"Kira-kira kenapa ya pria tadi mengejar kita? Apa dia ingin menculik kita?" tanya Gwen membulatkan mata."Aku juga tidak tahu. Gwen, aku akan mengantarmu pulang ke rumah. Besok saja kita pergi ke kampus.""Iya, Rose. Kamu juga harus segera pulang ke rumah. Jangan mengambil resiko dengan berkendara sendirian di jalan. Siapa tahu pria itu masih berusaha mengejar mobilmu."Rose mengangguk. Ia menurunkan kecepatan mobilnya sambil mengemudi dengan konsentrasi penuh. Rose merasa bertanggung jawab atas keselamatan Gwen. Gara-gara ikut dengannya ke panti asuhan, sahabatnya itu ikut mengalami kejadian yang menegangkan."Thanks, Rose. Kamu tidak mampir ke rumahku?" tanya Gwen sebelum melangkah ke pekarangan rumahnya"Lain kali saja, Gwen.""Okey, Rose, hati-hati. Jika pria itu sampai mengikutimu lagi cepat hubungi polisi.""Iya, Gwen. Sampai jumpa besok di kampus."Setelah Gwen masuk dengan selamat ke rumahnya, Rose memutar balik mobilnya. Sembari memastikan tidak ada yang mengikutinya, Rose me
Denzel duduk di sebelah Rose. Ia menatap Rose dengan intens sebelum mengajukan pertanyaan."Apa Nona mengenali wajah pria yang mengikuti Nona di jalan?"Rose menggeleng pelan."Tidak, Daddy. Pria yang pertama memakai masker dan yang kedua mengenakan kaca mata hitam. Wajah mereka tidak terlihat dengan jelas.""Siapa saja orang yang Nona temui akhir-akhir ini?" tanya Denzel mencari tahu."Luke dan Hendrick Brown."Denzel menautkan alisnya ketika mendengar nama Hendrick Brown. Ia tahu benar bagaimana kelicikan dan ketamakan pria itu. Biarpun ia adalah adik kandung Louis, tapi Hendrick selalu berambisi untuk merampas harta kekayaan kakaknya. Hendrick juga pernah menjadi tersangka atas kasus kematian Louis Brown. Namun demikian Denzel memilih untuk menumpahkan kecurigaannya kepada Luke. Ia ingin Rose menjauhi Luke agar tercipta jarak yang semakin lebar antar keduanya."Nona, para penguntit itu kemungkinan adalah suruhan Luke Brown. Dia menganggap Nona sebagai penghalangnya dalam menjual ma
Di antara temaram lampu jalanan, terlihat siluet bayangan hitam seorang wanita. Wajahnya tersembunyi di balik masker dan jubah hitam yang menudungi kepalanya. Hanya bagian mata wanita itu yang terlihat dari luar.Ia menoleh sebentar ke belakang. Setelah memastikan tidak ada orang yang membuntutinya, wanita itu berjalan menuju gang sempit di ujung jalan. Sepanjang tembok yang dilaluinya dipenuhi coretan gambar berwarna warni, pertanda banyak anak jalanan yang lewat di lokasi tersebut.Wanita itu berhenti ketika melihat dua orang pria telah berdiri menantinya. Salah satu pria memegang tongkat di tangannya, sedangkan pria yang lain mengenakan topeng berwarna keperakan. Wanita itu bisa merasakan aura menyeramkan yang terpancar dari kedua orang pria di hadapannya."Tuan, saya sudah datang," ucap sang wanita."Bagus, apa semua aman?""Iya, Tuan."Pria bertopeng itu menyerahkan sebuah amplop coklat tebal kepada si wanita."Mulai besok lakukan seperti yang kami perintahkan. Buat gadis itu ket
Melihat ekspresi terpukul di wajah Rose, para mahasiswa mencoba menghiburnya. "Sabar, Rose. Masih ada waktu untuk memperbaiki lukisanmu." "Iya. Coba selidiki siapa yang sengaja merusak lukisanmu," tambah mahasiswa yang lain. Rose tidak menjawab. Ia mengambil lukisannya yang dari easel lalu menggulungnya perlahan. Meskipun hatinya hancur, Rose tidak mau menangis. Toh, air mata tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Yang dia butuhkan saat ini adalah ketegaran dan sikap pantang menyerah. Dia akan membuat lukisan baru dan menyelesaikannya secepat mungkin, agar tidak melebihi batas waktu yang diberikan oleh Luke Brown. "Rose, ada apa?" tanya Gwen melihat para mahasiswa menatap sahabatnya itu dengan rasa iba. "Lukisanku, Gwen...." Gwen menggambil gulungan lukisan yang dipegang Rose. Matanya langsung melotot saat melihat lukisan Rose yang berantakan. "Kita harus melaporkan ini kepada Mr. Zack supaya pelakunya ditangkap. Dia harus dijatuhi sanksi yang berat." Sambil memasang kanvas y
