"Kakang harus berjanji padaku untuk tidak membiarkan perkumpulan Sapu Tangan Merah berkeliaran mengganggu kita. Aku tidak suka." Mayang melepaskan diri lalu menatap kakangnya dengan wajah penuh harap. Keadaan perguruan Tangan Seribu sangat nyaman dan tenang, tapi setiap saat telinganya mendengar keonaran yang selalu orang-orang perkumpulan Sapu Tangan Merah lakukan, hatinya cemas dan takut."Mereka itu seperti benalu yang mengaku bagian dari perguruan Tangan Seribu ini. Padahal mereka tidak ubahnya musuh besar yang ingin mengambil perguruan kita. Hah! Tidak tahu diri!" Senayudha mengumpat kesal. Darah Mayang selalu panas setiap mendengar cerita Senayudha tentang perkumpulan Sapu Tangan Merah. Gadis itu diam-diam menentang tindakan para anggota perkumpulan Sapu Tangan Merah.Pasalnya, mereka itu sungguh keterlaluan dan tidak tahu malu. Mereka berkoar-koar mengaku bagian dari perguruan Tangan Seribu. Padahal mereka hanya perusuh licik yang tidak punya tempat tinggal. Gelandangan yang ing
Demikian tajam bagai seekor elang yang mengincar anak ayam. Anak ayam itu adalah dirinya. Dia berusaha tetap tenang meskipun dadanya bergemuruh, sembari mengikuti gerak tubuh Umang Sari dalam hentakan pukulan gendang. Pemilik mata itu adalah Paksi Jingga. Pemuda berusia tiga puluh warsa, anak tertua ketua padepokan Tangan Seribu yang lama, sekaligus calon ketua perguruan Tangan Seribu yang akan datang.Setelah selesai berlatih menari, Sekar Pandan melirik pada Paksi Jingga yang masih duduk di atas pohon sambil menyandarkan punggungnya pada batang pohon. Mata keduanya bertemu. Tajam menusuk kalbu, itulah tatapan Paksi Jingga yang dirasakan Sekar Pandan. Apalagi wajah tampan itu banyak sayatan luka, menambah seram pemiliknya. Sangat jauh berbeda dengan pandangan Raden Prana Kusuma yang teduh padanya. Sehingga selalu membuat hatinya tenang setiap bersama pemuda bangsawan Majapahit itu."Tatapan matanya begitu tajam. Apakah dia marah padaku?" tanya Sekar Pand
Dengan sedikit gemetar, tangan pemuda itu menggenggam tangan Sekar Pandan lalu mengangguk. Tangan kecil halus itu meloloskan diri dari genggamannya. Wajahnya memerah karena malu.Mahisa Dahana mengulum senyum. Getar aneh menjalar ke seluruh tubuhnya. Pemuda itu mulai menyayangi Sekar Pandan. Hatinya selalu bahagia jika berdekatan dengan Dewi Bunga Malam itu."Apakah aku mencintai Sekar Pandan?" tanyanya dalam hati.Hari itu Sekar Pandan membawa keranjang bambu dan sabit pinjaman dari Ki Gondo untuk pergi ke hutan mencari dedaunan obat. Kepergiannya diikuti Umang Sari dan Palasari atas perintah Paksi Jingga. Pemuda itu tidak ingin terjadi sesuatu pada gadis pemilik Pedang Sulur Naga. Paksi Jingga yakin, gadis itu akan mengubah pendiriannya untuk kemudian meminjamkan pedang miliknya pada perkumpulan Sapu Tangan Merah.Untuk itu pihaknya harus memperlakukan Sekar Pandan dengan lebih baik. Paksi Jingga bukan asal memilih pengawal untuk gadis itu. Dia
Sekar Pandan gelagapan karena sulit bernapas. Pegangan tangannya pun terlepas. Dia mencoba menggapai lengan Palasari. Usahanya berhasil. Dengan seluruh tenaganya, tubuh Sekar Pandan merunduk sambil melemparkan tubuh Palasari ke udara.Gadis penari itu menjerit merasakan kekuatan yang luar biasa melontarkan tubuhnya ke udara. Saat tubuhnya masih melayang di udara, dia segera meliukkan tubuh mengatur keseimbangan. Tak ayal, mulutnya tetap meringis kesakitan saat tubuhnya jatuh terjerembab di atas tanah.Buk!"Kau!" Gadis itu menuding Sekar Pandan yang memegangi leher akibat cekikannya. Saat itu muncul niat jahat di hati Umang Sari. Diam-diam dia mendekati Sekar Pandan. Tangannya terulur hendak merampas pedang gadis itu yang ada di punggungnya.Suara daun kering yang terinjak kaki Umang Sari memberitahu kewaspadaan Sekar Pandan akan adanya bahaya dari arah belakang. Tanpa disangka Umang Sari, tubuh Sekar Pandan meliuk cepat sambil
