Di dalam hati Rose panik, namun ia tidak memperlihatkannya secara terang-terangan. Rose sudah berlatih sekian tahun untuk menyamar. Dan mengatasi Luke seharusnya bukan hal yang sulit. Ini adalah ujian pertama yang harus dilaluinya sebagai calon pemimpin perusahaan.
"Tuan, saya minta maaf. Saya membuatkan teh itu untuk Tuan Denzel tapi saya meminumnya karena Tuan Denzel pergi meeting. Maafkan kelancangan saya," jawab Rose dengan kepala tertunduk.Luke maju mendekat sambil memicingkan mata."Lain kali jangan coba berbohong padaku. Itu tidak akan berhasil.""Sekali lagi saya minta maaf, Tuan," jawab Rose tanpa memandang Luke."Kenapa Denzel mempekerjakan gadis muda yang suka berbohong sepertimu? Atau mungkin dia memilihmu karena kamu dan Miss Black punya sifat yang sama. Sama-sama pintar berbohong," tukas Luke.Perkataan pedas Luke membuat panas telinga Rose. Entah mengapa lelaki ini membenci Miss Black dan berani menuduhnya sebagai pembohong padahal mereka tidak saling kenal. Apakah mungkin Luke marah karena harus berbagi harta warisan dengannya?"Saya permisi dulu, Tuan. Silakan duduk. Saya akan membereskan meja ini," ujar Rose menyingkirkan cangkir teh itu."Mau kabur setelah ketahuan berbohong?" sindir Luke. Rose berusaha tidak menghiraukannya. Ia tidak mau terpancing emosi apalagi terlibat pertengkaran yang tidak penting dengan pria sombong seperti Luke. Yang harus dia lakukan adalah pergi secepat mungkin dari ruangan itu.Rose melangkah keluar dengan membawa cangkir di tangannya. Ia hendak menghubungi Denzel, tapi pria itu sudah muncul di depan pintu. Gurat kekhawatiran tampak jelas di wajah Denzel."Nona, Anda tidak apa-apa? Saya langsung kembali kesini setelah mendengar kedatangan Tuan Luke.""Iya, dia masih ada di dalam ruang CEO. Tadi dia memergoki aku dan mencurigai aku sebagai Miss Black. Terpaksa aku harus membohonginya," jelas Rose."Kalau begitu Nona pulang saja. Biar saya yang menghadapi Tuan Luke.""Terima kasih, Daddy. Pekerjaanku yang tertunda akan kuselesaikan di akhir pekan," jawab Rose."Hati-hati, Nona. Nanti malam saya akan menjemput Nona jam tujuh untuk makan malam."Rose mengangguk. Tak ayal lagi Denzel adalah sang penyelamat yang selalu siap menolongnya setiap kali dibutuhkan.***Rose menggunakan dress pendek berwarna merah muda dan menambahkan aksesoris kalung di lehernya. Malam ini ia ingin tampil lebih cantik untuk merayakan keberhasilannya melewati audisi bersama Denzel."Daddy, aku sudah siap."Denzel berdiri dan memandang Rose. Ia menekuk sebelah lengannya, mempersilakan Rose untuk menggandeng tangannya.Rose tersenyum lalu mengikuti kemauan walinya itu. Ia sudah terbiasa memahami segala isyarat dari Denzel, begitu pula sebaliknya. Seolah pikiran mereka memang terkoneksi satu sama lain.Denzel membawa Rose makan malam di restoran Perancis yang mewah. Ia ingin Rose menikmati suasana baru selepas semua ketegangan yang dialaminya hari ini."Semua makanannya kelihatan enak, Daddy. Aku jadi bingung harus pilih yang mana. Iringan musik klasiknya juga indah," puji Rose sambil membolak balik buku menu."Biar saya yang memilihkan menu untuk Nona. Saya pernah beberapa kali makan bersama klien penting di restoran ini. Jadi saya sudah tahu mana yang sesuai dengan selera Nona.""Aku kira Daddy pergi berkencan bersama kekasih Daddy," celetuk Rose."Saya tidak punya waktu untuk itu Nona," jawab Denzel datar.Rose pun mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Daddy apa yang Luke tanyakan setelah aku pergi?"
"Dia mengorek keterangan tentang jati diri Nona. Saya mengatakan Nona adalah mahasiswi semester akhir yang magang di kantor sebagai sekretaris."
"Apa dia menyinggung soal Miss Black?" tanya Rose.
"Iya, saya menjawab Miss Black ada di luar negri dan tidak mau diganggu oleh siapapun."
