"Luke pasti akan curiga padaku," ucap Rose ragu-ragu. "Tidak usah mencemaskan itu Nona. Saya akan membuatkan surat kuasa atas nama Miss Black untuk menjadikan Nona sebagai perwakilannya di mansion. Ingat Nona sekarang adalah Rose Carter, bukan Roseanne Black." "Terima kasih, Daddy. Aku bisa tenang sekarang. Besok aku akan segera pindah ke mansion," ucap Rose mengakhiri panggilannya. Rose menyimpan ponselnya di dalam laci. Malam ini ia akan meminta izin kepada pamannya untuk pindah rumah. Meskipun berat baginya untuk berpisah dari sang paman, Rose harus melakukannya demi mempertahankan mansion warisan ayahnya. "Uncle," panggil Rose sambil mengetuk pintu kamar pamannya. Tak lama pintu terbuka dari dalam. Namun yang muncul di ambang pintu justru Lily, bukan Josh. Dengan wajah masam, Lily menatap Rose. "Kenapa mengganggu kami malam-malam? Kamu tidak lihat jam berapa sekarang?" tanya Lily ketus. "Maaf, Auntie ada hal mendesak yang harus aku bicarakan dengan Uncle Josh." Mendengar su
Rose memasukkan kopernya ke bagasi mobil. Setelah menyalakan mesin mobilnya, Rose melambaikan tangan sekali lagi sebelum meninggalkan Lily dan Chloe.Chloe membalas lambaian tangan Rose. Rasa senang membuncah di hatinya. Pasalnya ia bebas menguasai rumah Rose dan tidak perlu membagi kasih sayang ayahnya kepada sepupunya itu. Berbeda dengan Lily yang terus memandangi mobil Rose hingga menghilang dari jalan."Mommy tidak rela kehilangan Rose?" tanya Chloe menatap ibunya."Tidak, Chloe. Mommy ingin tahu sebenarnya Rose pindah kemana. Hanya ada dua kemungkinan. Pertama dia ke rumah ayah kandungnya, kedua dia ke apartemen Tuan Denzel. Menurutmu bagaimana?"Chloe mengangkat pundaknya."Ah, aku malas menjawab pertanyaan Mommy. Aku tidak peduli Rose kemana dan tinggal dengan siapa. Itu urusannya sendiri. Aku mau siap-siap ke kampus," ujar Chloe meninggalkan ibunya yang masih berdiri di pintu."Dasar anak itu, tidak bisa diajak kerja sama. Lain kali aku akan meminta bantuan orang lain saja unt
Dengan diantarkan oleh Benjamin, Rose turun dari lantai atas untuk menemui Hendrick Brown. Meskipun jantungnya berdebar-debar, Rose tetap menunjukkan sikap tenangnya. Ia tidak akan membiarkan siapapun tahu bahwa ia adalah Miss Black, sang pemilik mansion.Ketika mendengar langkah Rose, Hendrick segera menoleh. Pandangan matanya lekat memandangi gadis muda yang cantik itu."Apakah kamu sekretarisnya Miss Black?" tanya Hendrick mengamati satu per satu bagian wajah Rose hingga ke rambut hitamnya yang panjang."Iya, Tuan, saya Rose Carter," kata Rose seraya membungkukkan badannya.Hendrick mengulurkan tangannya untuk menyalami Rose."Perkenalkan aku Hendrick Brown. Aku adalah adik dari Louis Brown sekaligus pamannya Miss Black. Aku dengar dari pemberitaan kalau keponakanku itu menetap di luar negri. Apa kamu tahu di negara mana dia tinggal dan berapa nomor ponselnya?" desak Hendrick. Ia belum melepaskan tangan Rose dari genggamannya."Saya tidak tahu, Tuan. Saya belum pernah berhubungan s
Rose berlari menuju ke pinggir jalan. Beruntung terdapat beberapa pejalan kaki yang lewat sehingga menghalangi pandangan pria berhodie hitam itu. Ketika sampai di area parkir, Rose langsung masuk ke mobilnya. Tanpa membuang waktu, ia menyalakan mesin mobil lalu mengemudikan mobilnya ke jalan raya. Laju mobil Rose sama dengan kecepatan irama jantungnya yang berdebar kencang. Sesekali ia melihat dari kaca spion untuk memeriksa apakah pria misterius itu mengejarnya. Tidak ada yang mencurigakan. Semua mobil yang ada di belakangnya adalah mobil biasa. Meskipun begitu, Rose tidak mengurangi kecepatan mobilnya. Yang diinginkannya saat ini hanyalah sampai di mansion secepat mungkin. Entah berapa lama Rose berkendara hingga akhirnya ia tiba di mansion keluarga Brown. Di depan gerbang, mobil Rose tiba bersamaan dengan sebuah mobil Roll Royce berwarna hitam. Melihat kedatangan kedua mobil itu, security mansion bergegas membukakan gerbang. Si pengemudi Roll Royce membunyikan klakson berulang k
