Denzel duduk di sebelah Rose. Ia menatap Rose dengan intens sebelum mengajukan pertanyaan."Apa Nona mengenali wajah pria yang mengikuti Nona di jalan?"Rose menggeleng pelan."Tidak, Daddy. Pria yang pertama memakai masker dan yang kedua mengenakan kaca mata hitam. Wajah mereka tidak terlihat dengan jelas.""Siapa saja orang yang Nona temui akhir-akhir ini?" tanya Denzel mencari tahu."Luke dan Hendrick Brown."Denzel menautkan alisnya ketika mendengar nama Hendrick Brown. Ia tahu benar bagaimana kelicikan dan ketamakan pria itu. Biarpun ia adalah adik kandung Louis, tapi Hendrick selalu berambisi untuk merampas harta kekayaan kakaknya. Hendrick juga pernah menjadi tersangka atas kasus kematian Louis Brown. Namun demikian Denzel memilih untuk menumpahkan kecurigaannya kepada Luke. Ia ingin Rose menjauhi Luke agar tercipta jarak yang semakin lebar antar keduanya."Nona, para penguntit itu kemungkinan adalah suruhan Luke Brown. Dia menganggap Nona sebagai penghalangnya dalam menjual ma
Di antara temaram lampu jalanan, terlihat siluet bayangan hitam seorang wanita. Wajahnya tersembunyi di balik masker dan jubah hitam yang menudungi kepalanya. Hanya bagian mata wanita itu yang terlihat dari luar.Ia menoleh sebentar ke belakang. Setelah memastikan tidak ada orang yang membuntutinya, wanita itu berjalan menuju gang sempit di ujung jalan. Sepanjang tembok yang dilaluinya dipenuhi coretan gambar berwarna warni, pertanda banyak anak jalanan yang lewat di lokasi tersebut.Wanita itu berhenti ketika melihat dua orang pria telah berdiri menantinya. Salah satu pria memegang tongkat di tangannya, sedangkan pria yang lain mengenakan topeng berwarna keperakan. Wanita itu bisa merasakan aura menyeramkan yang terpancar dari kedua orang pria di hadapannya."Tuan, saya sudah datang," ucap sang wanita."Bagus, apa semua aman?""Iya, Tuan."Pria bertopeng itu menyerahkan sebuah amplop coklat tebal kepada si wanita."Mulai besok lakukan seperti yang kami perintahkan. Buat gadis itu ket
Melihat ekspresi terpukul di wajah Rose, para mahasiswa mencoba menghiburnya. "Sabar, Rose. Masih ada waktu untuk memperbaiki lukisanmu." "Iya. Coba selidiki siapa yang sengaja merusak lukisanmu," tambah mahasiswa yang lain. Rose tidak menjawab. Ia mengambil lukisannya yang dari easel lalu menggulungnya perlahan. Meskipun hatinya hancur, Rose tidak mau menangis. Toh, air mata tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Yang dia butuhkan saat ini adalah ketegaran dan sikap pantang menyerah. Dia akan membuat lukisan baru dan menyelesaikannya secepat mungkin, agar tidak melebihi batas waktu yang diberikan oleh Luke Brown. "Rose, ada apa?" tanya Gwen melihat para mahasiswa menatap sahabatnya itu dengan rasa iba. "Lukisanku, Gwen...." Gwen menggambil gulungan lukisan yang dipegang Rose. Matanya langsung melotot saat melihat lukisan Rose yang berantakan. "Kita harus melaporkan ini kepada Mr. Zack supaya pelakunya ditangkap. Dia harus dijatuhi sanksi yang berat." Sambil memasang kanvas y
Luke berjalan mendekat ke balkon untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Benar, itu adalah Rose. Tidak disangka gadis itu memiliki bakat mengagumkan di bidang musik. Tapi untuk apa Rose bermain biola di balkon malam-malam? Apa gadis itu sengaja berbuat demikian untuk menarik perhatiannya?Daripada penasaran, Luke memutuskan untuk menanyakannya sendiri.Lantunan suara biola yang tadinya samar semakin jelas terdengar ketika ia menaiki tangga. Tidak ingin kehilangan kesempatan, Luke menuju ke lantai tiga. Sebelumnya ia sengaja melepas sepatu agar langkahnya tidak terdengar oleh Rose. Kaki Luke bersentuhan dengan lantai yang dingin, tapi itu tidak menyurutkan niatnya untuk menemui Rose.Setibanya di lantai tiga Luke disambut dengan pemandangan yang menakjubkan. Di balik remang lampu, sebuah lukisan Taj Mahal yang melegenda terpajang apik di tengah ruangan. Lukisan ini adalah penggambaran paling romantis yang pernah dilihatnya.Luke beralih menyapukan pandangannya ke balkon. Darahnya