"Dia percaya begitu saja dengan penjelasan itu?" tanya Rose penasaran.
"Saya yakin tidak. Dia pasti mencari bukti-bukti tentang Nona. Nona harus lebih berhati-hati sekarang. Jangan muncul dulu di kantor untuk sementara waktu," tegas Denzel.
"Daddy, saat aku bertemu Luke, aku merasa dia sangat membenci Miss Black. Apa Daddy tahu kenapa dia tidak suka padaku?"Denzel mengedikkan bahunya."Saya tidak tahu banyak tentang masa lalu Tuan Louis dan Tuan Luke. Tuan Louis hanya bercerita kalau dia memiliki seorang anak angkat. Tapi putranya itu pergi bersama istrinya ketika mereka bercerai.""Mungkinkah dia membenciku karena aku anak haram?" pikir Rose sedih.Sudah lama Rose menduga bahwa ibunya adalah orang ketiga dalam pernikahan Louis dan Jessica Brown. Inilah yang menyebabkan ayahnya tidak bisa mengakuinya sebagai anak di hadapan publik. Ia adalah anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan, bukan dari pernikahan yang sah."Jangan terlalu dipikirkan. Itu hanya bagian dari masa lalu," ucap Denzel menghibur Rose."Daddy, apa perlu aku mengaku pada Luke dan meminta maaf atas nama ibuku? Aku ingin menghapus kesalahpahaman dan luka yang pernah ditorehkan ibuku terhadap Nyonya Jessica."Raut wajah Denzel berubah tidak senang saat
Wajah Denzel mengetat. Salah satu tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Jangan ikut campur urusanku! Aku tidak akan membiarkan Papa merusak pondasi yang sudah aku bangun dengan susah payah. Tinggal selangkah lagi dan aku aku akan berhasil," sembur Denzel dengan mata memerah. Terdengar suara tawa membahana Tuan X dari seberang sana. "Ini yang kusuka, mendengarmu meluapkan semua amarahmu. Penerusku harus garang dan penuh ambisi. Tidak ada tempat untuk pria lemah lembut yang mengutamakan perasaan," ujar Tuan X bersemangat. Berikutnya dia sengaja mencela sepak terjang Denzel. "Aku kira kamu sudah melupakan rencana besar kita karena jatuh cinta pada gadis ingusan itu." Denzel mendengus kasar sebelum memberikan responnya. "Aku sudah bersumpah di hadapan Papa, tentu saja aku tidak akan mengingkarinya. Cinta tidak masuk dalam prioritasku. Lihat saja bagaimana aku menguasai semua yang dimiliki Louis Brown, terutama putri tunggalnya." "Hmmmmm, aku tidak sabar menunggu sa
Luke tersenyum secerah mentari kepada para mahasiswa di dalam kelas. Sikapnya ini sungguh berbanding terbalik dengan keangkuhan yang ditunjukkannya saat berada di kantor Brown Group. Bahkan ia tampil santai dengan kemeja hitam yang lengannya digulung setengah, dipadu celana jeans berwarna biru tua.Rose segera menyembunyikan wajahnya. Ia berharap Luke tidak akan mengenalinya di antara dua puluh mahasiswa di ruangan tersebut."Selamat pagi. Suatu kehormatan tersendiri bagi saya diundang ke kelas melukis oleh Mr. Zack. Jujur saya masih pemula dalam bidang seni lukis. Saya tidak menyangka akan diberi kehormatan sebesar ini," ucap Luke merendah.Rose berdecih di dalam hati. Ia menganggap Luke sebagai manusia munafik yang berakting rendah hati agar menerima banyak pujian."Anda tidak bisa dikatakan sebagai pemula. Lukisan Anda yang bertajuk Woman In The Rain sangat terkenal. Begitu juga dengan lukisan kedua Anda The Snowy Mansion yang menjadi trend baru di kalangan anak muda. Lukisan itu a
Setelah menimbang-nimbang, Rose memutuskan untuk tetap melukis Taj Mahal. Ia tidak peduli menang atau kalah. Toh di kelas melukis banyak mahasiswa yang memiliki bakat luar biasa. Yang terpenting adalah mengerjakan tugasnya dengan sepenuh hati. Seorang seniman sejati harus bisa mengendalikan emosi, bukan membiarkan diri terlarut di dalamnya. Rose mulai mencampur cat minyak dan menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Tidak ada gunanya ia terlalu mencemaskan Luke. Belum tentu juga pria itu mengenalinya karena mereka baru satu kali bertemu. Itupun dalam keadaan yang berbeda. Sementara itu, Mr. Zack dan Luke sudah sampai pada gadis yang duduk di samping kiri Rose. Mereka berhenti untuk menanyakan apa yang akan dilukis gadis itu. "Jean, apa yang akan kamu lukis?" tanya Mr. Zack. "Saya akan melukis Machu Picchu, Sir." "Pilihan yang bagus. Selamat bekerja, Jean," puji Mr. Zack. "Semoga berhasil," timpal Luke memberikan semangat. Ia berlalu mengikuti Mr. Zack menuju ke kursi Rose. Rose sud
