Sukma Harum terus melangkah. Mungkin ia khawatir, jika ia berhenti melangkah, kenangan indah itu akan mengejarnya.
Tahu-tahu kini ia telah berada di depan sebuah rumah besar tak jauh dari pasar utama kota Jamparing. Semua orang di kota itu tahu milik siapa gerangan rumah nan megah dan indah itu. Baru akan mengetuk gerbang besinya yang kokoh, tahu-tahu jendela kecil di samping gerbang itu terbuka. Seorang penjaga gerbang mengeluarkan kepalanya sambil tersenyum penuh hormat, “Oh, raden yang datang? Mari silahkan masuk. Tunggu saya bukakan gerbangnya.”
Gerbang itu terbuka. Sukma Harum melangkah ke dalam. Ia diantar oleh salah seorang penjaga rumah sampai masuk ke ruang tamu bangunan itu.
“Silahkan tunggu sebentar, saya akan memanggil nyonya.”
Sukma Harum mengangguk dengan ramah membalas sikap ramah penjaga rumah itu.
Mereka telah tahu ia datang untuk “Nyonya” dan bukan untuk “Tuan” pemilik rumah. Karena mereka pun telah tahu, ia sudah lama tidak berbicara dengan sang “tuan”.
“Eh, raden yang datang?” terdengar suara sang nyonya. Mendengar suaranya saja, seorang lelaki dapat terbuai dan terlena.
Kini orangnya pun sudah muncul. Nyonya Oey, istri dari Oey Kim Seng. Lelaki yang memiliki rumah semegah ini, tentu saja akan memiliki istri yang cantik bagai bidadari khayangan. Hal ini sudah menjadi sejenis hukum alam.
Nyonya Oey memang cantik sekali.
Sampai-sampai kadang Sukma Harum merasa berdosa hanya karena memandangi wajahnya saja.
“Dari wangimu yang tercium sampai dapur belakang, aku sudah dapat menduga siapa yang datang,” tukas nyonya Oey dengan ramah.
Sukma Harum terseyum ramah, “Apa kabar, cici (kakak)? Sehat terus sepertinya. Eh, kau nampak kurusan? Jangan lah terlalu sibuk bekerja.”
“Eh aku kurusan? Masak sih?” Perempuan mana saja tentu suka jika dibilang kurusan. Katanya, “Ada keperluan apa raden mencariku? Loh mari silahkan duduk. Sampai lupa. Raden ingin minum apa? Mau degan dingin? Kebetulan kami baru memanen kelapa muda.”
“Oh, boleh. Terima kasih,” selamanya Sukma Harum tidak pernah menampik jika orang menawarinya mekanan enak.
Tak lama pelayan pun datang membawa kelapa muda yang telah dipotong bagian atasnya dan beberapa nampan kudapan. Sukma Harum mengucapkan terima kasih kepada pelayan itu dengan sopan.
Nyonya Oey melihat keramahan itu dan berkata, “Sejak dahulu, raden selalu memperlakukan orang lain dengan sopan. Bahkan terhadap orang yang tingkatannya jauh dibawah raden.”
Sebenarnya Sukma Harum ingin menanggapi perkataan itu, tetapi ia memilih tersenyum saja.
“Sesungguhnya, ada keperluan apa raden mencariku?” tanya nyonya Oey. Ia mengerti bahwa orang setenar dan sesibuk Sukma Harum, tidak mungkin hanya ingin datang bertamu dan mengobrol. Ia pun tahu, tamunya itu sama sekali tidak suka berbasa-basi.
“Saya mencari suamimu, cici. Apakah koh-Seng (kakak Seng) bersedia bertemu denganku?”
“Eh?” nyonya itu terbelalak keheranan. Bahkan mulutnya sampai menganga. Lalu rasa heran itu berubah menjadi raut wajah yang bahagia. “Akhirnya!” katanya.
“Mohon ditunggu, raden. Akan kutanyakan kepadanya,” nyonya itu bergegas menemui suaminya seperti tak sabar mengabarkan “berita” gembira ini.
Sukma Harum menunggu dengan tenang. Sebenarnya ia sudah dapat menduga apa jawaban dari Oey Kim Seng.
Saat nyonya Oey kembali ke ruangan tamu dengan wajah yang kurang enak, Sukma Harum tertawa di dalam hati karena mengetahui bahwa dugaannya ternyata benar.
“Ia tidak mau,” kata nyonya Oey. “Tetapi ia berkata, jika raden membutuhkan pertolongannya, silahkan katakan melalui aku.”
Sukma Harum tertawa.
