Share

Bab 2

Penulis: Norman Tjio
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-12 11:13:49

“Kabar apa?”

“Bahwa aku tidak mau ikut campur di dalam urusan yang melibatkan perempuan. Apalagi perempuan yang terlalu cantik.”

Nona itu tersenyum karena dipuji oleh si Sukma Harum. Jika seluruh laki-laki di bumi ini dikumpulkan lalu mereka memuji dan menghambakan diri kepadanya, tentu rasanya masih belum semenyenangkan jika dipuji oleh lelaki di hadapannya ini. Tapi wajahnya masih membayangkan kekhawatiran. Kemudian ia berkata, “Hanya tuan harapan kami.”

“Maaf, nona.” hanya itu kata-katanya dan ia kembali meneruskan makannya yang tertunda.

Mengapa ia begitu tega menampik permintaan gadis secantik ini?

Tampak sekali kekecewaan di wajah si nona. Tetapi ia sepertinya menerima keputusan itu dengan pasrah. “Kalau begitu, baiklah.”

Nona itu beranjak dan melangkah pergi dari situ. Kesedihan membayang dari gerak gerik tubuhnya. “Saya mohon diri.”

“Silahkan. Mari kuantar turun,” sambil menuruni tangga, ia memegang tangan perempuan itu dengan penuh sopan.

Walaupun wajahnya masih membayangkan kekecewaan, gadis itu tersenyum lalu berkata. “Ternyata ada lagi kabar yang benar tentangmu, tuan.”

“Kabar bahwa aku adalah seorang yang terlalu tega?”

“Bukan. Melainkan kabar bahwa jika kau ingin menarik pergi tangan seorang perempuan, maka tidak ada satu orang pun yang mampu menolaknya.”

“Mengapa banyak sekali kabar tentang diriku?”  Sukma Harum tersenyum.

“Siapa di dunia ini yang tidak mengenal si Sukma Harum? Orang tuli saja pastinya sudah pernah mendengar tentang kisah dan perbuatanmu yang gagah. Justru karena itulah kami memberanikan diri datang kemari.”

“Akhir-akhir ini aku hanya ingin hidup dengan tenang,” jelas Sukma Harum.

“Aku mengerti,” nona itu mengangguk dengan lembut.

Jika seorang perempuan dapat memahami perasaan laki-laki, maka tentu kehidupan manusia di kolong langit ini akan menjadi lebih baik.

Sukma Harum menatap mata nona itu dengan dalam seperti ingin memasuki jiwanya yang paling tersembunyi.

Gadis itu sekejap terpana. Untuk sejenak jiwanya terasa melayang pergi direngkuh oleh sinar mata yang tajam dan hangat itu. Ia kemudian tersadar dan berkata, “Jika tuan memandangku lebih lama, bisa-bisa aku tidak jadi pulang.”

 “Eh? Kalau nona tidak pulang, lantas ke-5 pengawal itu bagaimana? Masa disuruh diam di sana menemani kuda?” canda Sukma Harum.

“Hahahahahaa,” untuk sejenak gadis cantik itu dapat tertawa. Mereka sampai di pintu depan dan gadis itu lalu berkata, “Baiklah. Kita berpisah sampai di sini. Semoga kelak dapat bertemu kembali.”

Tangan itu masih tergenggam. Seolah keduanya tidak ingin melepaskannya. Sukma Harum masih menatap mata itu dengan dalam. Pandangannya berpindah ke bibir si gadis yang merekah indah. Si nona menghela nafas.

Hanya dipandang saja dapat membuat seluruh tubuhnya seperti tersengat getaran yang lembut namun menggelora.

Tetapi si nona tidak mampu melepas pegangan tangannya. Ia berharap Sukma Harum melepas pergi saja dirinya dengan dingin. Tetapi malah pegangan tangan itu semakin hangat, semakin erat.

