Rose mendengarkan musik klasik dengan earphone sepanjang perjalanan menuju kantor. Ia tidak ingin mengatakan sesuatu yang akan menyinggung Denzel. Rose ingin hubungannya dengan pria itu tetap hangat layaknya kakak dan adik.
Sementara Denzel lebih memilih fokus pada kemudinya. Ia berusaha mempercepat laju mobil agar segera tiba di tempat tujuan. Sungguh baru kali ini suasana terasa sangat canggung bagi mereka berdua."Nona kita sudah sampai," kata Denzel masuk ke area parkir.Rose mengangguk kecil sambil melepas earphone dari telinganya. Ia menunggu Denzel selesai memarkirkan mobil lalu mereka keluar bersama."Daddy, nanti tolong bawakan laporan perkembangan proyek apartemen Raffles Tower. Aku ingin memeriksanya.""Baik, Nona."Sebenarnya Rose ingin sesekali mengunjungi lokasi proyek untuk melakukan peninjauan secara langsung, namun Denzel melarangnya. Ia tidak ingin kehadiran Rose terlalu mencolok dan mengundang kecurigaan di kalangan pekerja.Rose memakai kaca mata minusnya lalu mengikuti Denzel memasuki gedung Brown Crop. Beberapa karyawan yang berpapasan dengan Denzel mengucapkan salam kepada asisten CEO tersebut. Mereka tahu bahwa pria inilah yang sekarang berkuasa menjalankan perusahaan. Sedangkan untuk Rose, mereka tidak terlalu menghiraukannya. Gadis itu jarang sekali terlihat di kantor. Dari penampilannya yang biasa saja, mereka mengira Rose sekedar karyawan magang atau staf level bawah yang akan dipekerjakan Denzel.Denzel mendahului Rose masuk ke dalam lift khusus CEO. Ia menekan tombol angka sepuluh lalu bersandar pada dinding lift. Lift merayap dengan lambat ke atas hingga terdengar suara berdenting.Denzel mendahului Rose keluar dari lift dan berjalan menyusuri koridor. Mereka berhenti di sebuah pintu kayu besar dengan plakat emas. Denzel mengeluarkan kunci dari sakunya lalu membuka pintu tersebut untuk Rose."Silakan, Nona."Ruangan besar itu terbagi menjadi dua. Satu ruangan yang luas untuk Rose dan di sebelahnya terdapat ruang kerja yang dipakai Denzel. Telpon di kedua ruangan itu pun tersambung untuk memudahkan mereka berkomunikasi."Saya ambilkan dulu berkas yang Nona butuhkan.""Iya, terima kasih. Aku akan memeriksa laporan keuangan," kata Rose menutup pintu.Sebelum bekerja, Rose memandang foto ayahnya yang ada di meja. Tak terasa matanya berkaca-kaca. Setelah penantian sekian lama ia baru mengetahui siapa ayah kandungnya ketika maut telah menjemput. Sungguh miris. Rasanya ingin sekali bisa memeluk Louis Brown dan memanggilnya "Daddy". Melepaskan kerinduan akan sosok ayah sebagai tempatnya bersandar. Sayang sekali semua itu tinggallah impian.Rose meletakkan foto itu dan memilih tenggelam dalam pekerjaannya. Memeriksa banyak laporan memberikan tantangan tersendiri bagi Rose hingga ia lupa waktu. Mungkin sifat ini diturunkan oleh mendiang ayahnya yang terkenal sebagai pria pekerja keras.Karena terlalu asyik bekerja, Rose sampai tidak menyadari jika Denzel telah masuk ke ruangannya. Pria itu meletakkan tiga buah file di meja. Ia duduk di hadapan Rose sambil memperhatikan ekspresi wajah gadis itu."Ada yang ingin Nona tanyakan?"Rose menggeleng pelan."Belum ada. Aku justru ingin berterima kasih karena laba perusahaan kita meningkat dua kali lipat dibandingkan trwilan sebelumnya. Oh ya, ini surat perjanjian dengan Grand Corp yang sudah aku tanda tangani," ujar Rose menyerahkan dokumen ke tangan Denzel."Sebentar Nona, ada telpon masuk."Dengan cepat Denzel mengangkat gagang telpon di ujung meja Rose."Halo, Eve, ada apa?"Denzel terdiam beberapa saat, mendengarkan apa yang disampaikan oleh sekretarisnya. Mimik wajahnya berubah