"Daddy, saat aku bertemu Luke, aku merasa dia sangat membenci Miss Black. Apa Daddy tahu kenapa dia tidak suka padaku?"
Denzel mengedikkan bahunya."Saya tidak tahu banyak tentang masa lalu Tuan Louis dan Tuan Luke. Tuan Louis hanya bercerita kalau dia memiliki seorang anak angkat. Tapi putranya itu pergi bersama istrinya ketika mereka bercerai.""Mungkinkah dia membenciku karena aku anak haram?" pikir Rose sedih.Sudah lama Rose menduga bahwa ibunya adalah orang ketiga dalam pernikahan Louis dan Jessica Brown. Inilah yang menyebabkan ayahnya tidak bisa mengakuinya sebagai anak di hadapan publik. Ia adalah anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan, bukan dari pernikahan yang sah."Jangan terlalu dipikirkan. Itu hanya bagian dari masa lalu," ucap Denzel menghibur Rose."Daddy, apa perlu aku mengaku pada Luke dan meminta maaf atas nama ibuku? Aku ingin menghapus kesalahpahaman dan luka yang pernah ditorehkan ibuku terhadap Nyonya Jessica."Raut wajah Denzel berubah tidak senang saat mendengar ide yang dicetuskan Rose. Ia langsung menggenggam tangan Rose dengan posesif."Nona tidak perlu melakukan itu. Semua yang terjadi bukan kesalahan Nona. Justru Nona-lah yang menjadi korban.""Saya melarang Nona untuk dekat-dekat dengan Luke Brown apalagi membuka identitas asli Nona. Kita tidak tahu bagaimana sifat aslinya. Mungkin saja dia bermaksud jahat atau berusaha mencelakakan Nona," tukas Denzel memperingatkan Rose."Iya, aku berjanji akan mematuhi larangan Daddy," kata Rose patuh.Dari intonasi suara Denzel, pria itu nampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dan Rose tidak ingin sekalipun mengecewakan Denzel.Rose menghentikan segala pertanyaan tentang Luke. Ia kembali menikmati ice cream yang dipesankan Denzel sebagai makanan penutup. Namun mendadak ia merasakan jemari Denzel menyentuh sudut bibirnya."Ada sisa ice cream di bibir Nona," ucap Denzel lembut."Oh iya," jawab Rose merasa malu.Tindakan Denzel membuat Rose jadi salah tingkah. Baru kali ia merasa diperlakukan secara berbeda oleh pria itu. Terkadang Rose tidak bisa memahami sikap Denzel yang seringkali berubah-ubah. Sebentar ia terlihat tegas dan dingin, tetapi di lain kesempatan dia tampak hangat dan penuh kasih sayang.***Denzel mengantarkan Rose sampai di depan gerbang rumahnya. Setelah itu, ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke apartemen. Hari ini tubuhnya sangat lelah karena banyaknya pekerjaan. Selain itu ia terganggu dengan kedatangan Luke Brown yang tiba-tiba. Terlebih Luke terlihat cerdik sekaligus menjengkelkan. Karena itu ia harus memastikan Luke tidak akan menjadi penghalangnya. Ia tidak akan tinggal diam bila pria itu sampai mengusik Rose dan perusahaan Brown Group.Ketika sampai di apartemen, ponsel Denzel bergetar. Ia melihat nama Tuan X muncul di layar ponselnya yang berkelap-kelip. Denzel mendesah panjang lalu mengangkat panggilan tersebut."Kenapa menelponku malam-malam?" tanya Denzel kesal."Sejak kapan aku harus memiliki alasan untuk menelpon putraku sendiri. Aku hanya ingin bertanya kapan kamu akan menikahi gadis itu?" balas Tuan X dari balik telpon."Jangan mendesakku, Pa. Rasanya sudah ratusan kali Papa menanyakan hal yang sama. Aku baru pulang makan malam dengan Rose. Biarkan aku beristirahat," jawab Denzel melepas jam tangannya."Makan malam? Kamu terlalu lamban, Denzel. Sampai berapa tahun lagi kamu akan mengulur-ulur waktu. Apa waktu tujuh tahun belum cukup bagimu? Jika ayahnya saja percaya padamu bukankah lebih mudah menaklukkan putrinya," tanya Tuan X dengan nada meninggi."Sudah kubilang aku akan menunggu sampai Rose lulus kuliah. Setelah itu aku pasti menikahinya," tandas Denzel."Baiklah, aku akan bersabar sekali lagi. Selama ini aku mengikuti cara halus yang kamu lakukan. Tapi jika kamu tidak kunjung bertindak, maka ayahmu ini