Demikian tajam bagai seekor elang yang mengincar anak ayam. Anak ayam itu adalah dirinya. Dia berusaha tetap tenang meskipun dadanya bergemuruh, sembari mengikuti gerak tubuh Umang Sari dalam hentakan pukulan gendang. Pemilik mata itu adalah Paksi Jingga. Pemuda berusia tiga puluh warsa, anak tertua ketua padepokan Tangan Seribu yang lama, sekaligus calon ketua perguruan Tangan Seribu yang akan datang.Setelah selesai berlatih menari, Sekar Pandan melirik pada Paksi Jingga yang masih duduk di atas pohon sambil menyandarkan punggungnya pada batang pohon. Mata keduanya bertemu. Tajam menusuk kalbu, itulah tatapan Paksi Jingga yang dirasakan Sekar Pandan. Apalagi wajah tampan itu banyak sayatan luka, menambah seram pemiliknya. Sangat jauh berbeda dengan pandangan Raden Prana Kusuma yang teduh padanya. Sehingga selalu membuat hatinya tenang setiap bersama pemuda bangsawan Majapahit itu."Tatapan matanya begitu tajam. Apakah dia marah padaku?" tanya Sekar Pand
Dengan sedikit gemetar, tangan pemuda itu menggenggam tangan Sekar Pandan lalu mengangguk. Tangan kecil halus itu meloloskan diri dari genggamannya. Wajahnya memerah karena malu.Mahisa Dahana mengulum senyum. Getar aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Pemuda itu mulai menyayangi Sekar Pandan. Hatinya selalu bahagia jika berdekatan dengan Dewi Bunga Malam itu."Apakah aku mencintai Sekar Pandan?" tanyanya dalam hati.Hari itu Sekar Pandan membawa keranjang bambu dan sabit pinjaman dari Ki Gondo untuk pergi ke hutan mencari dedaunan obat. Kepergiannya diikuti Umang Sari dan Palasari atas perintah Paksi Jingga. Pemuda itu tidak ingin terjadi sesuatu pada gadis pemilik Pedang Sulur Naga. Paksi Jingga yakin, gadis itu akan mengubah pendiriannya untuk kemudian meminjamkan pedang miliknya pada perkumpulan Sapu Tangan Merah.Untuk itu pihaknya harus memperlakukan Sekar Pandan dengan lebih baik. Paksi Jingga bukan asal memilih pengawal untuk gadis itu. Dia
Sekar Pandan gelagapan karena sulit bernapas. Pegangan tangannya pun terlepas. Dia mencoba menggapai lengan Palasari. Usahanya berhasil. Dengan seluruh tenaganya, tubuh Sekar Pandan merunduk sambil melemparkan tubuh Palasari ke udara.Gadis penari itu menjerit merasakan kekuatan yang luar biasa melontarkan tubuhnya ke udara. Saat tubuhnya masih melayang di udara, dia segera meliukkan tubuh mengatur keseimbangan. Tak ayal, mulutnya tetap meringis kesakitan saat tubuhnya jatuh terjerembab di atas tanah.Buk!"Kau!" Gadis itu menuding Sekar Pandan yang memegangi leher akibat cekikannya. Saat itu muncul niat jahat di hati Umang Sari. Diam-diam dia mendekati Sekar Pandan. Tangannya terulur hendak merampas pedang gadis itu yang ada di punggungnya.Suara daun kering yang terinjak kaki Umang Sari memberitahu kewaspadaan Sekar Pandan akan adanya bahaya dari arah belakang. Tanpa disangka Umang Sari, tubuh Sekar Pandan meliuk cepat sambil
Sekar Pandan memalingkan muka dari Umang Sari agar bisa mengusap sudut matanya yang meneteskan air mata. Itu merupakan awal dari hilang suaranya."Ayah bawa minuman?" Mata Sekar Pandan kecil berseri-seri saat melihat seorang murid ayahnya membawa mangkuk. Kerongkongannya terasa kering akibat kebanyakan menangis."Minumkan ramuan itu!""Baik, Guru!" Salah satu murid memegangi tangannya dan satunya meminumkan ramuan pada Sekar Pandan."Ayah angkat …! Ampuni Sekar. Sekar tidak akan mengulanginya lagi. Tidak akan mempelajari kitab racun itu lagi. Sekar janji, Ayah!"Sekar Pandan menutup kedua telinga dengan kedua telapak tangannya. Hatinya bagai diiris sembilu setiap mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang membuatnya jatuh sakit berhari-hari hingga suaranya hilang setelah meminum ramuan obat pemberian ayah angkatnya."Kau menangis?" Umang Sari bertanya halus. Sekar Pandan mengusap air ma