serius seolah mendapatkan berita yang sangat penting."Baik, aku akan menyambutnya," kata Denzel menutup telpon."Daddy, apa yang terjadi?" tanya Rose mencari tahu."Nona, Tuan Max dari Grand Corp datang untuk meminta surat kontrak kerja sama. Saya akan menemuinya dulu.""Baik, Daddy, temui saja Tuan Max. Pekerjaanku disini masih banyak. Tidak perlu mencemaskan aku.""Saya permisi dulu, Nona."Dengan langkah lebar, Denzel membawa dokumen di tangannya lalu melangkah pergi.Rose kembali memusatkan perhatiannya pada pekerjaan. Namun konsentrasinya terpecah karena mendengar dering telpon untuk kedua kalinya.Semula Rose merasa ragu, tapi akhirnya ia menerima panggilan tersebut."Halo, Brown Group, selamat siang," sapa Rose ramah."Selamat siang, siapa ini? Apa Tuan Denzel ada?" terdengar suara merdu Trisha, resepsionis kantor Brown Group."Saya Rose, sekretaris magang. Tuan Denzel baru saja turun untuk menemui perwakilan Grand Corp," jawab Rose tenang. Ia telah terbiasa menggunakan identitas sekretaris sebagai bentuk penyamaran di kantor milik ayahnya."Maaf, Nona Rose saya hanya ingin memberitahukan bahwa di bawah ada pria bernama Luke Brown. Dia memaksa ingin bertemu dengan Miss Black dan Tuan Denzel. Saya tidak bisa mencegahnya naik ke lantai sepuluh karena dia mengaku sebagai putranya Tuan Louis.""Luke Brown?" tanya Rose mengernyitkan dahi.Wajah Rose memucat. Denzel pernah mengatakan bahwa ayahnya mengadopsi seorang anak laki-laki dari panti asuhan, karena istri sahnya tidak dapat memberikan keturunan. Mungkinkah Luke yang datang ini adalah anak angkat ayahnya? Tapi selama ini Luke tidak mempedulikan bagian harta yang diwariskan kepadanya. Bahkan Rose belum pernah sekalipun bertemu dengan pria itu. Kenapa sekarang Luke tiba-tiba mencarinya setelah tujuh tahun menghilang tanpa kabar?"Iya, Nona. Mungkin sebentar lagi dia akan sampai di ruang CEO," jawab Trisha memberikan informasi.Perut Rose mendadak terasa mulas. Jujur ia tidak tahu bagaimana harus bersikap kepada Luke Brown. Tapi Rose teringat pesan dari Denzel ketika pertama kali dia datang ke perusahaan."Jika ada staf atau manajer bertanya, Nona bisa menjawab bahwa Nona adalah sekretaris magang untuk Miss Black. Saya sudah menyiapkan identitas penyamaran Nona dalam database karyawan."Perkataan Denzel membuat Rose tenang. Denzel sangat sigap mengantisipasi semua kemungkinan yang ada, termasuk untuk kejadian tak terduga semacam ini. Dan kini ia akan menggunakan cara yang diajarkan Denzel untuk menghadapi Luke.Rose mematikan laptop dan membereskan berkas di mejanya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dengan tergesa-gesa ia keluar dari ruangan CEO. Namun tanpa sengaja ia malah membentur tubuh tegap seorang pria di ambang pintu.Sontak Rose terkejut dan mendongak ke atas. Matanya beradu pandang dengan bola mata berwarna hazel. Aroma parfum musk dari pria ini sampai tercium oleh hidung Rose karena jarak mereka yang begitu dekat."Maaf, Tuan," gumam Rose tidak enak hati.Bukannya menerima permintaan maaf Rose, pria ini malah balik menatapnya penuh selidik."Siapa namamu? Kenapa berada di ruangan CEO?" tanyanya sinis.Rose berusaha tetap tenang. Pria di hadapannya ini masih muda dan memiliki ketampanan di atas rata-rata. Namun pembawaannya terlihat angkuh dan dingin. Sekali melihatnya Rose bisa menebak bahwa pria ini adalah Luke Brown."Saya Rose, sekretaris magang.""Sekretaris magang? Kenapa sekretaris magang diizinkan berkeliaran sendiri di ruangan CEO? Bukankah peraturan di Brown Group sangat ketat?" tanya Luke tidak percaya."Tuan Denzel yang menyuruh saya bekerja disini karena