Luke meninggalkan Rose di kamarnya. Ia menutup pintu lalu berjalan menuju ke kamar Rose. Ia ingin memeriksa sendiri apa yang sesungguhnya terjadi hingga Rose hilang kendali.Ketika memasuki kamar Rose, indera penciumannya dimanjakan oleh aroma bunga yang memenuhi ruangan. Sungguh suasana di kamar ini mencerminkan sifat feminim dari pemiliknya.Luke mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar Rose. Tidak ada yang aneh atau mencurigakan. Yang terlihat hanyalah tempat tidur, lemari dan beberapa furniture tambahan.Memastikan semuanya aman, Luke membuka pintu kamar mandi. Lampu masih menyala. Mungkin Rose lupa mematikannya karena terlalu ketakutan.Luke meningkatkan kewaspadaannya. Saat melangkah ke dalam, mata jelinya menangkap ketidakberesan di ruangan itu. Dan ternyata sumber masalah ada di bagian cermin. Luke membaca dengan seksama kalimat bernada ancaman yang memenuhi cermin berbentuk oval itu."Siapa yang melakukan teror seperti ini? Perbuatannya sudah sangat keterlaluan. Pantas
"Aku minta maaf karena sudah memakimu. Tapi aku tidak bisa memenuhi persyaratanmu itu," tolak Rose. Mana mungkin ia membiarkan dirinya diperbudak oleh pria seperti Luke. "Tidak masalah jika kamu menolak syarat dariku," jawab Luke mengangkat tangannya. "Tapi...jangan harap kamu bisa keluar dari kamar ini. Sekarang adalah hari Sabtu, aku tidak perlu pergi ke kantor. Jadi aku bisa berada di kamarmu seharian," tambah Luke melancarkan intimidasinya. Dari bawah Rose mendengar bel pintu berbunyi nyaring. Pastilah itu Ben dan Esme yang datang ke mansion untuk melakukan pekerjaan mereka. "Luke jangan gila. Para pelayan sudah datang." "Mereka tidak akan bisa masuk. Kunci utama aku biarkan tergantung dari dalam. Berapa kali pun Ben membukanya dengan kunci cadangan, dia tidak akan berhasil." "Aku akan mencabut kuncinya," kata Rose. Ia berusaha membebaskan diri dari Luke, tapi pria itu selalu menghalanginya. Saat dia bergeser ke kanan, Luke ikut bergeser ke kanan dan ketika dia ke kiri, maka
Melihat sinar putus asa di mata Rose, Luke hampir luluh. Namun ia mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terkecoh lagi oleh kepolosan yang ditampilkan oleh Rose Black."Aku tidak mau mengambil resiko. Jika aku mengizinkanmu pergi pasti kamu akan kabur.""Luke, kumohon. Aku tidak akan ingkar janji," jawab Rose meyakinkan Luke. Ia benci karena harus memohon pada pria angkuh ini."Kamu boleh pergi ke rumah pamanmu asalkan bersamaku. Aku yang akan mengantarmu ke sana.""Untuk apa kamu ikut denganku?""Tentu saja untuk mengawasimu," tegas Luke."Kembalilah ke kamarmu. Setelah sarapan kita akan berangkat," imbuh Luke lantas berjalan ke kamar mandi.Rose tidak mengerti dengan jalan pemikiran Luke Brown. Entah apa maksud pria ini sehingga ingin terus menempel padanya, seolah ia adalah tahanan yang harus diawasi."Bagaimana jika Luke tahu nama pamanku adalah Josh Black? Dia pasti akan mencurigaiku sebagai Miss Black," batin Rose resah.***Rose hanya diam saja sepanjang perjalanan. Ia merasa
Tubuh Rose menegang. Tangannya serasa lunglai hingga tidak sanggup lagi memegang lukisan itu. Beruntung Luke dengan sigap menyangga lengan Rose."Kamu tidak apa-apa? Berikan lukisannya padaku."Luke mengambil alih lukisan itu dan mengamati setiap goresannya.Sebagai seorang pelukis, dia bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Sudah jelas lukisan itu dibuat hanya untuk memberikan tekanan mental kepada Rose. Mawar adalah Rose, hitam mewakili nama keluarga Black, dan warna merah darah melambangkan bagaimana sang pengirim menginginkan kematian Rose."Ini lukisan murahan, tidak usah terlalu dipikirkan," ucap Luke menenangkan Rose."Tapi Luke orang ini tidak main-main buktinya kemarin...." kata Rose terbata. Ia tidak meneruskan ucapannya karena tidak mau membuat pamannya bertambah cemas."Rose, jika kamu takut laporkan saja kejadian ini kepada pihak kepolisian. Dan mulai sekarang jangan bepergian sendiri. Harus ada orang yang menemanimu," ucap Josh prihatin."Tidak perlu melibatkan p