“Nona belum sempat melihat tempat terbaik di daerah ini, sayang jika buru-buru pulang. Mari kuantarkan melihat pemandangan terindah di tempat ini,” kata si Sukma Harum.

“Baiklah. Apakah jauh?”

Sukma Harum hanya tersenyum kecil dan menarik tangan nona itu menuruni jalan setapak di samping kedai. Gadis itu sejenak agak ragu, tapi Sukma Harum berkata, “Percayalah padaku.”

Entah kenapa, jika lelaki itu yang berbicara, seolah setiap perempuan di dunia ini rela melakukan apa saja yang ia minta.

Mereka menuruni jalan setapak itu menembusi pepohonan yang rindang dan lebat. Jalan itu sedikit basah oleh embun pagi hari, dan agak sedikit berbatu. “Satu kelok lagi di ujung, kita akan sampai.”

Akhirnya mereka sampai.

Sebuah air terjun kecil yang sangat indah. Cipratan airnya menciptakan warna pelangi yang elok.

Mata si nona membesar tanda ia sangat kagum dengan pemandangan itu.

“Nah. Sekarang ceritakan siapa engkau? Dan ada keperluan apa mencariku?"

Gadis itu menatapnya lalu berkata, “Mengapa tuan berubah pikiran?”

“Ada 2 golongan orang yang tidak tahu diri. Yang pertama adalah mereka yang meminta dengan mengancam. Yang kedua adalah mereka yang meminta dengan merayu.”

“Dan aku bukan dari kedua golongan itu?”

“Ku lihat kau cukup tahu diri, nona,” senyum Sukma Harum.

“Oh jadi penolakan tadi hanyalah ujian? Kini aku mengerti.”

Sukma Harum tidak berkata apa-apa. Ia memiliki nilai yang ia pegang dengan kukuh.

“Namaku Sri Murti Trianti. Aku adalah keturunan ke 9 dari penguasa kerajaan Kaloka di daerah wetan (Timur). Aku datang kemari meminta tuan untuk mencarikan keadilan untuk kami. Tentunya kami akan mengganti jerih payah pertolongan tuan dengan harga yang pantas.”

“Aku belum pernah mendengar tentang kerajaan Kaloka.”

“Kami hanya sebuah kerajaan kecil. Perang saudara membuat kerajaan kami runtuh dan keluarga kami harus mengungsi. Ayahku adalah raja terakhirnya. Saat itu beliau baru berumur 16 tahun.”

Lanjut si nona, “Kerajaan kami yang tersisa hanya ayah dan 4 orang pengawal terpercaya. Mereka lalu melarikan diri ke kulon (barat) dan menetap di sebuah desa terpencil. Saat dewasa, ayah menikah dengan seorang gadis di desa itu, kemudian lahirlah aku dan adikku.”

“Ketika ayah dulu mengungsi, mereka membawa harta simpanan yang cukup besar. Dengan harta itu, ayah membangun pertanian dan perdagangan yang sangat maju. Harta kami sangat melimpah. Ayah menyimpannya dengan tujuan untuk kembali membangun kerajaan kami suatu saat nanti.”

“Pada suatu hari, ketika ayah dan ke-empat pengawalnya yang sudah tua itu berkumpul untuk membicarakan rencana mereka membangun kembali kerajaan, mereka semua mati terbunuh. Dan harta kekayaan kami di gudang penyempanan sudah raib seluruhnya.”

“Mereka dibunuh dengan racun. Saat itu aku sedang mengantarkan adikku untuk sebuah urusan. Saat kami pulang, mereka semua sudah mati terbunuh.”

“Racun apa yang dipakai untuk membunuh kerabat nona?” tanya Sukma Harum.

“Racun Jincan.”

“Hmmm. Menarik,” tukas Sukma Harum.

Racun Jincan adalah sebuah racun yang terkenal dari daerah Tiongkok. Cara membuatnya adalah dengan mengumpulkan berbagai macam binatang berbisa dan dimasukkan ke dalam satu kotak agar mereka saling menggingit dan saling membunuh. Hewan yang tersisalah yang racunnya diambil racunnya untuk dijadikan senjata.