saya akan menjadi sekretaris untuk Miss Black."Luke maju mendekat sambil memicingkan matanya."Kamu akan menjadi sekretaris Miss Black, artinya kamu pernah bertemu wanita itu. Katakan dimana dia? Aku Luke Brown, saudara angkatnya ingin bertemu dengannya.""Saya belum pernah bertemu Miss Black, Tuan. Saya hanya ditugaskan Tuan Denzel untuk merapikan ruangan dan membantu mengerjakan beberapa tugas," jawab Rose mencari alasan."Mustahil kamu tidak pernah melihatnya. Aku heran kenapa dia menyembunyikan diri dari orang-orang. Apa dia takut aku akan merampas bagian warisannya?" tanya Luke menekan Rose."Soal itu saya tidak tahu. Tuan bisa menanyakan langsung pada Tuan Denzel setelah Beliau selesai meeting. Silakan Tuan tunggu disini," kata Rose menunjukkan kursi sofa di dalam ruangan.Rose hampir berhasil mengelabuhi Luke, sayangnya ia melupakan satu hal. Rose tidak menyingkirkan cangkir teh yang tadi diminumnya. Dan sialnya mata tajam Luke menangkap keganjilan itu."Cangkir siapa itu yang di atas meja CEO? Apa milik Miss Black?" tanya Luke curiga."Bukan, Tuan, itu...cangkirnya Tuan Denzel. Dia minta dibuatkan teh sebelum pergi meeting."Luke maju mendekat dan mengangkat cangkir itu hingga sebatas mata."Kalau ini milik Denzel artinya dia sudah bertindak di luar batas. Dia bukan CEO atau pemilik perusahaan tapi berani menggunakan fasilitas di ruangan ini. Aku harus memberikan peringatan padanya."Seulas senyuman tercetak di sudut bibir Luke. Ia meletakkan gelas itu sambil mengetuk meja dengan jemarinya."Sayang sekali kamu tidak pandai berbohong, Nona Rose. Di gelas ini ada noda merah bekas lipstik. Yang meminumnya pastilah seorang wanita dan satu-satunya wanita di ruangan ini hanya kamu.""Kamu sudah bertindak lancang sebagai seorang sekretaris dengan minum di meja CEO. Atau jangan-jangan...kamu adalah...Miss Black," ucap Luke menatap tajam pada Rose.Di dalam hati Rose panik, namun ia tidak memperlihatkannya secara terang-terangan. Rose sudah berlatih sekian tahun untuk menyamar. Dan mengatasi Luke seharusnya bukan hal yang sulit. Ini adalah ujian pertama yang harus dilaluinya sebagai calon pemimpin perusahaan."Tuan, saya minta maaf. Saya membuatkan teh itu untuk Tuan Denzel tapi saya meminumnya karena Tuan Denzel pergi meeting. Maafkan kelancangan saya," jawab Rose dengan kepala tertunduk.Luke maju mendekat sambil memicingkan mata."Lain kali jangan coba berbohong padaku. Itu tidak akan berhasil.""Sekali lagi saya minta maaf, Tuan," jawab Rose tanpa memandang Luke."Kenapa Denzel mempekerjakan gadis muda yang suka berbohong sepertimu? Atau mungkin dia memilihmu karena kamu dan Miss Black punya sifat yang sama. Sama-sama pintar berbohong," tukas Luke.Perkataan pedas Luke membuat panas telinga Rose. Entah mengapa lelaki ini membenci Miss Black dan berani menuduhnya sebagai pembohong padahal mereka tidak saling kenal. Apakah mun
"Daddy, saat aku bertemu Luke, aku merasa dia sangat membenci Miss Black. Apa Daddy tahu kenapa dia tidak suka padaku?"Denzel mengedikkan bahunya."Saya tidak tahu banyak tentang masa lalu Tuan Louis dan Tuan Luke. Tuan Louis hanya bercerita kalau dia memiliki seorang anak angkat. Tapi putranya itu pergi bersama istrinya ketika mereka bercerai.""Mungkinkah dia membenciku karena aku anak haram?" pikir Rose sedih.Sudah lama Rose menduga bahwa ibunya adalah orang ketiga dalam pernikahan Louis dan Jessica Brown. Inilah yang menyebabkan ayahnya tidak bisa mengakuinya sebagai anak di hadapan publik. Ia adalah anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan, bukan dari pernikahan yang sah."Jangan terlalu dipikirkan. Itu hanya bagian dari masa lalu," ucap Denzel menghibur Rose."Daddy, apa perlu aku mengaku pada Luke dan meminta maaf atas nama ibuku? Aku ingin menghapus kesalahpahaman dan luka yang pernah ditorehkan ibuku terhadap Nyonya Jessica."Raut wajah Denzel berubah tidak senang saat
