalar dan menusuk semua sendi dalam tubuhnya bagai sulur-sulur tumbuhan yang mencari sumber makanan berupa cahaya . Sutolarang berteriak keras. Urat-urat tubuhnya menegang lalu ambruk di lantai. Kedua matanya melotot menahan sakit. Dari sudut mulutnya mengalir darah segar. Pedang Sulur Na