“Dari mana nona tahu itu racun Jincan?”

“Kami memeriksa makanan mereka, dan terdapat sedikit bau yang khas dalam cawan teh mereka,” jawab Sri Murti.

“Kapan kejadian ini? Dan di mana?”

“Sekitar 7 bulan yang lalu di desa Cipandana. Aku dan adikku telah berusaha mencari pelakunya, namun semua ini sia-sia. Dengan sisa-sisa uang yang kami punya, kami terpaksa menyewa pengawal dan mencari tahu siapa orang yang paling pantas kami mintai tolong. Siapa lagi kalau bukan si Sukma Harum? Tapi entah orangnya mau atau tidak. Sesungguhnya aku sudah kehilangan seluruh harapan…..,”

Si Sukma Harum hanya memandang jauh ke depan. Cukup lama baru ia berkata, “Baiklah aku akan membantumu.”

Tak terkira begitu besar rasa bahagia dan kelegaan di wajah Sri Murti. Ia bahkan berlutut dan berterima kasih. Sukma Harum mengangkatnya berdiri dan berkata, “Aku baru bisa berangkat 3 hari lagi. Karena hari ini aku sedang ada janji di puncak gunung ini.”

“Saya sendiri harus meminta diri saat ini karena sebelumnya ada janji pula dengan beberapa orang. Apa bisa kita bertemu di sebuah tempat nanti?”

“Nona akan ke mana?”

“Kami ada janji bertemu di kota Mandeung.”

“Baik, kita bertemu di kota Mandeung. Empat hari dari sekarang.”

“Mari kugambarkan peta tempat kita bertemu,” gadis itu lalu mengeluarkan sapu tangan dan menggunakan gincu untuk menggambar daerah tempat mereka bertemu.

“Baik, aku sudah paham,” tukas Sukma Harum.

“Baik. Terima kasih banyak saya haturkan. Semoga Tuhan selalu merahmati tuan,” nona itu menjura.

Sukma Harum balas menjura. “Mari kita kembali. Kasihan pengawalmu sejak tadi menunggumu.”

“Mari.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 3

    Sukma Harum melepas rombongan itu pergi. Sambil melambaikan tangan ia berkata, “Jika kalian sampai di gerbang bawah, mohon lepaskan ikatan yang kalian lakukan kepada pengawal-pengawalku. Dan beri mereka ganti rugi ini serta sampaikan salamku.”Ia melemparkan sebuah kain bungkusan yang dari suara gemerincingnya dapat diduga tentu berisi uang.Si putri hanya bisa tersenyum masam sambil menjura, “Mohon maaf. Kami terpaksa melakukannya agar bisa bertemu dengan tuan.” Dalam hati ia sangat kaget bagaimana Sukma Harum dapat mengetahui bahwa mereka telah mengikat dan menyekap para penjaga di kaki gunung.“Aku dapat mengerti,” kata si Sukma Harum sambil tersenyum masam pula.***Rombongan itu pun pergi meninggalkan puncak gunung yang indah itu.Dalam perjalanan turun, seorang pengawal berkata kepada sang putri, “Ku lihat wajah paduka putri cerah sekali. Rupanya Sukma Harum bersedia menolong kesulitan kita.”Dari balik jendela kereta, si putri tersenyum dan mengangguk.Salah satu pengawal yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-12
  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 4