Wajah Denzel mengetat. Salah satu tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Jangan ikut campur urusanku! Aku tidak akan membiarkan Papa merusak pondasi yang sudah aku bangun dengan susah payah. Tinggal selangkah lagi dan aku aku akan berhasil," sembur Denzel dengan mata memerah. Terdengar suara tawa membahana Tuan X dari seberang sana. "Ini yang kusuka, mendengarmu meluapkan semua amarahmu. Penerusku harus garang dan penuh ambisi. Tidak ada tempat untuk pria lemah lembut yang mengutamakan perasaan," ujar Tuan X bersemangat. Berikutnya dia sengaja mencela sepak terjang Denzel. "Aku kira kamu sudah melupakan rencana besar kita karena jatuh cinta pada gadis ingusan itu." Denzel mendengus kasar sebelum memberikan responnya. "Aku sudah bersumpah di hadapan Papa, tentu saja aku tidak akan mengingkarinya. Cinta tidak masuk dalam prioritasku. Lihat saja bagaimana aku menguasai semua yang dimiliki Louis Brown, terutama putri tunggalnya." "Hmmmmm, aku tidak sabar menunggu sa
Luke tersenyum secerah mentari kepada para mahasiswa di dalam kelas. Sikapnya ini sungguh berbanding terbalik dengan keangkuhan yang ditunjukkannya saat berada di kantor Brown Group. Bahkan ia tampil santai dengan kemeja hitam yang lengannya digulung setengah, dipadu celana jeans berwarna biru tua.Rose segera menyembunyikan wajahnya. Ia berharap Luke tidak akan mengenalinya di antara dua puluh mahasiswa di ruangan tersebut."Selamat pagi. Suatu kehormatan tersendiri bagi saya diundang ke kelas melukis oleh Mr. Zack. Jujur saya masih pemula dalam bidang seni lukis. Saya tidak menyangka akan diberi kehormatan sebesar ini," ucap Luke merendah.Rose berdecih di dalam hati. Ia menganggap Luke sebagai manusia munafik yang berakting rendah hati agar menerima banyak pujian."Anda tidak bisa dikatakan sebagai pemula. Lukisan Anda yang bertajuk Woman In The Rain sangat terkenal. Begitu juga dengan lukisan kedua Anda The Snowy Mansion yang menjadi trend baru di kalangan anak muda. Lukisan itu a
Setelah menimbang-nimbang, Rose memutuskan untuk tetap melukis Taj Mahal. Ia tidak peduli menang atau kalah. Toh di kelas melukis banyak mahasiswa yang memiliki bakat luar biasa. Yang terpenting adalah mengerjakan tugasnya dengan sepenuh hati. Seorang seniman sejati harus bisa mengendalikan emosi, bukan membiarkan diri terlarut di dalamnya. Rose mulai mencampur cat minyak dan menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Tidak ada gunanya ia terlalu mencemaskan Luke. Belum tentu juga pria itu mengenalinya karena mereka baru satu kali bertemu. Itupun dalam keadaan yang berbeda. Sementara itu, Mr. Zack dan Luke sudah sampai pada gadis yang duduk di samping kiri Rose. Mereka berhenti untuk menanyakan apa yang akan dilukis gadis itu. "Jean, apa yang akan kamu lukis?" tanya Mr. Zack. "Saya akan melukis Machu Picchu, Sir." "Pilihan yang bagus. Selamat bekerja, Jean," puji Mr. Zack. "Semoga berhasil," timpal Luke memberikan semangat. Ia berlalu mengikuti Mr. Zack menuju ke kursi Rose. Rose sud