Nyonya Oey bingung antara ikut tertawa atau sebal. Katanya, “Sebenarnya apa yang terjadi antara raden berdua? Kalian sudah bersahabat sejak kecil, tapi kemudian tidak mau bertegur sapa satu sama lain. Namun jika salah satu membutuhkan pertolongan, yang lain akan saling membantu. Tapi selamanya tidak mau bertemu muka. Aku sebenarnya heran….,”
Terdengar suara dari dalam, “Itu karena si kecoak itu terlalu kepala batu.” Rupanya suara Oey Kim Seng sendiri.
Sukma Harum terbahak. Katanya membalas, “Meskipun aku kepala batu, setidaknya bukan batu jamban seperti engkau.”
Terdengar tawa Oey Kim Seng pula. Lalu katanya, “Istriku, bawa dia ke kamar kita. Di sana orang lain tidak bisa mendengarkan obrolan kalian.”
Jika orang lain berada di tempat ini, tentu akan sangat keheranan melihat kejadian ini. Dua sahabat yang tidak mau saling bertemu, tapi masih mau saling membantu. Bahkan salah satunya menyuruh istirnya untuk membawa sahabatnya ke dalam kamar, karena di sana tidak ada orang yang dapat mendengar obrolan mereka.
Kamar suami istri adalah sebuah tempat yang sangat sakral. Tidak sembarang orang boleh masuk ke ruangan ini. Tapi Oey Kim Seng malah justru menyuruh istrinya membawa laki-laki lain ke dalamnya.
Tak lama Sukma Harum dan nyonya Oey sudah berada di dalam kamar. Nyonya Oey bahkan sudah menutup dan mengunci rapat-rapat semua jendela dan pintu.
Sukma Harum hanya menggeleng dengan wajah heran. Katanya, “Ia sangat percaya kepada nyonya. Rela membiarkan istrinya yang cantik berduaan dengan lelaki sepertiku.”
“Ya. Nama harum raden sebagai lelaki yang selalu dikejar dan dikelelingi wanita cantik sudah tersebar ke seluruh dunia,” sahut si nyonya tertawa lebar.
“Rasa percayanya kepada cici (kakak) sangat besar. Aku salut kepada kalian berdua. Memang hanya rasa saling percayalah yang dapat mempertahankan rumah tangga.”
“Raden keliru.”
“Eh?”
“Ia selalu cemburu kepadaku dan jarang sekali percaya kepadaku. Rasa percayanya yang besar itu bukan kepadaku, melainkan kepada raden.”
Sukma Harum tercenung.
“Sebenarnya apa yang menumbuhkan rasa percaya sebesar itu di antara kalian?” tanya nyonya Oey.
Sukma Harum berpkir sebentar, lalu berkata, “Mungkin karena kami sama-sama mengerti bahwa jika salah satu membutuhkan nyawa yang lain, ia cukup meminta saja. Maka nyawa itu akan diberikan dengan cuma-cuma dan dengan senang hati.”
“Lalu kenapa raden berdua tidak saling menyapa?”
Sukma Harum tersenyum kecil. “Memberikan nyawa dan saling menyapa adalah 2 hal yang berbeda.”
Nyonya Oey tertawa. Ia tahu bahwa ia tidak salah memilih suami. Seseorang memang dinilai dari sahabat-sahabat yang dimilikinya.
“Sedang sibuk apa suamimu akhir-akhir ini? Nampaknya ia tidak pernah keluar ruang kerjanya,” tanya Sukma Harum.
“Ia sedang menulis kitab.”
“Kitab?”
“Ya. Kitab tentang 100 Senjata Paling Digdaya di masa ini?”
“Hmmm. Menarik.”
“Aku sempat melirik sedikit apa yang dituliskannya. Tapi justru itu bagian yang paling penting.”
“Bagaimana?”