yang akan mengambil alih. Dan kamu tahu benar bagaimana sifatku dan cara apa yang akan kutempuh," ancam pria itu.Wajah Denzel mengetat. Salah satu tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Jangan ikut campur urusanku! Aku tidak akan membiarkan Papa merusak pondasi yang sudah aku bangun dengan susah payah. Tinggal selangkah lagi dan aku aku akan berhasil," sembur Denzel dengan mata memerah. Terdengar suara tawa membahana Tuan X dari seberang sana. "Ini yang kusuka, mendengarmu meluapkan semua amarahmu. Penerusku harus garang dan penuh ambisi. Tidak ada tempat untuk pria lemah lembut yang mengutamakan perasaan," ujar Tuan X bersemangat. Berikutnya dia sengaja mencela sepak terjang Denzel. "Aku kira kamu sudah melupakan rencana besar kita karena jatuh cinta pada gadis ingusan itu." Denzel mendengus kasar sebelum memberikan responnya. "Aku sudah bersumpah di hadapan Papa, tentu saja aku tidak akan mengingkarinya. Cinta tidak masuk dalam prioritasku. Lihat saja bagaimana aku menguasai semua yang dimiliki Louis Brown, terutama putri tunggalnya." "Hmmmmm, aku tidak sabar menunggu sa
Luke tersenyum secerah mentari kepada para mahasiswa di dalam kelas. Sikapnya ini sungguh berbanding terbalik dengan keangkuhan yang ditunjukkannya saat berada di kantor Brown Group. Bahkan ia tampil santai dengan kemeja hitam yang lengannya digulung setengah, dipadu celana jeans berwarna biru tua.Rose segera menyembunyikan wajahnya. Ia berharap Luke tidak akan mengenalinya di antara dua puluh mahasiswa di ruangan tersebut."Selamat pagi. Suatu kehormatan tersendiri bagi saya diundang ke kelas melukis oleh Mr. Zack. Jujur saya masih pemula dalam bidang seni lukis. Saya tidak menyangka akan diberi kehormatan sebesar ini," ucap Luke merendah.Rose berdecih di dalam hati. Ia menganggap Luke sebagai manusia munafik yang berakting rendah hati agar menerima banyak pujian."Anda tidak bisa dikatakan sebagai pemula. Lukisan Anda yang bertajuk Woman In The Rain sangat terkenal. Begitu juga dengan lukisan kedua Anda The Snowy Mansion yang menjadi trend baru di kalangan anak muda. Lukisan itu a
Setelah menimbang-nimbang, Rose memutuskan untuk tetap melukis Taj Mahal. Ia tidak peduli menang atau kalah. Toh di kelas melukis banyak mahasiswa yang memiliki bakat luar biasa. Yang terpenting adalah mengerjakan tugasnya dengan sepenuh hati. Seorang seniman sejati harus bisa mengendalikan emosi, bukan membiarkan diri terlarut di dalamnya. Rose mulai mencampur cat minyak dan menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Tidak ada gunanya ia terlalu mencemaskan Luke. Belum tentu juga pria itu mengenalinya karena mereka baru satu kali bertemu. Itupun dalam keadaan yang berbeda. Sementara itu, Mr. Zack dan Luke sudah sampai pada gadis yang duduk di samping kiri Rose. Mereka berhenti untuk menanyakan apa yang akan dilukis gadis itu. "Jean, apa yang akan kamu lukis?" tanya Mr. Zack. "Saya akan melukis Machu Picchu, Sir." "Pilihan yang bagus. Selamat bekerja, Jean," puji Mr. Zack. "Semoga berhasil," timpal Luke memberikan semangat. Ia berlalu mengikuti Mr. Zack menuju ke kursi Rose. Rose sud
Rose sontak menoleh. Sekarang ia tahu benar siapa orang yang menahan tangannya."Tuan Luke, Anda mau apa? Tolong lepaskan saya. Jika saya berteriak maka orang-orang di kampus ini akan berdatangan dan membawa Tuan ke kantor polisi," ancam Rose.Luke terkekeh pelan. Ia mengendurkan genggamannya lalu melepaskan tangan Rose."Jangan terlalu percaya diri, Rose. Aku tidak berminat padamu. Aku hanya ingin bertanya kenapa sekretaris Miss Black kuliah di fakultas seni. Ini tidak masuk akal."Luke menajamkan sorot matanya seolah ingin menguliti Rose hidup-hidup. Jika saja mentalnya tidak terlatih, tentu Rose akan lari dari tempat ini secepatnya. Namun, itu untungnya tak terjadi. Melihat itu, senyum sinis tersungging di wajah Luke."Denzel mengatakan kalau kamu adalah mahasiswi semester akhir. Aku kira latar belakang pendidikanmu berkaitan dengan bisnis atau arsitek, sehingga kamu diterima bekerja di perusahaan ayahku. Tapi, aku menemukanmu di kelas melukis. Lalu siapa yang konyol disini, Miss B