Sesuai perkataan Luke, dua buah truk datang ke panti asuhan. Truk yang lebih besar berisi perabotan seperti tempat tidur, meja belajar, dan lemari baju. Sedangkan truk yang lain memuat bahan makanan, snack, dan pakaian untuk anak-anak. Rose sampai kewalahan menerima barang-barang itu. Apalagi anak-anak saling berebut untuk memilih bagian mereka.Dengan dibantu para suster, Rose mengatur tata letak barang, menyingkirkan perabotan lama, dan membagikan pakaian yang sesuai dengan ukuran masing-masing anak. Entah berapa lama waktu yang dia habiskan dalam kesibukan itu. Namun Luke masih belum terlihat. Hanya Suster Kepala yang keluar dari kantornya untuk menemui Rose. Ia terkagum-kagum melihat kondisi panti yang telah berubah total. Ditambah wajah anak-anak tampak begitu ceria."Wow, Luke membelikan banyak sekali barang. Dia sangat dermawan. Nona Rose, terima kasih sudah membantu kami. Kalian memang pasangan yang serasi, sama-sama baik hati. Semoga Tuhan selalu memberkati kalian dengan keba
Rose mengikuti langkah Luke ke arena menembak. Di depan mereka terpasang beberapa papan target yang telah disiapkan. "Pakai perlengkapan ini untuk melindungi diri," kata Luke menyerahkan alat pelindung yang lengkap kepada Rose. Setelahnya Luke mengambil pistol yang telah terisi penuh lalu bersiap membidik papan target. "Perhatikan cara menembak yang benar. Posisikan lenganmu seperti ini. Pusatkan perhatianmu di satu titik target. Konsentrasi penuh, pandangan lurus, lalu tarik pelatuknya," ujar Luke mengacungkan pistolnya. Dalam sekejap, ia menembak berturut-turut dan semuanya tepat sasaran. Rose berdecak kagum melihat keahlian Luke, tapi ia tidak mau memperlihatkannya agar pria itu tidak besar kepala. "Aku sudah memberikan contoh padamu. Sekarang giliranmu," kata Luke menyerahkan pistolnya kepada Rose. "Aku tidak bisa. Aku belum pernah mencobanya." Melihat keraguan Rose, Luke segera bertindak. Ia bergeser dan memeluk gadis itu dari belakang. Tangan Luke membenarkan posisi pistol
"Menikah? Apa kamu bercanda Luke? Kita tidak saling mencintai dan kamu juga sangat membenciku," tukas Rose tidak percaya. Bahu Rose terguncang pelan menahan gemuruh yang menyesakkan di dalam dadanya. Rose berusaha memalingkan wajahnya dari Luke, tapi pria itu menahan dagunya. "Tatap aku! Mau tahu apa alasanku ingin menikahimu?" tanya Luke dengan tatapan seekor singa yang ingin menerkam mangsanya. Pria di hadapannya ini telah berubah menyeramkan. Sangat berbeda dengan sosok Luke yang dilihatnya di panti asuhan tadi. "Untuk membalas dendam padaku," jawab Rose getir. Hatinya terasa sakit ketika mengatakan itu, layaknya sasaran tembak yang ditembus oleh ribuan peluru. "Tebakanmu sangat akurat, Miss Black. Aku ingin kamu merasakan pernikahan yang menyakitkan sama seperti ibuku. Hidup terikat dengan pria yang mengabaikanmu dan tidak mencintaimu. Itu adalah hukuman yang paling pantas untuk anak perempuan Karen Black." Rose berusaha keras untuk tidak menangis. Ia tidak mau terlihat lemah
Sulit sekali bagi Luke untuk bisa memejamkan mata. Setelah rentetan peristiwa hari ini, ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Banyak hal yang melintas di pikirannya, terutama rencana pernikahannya dengan Rose.Ia yakin seratus persen jika Rose akan setuju untuk menikah dengannya. Namun ia justru tidak yakin pada diri sendiri. Sisi terang dan gelapnya sedang berperang satu sama lain. Entah dia sanggup atau tidak untuk melancarkan aksi balas dendamnya terhadap Rose. Pasalnya ia tidak terbiasa menyiksa batin seorang wanita. Namun sayang, tidak ada jalan baginya untuk mundur.Luke masih ingat bagaimana mendiang ibunya membuatnya bersumpah untuk membalas perbuatan Karen Black. Dan sebagai anak yang berbakti, ia tidak bisa melanggar janji itu."Lebih baik aku melukis untuk menenangkan diri," pikir Luke turun dari tempat tidur.Luke mengambil peralatan melukisnya lalu berjalan menaiki tangga. Pikirannya tertuju pada lukisan Rose yang belum selesai. Hari Senin gadis itu harus membawa lukisanny