Rose sontak menoleh. Sekarang ia tahu benar siapa orang yang menahan tangannya."Tuan Luke, Anda mau apa? Tolong lepaskan saya. Jika saya berteriak maka orang-orang di kampus ini akan berdatangan dan membawa Tuan ke kantor polisi," ancam Rose.Luke terkekeh pelan. Ia mengendurkan genggamannya lalu melepaskan tangan Rose."Jangan terlalu percaya diri, Rose. Aku tidak berminat padamu. Aku hanya ingin bertanya kenapa sekretaris Miss Black kuliah di fakultas seni. Ini tidak masuk akal."Luke menajamkan sorot matanya seolah ingin menguliti Rose hidup-hidup. Jika saja mentalnya tidak terlatih, tentu Rose akan lari dari tempat ini secepatnya. Namun, itu untungnya tak terjadi. Melihat itu, senyum sinis tersungging di wajah Luke."Denzel mengatakan kalau kamu adalah mahasiswi semester akhir. Aku kira latar belakang pendidikanmu berkaitan dengan bisnis atau arsitek, sehingga kamu diterima bekerja di perusahaan ayahku. Tapi, aku menemukanmu di kelas melukis. Lalu siapa yang konyol disini, Miss B
Luke menambah kecepatan mobilnya agar lekas sampai di kantor Brown Group. Sengaja ia tidak menghubungi Denzel terlebih dahulu. Ia akan memberikan kejutan besar kepada pria itu sekaligus memeriksa apa yang sedang dikerjakannya di kantor.Luke yakin bila Denzel telah meraup banyak keuntungan dari perusahaan. Pasalnya selepas kepergian ayahnya, Denzel-lah yang menjalankan roda perusahaan tanpa ada yang mengawasinya. Mungkin juga ia menjalin hubungan gelap dengan Miss Black sehingga mendapatkan kekuasaan yang tak terbatas.Kala itu Luke tidak mempedulikan soal harta warisan karena masih menemani ibu angkatnya menjalani kemoterapi di rumah sakit. Ia juga tidak berminat mengurusi perusahaan karena disibukkan oleh berbagai macam kegiatan kuliah.Begitu tiba di kantor Brown Group, Luke langsung menuju ke lantai sepuluh. Security maupun resepsionis tidak ada yang berani menghalangi langkahnya. Mereka tahu bahwa pria ini adalah putra pemilik perusahaan. Jika tidak menghormatinya, tentu mereka a
Setelah Luke pergi, Denzel mengayunkan tinjunya ke udara. Rasanya ia ingin menghantam wajah pemuda itu jika saja ia tidak harus menjaga image di depan Rose. Berani-beraninya ia memerintah seorang Denzel Adams tanpa merasa sungkan sama sekali.Luke kini telah memperlihatkan taringnya. Ia harus menyingkirkan putra angkat Louis Brown ini sebelum menjadi duri dalam daging. Dia tidak akan membiarkan Luke mengacaukan rencananya untuk membalas dendam kepada keluarga Brown.***Seorang lelaki berkepala botak menenteng tas kopernya keluar dari bandara. Ujung mantel panjangnya bergerak-gerak tertiup angin. Pria itu menengok ke segala arah untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya.Ia berjalan menuju ke sebuah mobil merah yang telah menantinya di parkiran bandara."Cepat masuk, Hendrick!" panggil seorang wanita berambut ikal seraya menurunkan jendela mobilnya.Pria bernama Hendrick itu membuka bagasi mobil lalu memasukkan kopernya. Selanjutnya ia membuka pintu mobil dan duduk di sebelah kursi
Sebastian membisikkan sesuatu ke telinga Luke. Kemudian ia memberi isyarat pada asistennya untuk melepaskan ikatan Denzel. "Baiklah, Peter, kita akan barter. Bebaskan Rose, Tuan Josh, dan Franky. Aku akan membebaskan Denzel." "Tidak bisa, aku akan menukar Rose dengan Denzel. Sedangkan kedua pria ini akan kulepaskan setelah kalian membiarkan aku dan putraku pergi." "Luke, turuti saja kemauannya. Yang terpenting Rose selamat," bisik Sebastian. Luke pun mengangguk. Ia berjalan dan menghampiri Denzel lalu menahan tubuh pria itu. "Aku hitung sampai lima. Kita sama-sama melepaskan mereka!" tegas Luke. Rose yang berada dalam genggaman Peter hanya bisa pasrah. Ia berharap dapat kembali secepatnya ke sisi Luke. Namun ketika bersitatap dengan Denzel, Rose menundukkan kepala. Ia merasa sangat bersalah melihat kondisi Denzel yang memprihatinkan. Apalagi sebagian wajahnya memar karena terkena bekas pukulan. Sebaliknya Denzel menatap nanar kepada Rose dan ayahnya. Hatinya sudah membeku sampa