Luke menambah kecepatan mobilnya agar lekas sampai di kantor Brown Group. Sengaja ia tidak menghubungi Denzel terlebih dahulu. Ia akan memberikan kejutan besar kepada pria itu sekaligus memeriksa apa yang sedang dikerjakannya di kantor.Luke yakin bila Denzel telah meraup banyak keuntungan dari perusahaan. Pasalnya selepas kepergian ayahnya, Denzel-lah yang menjalankan roda perusahaan tanpa ada yang mengawasinya. Mungkin juga ia menjalin hubungan gelap dengan Miss Black sehingga mendapatkan kekuasaan yang tak terbatas.Kala itu Luke tidak mempedulikan soal harta warisan karena masih menemani ibu angkatnya menjalani kemoterapi di rumah sakit. Ia juga tidak berminat mengurusi perusahaan karena disibukkan oleh berbagai macam kegiatan kuliah.Begitu tiba di kantor Brown Group, Luke langsung menuju ke lantai sepuluh. Security maupun resepsionis tidak ada yang berani menghalangi langkahnya. Mereka tahu bahwa pria ini adalah putra pemilik perusahaan. Jika tidak menghormatinya, tentu mereka a
Setelah Luke pergi, Denzel mengayunkan tinjunya ke udara. Rasanya ia ingin menghantam wajah pemuda itu jika saja ia tidak harus menjaga image di depan Rose. Berani-beraninya ia memerintah seorang Denzel Adams tanpa merasa sungkan sama sekali.Luke kini telah memperlihatkan taringnya. Ia harus menyingkirkan putra angkat Louis Brown ini sebelum menjadi duri dalam daging. Dia tidak akan membiarkan Luke mengacaukan rencananya untuk membalas dendam kepada keluarga Brown.***Seorang lelaki berkepala botak menenteng tas kopernya keluar dari bandara. Ujung mantel panjangnya bergerak-gerak tertiup angin. Pria itu menengok ke segala arah untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya.Ia berjalan menuju ke sebuah mobil merah yang telah menantinya di parkiran bandara."Cepat masuk, Hendrick!" panggil seorang wanita berambut ikal seraya menurunkan jendela mobilnya.Pria bernama Hendrick itu membuka bagasi mobil lalu memasukkan kopernya. Selanjutnya ia membuka pintu mobil dan duduk di sebelah kursi
"Luke pasti akan curiga padaku," ucap Rose ragu-ragu. "Tidak usah mencemaskan itu Nona. Saya akan membuatkan surat kuasa atas nama Miss Black untuk menjadikan Nona sebagai perwakilannya di mansion. Ingat Nona sekarang adalah Rose Carter, bukan Roseanne Black." "Terima kasih, Daddy. Aku bisa tenang sekarang. Besok aku akan segera pindah ke mansion," ucap Rose mengakhiri panggilannya. Rose menyimpan ponselnya di dalam laci. Malam ini ia akan meminta izin kepada pamannya untuk pindah rumah. Meskipun berat baginya untuk berpisah dari sang paman, Rose harus melakukannya demi mempertahankan mansion warisan ayahnya. "Uncle," panggil Rose sambil mengetuk pintu kamar pamannya. Tak lama pintu terbuka dari dalam. Namun yang muncul di ambang pintu justru Lily, bukan Josh. Dengan wajah masam, Lily menatap Rose. "Kenapa mengganggu kami malam-malam? Kamu tidak lihat jam berapa sekarang?" tanya Lily ketus. "Maaf, Auntie ada hal mendesak yang harus aku bicarakan dengan Uncle Josh." Mendengar su
Rose memasukkan kopernya ke bagasi mobil. Setelah menyalakan mesin mobilnya, Rose melambaikan tangan sekali lagi sebelum meninggalkan Lily dan Chloe.Chloe membalas lambaian tangan Rose. Rasa senang membuncah di hatinya. Pasalnya ia bebas menguasai rumah Rose dan tidak perlu membagi kasih sayang ayahnya kepada sepupunya itu. Berbeda dengan Lily yang terus memandangi mobil Rose hingga menghilang dari jalan."Mommy tidak rela kehilangan Rose?" tanya Chloe menatap ibunya."Tidak, Chloe. Mommy ingin tahu sebenarnya Rose pindah kemana. Hanya ada dua kemungkinan. Pertama dia ke rumah ayah kandungnya, kedua dia ke apartemen Tuan Denzel. Menurutmu bagaimana?"Chloe mengangkat pundaknya."Ah, aku malas menjawab pertanyaan Mommy. Aku tidak peduli Rose kemana dan tinggal dengan siapa. Itu urusannya sendiri. Aku mau siap-siap ke kampus," ujar Chloe meninggalkan ibunya yang masih berdiri di pintu."Dasar anak itu, tidak bisa diajak kerja sama. Lain kali aku akan meminta bantuan orang lain saja unt