Rose sontak menoleh. Sekarang ia tahu benar siapa orang yang menahan tangannya."Tuan Luke, Anda mau apa? Tolong lepaskan saya. Jika saya berteriak maka orang-orang di kampus ini akan berdatangan dan membawa Tuan ke kantor polisi," ancam Rose.Luke terkekeh pelan. Ia mengendurkan genggamannya lalu melepaskan tangan Rose."Jangan terlalu percaya diri, Rose. Aku tidak berminat padamu. Aku hanya ingin bertanya kenapa sekretaris Miss Black kuliah di fakultas seni. Ini tidak masuk akal."Luke menajamkan sorot matanya seolah ingin menguliti Rose hidup-hidup. Jika saja mentalnya tidak terlatih, tentu Rose akan lari dari tempat ini secepatnya. Namun, itu untungnya tak terjadi. Melihat itu, senyum sinis tersungging di wajah Luke."Denzel mengatakan kalau kamu adalah mahasiswi semester akhir. Aku kira latar belakang pendidikanmu berkaitan dengan bisnis atau arsitek, sehingga kamu diterima bekerja di perusahaan ayahku. Tapi, aku menemukanmu di kelas melukis. Lalu siapa yang konyol disini, Miss B
Luke menambah kecepatan mobilnya agar lekas sampai di kantor Brown Group. Sengaja ia tidak menghubungi Denzel terlebih dahulu. Ia akan memberikan kejutan besar kepada pria itu sekaligus memeriksa apa yang sedang dikerjakannya di kantor.Luke yakin bila Denzel telah meraup banyak keuntungan dari perusahaan. Pasalnya selepas kepergian ayahnya, Denzel-lah yang menjalankan roda perusahaan tanpa ada yang mengawasinya. Mungkin juga ia menjalin hubungan gelap dengan Miss Black sehingga mendapatkan kekuasaan yang tak terbatas.Kala itu Luke tidak mempedulikan soal harta warisan karena masih menemani ibu angkatnya menjalani kemoterapi di rumah sakit. Ia juga tidak berminat mengurusi perusahaan karena disibukkan oleh berbagai macam kegiatan kuliah.Begitu tiba di kantor Brown Group, Luke langsung menuju ke lantai sepuluh. Security maupun resepsionis tidak ada yang berani menghalangi langkahnya. Mereka tahu bahwa pria ini adalah putra pemilik perusahaan. Jika tidak menghormatinya, tentu mereka a
Setelah Luke pergi, Denzel mengayunkan tinjunya ke udara. Rasanya ia ingin menghantam wajah pemuda itu jika saja ia tidak harus menjaga image di depan Rose. Berani-beraninya ia memerintah seorang Denzel Adams tanpa merasa sungkan sama sekali.Luke kini telah memperlihatkan taringnya. Ia harus menyingkirkan putra angkat Louis Brown ini sebelum menjadi duri dalam daging. Dia tidak akan membiarkan Luke mengacaukan rencananya untuk membalas dendam kepada keluarga Brown.***Seorang lelaki berkepala botak menenteng tas kopernya keluar dari bandara. Ujung mantel panjangnya bergerak-gerak tertiup angin. Pria itu menengok ke segala arah untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya.Ia berjalan menuju ke sebuah mobil merah yang telah menantinya di parkiran bandara."Cepat masuk, Hendrick!" panggil seorang wanita berambut ikal seraya menurunkan jendela mobilnya.Pria bernama Hendrick itu membuka bagasi mobil lalu memasukkan kopernya. Selanjutnya ia membuka pintu mobil dan duduk di sebelah kursi