Sebastian membisikkan sesuatu ke telinga Luke. Kemudian ia memberi isyarat pada asistennya untuk melepaskan ikatan Denzel. "Baiklah, Peter, kita akan barter. Bebaskan Rose, Tuan Josh, dan Franky. Aku akan membebaskan Denzel." "Tidak bisa, aku akan menukar Rose dengan Denzel. Sedangkan kedua pria ini akan kulepaskan setelah kalian membiarkan aku dan putraku pergi." "Luke, turuti saja kemauannya. Yang terpenting Rose selamat," bisik Sebastian. Luke pun mengangguk. Ia berjalan dan menghampiri Denzel lalu menahan tubuh pria itu. "Aku hitung sampai lima. Kita sama-sama melepaskan mereka!" tegas Luke. Rose yang berada dalam genggaman Peter hanya bisa pasrah. Ia berharap dapat kembali secepatnya ke sisi Luke. Namun ketika bersitatap dengan Denzel, Rose menundukkan kepala. Ia merasa sangat bersalah melihat kondisi Denzel yang memprihatinkan. Apalagi sebagian wajahnya memar karena terkena bekas pukulan. Sebaliknya Denzel menatap nanar kepada Rose dan ayahnya. Hatinya sudah membeku sampa
Saat Rose turun ke bawah, ia melihat kondisi kediaman Gonzalez yang sangat lengang. Entah kemana semua orang saat ini. Sang suami dan mertuanya juga tidak ada, hanya ada empat orang pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu."Nyonya, Anda mau kemana?" tanya salah seorang pengawal di kediaman Gonzalez. Rose tidak tahu nama-nama para pengawal itu sehingga ia bingung harus memberi jawaban apa."Maaf, Tuan, kemana Luke?" tanya Rose mencoba mencari tahu."Nama saya Franky, Nyonya. Tuan Muda dan Tuan Besar keluar rumah karena ada urusan penting. Sebaiknya Anda kembali ke kamar," jawabnya. Ia tidak mengatakan kemana Luke pergi sesuai dengan perintah dari Tuan Besarnya.Rose yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Terlebih Luke sengaja meninggalkan ponselnya di kamar sehingga ia tidak bisa dihubungi. Padahal Rose tidak bisa menunda lagi untuk segera membebaskan sang paman. Rose pun memberanikan diri untuk meminta tolong pada pria kekar bernama Franky itu."Franky, bisa aku minta tol
"Siapa kalian?" tanya Denzel bersiap merogoh pistol yang terselip di pinggangnya. Ia memang selalu membawa senjata untuk berjaga-jaga. Sialnya salah satu orang yang mengepungnya ternyata lebih waspada. Ia segera mengacungkan pistol ke arah Denzel."Buang senjatamu dan angkat tangan sekarang!!! Jika tidak, aku akan langsung menembakkan peluru ini ke kepalamu!" serunya dengan suara menggelegar.Karena tidak punya pilihan, Denzel terpaksa menurut. Ia membuang pistol miliknya ke tanah lalu menatap sengit orang-orang yang mengepungnya."Coba saja tangkap aku jika kalian berani! Tapi jangan menyesal bila setelahnya kalian semua akan mati secara mengenaskan. Kalian pasti sudah tahu siapa aku," tantang Denzel. Dilihat dari gerak-geriknya, jelas sudah bahwa orang-orang ini adalah bagian dari kelompok mafia. Hanya saja Denzel belum mengetahui secara pasti nama organisasi mereka.Beberapa dari mereka tertawa terbahak mendengar ancaman Denzel. "Kamu yang belum tahu siapa kami. Bahkan ayahmu pas
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