"Hahaha! Sudah mau mampus masih sombong!" dengus Manggala muak. Pemuda itu menggerakkan tangannya sebagai isyarat pada anak buahnya. Sesaat kemudian suara dentingan senjata beradu terdengar riuh di selingi pekik kemarahan dan jeritan menyayat.Sementara di kamar Mahisa Dahana, para penari perempuan dan Nayaga tengah berkumpul di sana. Wajah mereka tegang. Setiap mendengar jeritan kematian dari luar, keringat dingin semakin mengalir. Bukan mereka takut, tapi mereka tidak tahan melihat orang-orang sesat dari perguruan Tangan Seribu itu berbuat telengas terhadap orang-orang yang tidak berdosa.Paksi Jingga membuka pintu kamar pelan, lalu mengajak semua saudaranya menyelinap keluar lewat pintu belakang. Di sana, dekat dengan dapur, ada satu lagi pintu yang menuju keluar."Bagaimana, Kakang?" gumam Mahisa Dahana cemas. Paksi Jingga menatap wajah adiknya yang belum pulih dengan pandangan tegang. Apa pun yang terjadi, dia harus menyelamatkan adik d
Di tempat persembunyian, Paksi Jingga tersenyum puas. Dia memutar tubuhnya untuk menghadang Manggala dan anak buahnya. Mereka tidak boleh mengejar kedua paman yang telah ia anggap pengganti orang tuanya itu, tekad pemuda berwajah cacat ini."Kau, Pendekar Bertudung Bambu. Akhirnya menampakkan diri secara terang-terangan. Bagus! Sudah lama aku menantikan saat ini." Manggala berdiri gagah dengan menggenggam kuat gagang pedangnya. Sorot matanya tajam menantang. Dia tidak takut dengan lawan di depannya. Bagi Manggala, semua yang berhubungan dengan mantan orang-orang perguruan Tangan Seribu yang kini menamakan diri sebagai perkumpulan Sapu Tangan Merah harus dibinasakan. Para anak buah pemuda itu telah mengurung Paksi Jingga. Pedang mereka bergerak kesana kemari mengimbangi gerak kaki mereka."Huh! Jurus curian ingin kalian gunakan untuk menghadapi pemilik jurus yang asli? Hahaha. Kalian para Dagelan yang tidak lucu!" Paksi Jingga tertawa mengejek pada anak buah Manggala.
Siang yang panas di musim kemarau memang sangat nyaman untuk berteduh di bawah pohon rindang sembari meneguk air dari buah kelapa muda yang dipetik dari pohonnya. Air sungai yang jernih pun bisa menjadi air dari Nirwana.Tiga gadis cantik yang tidak lain adalah Sekar Pandan, Palasari, dan Umang Sari membuka perbekalan yang diberikan pelayan Ki Gondo. Rasa lezat dari masakan itu membuat keduanya terdiam. Pikiran mereka melayang ke masa lalu. Pada seorang perempuan bijak yang dipanggil ibu yang selalu memasakan makanan lezat untuk anaknya. Alih-alih dimasakan ibu, Sekar Pandan hanya bisa merasakan masakan bibi pengasuhnya.Umang Sari menoleh pada Sekar Pandan. Pelan sekali suaranya ketika mengajukan pertanyaan. "Apakah kau juga merindukan ibumu, Sekar Pandan?"Sekar Pandan menoleh. Mengamati wajah gadis itu sebentar sebelum menganggukkan kepala. Lalu telunjuk kirinya yang tidak memegang makanan menulis huruf di atas tanah. "Ibuku telah meningg
"Sekar, kapan aku akan benar-benar pulih dan bisa bertarung kembali. Saudara-saudaraku sudah membutuhkanku," keluhnya.Sekar Pandan membalasnya dengan tersenyum pedih. Lalu pergi ke bagian lain dari gua untuk membuat ramuan obat yang sudah ia kumpulkan dalam keranjang. Umang Sari pun segera mengambil umbi yang mereka dapatkan untuk dibakar sebagai pengganjal perut. Sengaja mereka tidak membuat api di luar gua, takutnya pihak musuh akan dapat mencium tempat persembunyian mereka.Dengan telaten, Sekar Pandan mengganti ramuan obat pada tubuh Mahisa Dahana dengan ramuan yang baru."Kau harus tenang dan sabar," ujarnya dengan gerakan tangan disela-sela jari lentik miliknya mengurut dan membetulkan tulang Mahisa Dahana, yang tentu saja sembari dilambari ilmu tenaga dalam. Mahisa Dahana merasakan hawa hangat menjalar ke dalam tubuhnya, lalu berkumpul menjadi satu di tulang yang terluka. Hawa hangat itu semakin panas hingga membuat sekujur tubuhnya berk
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b