Luke berjalan mendekat ke balkon untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Benar, itu adalah Rose. Tidak disangka gadis itu memiliki bakat mengagumkan di bidang musik. Tapi untuk apa Rose bermain biola di balkon malam-malam? Apa gadis itu sengaja berbuat demikian untuk menarik perhatiannya?Daripada penasaran, Luke memutuskan untuk menanyakannya sendiri.Lantunan suara biola yang tadinya samar semakin jelas terdengar ketika ia menaiki tangga. Tidak ingin kehilangan kesempatan, Luke menuju ke lantai tiga. Sebelumnya ia sengaja melepas sepatu agar langkahnya tidak terdengar oleh Rose. Kaki Luke bersentuhan dengan lantai yang dingin, tapi itu tidak menyurutkan niatnya untuk menemui Rose.Setibanya di lantai tiga Luke disambut dengan pemandangan yang menakjubkan. Di balik remang lampu, sebuah lukisan Taj Mahal yang melegenda terpajang apik di tengah ruangan. Lukisan ini adalah penggambaran paling romantis yang pernah dilihatnya.Luke beralih menyapukan pandangannya ke balkon. Darahnya
Luke meninggalkan Rose di kamarnya. Ia menutup pintu lalu berjalan menuju ke kamar Rose. Ia ingin memeriksa sendiri apa yang sesungguhnya terjadi hingga Rose hilang kendali.Ketika memasuki kamar Rose, indera penciumannya dimanjakan oleh aroma bunga yang memenuhi ruangan. Sungguh suasana di kamar ini mencerminkan sifat feminim dari pemiliknya.Luke mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar Rose. Tidak ada yang aneh atau mencurigakan. Yang terlihat hanyalah tempat tidur, lemari dan beberapa furniture tambahan.Memastikan semuanya aman, Luke membuka pintu kamar mandi. Lampu masih menyala. Mungkin Rose lupa mematikannya karena terlalu ketakutan.Luke meningkatkan kewaspadaannya. Saat melangkah ke dalam, mata jelinya menangkap ketidakberesan di ruangan itu. Dan ternyata sumber masalah ada di bagian cermin. Luke membaca dengan seksama kalimat bernada ancaman yang memenuhi cermin berbentuk oval itu."Siapa yang melakukan teror seperti ini? Perbuatannya sudah sangat keterlaluan. Pantas
"Aku minta maaf karena sudah memakimu. Tapi aku tidak bisa memenuhi persyaratanmu itu," tolak Rose. Mana mungkin ia membiarkan dirinya diperbudak oleh pria seperti Luke. "Tidak masalah jika kamu menolak syarat dariku," jawab Luke mengangkat tangannya. "Tapi...jangan harap kamu bisa keluar dari kamar ini. Sekarang adalah hari Sabtu, aku tidak perlu pergi ke kantor. Jadi aku bisa berada di kamarmu seharian," tambah Luke melancarkan intimidasinya. Dari bawah Rose mendengar bel pintu berbunyi nyaring. Pastilah itu Ben dan Esme yang datang ke mansion untuk melakukan pekerjaan mereka. "Luke jangan gila. Para pelayan sudah datang." "Mereka tidak akan bisa masuk. Kunci utama aku biarkan tergantung dari dalam. Berapa kali pun Ben membukanya dengan kunci cadangan, dia tidak akan berhasil." "Aku akan mencabut kuncinya," kata Rose. Ia berusaha membebaskan diri dari Luke, tapi pria itu selalu menghalanginya. Saat dia bergeser ke kanan, Luke ikut bergeser ke kanan dan ketika dia ke kiri, maka
Melihat sinar putus asa di mata Rose, Luke hampir luluh. Namun ia mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terkecoh lagi oleh kepolosan yang ditampilkan oleh Rose Black."Aku tidak mau mengambil resiko. Jika aku mengizinkanmu pergi pasti kamu akan kabur.""Luke, kumohon. Aku tidak akan ingkar janji," jawab Rose meyakinkan Luke. Ia benci karena harus memohon pada pria angkuh ini."Kamu boleh pergi ke rumah pamanmu asalkan bersamaku. Aku yang akan mengantarmu ke sana.""Untuk apa kamu ikut denganku?""Tentu saja untuk mengawasimu," tegas Luke."Kembalilah ke kamarmu. Setelah sarapan kita akan berangkat," imbuh Luke lantas berjalan ke kamar mandi.Rose tidak mengerti dengan jalan pemikiran Luke Brown. Entah apa maksud pria ini sehingga ingin terus menempel padanya, seolah ia adalah tahanan yang harus diawasi."Bagaimana jika Luke tahu nama pamanku adalah Josh Black? Dia pasti akan mencurigaiku sebagai Miss Black," batin Rose resah.***Rose hanya diam saja sepanjang perjalanan. Ia merasa