Sekar Pandan memalingkan muka dari Umang Sari agar bisa mengusap sudut matanya yang meneteskan air mata. Itu merupakan awal dari hilang suaranya."Ayah bawa minuman?" Mata Sekar Pandan kecil berseri-seri saat melihat seorang murid ayahnya membawa mangkuk. Kerongkongannya terasa kering akibat kebanyakan menangis."Minumkan ramuan itu!""Baik, Guru!" Salah satu murid memegangi tangannya dan satunya meminumkan ramuan pada Sekar Pandan."Ayah angkat …! Ampuni Sekar. Sekar tidak akan mengulanginya lagi. Tidak akan mempelajari kitab racun itu lagi. Sekar janji, Ayah!"Sekar Pandan menutup kedua telinga dengan kedua telapak tangannya. Hatinya bagai diiris sembilu setiap mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang membuatnya jatuh sakit berhari-hari hingga suaranya hilang setelah meminum ramuan obat pemberian ayah angkatnya."Kau menangis?" Umang Sari bertanya halus. Sekar Pandan mengusap air ma
"Hahaha! Sudah mau mampus masih sombong!" dengus Manggala muak. Pemuda itu menggerakkan tangannya sebagai isyarat pada anak buahnya. Sesaat kemudian suara dentingan senjata beradu terdengar riuh di selingi pekik kemarahan dan jeritan menyayat.Sementara di kamar Mahisa Dahana, para penari perempuan dan Nayaga tengah berkumpul di sana. Wajah mereka tegang. Setiap mendengar jeritan kematian dari luar, keringat dingin semakin mengalir. Bukan mereka takut, tapi mereka tidak tahan melihat orang-orang sesat dari perguruan Tangan Seribu itu berbuat telengas terhadap orang-orang yang tidak berdosa.Paksi Jingga membuka pintu kamar pelan, lalu mengajak semua saudaranya menyelinap keluar lewat pintu belakang. Di sana, dekat dengan dapur, ada satu lagi pintu yang menuju keluar."Bagaimana, Kakang?" gumam Mahisa Dahana cemas. Paksi Jingga menatap wajah adiknya yang belum pulih dengan pandangan tegang. Apa pun yang terjadi, dia harus menyelamatkan adik d
Di tempat persembunyian, Paksi Jingga tersenyum puas. Dia memutar tubuhnya untuk menghadang Manggala dan anak buahnya. Mereka tidak boleh mengejar kedua paman yang telah ia anggap pengganti orang tuanya itu, tekad pemuda berwajah cacat ini."Kau, Pendekar Bertudung Bambu. Akhirnya menampakkan diri secara terang-terangan. Bagus! Sudah lama aku menantikan saat ini." Manggala berdiri gagah dengan menggenggam kuat gagang pedangnya. Sorot matanya tajam menantang. Dia tidak takut dengan lawan di depannya. Bagi Manggala, semua yang berhubungan dengan mantan orang-orang perguruan Tangan Seribu yang kini menamakan diri sebagai perkumpulan Sapu Tangan Merah harus dibinasakan. Para anak buah pemuda itu telah mengurung Paksi Jingga. Pedang mereka bergerak kesana kemari mengimbangi gerak kaki mereka."Huh! Jurus curian ingin kalian gunakan untuk menghadapi pemilik jurus yang asli? Hahaha. Kalian para Dagelan yang tidak lucu!" Paksi Jingga tertawa mengejek pada anak buah Manggala.
Siang yang panas di musim kemarau memang sangat nyaman untuk berteduh di bawah pohon rindang sembari meneguk air dari buah kelapa muda yang dipetik dari pohonnya. Air sungai yang jernih pun bisa menjadi air dari Nirwana.Tiga gadis cantik yang tidak lain adalah Sekar Pandan, Palasari, dan Umang Sari membuka perbekalan yang diberikan pelayan Ki Gondo. Rasa lezat dari masakan itu membuat keduanya terdiam. Pikiran mereka melayang ke masa lalu. Pada seorang perempuan bijak yang dipanggil ibu yang selalu memasakan makanan lezat untuk anaknya. Alih-alih dimasakan ibu, Sekar Pandan hanya bisa merasakan masakan bibi pengasuhnya.Umang Sari menoleh pada Sekar Pandan. Pelan sekali suaranya ketika mengajukan pertanyaan. "Apakah kau juga merindukan ibumu, Sekar Pandan?"Sekar Pandan menoleh. Mengamati wajah gadis itu sebentar sebelum menganggukkan kepala. Lalu telunjuk kirinya yang tidak memegang makanan menulis huruf di atas tanah. "Ibuku telah meningg