"Luke pasti akan curiga padaku," ucap Rose ragu-ragu. "Tidak usah mencemaskan itu Nona. Saya akan membuatkan surat kuasa atas nama Miss Black untuk menjadikan Nona sebagai perwakilannya di mansion. Ingat Nona sekarang adalah Rose Carter, bukan Roseanne Black." "Terima kasih, Daddy. Aku bisa tenang sekarang. Besok aku akan segera pindah ke mansion," ucap Rose mengakhiri panggilannya. Rose menyimpan ponselnya di dalam laci. Malam ini ia akan meminta izin kepada pamannya untuk pindah rumah. Meskipun berat baginya untuk berpisah dari sang paman, Rose harus melakukannya demi mempertahankan mansion warisan ayahnya. "Uncle," panggil Rose sambil mengetuk pintu kamar pamannya. Tak lama pintu terbuka dari dalam. Namun yang muncul di ambang pintu justru Lily, bukan Josh. Dengan wajah masam, Lily menatap Rose. "Kenapa mengganggu kami malam-malam? Kamu tidak lihat jam berapa sekarang?" tanya Lily ketus. "Maaf, Auntie ada hal mendesak yang harus aku bicarakan dengan Uncle Josh." Mendengar su
Sebastian membisikkan sesuatu ke telinga Luke. Kemudian ia memberi isyarat pada asistennya untuk melepaskan ikatan Denzel. "Baiklah, Peter, kita akan barter. Bebaskan Rose, Tuan Josh, dan Franky. Aku akan membebaskan Denzel." "Tidak bisa, aku akan menukar Rose dengan Denzel. Sedangkan kedua pria ini akan kulepaskan setelah kalian membiarkan aku dan putraku pergi." "Luke, turuti saja kemauannya. Yang terpenting Rose selamat," bisik Sebastian. Luke pun mengangguk. Ia berjalan dan menghampiri Denzel lalu menahan tubuh pria itu. "Aku hitung sampai lima. Kita sama-sama melepaskan mereka!" tegas Luke. Rose yang berada dalam genggaman Peter hanya bisa pasrah. Ia berharap dapat kembali secepatnya ke sisi Luke. Namun ketika bersitatap dengan Denzel, Rose menundukkan kepala. Ia merasa sangat bersalah melihat kondisi Denzel yang memprihatinkan. Apalagi sebagian wajahnya memar karena terkena bekas pukulan. Sebaliknya Denzel menatap nanar kepada Rose dan ayahnya. Hatinya sudah membeku sampa
Saat Rose turun ke bawah, ia melihat kondisi kediaman Gonzalez yang sangat lengang. Entah kemana semua orang saat ini. Sang suami dan mertuanya juga tidak ada, hanya ada empat orang pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu."Nyonya, Anda mau kemana?" tanya salah seorang pengawal di kediaman Gonzalez. Rose tidak tahu nama-nama para pengawal itu sehingga ia bingung harus memberi jawaban apa."Maaf, Tuan, kemana Luke?" tanya Rose mencoba mencari tahu."Nama saya Franky, Nyonya. Tuan Muda dan Tuan Besar keluar rumah karena ada urusan penting. Sebaiknya Anda kembali ke kamar," jawabnya. Ia tidak mengatakan kemana Luke pergi sesuai dengan perintah dari Tuan Besarnya.Rose yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Terlebih Luke sengaja meninggalkan ponselnya di kamar sehingga ia tidak bisa dihubungi. Padahal Rose tidak bisa menunda lagi untuk segera membebaskan sang paman. Rose pun memberanikan diri untuk meminta tolong pada pria kekar bernama Franky itu."Franky, bisa aku minta tol
"Siapa kalian?" tanya Denzel bersiap merogoh pistol yang terselip di pinggangnya. Ia memang selalu membawa senjata untuk berjaga-jaga. Sialnya salah satu orang yang mengepungnya ternyata lebih waspada. Ia segera mengacungkan pistol ke arah Denzel."Buang senjatamu dan angkat tangan sekarang!!! Jika tidak, aku akan langsung menembakkan peluru ini ke kepalamu!" serunya dengan suara menggelegar.Karena tidak punya pilihan, Denzel terpaksa menurut. Ia membuang pistol miliknya ke tanah lalu menatap sengit orang-orang yang mengepungnya."Coba saja tangkap aku jika kalian berani! Tapi jangan menyesal bila setelahnya kalian semua akan mati secara mengenaskan. Kalian pasti sudah tahu siapa aku," tantang Denzel. Dilihat dari gerak-geriknya, jelas sudah bahwa orang-orang ini adalah bagian dari kelompok mafia. Hanya saja Denzel belum mengetahui secara pasti nama organisasi mereka.Beberapa dari mereka tertawa terbahak mendengar ancaman Denzel. "Kamu yang belum tahu siapa kami. Bahkan ayahmu pas
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