    Sukma Harum terus melangkah. Mungkin ia khawatir, jika ia berhenti melangkah, kenangan indah itu akan mengejarnya.Tahu-tahu kini ia telah berada di depan sebuah rumah besar tak jauh dari pasar utama kota Jamparing. Semua orang di kota itu tahu milik siapa gerangan rumah nan megah dan indah itu. Baru akan mengetuk gerbang besinya yang kokoh, tahu-tahu jendela kecil di samping gerbang itu terbuka. Seorang penjaga gerbang mengeluarkan kepalanya sambil tersenyum penuh hormat, “Oh, raden yang datang? Mari silahkan masuk. Tunggu saya bukakan gerbangnya.”Gerbang itu terbuka. Sukma Harum melangkah ke dalam. Ia diantar oleh salah seorang penjaga rumah sampai masuk ke ruang tamu bangunan itu.“Silahkan tunggu sebentar, saya akan memanggil nyonya.”Sukma Harum mengangguk dengan ramah membalas sikap ramah penjaga rumah itu.Mereka telah tahu ia datang untuk “Nyonya” dan bukan untuk “Tuan” pemilik rumah. Karena mereka pun telah tahu, ia sudah lama tidak berbicara dengan sang “tuan”.“Eh, raden y

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-12
  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 5

    Pedang Naga Langit milik Siwa Baruna. Yang ke-2 adalah Tombak Hitam milik Si Tombak Setan, Candramawa. Dan yang nomer satu…hmmmm…,adalah Bumbung Bratagini.”“Semua senjata pernah aku dengar. Tapi Bumbung Bratagini, aku belum pernah mendengar tentang senjata ini.”“Penjelasannya panjang, raden. Aku tidak sempat membaca,” tawa nyonya Oey.“Sangat menarik!” tukas Sukma Harum.“Raden tidak heran mengapa Kujang Arka Kencana yang sakti mandraguna milik raden warisan dari sang ibunda tidak berada di urutan teratas dalam daftar ini?”“Memangnya di urutan berapa?”“Tidak masuk urutan sama sekali!” tukas nyonya Oey enteng.“Ahahaha,” tawa Sukma Harum sambil menutup mulutnya. Bahkan saat tertawa pun ia masih bersikap sopan seperti seorang gadis pingitan.“Kujang Arka Kencana tidak masuk di dalam daftar karena tidak ada seorang saksi pun yang dapat menceritakan kehebatan kujang itu. Begitu menurut yang ditulis suamiku,” jelas nyonya Oey.“Hmmmm.”“Apakah karena Raden memang sudah lama tidak terli

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-12
  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 6

    “Jadi begitulah. Ia keluar rumah sambil memaki-maki,” kisah Sukma Harum. Rupanya ia sedang menceritakan pengalamannya tadi mampir ke rumah Oey Kim Seng kepada ke 5 orang dayang pengawalnya yang cantik-cantik.Anjani, Anjati, dan Anjasih, adalah 3 orang saudara kandung. Sedangkan Aristi dan Andini adalah 2 orang lainnya yang berasal dari perguruan berbeda.Anjani yang paling tua. Umurnya sekitar 22 tahun. Tugas utamanya adalah mengatur segala urusan di atas kapal. Ia pun bertanggung jawab pada semua kebutuhan majikannya. Selain ilmu silatnya paling tinggi, ia juga ahli siasat. Ia adalah pemimpin 5 dayang pengawal ini.Anjati, umur 20 tahun, adalah nahkoda kapal yang paling handal. Di usianya yang masih sangat muda, ia pernah berkunjung ke berbagai tempat di nusantara.Anjasih, berumur 18 tahun. Ia adalah koki paling handal. Apa yang disentuhnya akan menjadi sangat enak. Walaupun hanya dengan bumbu garam atau sekedar merica.Aristi, 21 tahun. Ia yang paling luas pengetahuannya mengenai

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-12
  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 7