“Aku jadi tahu 5 senjata paling digdaya di urutan paling atas dalam kitabnya. Tapi janji jangan raden beritahukan kepada siapapun sebelum kitab ini diterbitkan”
“Oh. Baiklah”
“Yang nomer 5 adalah Pedang Jinggalita milik adik kandung raden sendiri, Raden Ayu Amarajati. Yang ke-4 adalah Gendewa Bumi milik Patih Surya Laksana. Yang ke-3 adalah
Pedang Naga Langit milik Siwa Baruna. Yang ke-2 adalah Tombak Hitam milik Si Tombak Setan, Candramawa. Dan yang nomer satu…hmmmm…,adalah Bumbung Bratagini.”“Semua senjata pernah aku dengar. Tapi Bumbung Bratagini, aku belum pernah mendengar tentang senjata ini.”“Penjelasannya panjang, raden. Aku tidak sempat membaca,” tawa nyonya Oey.“Sangat menarik!” tukas Sukma Harum.“Raden tidak heran mengapa Kujang Arka Kencana yang sakti mandraguna milik raden warisan dari sang ibunda tidak berada di urutan teratas dalam daftar ini?”“Memangnya di urutan berapa?”“Tidak masuk urutan sama sekali!” tukas nyonya Oey enteng.“Ahahaha,” tawa Sukma Harum sambil menutup mulutnya. Bahkan saat tertawa pun ia masih bersikap sopan seperti seorang gadis pingitan.“Kujang Arka Kencana tidak masuk di dalam daftar karena tidak ada seorang saksi pun yang dapat menceritakan kehebatan kujang itu. Begitu menurut yang ditulis suamiku,” jelas nyonya Oey.“Hmmmm.”“Apakah karena Raden memang sudah lama tidak terli
“Jadi begitulah. Ia keluar rumah sambil memaki-maki,” kisah Sukma Harum. Rupanya ia sedang menceritakan pengalamannya tadi mampir ke rumah Oey Kim Seng kepada ke 5 orang dayang pengawalnya yang cantik-cantik.Anjani, Anjati, dan Anjasih, adalah 3 orang saudara kandung. Sedangkan Aristi dan Andini adalah 2 orang lainnya yang berasal dari perguruan berbeda.Anjani yang paling tua. Umurnya sekitar 22 tahun. Tugas utamanya adalah mengatur segala urusan di atas kapal. Ia pun bertanggung jawab pada semua kebutuhan majikannya. Selain ilmu silatnya paling tinggi, ia juga ahli siasat. Ia adalah pemimpin 5 dayang pengawal ini.Anjati, umur 20 tahun, adalah nahkoda kapal yang paling handal. Di usianya yang masih sangat muda, ia pernah berkunjung ke berbagai tempat di nusantara.Anjasih, berumur 18 tahun. Ia adalah koki paling handal. Apa yang disentuhnya akan menjadi sangat enak. Walaupun hanya dengan bumbu garam atau sekedar merica.Aristi, 21 tahun. Ia yang paling luas pengetahuannya mengenai
Kota Mandeung adalah kota paling selatan dari kerajaan Pasundan. Berbatasan dengan kadipaten Jamparing yang merupakan bagian dari kerajaan sebelah, yaitu kerajaan Madangkara. Hubungan kedua kerajaan sangat erat, baik dalam perdagangan, kemasyarakatan maupun dalam hubungan kenegaraan.Prabu Siliwangi yang bertahta di kerajaan Pasundan, adalah seorang raja arif dan bijaksana. Di tangannya lah Pasundan menjadi kerajaan besar dan sejahtera. Penduduk aman dan bahagia. Di masa pemerintahannya jualah dunia persilatan maju pesat karena banyak pendekar-pendekar sakti bermunculan. Prabu Siliwangi sendiri adalah pendekar sakt mandraguna sehingga beliau sangat menggemari ilmu silat dan kanuragan. Perguruan-perguruan dan padepokan-padepokan silat dan kanuragan tumbuh dengan sangat pesat.Tapi, dampak buruk yang timbul karena perkembangan dunia yang persilatan yang pesat ini adalah seringnya terjadi pergesakkan antar pendekar dunia persilatan. Meskipun pergesekkan itu tidak sampai mempengaruhi peri
Tahu-tahu pula, sebuah tombak hitam menghujam menembus kerongkongan lelaki itu!Tombak Hitam yang menakutkan. Menancap dengan gagah di atas tanah setelah menembus kerongkongan manusia. Tidak ada darah yang menempel di sana. Begitu cepat tongkat itu dilemparkan, sampai-sampai tidak ada sesuatu apapun yang menempel di tombak itu!Bahkan tidak ada debu setitik pun yang menempel di tombak hitam yang menakutkan itu!Darah muncrat di mana-mana. Namun tidak setitik pun di tombak hitam.Seluruh penontoh ramai heboh melihat kejadian ini. Tapi tidak ada satu pun yang berani bergerak dari tempat mereka masing-masing.Sukma Harum sudah melayang turun ke bawah. Entah kapan, tiada seorang pun yang dapat melihat. Mereka hanya melihat sesosok pria muda tampan berbaju putih bersih yang tahu-tahu sudah ada di hadapan nona cantik itu.“Kakang Raka!” tukas si Pedang Pelangi.Sukma Harum tidak membalas sapaan itu karena kini perhatiannya terpusat sebuah sosok yang baru muncul pula. Dialah pemilik tombak h