Rose tidur dengan nyenyak karena fisik dan mentalnya terlalu lelah. Semalaman ia tidak keluar dari kamar. Esme memberitahu Rose bahwa pada malam hari para pelayan akan tinggal di paviliun yang terletak di belakang mansion. Ini artinya di dalam mansion hanya ada dirinya dan Luke. Karenanya Rose tidak mau mengambil resiko untuk berurusan dengan pria itu. Baru pada pagi hari, Rose membuka pintu kamarnya ketika jam sarapan tiba.Rose sudah berpakaian rapi dengan atasan berwarna kuning cerah dipadu bawahan hitam. Hari ini ia akan melepas kepenatan dengan berkunjung ke panti asuhan St. Bernadeth. Rose ingin sekali melupakan semua peristiwa menakutkan yang dialaminya kemarin."Selamat pagi, Nona," sapa Esme dan Benyamin."Pagi," jawab Rose tersenyum.Di ruang makan, Luke sama sekali tidak terlihat. Dan hal itu membuat Rose sangat lega. Ia bisa menikmati sarapan dengan tenang tanpa gangguan dari pria itu."Nona, ingin sarapan apa? Bubur, roti panggang, atau omelette?" tanya Esme."Roti pangga
Sambil menunggu sang donatur datang, Rose berkeliling di bangunan tua itu. Ia melihat kamar tidur anak-anak yang tertata rapi namun dengan seprai dan selimut seadanya. Begitu pula dengan menu makan sederhana yang akan disajikan untuk makan siang mereka. Semua kenyataan ini mengingatkan Rose pada nasibnya sendiri sebelum ia menjadi pewaris Brown Group.Hati Rose tergerak untuk meringankan beban penderitaan anak-anak panti. Mulai bulan depan ia akan meminta Denzel menyumbangkan sejumlah dana secara teratur untuk membiayai pendidikan mereka."Suster, boleh saya mengajarkan anak-anak untuk menggambar dan mewarnai?" tanya Rose meminta izin kepada Suster Kepala."Silakan Nona Rose. Anak-anak pasti senang sekali."Setelah mendapat izin, Rose langsung berjalan ke pekarangan untuk menemui anak-anak yang sedang bermain."Apa hari ini kalian mau belajar menggambar?" seru Rose."Mau," jawab mereka serempak."Kalau begitu ayo kita masuk ke dalam dan bawa bingkisan kalian masing-masing."Rose dan G
Setelah berpamitan kepada anak-anak, Rose diantar oleh Suster Kepala hingga sampai di depan pintu keluar panti."Suster Mary, terima kasih karena saya diberikan kesempatan untuk mengenal anak-anak.""Saya yang seharusnya mengucapkan terima kasih, Nona Rose. Hari ini anak-anak senang sekali bisa belajar menggambar. Semoga tugas akhir Nona Rose berjalan lancar," ucap Suster Kepala bersalaman dengan Rose.Saat melewati Luke, Rose tidak mengucapkan apapun. Gwen-lah yang mengambil inisiatif untuk berpamitan kepada pria itu."Tuan Luke, kami pulang dulu," ucap Gwen mengembangkan senyum termanisnya."Silakan," jawab Luke.Rose segera menarik tangan Gwen supaya masuk ke dalam mobil."Rose, kenapa kamu buru-buru sekali? Sebenarnya aku masih ingin bicara dengan Luke Brown. Ini kesempatan langka aku bisa bertemu dia di panti asuhan.""Kamu bisa bicara sepuasnya dengan Luke Brown hari Senin nanti di kampus. Aku tidak akan mengganggu kalian," jawab Rose menyalakan mesin mobilnya."Kamu aneh sekali
"Kira-kira kenapa ya pria tadi mengejar kita? Apa dia ingin menculik kita?" tanya Gwen membulatkan mata."Aku juga tidak tahu. Gwen, aku akan mengantarmu pulang ke rumah. Besok saja kita pergi ke kampus.""Iya, Rose. Kamu juga harus segera pulang ke rumah. Jangan mengambil resiko dengan berkendara sendirian di jalan. Siapa tahu pria itu masih berusaha mengejar mobilmu."Rose mengangguk. Ia menurunkan kecepatan mobilnya sambil mengemudi dengan konsentrasi penuh. Rose merasa bertanggung jawab atas keselamatan Gwen. Gara-gara ikut dengannya ke panti asuhan, sahabatnya itu ikut mengalami kejadian yang menegangkan."Thanks, Rose. Kamu tidak mampir ke rumahku?" tanya Gwen sebelum melangkah ke pekarangan rumahnya"Lain kali saja, Gwen.""Okey, Rose, hati-hati. Jika pria itu sampai mengikutimu lagi cepat hubungi polisi.""Iya, Gwen. Sampai jumpa besok di kampus."Setelah Gwen masuk dengan selamat ke rumahnya, Rose memutar balik mobilnya. Sembari memastikan tidak ada yang mengikutinya, Rose me