Saat Rose turun ke bawah, ia melihat kondisi kediaman Gonzalez yang sangat lengang. Entah kemana semua orang saat ini. Sang suami dan mertuanya juga tidak ada, hanya ada empat orang pengawal yang berjaga-jaga di depan pintu."Nyonya, Anda mau kemana?" tanya salah seorang pengawal di kediaman Gonzalez. Rose tidak tahu nama-nama para pengawal itu sehingga ia bingung harus memberi jawaban apa."Maaf, Tuan, kemana Luke?" tanya Rose mencoba mencari tahu."Nama saya Franky, Nyonya. Tuan Muda dan Tuan Besar keluar rumah karena ada urusan penting. Sebaiknya Anda kembali ke kamar," jawabnya. Ia tidak mengatakan kemana Luke pergi sesuai dengan perintah dari Tuan Besarnya.Rose yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Terlebih Luke sengaja meninggalkan ponselnya di kamar sehingga ia tidak bisa dihubungi. Padahal Rose tidak bisa menunda lagi untuk segera membebaskan sang paman. Rose pun memberanikan diri untuk meminta tolong pada pria kekar bernama Franky itu."Franky, bisa aku minta tol
"Siapa kalian?" tanya Denzel bersiap merogoh pistol yang terselip di pinggangnya. Ia memang selalu membawa senjata untuk berjaga-jaga. Sialnya salah satu orang yang mengepungnya ternyata lebih waspada. Ia segera mengacungkan pistol ke arah Denzel."Buang senjatamu dan angkat tangan sekarang!!! Jika tidak, aku akan langsung menembakkan peluru ini ke kepalamu!" serunya dengan suara menggelegar.Karena tidak punya pilihan, Denzel terpaksa menurut. Ia membuang pistol miliknya ke tanah lalu menatap sengit orang-orang yang mengepungnya."Coba saja tangkap aku jika kalian berani! Tapi jangan menyesal bila setelahnya kalian semua akan mati secara mengenaskan. Kalian pasti sudah tahu siapa aku," tantang Denzel. Dilihat dari gerak-geriknya, jelas sudah bahwa orang-orang ini adalah bagian dari kelompok mafia. Hanya saja Denzel belum mengetahui secara pasti nama organisasi mereka.Beberapa dari mereka tertawa terbahak mendengar ancaman Denzel. "Kamu yang belum tahu siapa kami. Bahkan ayahmu pas
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
Rose berusaha menyembunyikan ketegangannya. Dia tidak boleh menunjukkan sikap yang bisa memancing kecurigaan Denzel. Sambil menunggu kedatangan pria itu, ia memilih untuk menemani anak-anak panti mengerjakan tugas matematika."Rose, siap-siap saja di depan. Tuan Denzel akan datang sebentar lagi," ucap Suster Mary.Rose memegang tangan Suster Mary untuk berpamitan kepadanya."Suster, malam ini dan beberapa hari ke depan mungkin aku tidak kembali ke panti.""Kamu akan kembali ke mansion Brown?" tanya Suster Mary mengerutkan dahi dalam-dalam."Tidak, Suster, aku akan menginap sementara di rumah orang yang aku cintai."Suster Mary terhenyak mendengar perkataan Rose yang mengandung teka-teki. Ia bingung siapa yang dimaksudkan Rose, apakah itu Luke atau Denzel. Namun lebih masuk akal rasanya bila Rose menginap di rumah Denzel mengingat Luke telah tiada."Apapun keputusanmu aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga kamu dan bayimu selalu dalam perlindungan Tuhan," ucap Suster Mary memberikan