Sebastian membisikkan sesuatu ke telinga Luke. Kemudian ia memberi isyarat pada asistennya untuk melepaskan ikatan Denzel. "Baiklah, Peter, kita akan barter. Bebaskan Rose, Tuan Josh, dan Franky. Aku akan membebaskan Denzel." "Tidak bisa, aku akan menukar Rose dengan Denzel. Sedangkan kedua pria ini akan kulepaskan setelah kalian membiarkan aku dan putraku pergi." "Luke, turuti saja kemauannya. Yang terpenting Rose selamat," bisik Sebastian. Luke pun mengangguk. Ia berjalan dan menghampiri Denzel lalu menahan tubuh pria itu. "Aku hitung sampai lima. Kita sama-sama melepaskan mereka!" tegas Luke. Rose yang berada dalam genggaman Peter hanya bisa pasrah. Ia berharap dapat kembali secepatnya ke sisi Luke. Namun ketika bersitatap dengan Denzel, Rose menundukkan kepala. Ia merasa sangat bersalah melihat kondisi Denzel yang memprihatinkan. Apalagi sebagian wajahnya memar karena terkena bekas pukulan. Sebaliknya Denzel menatap nanar kepada Rose dan ayahnya. Hatinya sudah membeku sampa
Saat Rose turun ke bawah, ia melihat kondisi kediaman Gonzalez yang sangat lengang. Entah kemana semua orang saat ini. Sang suami dan mertuanya juga tidak ada, hanya ada empat orang pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu."Nyonya, Anda mau kemana?" tanya salah seorang pengawal di kediaman Gonzalez. Rose tidak tahu nama-nama para pengawal itu sehingga ia bingung harus memberi jawaban apa."Maaf, Tuan, kemana Luke?" tanya Rose mencoba mencari tahu."Nama saya Franky, Nyonya. Tuan Muda dan Tuan Besar keluar rumah karena ada urusan penting. Sebaiknya Anda kembali ke kamar," jawabnya. Ia tidak mengatakan kemana Luke pergi sesuai dengan perintah dari Tuan Besarnya.Rose yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Terlebih Luke sengaja meninggalkan ponselnya di kamar sehingga ia tidak bisa dihubungi. Padahal Rose tidak bisa menunda lagi untuk segera membebaskan sang paman. Rose pun memberanikan diri untuk meminta tolong pada pria kekar bernama Franky itu."Franky, bisa aku minta tol
"Siapa kalian?" tanya Denzel bersiap merogoh pistol yang terselip di pinggangnya. Ia memang selalu membawa senjata untuk berjaga-jaga. Sialnya salah satu orang yang mengepungnya ternyata lebih waspada. Ia segera mengacungkan pistol ke arah Denzel."Buang senjatamu dan angkat tangan sekarang!!! Jika tidak, aku akan langsung menembakkan peluru ini ke kepalamu!" serunya dengan suara menggelegar.Karena tidak punya pilihan, Denzel terpaksa menurut. Ia membuang pistol miliknya ke tanah lalu menatap sengit orang-orang yang mengepungnya."Coba saja tangkap aku jika kalian berani! Tapi jangan menyesal bila setelahnya kalian semua akan mati secara mengenaskan. Kalian pasti sudah tahu siapa aku," tantang Denzel. Dilihat dari gerak-geriknya, jelas sudah bahwa orang-orang ini adalah bagian dari kelompok mafia. Hanya saja Denzel belum mengetahui secara pasti nama organisasi mereka.Beberapa dari mereka tertawa terbahak mendengar ancaman Denzel. "Kamu yang belum tahu siapa kami. Bahkan ayahmu pas
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