Luke meninggalkan Rose di kamarnya. Ia menutup pintu lalu berjalan menuju ke kamar Rose. Ia ingin memeriksa sendiri apa yang sesungguhnya terjadi hingga Rose hilang kendali.Ketika memasuki kamar Rose, indera penciumannya dimanjakan oleh aroma bunga yang memenuhi ruangan. Sungguh suasana di kamar ini mencerminkan sifat feminim dari pemiliknya.Luke mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar Rose. Tidak ada yang aneh atau mencurigakan. Yang terlihat hanyalah tempat tidur, lemari dan beberapa furniture tambahan.Memastikan semuanya aman, Luke membuka pintu kamar mandi. Lampu masih menyala. Mungkin Rose lupa mematikannya karena terlalu ketakutan.Luke meningkatkan kewaspadaannya. Saat melangkah ke dalam, mata jelinya menangkap ketidakberesan di ruangan itu. Dan ternyata sumber masalah ada di bagian cermin. Luke membaca dengan seksama kalimat bernada ancaman yang memenuhi cermin berbentuk oval itu."Siapa yang melakukan teror seperti ini? Perbuatannya sudah sangat keterlaluan. Pantas
"Aku minta maaf karena sudah memakimu. Tapi aku tidak bisa memenuhi persyaratanmu itu," tolak Rose. Mana mungkin ia membiarkan dirinya diperbudak oleh pria seperti Luke. "Tidak masalah jika kamu menolak syarat dariku," jawab Luke mengangkat tangannya. "Tapi...jangan harap kamu bisa keluar dari kamar ini. Sekarang adalah hari Sabtu, aku tidak perlu pergi ke kantor. Jadi aku bisa berada di kamarmu seharian," tambah Luke melancarkan intimidasinya. Dari bawah Rose mendengar bel pintu berbunyi nyaring. Pastilah itu Ben dan Esme yang datang ke mansion untuk melakukan pekerjaan mereka. "Luke jangan gila. Para pelayan sudah datang." "Mereka tidak akan bisa masuk. Kunci utama aku biarkan tergantung dari dalam. Berapa kali pun Ben membukanya dengan kunci cadangan, dia tidak akan berhasil." "Aku akan mencabut kuncinya," kata Rose. Ia berusaha membebaskan diri dari Luke, tapi pria itu selalu menghalanginya. Saat dia bergeser ke kanan, Luke ikut bergeser ke kanan dan ketika dia ke kiri, maka
Melihat sinar putus asa di mata Rose, Luke hampir luluh. Namun ia mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terkecoh lagi oleh kepolosan yang ditampilkan oleh Rose Black."Aku tidak mau mengambil resiko. Jika aku mengizinkanmu pergi pasti kamu akan kabur.""Luke, kumohon. Aku tidak akan ingkar janji," jawab Rose meyakinkan Luke. Ia benci karena harus memohon pada pria angkuh ini."Kamu boleh pergi ke rumah pamanmu asalkan bersamaku. Aku yang akan mengantarmu ke sana.""Untuk apa kamu ikut denganku?""Tentu saja untuk mengawasimu," tegas Luke."Kembalilah ke kamarmu. Setelah sarapan kita akan berangkat," imbuh Luke lantas berjalan ke kamar mandi.Rose tidak mengerti dengan jalan pemikiran Luke Brown. Entah apa maksud pria ini sehingga ingin terus menempel padanya, seolah ia adalah tahanan yang harus diawasi."Bagaimana jika Luke tahu nama pamanku adalah Josh Black? Dia pasti akan mencurigaiku sebagai Miss Black," batin Rose resah.***Rose hanya diam saja sepanjang perjalanan. Ia merasa
Tubuh Rose menegang. Tangannya serasa lunglai hingga tidak sanggup lagi memegang lukisan itu. Beruntung Luke dengan sigap menyangga lengan Rose."Kamu tidak apa-apa? Berikan lukisannya padaku."Luke mengambil alih lukisan itu dan mengamati setiap goresannya.Sebagai seorang pelukis, dia bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Sudah jelas lukisan itu dibuat hanya untuk memberikan tekanan mental kepada Rose. Mawar adalah Rose, hitam mewakili nama keluarga Black, dan warna merah darah melambangkan bagaimana sang pengirim menginginkan kematian Rose."Ini lukisan murahan, tidak usah terlalu dipikirkan," ucap Luke menenangkan Rose."Tapi Luke orang ini tidak main-main buktinya kemarin...." kata Rose terbata. Ia tidak meneruskan ucapannya karena tidak mau membuat pamannya bertambah cemas."Rose, jika kamu takut laporkan saja kejadian ini kepada pihak kepolisian. Dan mulai sekarang jangan bepergian sendiri. Harus ada orang yang menemanimu," ucap Josh prihatin."Tidak perlu melibatkan p