"Ini kamu, Rose?" tanya Gwen menggoyangkan lengan Rose. Ia bahkan menyuruh Rose berputar untuk meyakinkan bahwa yang di hadapannya ini adalah sahabatnya, bukan makhluk jadi-jadian."Tentu saja ini aku, Gwen," jawab Rose tenang."Tapi aku baru saja ke kamarmu dan kamu tidak ada.""Benar, Rose. Kami baru akan ke danau Blue Stone untuk mencarimu," timpal Suster Mary.Karena telah membuat semua orang panik, Rose pun memberikan penjelasan."Maafkan saya, Suster. Tadi pagi-pagi sekali saya pergi ke salon untuk mempersiapkan diri."Gwen memanyunkan bibirnya karena kecewa dengan pengakuan Rose."Padahal aku susah payah bangun pagi untuk meriasmu, ternyata kamu malah ke salon. Dan gaun cantik ini, dari mana kamu mendapatkannya?""Maafkan aku, Gwen. Aku berpikir lebih baik ke salon supaya tidak merepotkanmu. Gaun ini juga pihak salon yang menyediakan.""Kalau begitu kita masuk ke aula saja. Tuan Denzel pasti datang sebentar lagi," ucap Suster Mary menggandeng tangan Rose.Sepanjang jalan menuju
Masih berpelukan satu sama lain, Rose membelai lembut wajah Luke. Banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada suaminya ini, namun tiba-tiba Rose teringat sesuatu. Rasa bersalah pun memenuhi hatinya. Dengan mata berair, Rose menatap Luke."Maaf Luke, aku sudah bersalah padamu. Aku....," ucap Rose tidak dapat melanjutkan kalimatnya.Luke menarik napas kasar kemudian melerai pelukannya. Ia mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Rose terkejut karena Luke seperti sedang menahan kegusaran terhadap sesuatu. Terlihat wajah tampannya mengetat dengan tangan yang mengepal erat."Aku tahu apa yang mau kamu katakan, Rose. Jangan menyampaikannya di depanku karena mungkin aku tidak bisa menahan diri," tukas Luke. Suaranya berubah dingin sedingin aura yang terpancar dari tubuhnya.Rose terhenyak. Jantungnya berpacu dengan kencang mendengar ucapan Luke. Mungkinkah Luke semarah ini karena sudah mengetahui rencana pertunangannya dengan Denzel? Jika itu benar, lalu bagaimana caranya menjelaskan kepa
Entah berapa lama Rose tidak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, ia terkejut karena berada di ruangan yang asing. Rose mengerjap beberapa kali untuk memastikan dia tidak berhalusinasi. Ruangan tempatnya berada kini hanya diterangi cahaya samar dari lampu tidur di atas nakas. Dalam suasana temaram, Rose melihat bahwa ia berbaring di atas ranjang besar. Selimut berbahan tebal menutupi setengah tubuhnya. Dari semua petunjuk ini, Rose menyimpulkan bahwa ia berada di sebuah kamar. Tapi kamar milik siapa? Berusaha untuk memulihkan nyawa seutuhnya, Rose duduk bersandar pada kepala ranjang. Masih sedikit pening, Rose coba mengingat apa yang terjadi. Sebelum pingsan, ia berada di Danau Blue Stone untuk menggambar. Namun mendadak datang seseorang yang membekapnya dari belakang. Sesudah peristiwa itu, ia tidak ingat apa yang terjadi. Rose menyibak selimutnya dan memandangi dirinya sendiri. Untunglah dia masih berpakaian lengkap. Dia juga tidak merasakan sakit sama sekali. Artinya orang yang m
Ada yang berani mengancammu? Siapa dia?" tanya Peter geram. Ia tidak akan terima bila putra kebanggaannya sampai diusik oleh orang lain. Apalagi ia adalah salah satu tokoh yang cukup disegani di kalangan mafia."Justru itu aku belum tahu. Dia ingin main-main denganku dan aku akan meladeninya," geram Denzel. Matanya berapi-api menggambarkan kemurkaan yang tengah memuncak di kepalanya."Kirimkan saja nomer ponselnya. Papa akan menyuruh anak buah kita untuk melacak lokasinya.""Tidak perlu, aku bisa mengurusnya sendiri, Pa. Lagipula dia pasti memakai nomer samaran untuk menghubungiku.""Denzel jangan sekali-kali meremehkan orang itu. Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Apalagi mayat Luke Brown belum kita temukan sampai sekarang."Denzel menghembuskan napas kasar untuk mengekspresikan kekesalannya."Aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggu sampai aku berhasil menikahi Rose."Peter Adams maju lalu menepuk bahu putranya."Bagus, Denzel. Beginilah seharusnya seorang Adams