    Kota Mandeung adalah kota paling selatan dari kerajaan Pasundan. Berbatasan dengan kadipaten Jamparing yang merupakan bagian dari kerajaan sebelah, yaitu kerajaan Madangkara. Hubungan kedua kerajaan sangat erat, baik dalam perdagangan, kemasyarakatan maupun dalam hubungan kenegaraan.Prabu Siliwangi yang bertahta di kerajaan Pasundan, adalah seorang raja arif dan bijaksana. Di tangannya lah Pasundan menjadi kerajaan besar dan sejahtera. Penduduk aman dan bahagia. Di masa pemerintahannya jualah dunia persilatan maju pesat karena banyak pendekar-pendekar sakti bermunculan. Prabu Siliwangi sendiri adalah pendekar sakt mandraguna sehingga beliau sangat menggemari ilmu silat dan kanuragan. Perguruan-perguruan dan padepokan-padepokan silat dan kanuragan tumbuh dengan sangat pesat.Tapi, dampak buruk yang timbul karena perkembangan dunia yang persilatan yang pesat ini adalah seringnya terjadi pergesakkan antar pendekar dunia persilatan. Meskipun pergesekkan itu tidak sampai mempengaruhi peri

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-12
  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 8

    Tahu-tahu pula, sebuah tombak hitam menghujam menembus kerongkongan lelaki itu!Tombak Hitam yang menakutkan. Menancap dengan gagah di atas tanah setelah menembus kerongkongan manusia. Tidak ada darah yang menempel di sana. Begitu cepat tongkat itu dilemparkan, sampai-sampai tidak ada sesuatu apapun yang menempel di tombak itu!Bahkan tidak ada debu setitik pun yang menempel di tombak hitam yang menakutkan itu!Darah muncrat di mana-mana. Namun tidak setitik pun di tombak hitam.Seluruh penontoh ramai heboh melihat kejadian ini. Tapi tidak ada satu pun yang berani bergerak dari tempat mereka masing-masing.Sukma Harum sudah melayang turun ke bawah. Entah kapan, tiada seorang pun yang dapat melihat. Mereka hanya melihat sesosok pria muda tampan berbaju putih bersih yang tahu-tahu sudah ada di hadapan nona cantik itu.“Kakang Raka!” tukas si Pedang Pelangi.Sukma Harum tidak membalas sapaan itu karena kini perhatiannya terpusat sebuah sosok yang baru muncul pula. Dialah pemilik tombak h

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-12
  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 9

    Keberadaan kitab itu telah menjadi legenda dan menjadi kitab utama buruan orang-orang persilatan.Kini terdengar kabar kitab itu berada di sebuah pulau di laut selatan.“Mara tahu apa nama pulau itu?”“Ya. Semua pendekar telah tahu nama pulau itu. Makanya banyak orang kemari dan menyewa perahu di pelabuhannya. Namanya Pulau Sepingkan,” jawab Amara.“Oh. Jadi itu sebabnya banyak sekali orang persilatan yang beredar di sini. Awalnya kupikir karena kota ini sedang ramai saja. Ternyata karena ada kabar kitab ini. Kau akan pergi ke sana?”“Ya. Setelah pulang dari kediaman Tumenggung Sangkala, Mara segera berangkat ke sana.”Ingin Raka melarangnya, tapi ia tahu Amara tak akan mendengarkannya. Gadis itu berkemauan keras dan bukan seorang yang penurut. Malah jika dilarang, ia seolah merasa seperti disuruh!“Fiiiiiiiiuuuuuuuiiiiiiit”Amara mengeluarkan suitan panjang. Tak lama kemudian terdengar derap suara kaki kuda.“Bajra! Kemari!” nona itu memanggil kuda kesayangannya yang baru saja muncul

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-12
  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 10

    Bab 4 Banjir DarahSetelah semua selesai, Sukma Harum segera bergegas menuju tempat pertemuannya dengan Sri Murti. Sebuah rumah yang terletak di bagian luar kota Mandeung. Ia menunggang sebuah kuda yang baru dibelinya di kota itu. Kuda berwarna hitam kecoklatan yang tegap dan cukup kuat.Sepanjang jalan Sukma Harum memperhatikan bahwa keadaan kota ini memang sangat sejahtera. Perdagangan ramai, kekayaan alam melimpah ruah, orang-orang hdup tentram dalam rasa saling percaya. Sangat berbeda dengan kerajaan-kerajaan di luar Pajajaran seperti Majapahit yang telah berangsur-angsur runtuh, atau Madangkara yang masih sibuk dengan perebutan kekuasaan antar keluarga.Prabu Siliwangi benar-benar belajar dari kisah-kisah kerajaan lain yang terlalu sibuk mengembangkan wilayah dan daerah kekuasaan sehingga lupa mensejahterakan rakyatnya. Sehingga keadaan dalam negeri kerajaan-kerajaan itu menjadi goyah dan mudah diruntuhkan. Pelajaran dan kenyataan ini membuat beliau lebih memperhatikan kesejahtra