Sebastian membisikkan sesuatu ke telinga Luke. Kemudian ia memberi isyarat pada asistennya untuk melepaskan ikatan Denzel. "Baiklah, Peter, kita akan barter. Bebaskan Rose, Tuan Josh, dan Franky. Aku akan membebaskan Denzel." "Tidak bisa, aku akan menukar Rose dengan Denzel. Sedangkan kedua pria ini akan kulepaskan setelah kalian membiarkan aku dan putraku pergi." "Luke, turuti saja kemauannya. Yang terpenting Rose selamat," bisik Sebastian. Luke pun mengangguk. Ia berjalan dan menghampiri Denzel lalu menahan tubuh pria itu. "Aku hitung sampai lima. Kita sama-sama melepaskan mereka!" tegas Luke. Rose yang berada dalam genggaman Peter hanya bisa pasrah. Ia berharap dapat kembali secepatnya ke sisi Luke. Namun ketika bersitatap dengan Denzel, Rose menundukkan kepala. Ia merasa sangat bersalah melihat kondisi Denzel yang memprihatinkan. Apalagi sebagian wajahnya memar karena terkena bekas pukulan. Sebaliknya Denzel menatap nanar kepada Rose dan ayahnya. Hatinya sudah membeku sampa
Saat Rose turun ke bawah, ia melihat kondisi kediaman Gonzalez yang sangat lengang. Entah kemana semua orang saat ini. Sang suami dan mertuanya juga tidak ada, hanya ada empat orang pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu."Nyonya, Anda mau kemana?" tanya salah seorang pengawal di kediaman Gonzalez. Rose tidak tahu nama-nama para pengawal itu sehingga ia bingung harus memberi jawaban apa."Maaf, Tuan, kemana Luke?" tanya Rose mencoba mencari tahu."Nama saya Franky, Nyonya. Tuan Muda dan Tuan Besar keluar rumah karena ada urusan penting. Sebaiknya Anda kembali ke kamar," jawabnya. Ia tidak mengatakan kemana Luke pergi sesuai dengan perintah dari Tuan Besarnya.Rose yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Terlebih Luke sengaja meninggalkan ponselnya di kamar sehingga ia tidak bisa dihubungi. Padahal Rose tidak bisa menunda lagi untuk segera membebaskan sang paman. Rose pun memberanikan diri untuk meminta tolong pada pria kekar bernama Franky itu."Franky, bisa aku minta tol
"Siapa kalian?" tanya Denzel bersiap merogoh pistol yang terselip di pinggangnya. Ia memang selalu membawa senjata untuk berjaga-jaga. Sialnya salah satu orang yang mengepungnya ternyata lebih waspada. Ia segera mengacungkan pistol ke arah Denzel."Buang senjatamu dan angkat tangan sekarang!!! Jika tidak, aku akan langsung menembakkan peluru ini ke kepalamu!" serunya dengan suara menggelegar.Karena tidak punya pilihan, Denzel terpaksa menurut. Ia membuang pistol miliknya ke tanah lalu menatap sengit orang-orang yang mengepungnya."Coba saja tangkap aku jika kalian berani! Tapi jangan menyesal bila setelahnya kalian semua akan mati secara mengenaskan. Kalian pasti sudah tahu siapa aku," tantang Denzel. Dilihat dari gerak-geriknya, jelas sudah bahwa orang-orang ini adalah bagian dari kelompok mafia. Hanya saja Denzel belum mengetahui secara pasti nama organisasi mereka.Beberapa dari mereka tertawa terbahak mendengar ancaman Denzel. "Kamu yang belum tahu siapa kami. Bahkan ayahmu pas
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