Sebastian membisikkan sesuatu ke telinga Luke. Kemudian ia memberi isyarat pada asistennya untuk melepaskan ikatan Denzel. "Baiklah, Peter, kita akan barter. Bebaskan Rose, Tuan Josh, dan Franky. Aku akan membebaskan Denzel." "Tidak bisa, aku akan menukar Rose dengan Denzel. Sedangkan kedua pria ini akan kulepaskan setelah kalian membiarkan aku dan putraku pergi." "Luke, turuti saja kemauannya. Yang terpenting Rose selamat," bisik Sebastian. Luke pun mengangguk. Ia berjalan dan menghampiri Denzel lalu menahan tubuh pria itu. "Aku hitung sampai lima. Kita sama-sama melepaskan mereka!" tegas Luke. Rose yang berada dalam genggaman Peter hanya bisa pasrah. Ia berharap dapat kembali secepatnya ke sisi Luke. Namun ketika bersitatap dengan Denzel, Rose menundukkan kepala. Ia merasa sangat bersalah melihat kondisi Denzel yang memprihatinkan. Apalagi sebagian wajahnya memar karena terkena bekas pukulan. Sebaliknya Denzel menatap nanar kepada Rose dan ayahnya. Hatinya sudah membeku sampa
Saat Rose turun ke bawah, ia melihat kondisi kediaman Gonzalez yang sangat lengang. Entah kemana semua orang saat ini. Sang suami dan mertuanya juga tidak ada, hanya ada empat orang pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu."Nyonya, Anda mau kemana?" tanya salah seorang pengawal di kediaman Gonzalez. Rose tidak tahu nama-nama para pengawal itu sehingga ia bingung harus memberi jawaban apa."Maaf, Tuan, kemana Luke?" tanya Rose mencoba mencari tahu."Nama saya Franky, Nyonya. Tuan Muda dan Tuan Besar keluar rumah karena ada urusan penting. Sebaiknya Anda kembali ke kamar," jawabnya. Ia tidak mengatakan kemana Luke pergi sesuai dengan perintah dari Tuan Besarnya.Rose yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Terlebih Luke sengaja meninggalkan ponselnya di kamar sehingga ia tidak bisa dihubungi. Padahal Rose tidak bisa menunda lagi untuk segera membebaskan sang paman. Rose pun memberanikan diri untuk meminta tolong pada pria kekar bernama Franky itu."Franky, bisa aku minta tol
"Siapa kalian?" tanya Denzel bersiap merogoh pistol yang terselip di pinggangnya. Ia memang selalu membawa senjata untuk berjaga-jaga. Sialnya salah satu orang yang mengepungnya ternyata lebih waspada. Ia segera mengacungkan pistol ke arah Denzel."Buang senjatamu dan angkat tangan sekarang!!! Jika tidak, aku akan langsung menembakkan peluru ini ke kepalamu!" serunya dengan suara menggelegar.Karena tidak punya pilihan, Denzel terpaksa menurut. Ia membuang pistol miliknya ke tanah lalu menatap sengit orang-orang yang mengepungnya."Coba saja tangkap aku jika kalian berani! Tapi jangan menyesal bila setelahnya kalian semua akan mati secara mengenaskan. Kalian pasti sudah tahu siapa aku," tantang Denzel. Dilihat dari gerak-geriknya, jelas sudah bahwa orang-orang ini adalah bagian dari kelompok mafia. Hanya saja Denzel belum mengetahui secara pasti nama organisasi mereka.Beberapa dari mereka tertawa terbahak mendengar ancaman Denzel. "Kamu yang belum tahu siapa kami. Bahkan ayahmu pas
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