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-12

Bab terbaru

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 20

    tadi. Raka menahan nafas. Kesalahan kecil saja bisa membuatnya terhempas ke dalam jurang dan disambut oleh ratusan perangkap tajam dan beracun.Masih ada 5 titik yang ditujunya. Masih ada banyak senjata rahasia dan perangkap yang harus dihindarinya. Semuanya dilewatinya satu persatu dengan aman. Titik terakhir adalah sebuah pohon di ujung sana. Ia harus bisa sampai ke atas pohon itu dengan satu lompatan. Karena jika tidak, ia akan ditelan perangkap-perangkap ganas yang tersembunyi di balik rerumputan dan semak-semak di bawah sana.Raka menarik nafas dalam-dalam. Lompatan ini sangat jauh. Ia belum pernah melakukannya. Tetapi ia harus mencoba, karena inilah satu-satunya jalan. Dan selama ini, ia tidak pernah kecewa dengan ilmu meringankan tubuhnya.Swuuuuussshhh.Sebenarnya tidak ada orang yang mampu mendengar gerakannya. Hanya angin di sekitarnya sendiri yang dapat mampu “mendengar” gerakannya!Lompatan itu dilakukannya dengan sederhana. Tidak ada keindahan, tidak ada gerakan yang lema

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 19

    Jika kau pernah melihat Kujang itu disambitkan, maka kau pun akan berpikiran terbuka.“Melihat bahwa Mahaguru kami menerima tuan pun dengan tangan terbuka, maka kami telah mengambil keputusan bahwa aturan ini tidak dapat diterapkan.”Dengan keputusan ini, sang bhiksu seolah mengatakan bahwa meskipun Sukma Harum telah memasuki daerah terlarang, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman, karena pemiik daerah terlarang itu sendiri telah menerimanya dengan tangan terbuka.“Kabar yang terdengar bahwa Bhiksu kepala Padepokan Rajawali Sakti adalah orang yang sangat bijaksana, ternyata bukanlah kabar angin. Hari ini sudah hamba buktikan sendiri,” tukas Sukma Harum.“Ingat, tuan. Satu purnama. Setelah itu kami akan mencari tuan,” kata-kata sang bhiksu penuh ancaman.Sukma Harum hanya mengangguk. Ia lalu menjura dan meminta diri.Semua mata masih memandangnya dengan tajam saat ia berjalan keluar dengan santai melalui pintu gerbang depan. Tahu-tahu Sukma Harum mengeluarkan suitan panjang yang keras s

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 18

    Bahkan ketka seorang laki-laki sudah menjadi begitu tua, kenangan tentang cinta masa lalu akan tetap membara di hatinya.Menjadi bhiksu bukanlah menjadi manusia sempurna tanpa nafsu. Menjadi bhiksu adalah menjadi manusia yang mampu menjaga kesucian hatinya, menjaga diri dari nafsu dan amarah. Dari gejolak jiwa dan hati manusia yang tak pernah dapat lurus sepenuhnya.Kembang Gunung Lawu.Itulah nama julukan wanita itu di masa lalu. Kembang itu sekarang tentu telah menua. Telah layu, bahkan mungkin telah getas dan mengering. Hancur menjadi debu. Tetapi kembang itu pernah merekah dan mengharumi hidupnya. Bagi seorang laki-laki, kenangan yang harum saja sudah cukup baginya untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik.Sudah lebih dari cukup.Sukma Harum dapat melihat perubahan rona wajah bhiksu agung itu. Ia pun dapat merasakan getaran perasaan mahaguru itu.Hanya laki-laki yang pernah terluka yang dapat memahami perasaan lelaki yang terluka pula.Akhirnya Sukma Harum tidak berani mengangkat