"Ini kamu, Rose?" tanya Gwen menggoyangkan lengan Rose. Ia bahkan menyuruh Rose berputar untuk meyakinkan bahwa yang di hadapannya ini adalah sahabatnya, bukan makhluk jadi-jadian."Tentu saja ini aku, Gwen," jawab Rose tenang."Tapi aku baru saja ke kamarmu dan kamu tidak ada.""Benar, Rose. Kami baru akan ke danau Blue Stone untuk mencarimu," timpal Suster Mary.Karena telah membuat semua orang panik, Rose pun memberikan penjelasan."Maafkan saya, Suster. Tadi pagi-pagi sekali saya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri."Gwen memanyunkan bibirnya karena kecewa dengan pengakuan Rose."Padahal aku susah payah bangun pagi untuk meriasmu, ternyata kamu malah ke salon. Dan gaun cantik ini, dari mana kamu mendapatkannya?""Maafkan aku, Gwen. Aku berpikir lebih baik ke salon supaya tidak merepotkanmu. Gaun ini juga pihak salon yang menyediakan.""Kalau begitu kita masuk ke aula saja. Tuan Denzel pasti datang sebentar lagi," ucap Suster Mary menggandeng tangan Rose.Sepanjang jalan menuju
Masih berpelukan satu sama lain, Rose membelai lembut wajah Luke. Banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada suaminya ini, namun tiba-tiba Rose teringat sesuatu. Rasa bersalah pun memenuhi hatinya. Dengan mata berair, Rose menatap Luke."Maaf Luke, aku sudah bersalah padamu. Aku....," ucap Rose tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Luke menarik napas kasar kemudian melerai pelukannya. Ia mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Rose terkejut karena Luke seperti sedang menahan kegusaran terhadap sesuatu. Terlihat wajah tampannya mengetat dengan tangan yang mengepal erat."Aku tahu apa yang mau kamu katakan, Rose. Jangan menyampaikannya di depanku karena mungkin aku tidak bisa menahan diri," tukas Luke. Suaranya berubah dingin sedingin aura yang terpancar dari tubuhnya.Rose terhenyak. Jantungnya berpacu dengan kencang mendengar ucapan Luke. Mungkinkah Luke semarah ini karena sudah mengetahui rencana pertunangannya dengan Denzel? Jika itu benar, lalu bagaimana caranya menjelaskan kepa
Entah berapa lama Rose tidak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, ia terkejut karena berada di ruangan yang asing. Rose mengerjap beberapa kali untuk memastikan dia tidak berhalusinasi. Ruangan tempatnya berada kini hanya diterangi cahaya samar dari lampu tidur di atas nakas. Dalam suasana temaram, Rose melihat bahwa ia berbaring di atas ranjang besar. Selimut berbahan tebal menutupi setengah tubuhnya. Dari semua petunjuk ini, Rose menyimpulkan bahwa ia berada di sebuah kamar. Tapi kamar milik siapa? Berusaha untuk memulihkan nyawa seutuhnya, Rose duduk bersandar pada kepala ranjang. Masih sedikit pening, Rose coba mengingat apa yang terjadi. Sebelum pingsan, ia berada di Danau Blue Stone untuk menggambar. Namun mendadak datang seseorang yang membekapnya dari belakang. Sesudah peristiwa itu, ia tidak ingat apa yang terjadi. Rose menyibak selimutnya dan memandangi dirinya sendiri. Untunglah dia masih berpakaian lengkap. Dia juga tidak merasakan sakit sama sekali. Artinya orang yang m
Ada yang berani mengancammu? Siapa dia?" tanya Peter geram. Ia tidak akan terima bila putra kebanggaannya sampai diusik oleh orang lain. Apalagi ia adalah salah satu tokoh yang cukup disegani di kalangan mafia."Justru itu aku belum tahu. Dia ingin main-main denganku dan aku akan meladeninya," geram Denzel. Matanya berapi-api menggambarkan kemurkaan yang tengah memuncak di kepalanya."Kirimkan saja nomer ponselnya. Papa akan menyuruh anak buah kita untuk melacak lokasinya.""Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri, Pa. Lagipula dia pasti memakai nomer samaran untuk menghubungiku.""Denzel jangan sekali-kali meremehkan orang itu. Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Apalagi mayat Luke Brown belum kita temukan sampai sekarang."Denzel menghembuskan napas kasar untuk mengekspresikan kekesalannya."Aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggu sampai aku berhasil menikahi Rose."Peter Adams maju lalu menepuk bahu putranya."Bagus, Denzel. Beginilah seharusnya seorang Adams