"Ini kamu, Rose?" tanya Gwen menggoyangkan lengan Rose. Ia bahkan menyuruh Rose berputar untuk meyakinkan bahwa yang di hadapannya ini adalah sahabatnya, bukan makhluk jadi-jadian."Tentu saja ini aku, Gwen," jawab Rose tenang."Tapi aku baru saja ke kamarmu dan kamu tidak ada.""Benar, Rose. Kami baru akan ke danau Blue Stone untuk mencarimu," timpal Suster Mary.Karena telah membuat semua orang panik, Rose pun memberikan penjelasan."Maafkan saya, Suster. Tadi pagi-pagi sekali saya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri."Gwen memanyunkan bibirnya karena kecewa dengan pengakuan Rose."Padahal aku susah payah bangun pagi untuk meriasmu, ternyata kamu malah ke salon. Dan gaun cantik ini, dari mana kamu mendapatkannya?""Maafkan aku, Gwen. Aku berpikir lebih baik ke salon supaya tidak merepotkanmu. Gaun ini juga pihak salon yang menyediakan.""Kalau begitu kita masuk ke aula saja. Tuan Denzel pasti datang sebentar lagi," ucap Suster Mary menggandeng tangan Rose.Sepanjang jalan menuju
Masih berpelukan satu sama lain, Rose membelai lembut wajah Luke. Banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada suaminya ini, namun tiba-tiba Rose teringat sesuatu. Rasa bersalah pun memenuhi hatinya. Dengan mata berair, Rose menatap Luke."Maaf Luke, aku sudah bersalah padamu. Aku....," ucap Rose tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Luke menarik napas kasar kemudian melerai pelukannya. Ia mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Rose terkejut karena Luke seperti sedang menahan kegusaran terhadap sesuatu. Terlihat wajah tampannya mengetat dengan tangan yang mengepal erat."Aku tahu apa yang mau kamu katakan, Rose. Jangan menyampaikannya di depanku karena mungkin aku tidak bisa menahan diri," tukas Luke. Suaranya berubah dingin sedingin aura yang terpancar dari tubuhnya.Rose terhenyak. Jantungnya berpacu dengan kencang mendengar ucapan Luke. Mungkinkah Luke semarah ini karena sudah mengetahui rencana pertunangannya dengan Denzel? Jika itu benar, lalu bagaimana caranya menjelaskan kepa
Entah berapa lama Rose tidak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, ia terkejut karena berada di ruangan yang asing. Rose mengerjap beberapa kali untuk memastikan dia tidak berhalusinasi. Ruangan tempatnya berada kini hanya diterangi cahaya samar dari lampu tidur di atas nakas. Dalam suasana temaram, Rose melihat bahwa ia berbaring di atas ranjang besar. Selimut berbahan tebal menutupi setengah tubuhnya. Dari semua petunjuk ini, Rose menyimpulkan bahwa ia berada di sebuah kamar. Tapi kamar milik siapa? Berusaha untuk memulihkan nyawa seutuhnya, Rose duduk bersandar pada kepala ranjang. Masih sedikit pening, Rose coba mengingat apa yang terjadi. Sebelum pingsan, ia berada di Danau Blue Stone untuk menggambar. Namun mendadak datang seseorang yang membekapnya dari belakang. Sesudah peristiwa itu, ia tidak ingat apa yang terjadi. Rose menyibak selimutnya dan memandangi dirinya sendiri. Untunglah dia masih berpakaian lengkap. Dia juga tidak merasakan sakit sama sekali. Artinya orang yang m
Ada yang berani mengancammu? Siapa dia?" tanya Peter geram. Ia tidak akan terima bila putra kebanggaannya sampai diusik oleh orang lain. Apalagi ia adalah salah satu tokoh yang cukup disegani di kalangan mafia."Justru itu aku belum tahu. Dia ingin main-main denganku dan aku akan meladeninya," geram Denzel. Matanya berapi-api menggambarkan kemurkaan yang tengah memuncak di kepalanya."Kirimkan saja nomer ponselnya. Papa akan menyuruh anak buah kita untuk melacak lokasinya.""Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri, Pa. Lagipula dia pasti memakai nomer samaran untuk menghubungiku.""Denzel jangan sekali-kali meremehkan orang itu. Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Apalagi mayat Luke Brown belum kita temukan sampai sekarang."Denzel menghembuskan napas kasar untuk mengekspresikan kekesalannya."Aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggu sampai aku berhasil menikahi Rose."Peter Adams maju lalu menepuk bahu putranya."Bagus, Denzel. Beginilah seharusnya seorang Adams