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 17

    ini bukanlah sebuah serangan secara serampangan melainkan merupakan gerakan tingkat tinggi yang sangat terlatih. Sukma Harum menghindar dengan satu langkah ringan. Begitu kakinya menginjak tanah, segera tubuhnya melenting tinggi ke atas pula. Kini tubuhnya berada di atas Cakrawala.Burung itu membalikkan tubuhnya dengan sangat gesit. Kini punggungnya menghadap ke tanah, dan cakarnya berada di atas, menyambar bayangan Sukma Harum yang seolah terbang pula. Serangan cakar itu sangat cepat dan sangat berbahaya. Tidak sembarang manusia yang bisa menghindari serangan seperti itu.Tetapi tentu saja Sukma Harum bisa menghindarinya, karena ia bukan sembarang manusia.Dengan sebuah gerakan kecil, ia memutar tubuhnya sehingga cakar-cakar itu lewat begitu saja di hadapannya. Begitu cakar itu melewati kepalanya, tangannya bergerak cepat memegang batang kaki burung raksasa itu. Dengan meminjam tenaga sambaran batang kaki itu, Sukma Harum melesat ke arah kepala sang burung. Lalu sekali tangannya be

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 16

    “Aku belum tahu siapa nama asli ananda,” kata bhiksu tua itu dengan senyumnya yang hangat.“Nama asli nanda adalah Rakantara Gandakusuma,” jawab Sukma Harum.“Ayahmu dari keluarga Gandakusuma yang terkenal itu?”Sukma Harum hanya mengangguk dengan sungkan.“Kakek buyutmu yang mulia adalah orang yang sangat berjasa bagi Pajajaran. Menyebut nama beliau saja sungguh bibir ini masih belum pantas.”Sukma Harum tidak tahu harus menjawab apa.“Nanda tampan, kaya raya, cerdas, dan punya ilmu silat dan kanuragan yang sangat tinggi. Banyak orang memimpikan memiliki hal ini. Tapi tahukah ananda bahwa memiliki anugrah sedemikian besar, kadang membuat hidup tak seindah bayangan orang?” “Nanda sangat memahami perkataan yang agung,” jawab Sukma Harum.“Semakin besar hikmat yang diberikan langit kepadamu, maka semakin besar pula cobaan dan ujian yang akan nanda dapatkan.”Suasana gunung sangat hening. Langit sudah mulai gelap. Hanya terdengar suara angin yang bergemerisik menembus alang-alang. Pepoh

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 15

    Sukma Harum tidak mau ambil pusing. Ia tetap berdiri di depan pintu dan tidak masuk ke dalam ruangan.“Masuk,” suara itu sangat pelan seperti orang berbisik. Nadanya berat namun halus. Sukma Harum melangkah masuk.Orang yang tengah bersemedhi itu sudah membuka mata memandang dirinya. Pandangannya pun halus. Tetapi sorotnya seperti mampu menembus jiwa orang sampai ke dasar-dasarnya.“Punten, mahaguru yang agung. Hamba terpaksa harus melarikan diri kemari. Hamba bersalah,” kata Sukma Harum sambil menjura mengangkat tangan.Orang tua itu mungkin usianya sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ia bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain putih yang tipis menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia memandang Sukma Harum dari atas ke bawah. Mengamati pemuda itu dari luar sampai dalam.“Dengan ilmu setinggi yang kau miliki, sepantasnya orang-orang di luar sana yang harusnya melarikan diri dari engkau, anak muda.”Sukma Harum hanya tersenyum masam. Orang tua itu melanjutkan, “Kau rela melanggar kesucian