"Ini kamu, Rose?" tanya Gwen menggoyangkan lengan Rose. Ia bahkan menyuruh Rose berputar untuk meyakinkan bahwa yang di hadapannya ini adalah sahabatnya, bukan makhluk jadi-jadian."Tentu saja ini aku, Gwen," jawab Rose tenang."Tapi aku baru saja ke kamarmu dan kamu tidak ada.""Benar, Rose. Kami baru akan ke danau Blue Stone untuk mencarimu," timpal Suster Mary.Karena telah membuat semua orang panik, Rose pun memberikan penjelasan."Maafkan saya, Suster. Tadi pagi-pagi sekali saya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri."Gwen memanyunkan bibirnya karena kecewa dengan pengakuan Rose."Padahal aku susah payah bangun pagi untuk meriasmu, ternyata kamu malah ke salon. Dan gaun cantik ini, dari mana kamu mendapatkannya?""Maafkan aku, Gwen. Aku berpikir lebih baik ke salon supaya tidak merepotkanmu. Gaun ini juga pihak salon yang menyediakan.""Kalau begitu kita masuk ke aula saja. Tuan Denzel pasti datang sebentar lagi," ucap Suster Mary menggandeng tangan Rose.Sepanjang jalan menuju
Masih berpelukan satu sama lain, Rose membelai lembut wajah Luke. Banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada suaminya ini, namun tiba-tiba Rose teringat sesuatu. Rasa bersalah pun memenuhi hatinya. Dengan mata berair, Rose menatap Luke."Maaf Luke, aku sudah bersalah padamu. Aku....," ucap Rose tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Luke menarik napas kasar kemudian melerai pelukannya. Ia mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Rose terkejut karena Luke seperti sedang menahan kegusaran terhadap sesuatu. Terlihat wajah tampannya mengetat dengan tangan yang mengepal erat."Aku tahu apa yang mau kamu katakan, Rose. Jangan menyampaikannya di depanku karena mungkin aku tidak bisa menahan diri," tukas Luke. Suaranya berubah dingin sedingin aura yang terpancar dari tubuhnya.Rose terhenyak. Jantungnya berpacu dengan kencang mendengar ucapan Luke. Mungkinkah Luke semarah ini karena sudah mengetahui rencana pertunangannya dengan Denzel? Jika itu benar, lalu bagaimana caranya menjelaskan kepa
Entah berapa lama Rose tidak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, ia terkejut karena berada di ruangan yang asing. Rose mengerjap beberapa kali untuk memastikan dia tidak berhalusinasi. Ruangan tempatnya berada kini hanya diterangi cahaya samar dari lampu tidur di atas nakas. Dalam suasana temaram, Rose melihat bahwa ia berbaring di atas ranjang besar. Selimut berbahan tebal menutupi setengah tubuhnya. Dari semua petunjuk ini, Rose menyimpulkan bahwa ia berada di sebuah kamar. Tapi kamar milik siapa? Berusaha untuk memulihkan nyawa seutuhnya, Rose duduk bersandar pada kepala ranjang. Masih sedikit pening, Rose coba mengingat apa yang terjadi. Sebelum pingsan, ia berada di Danau Blue Stone untuk menggambar. Namun mendadak datang seseorang yang membekapnya dari belakang. Sesudah peristiwa itu, ia tidak ingat apa yang terjadi. Rose menyibak selimutnya dan memandangi dirinya sendiri. Untunglah dia masih berpakaian lengkap. Dia juga tidak merasakan sakit sama sekali. Artinya orang yang m
Ada yang berani mengancammu? Siapa dia?" tanya Peter geram. Ia tidak akan terima bila putra kebanggaannya sampai diusik oleh orang lain. Apalagi ia adalah salah satu tokoh yang cukup disegani di kalangan mafia."Justru itu aku belum tahu. Dia ingin main-main denganku dan aku akan meladeninya," geram Denzel. Matanya berapi-api menggambarkan kemurkaan yang tengah memuncak di kepalanya."Kirimkan saja nomer ponselnya. Papa akan menyuruh anak buah kita untuk melacak lokasinya.""Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri, Pa. Lagipula dia pasti memakai nomer samaran untuk menghubungiku.""Denzel jangan sekali-kali meremehkan orang itu. Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Apalagi mayat Luke Brown belum kita temukan sampai sekarang."Denzel menghembuskan napas kasar untuk mengekspresikan kekesalannya."Aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggu sampai aku berhasil menikahi Rose."Peter Adams maju lalu menepuk bahu putranya."Bagus, Denzel. Beginilah seharusnya seorang Adams