"Ini kamu, Rose?" tanya Gwen menggoyangkan lengan Rose. Ia bahkan menyuruh Rose berputar untuk meyakinkan bahwa yang di hadapannya ini adalah sahabatnya, bukan makhluk jadi-jadian."Tentu saja ini aku, Gwen," jawab Rose tenang."Tapi aku baru saja ke kamarmu dan kamu tidak ada.""Benar, Rose. Kami baru akan ke danau Blue Stone untuk mencarimu," timpal Suster Mary.Karena telah membuat semua orang panik, Rose pun memberikan penjelasan."Maafkan saya, Suster. Tadi pagi-pagi sekali saya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri."Gwen memanyunkan bibirnya karena kecewa dengan pengakuan Rose."Padahal aku susah payah bangun pagi untuk meriasmu, ternyata kamu malah ke salon. Dan gaun cantik ini, dari mana kamu mendapatkannya?""Maafkan aku, Gwen. Aku berpikir lebih baik ke salon supaya tidak merepotkanmu. Gaun ini juga pihak salon yang menyediakan.""Kalau begitu kita masuk ke aula saja. Tuan Denzel pasti datang sebentar lagi," ucap Suster Mary menggandeng tangan Rose.Sepanjang jalan menuju
Masih berpelukan satu sama lain, Rose membelai lembut wajah Luke. Banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada suaminya ini, namun tiba-tiba Rose teringat sesuatu. Rasa bersalah pun memenuhi hatinya. Dengan mata berair, Rose menatap Luke."Maaf Luke, aku sudah bersalah padamu. Aku....," ucap Rose tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Luke menarik napas kasar kemudian melerai pelukannya. Ia mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Rose terkejut karena Luke seperti sedang menahan kegusaran terhadap sesuatu. Terlihat wajah tampannya mengetat dengan tangan yang mengepal erat."Aku tahu apa yang mau kamu katakan, Rose. Jangan menyampaikannya di depanku karena mungkin aku tidak bisa menahan diri," tukas Luke. Suaranya berubah dingin sedingin aura yang terpancar dari tubuhnya.Rose terhenyak. Jantungnya berpacu dengan kencang mendengar ucapan Luke. Mungkinkah Luke semarah ini karena sudah mengetahui rencana pertunangannya dengan Denzel? Jika itu benar, lalu bagaimana caranya menjelaskan kepa
Entah berapa lama Rose tidak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, ia terkejut karena berada di ruangan yang asing. Rose mengerjap beberapa kali untuk memastikan dia tidak berhalusinasi. Ruangan tempatnya berada kini hanya diterangi cahaya samar dari lampu tidur di atas nakas. Dalam suasana temaram, Rose melihat bahwa ia berbaring di atas ranjang besar. Selimut berbahan tebal menutupi setengah tubuhnya. Dari semua petunjuk ini, Rose menyimpulkan bahwa ia berada di sebuah kamar. Tapi kamar milik siapa? Berusaha untuk memulihkan nyawa seutuhnya, Rose duduk bersandar pada kepala ranjang. Masih sedikit pening, Rose coba mengingat apa yang terjadi. Sebelum pingsan, ia berada di Danau Blue Stone untuk menggambar. Namun mendadak datang seseorang yang membekapnya dari belakang. Sesudah peristiwa itu, ia tidak ingat apa yang terjadi. Rose menyibak selimutnya dan memandangi dirinya sendiri. Untunglah dia masih berpakaian lengkap. Dia juga tidak merasakan sakit sama sekali. Artinya orang yang m
Ada yang berani mengancammu? Siapa dia?" tanya Peter geram. Ia tidak akan terima bila putra kebanggaannya sampai diusik oleh orang lain. Apalagi ia adalah salah satu tokoh yang cukup disegani di kalangan mafia."Justru itu aku belum tahu. Dia ingin main-main denganku dan aku akan meladeninya," geram Denzel. Matanya berapi-api menggambarkan kemurkaan yang tengah memuncak di kepalanya."Kirimkan saja nomer ponselnya. Papa akan menyuruh anak buah kita untuk melacak lokasinya.""Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri, Pa. Lagipula dia pasti memakai nomer samaran untuk menghubungiku.""Denzel jangan sekali-kali meremehkan orang itu. Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Apalagi mayat Luke Brown belum kita temukan sampai sekarang."Denzel menghembuskan napas kasar untuk mengekspresikan kekesalannya."Aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggu sampai aku berhasil menikahi Rose."Peter Adams maju lalu menepuk bahu putranya."Bagus, Denzel. Beginilah seharusnya seorang Adams