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 14

    Ini adalah suara pangeran Reksa. Ia tidak gila, tidak pula sedang berkhayal. Ia ingat betul bahwa lelaki yang baru saja masuk ini adalah orang yang membantai kakak perempuannya dan seluruh penghuni di dalam rumah itu.Sukma Harum terhenyak. Begitu kaget mendengar kejutan yang mengherankan ini. Tak terasa ia telah terkepung. Para murid-murid telah berjaga-jaga di luar ruangan. Para tetua kini mengelilinginya.Bhiksu Aji Satya, sang ketua Padepokan Rajawali Sakti menatapnya. Ada pandangan yang menusuk denga sangat dalam. Tetapi suaranya masih tetap tenang.“Sekarang semua sudah jelas, tuan Rakantara Gandakusuma,” ia menyebut nama asli Sukma Harum.Otak Sukma Harum bekerja dengan sangat cepat. Ia memiliki berbagai macam dugaan kemungkinan atas apa yang telah berlaku di dalam seluruh kejadian ini. Salah satunya adalah bahwa seseorang yang menyaru sebagai dirinya, datang ke rumah itu, lalu membantai semua orang. Itulah kenapa mereka semua seperti tidak sempat melawan karena mereka mengira

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 13

    “Apa kabar ayah dan bunda? Sehat sentausa semoga tercurah,” tanya sang bhiksu.“Ah puji Tuhan, ramanda dan ibunda sehat tak kurang apa. Guru yang agung mengenal mereka pula?”“Terakhir bersua ibunda tuan saat sang Ratu Ayu masih remaja. Malahan Ratu Ayu datang ke sini bertegur sapa,” kata sang bhiksu. Ada tawa getir tersirat di wajahnya. Melihat raut wajah bhiksu itu dan mengetahui sepak terjang ibunya saat remaja dulu, Sukma Harum jadi paham bahwa mungkin dulu ibunya pernah datang dan bertarung di tempat ini. Ia hanya tersenyum lalu berkata, “Jaman remaja dahulu memang ibunda Ratu suka bertualang. Setelah menikah malah menjadi seperti bhiksuni. Mengabdi di rumah dan menutup diri.”Maksud kata-kata Sukma Harum ini adalah bahwa ibunya kini sudah sangat berbeda sepak terjangnya daripada saat masih remaja.“Saat remaja, tiada seorang pun pungkiri bahwa Ratu Ayu adalah satria pawestri (pendekar perempuan) nan jaya matra (tanpa lawan) di jamannya. Kujangnya maha digdaya. Jika dilesatkan, t

  • Petualangan Sukma Harum: Darah Sang Raja   Bab 12

    Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari lebih, akhirnya tampak juga padepokan Rajawali Sakti dari jauh. Bangunannya besar-besar dan terlihat sangat luas karena dari kejauhan terlihat tembok putih yang mengelilingi seluruh wilayah padepokan itu.“Besar sekali padepokan kalian, tuan Namban,” tukas Sukma Harum.“Ya. Anggota kami sudah hampir 3 ribu orang.”“Hebat sekali. Jumlahnya bahkan sudah bisa djadikan pasukan perang.”Namban tidak menjawab. Rasa bangga terlihat benar pada raut wajahnya. Sukma Harum melanjutkan, “Dalam dunia persilatan, tetua mahaguru bhiksu Mangkara Dharma adalah yang paling hebat dan paling sakti. Ilmunya sudah tiada tandingan lagi. Ingin sekali aku berjumpa dengan beliau.”“Beliau mahaguru telah mengundurkan diri dari perguruan sudah sejak lama. Beliau mengasingkan diri dan bertapa moksa.”“Ah begitukah? Sungguh bijaksana sekali yang beliau lakukan. Untuk tingkatan seperti beliau mahaguru, dunia dan segala isinya ini hanyalah debu pada kaki beliau,” Sukma Harum

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status