"Ini kamu, Rose?" tanya Gwen menggoyangkan lengan Rose. Ia bahkan menyuruh Rose berputar untuk meyakinkan bahwa yang di hadapannya ini adalah sahabatnya, bukan makhluk jadi-jadian."Tentu saja ini aku, Gwen," jawab Rose tenang."Tapi aku baru saja ke kamarmu dan kamu tidak ada.""Benar, Rose. Kami baru akan ke danau Blue Stone untuk mencarimu," timpal Suster Mary.Karena telah membuat semua orang panik, Rose pun memberikan penjelasan."Maafkan saya, Suster. Tadi pagi-pagi sekali saya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri."Gwen memanyunkan bibirnya karena kecewa dengan pengakuan Rose."Padahal aku susah payah bangun pagi untuk meriasmu, ternyata kamu malah ke salon. Dan gaun cantik ini, dari mana kamu mendapatkannya?""Maafkan aku, Gwen. Aku berpikir lebih baik ke salon supaya tidak merepotkanmu. Gaun ini juga pihak salon yang menyediakan.""Kalau begitu kita masuk ke aula saja. Tuan Denzel pasti datang sebentar lagi," ucap Suster Mary menggandeng tangan Rose.Sepanjang jalan menuju
Masih berpelukan satu sama lain, Rose membelai lembut wajah Luke. Banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada suaminya ini, namun tiba-tiba Rose teringat sesuatu. Rasa bersalah pun memenuhi hatinya. Dengan mata berair, Rose menatap Luke."Maaf Luke, aku sudah bersalah padamu. Aku....," ucap Rose tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Luke menarik napas kasar kemudian melerai pelukannya. Ia mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Rose terkejut karena Luke seperti sedang menahan kegusaran terhadap sesuatu. Terlihat wajah tampannya mengetat dengan tangan yang mengepal erat."Aku tahu apa yang mau kamu katakan, Rose. Jangan menyampaikannya di depanku karena mungkin aku tidak bisa menahan diri," tukas Luke. Suaranya berubah dingin sedingin aura yang terpancar dari tubuhnya.Rose terhenyak. Jantungnya berpacu dengan kencang mendengar ucapan Luke. Mungkinkah Luke semarah ini karena sudah mengetahui rencana pertunangannya dengan Denzel? Jika itu benar, lalu bagaimana caranya menjelaskan kepa
Entah berapa lama Rose tidak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, ia terkejut karena berada di ruangan yang asing. Rose mengerjap beberapa kali untuk memastikan dia tidak berhalusinasi. Ruangan tempatnya berada kini hanya diterangi cahaya samar dari lampu tidur di atas nakas. Dalam suasana temaram, Rose melihat bahwa ia berbaring di atas ranjang besar. Selimut berbahan tebal menutupi setengah tubuhnya. Dari semua petunjuk ini, Rose menyimpulkan bahwa ia berada di sebuah kamar. Tapi kamar milik siapa? Berusaha untuk memulihkan nyawa seutuhnya, Rose duduk bersandar pada kepala ranjang. Masih sedikit pening, Rose coba mengingat apa yang terjadi. Sebelum pingsan, ia berada di Danau Blue Stone untuk menggambar. Namun mendadak datang seseorang yang membekapnya dari belakang. Sesudah peristiwa itu, ia tidak ingat apa yang terjadi. Rose menyibak selimutnya dan memandangi dirinya sendiri. Untunglah dia masih berpakaian lengkap. Dia juga tidak merasakan sakit sama sekali. Artinya orang yang m
Ada yang berani mengancammu? Siapa dia?" tanya Peter geram. Ia tidak akan terima bila putra kebanggaannya sampai diusik oleh orang lain. Apalagi ia adalah salah satu tokoh yang cukup disegani di kalangan mafia."Justru itu aku belum tahu. Dia ingin main-main denganku dan aku akan meladeninya," geram Denzel. Matanya berapi-api menggambarkan kemurkaan yang tengah memuncak di kepalanya."Kirimkan saja nomer ponselnya. Papa akan menyuruh anak buah kita untuk melacak lokasinya.""Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri, Pa. Lagipula dia pasti memakai nomer samaran untuk menghubungiku.""Denzel jangan sekali-kali meremehkan orang itu. Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Apalagi mayat Luke Brown belum kita temukan sampai sekarang."Denzel menghembuskan napas kasar untuk mengekspresikan kekesalannya."Aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggu sampai aku berhasil menikahi Rose."Peter Adams maju lalu menepuk bahu putranya."Bagus, Denzel. Beginilah seharusnya seorang Adams