Keberadaan kitab itu telah menjadi legenda dan menjadi kitab utama buruan orang-orang persilatan.Kini terdengar kabar kitab itu berada di sebuah pulau di laut selatan.“Mara tahu apa nama pulau itu?”“Ya. Semua pendekar telah tahu nama pulau itu. Makanya banyak orang kemari dan menyewa perahu di pelabuhannya. Namanya Pulau Sepingkan,” jawab Amara.“Oh. Jadi itu sebabnya banyak sekali orang persilatan yang beredar di sini. Awalnya kupikir karena kota ini sedang ramai saja. Ternyata karena ada kabar kitab ini. Kau akan pergi ke sana?”“Ya. Setelah pulang dari kediaman Tumenggung Sangkala, Mara segera berangkat ke sana.”Ingin Raka melarangnya, tapi ia tahu Amara tak akan mendengarkannya. Gadis itu berkemauan keras dan bukan seorang yang penurut. Malah jika dilarang, ia seolah merasa seperti disuruh!“Fiiiiiiiiuuuuuuuiiiiiiit”Amara mengeluarkan suitan panjang. Tak lama kemudian terdengar derap suara kaki kuda.“Bajra! Kemari!” nona itu memanggil kuda kesayangannya yang baru saja muncul
Bab 4 Banjir DarahSetelah semua selesai, Sukma Harum segera bergegas menuju tempat pertemuannya dengan Sri Murti. Sebuah rumah yang terletak di bagian luar kota Mandeung. Ia menunggang sebuah kuda yang baru dibelinya di kota itu. Kuda berwarna hitam kecoklatan yang tegap dan cukup kuat.Sepanjang jalan Sukma Harum memperhatikan bahwa keadaan kota ini memang sangat sejahtera. Perdagangan ramai, kekayaan alam melimpah ruah, orang-orang hdup tentram dalam rasa saling percaya. Sangat berbeda dengan kerajaan-kerajaan di luar Pajajaran seperti Majapahit yang telah berangsur-angsur runtuh, atau Madangkara yang masih sibuk dengan perebutan kekuasaan antar keluarga.Prabu Siliwangi benar-benar belajar dari kisah-kisah kerajaan lain yang terlalu sibuk mengembangkan wilayah dan daerah kekuasaan sehingga lupa mensejahterakan rakyatnya. Sehingga keadaan dalam negeri kerajaan-kerajaan itu menjadi goyah dan mudah diruntuhkan. Pelajaran dan kenyataan ini membuat beliau lebih memperhatikan kesejahtra
Tetapi jika ia mampu membunuh seluruh orang di rumah itu, mengapa ia harus takut kepada tamu yang datang?Apakah karena pembunuh itu tahu bahwa tamu yang datang adalah Sukma Harum?Ya tentu saja. Pembunuh itu adalah orang yang dikenal oleh semua orang yang berada di rumah ini.Tetapi ke mana dia pergi?Sukma Harum menoleh keluar melalui jendela yang terbuka. Terdengar deru suara kuda dari luar yang mendekat. Rupanya ada beberapa orang lain yang datang ke sana pula.Pikirannya berputar dengan cepat. Jika ia pergi mengejar pelaku itu, maka nyawa pemuda ini tidak dapat ia selamatkan. Tetapi jika ia tidak pergi dari sana, maka orang-orang yang datang ini akan menuduhnya sebagai pelakunya.Sukma Harum telah mengambil keputusan dalam sepersekian detik.Tangannya mengeluarkan obat dari balik kantongnya. Begitu diteteskan di atas luka yang menganga di leher itu, cairan itu mengeluarkan bau amis dan suara mendesis.Sssssssssssssssssss!Pemuda itu telah kehilangan kesadaran sehingga ia tidak me
Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari lebih, akhirnya tampak juga padepokan Rajawali Sakti dari jauh. Bangunannya besar-besar dan terlihat sangat luas karena dari kejauhan terlihat tembok putih yang mengelilingi seluruh wilayah padepokan itu.“Besar sekali padepokan kalian, tuan Namban,” tukas Sukma Harum.“Ya. Anggota kami sudah hampir 3 ribu orang.”“Hebat sekali. Jumlahnya bahkan sudah bisa djadikan pasukan perang.”Namban tidak menjawab. Rasa bangga terlihat benar pada raut wajahnya. Sukma Harum melanjutkan, “Dalam dunia persilatan, tetua mahaguru bhiksu Mangkara Dharma adalah yang paling hebat dan paling sakti. Ilmunya sudah tiada tandingan lagi. Ingin sekali aku berjumpa dengan beliau.”“Beliau mahaguru telah mengundurkan diri dari perguruan sudah sejak lama. Beliau mengasingkan diri dan bertapa moksa.”“Ah begitukah? Sungguh bijaksana sekali yang beliau lakukan. Untuk tingkatan seperti beliau mahaguru, dunia dan segala isinya ini hanyalah debu pada kaki beliau,” Sukma Harum
tadi. Raka menahan nafas. Kesalahan kecil saja bisa membuatnya terhempas ke dalam jurang dan disambut oleh ratusan perangkap tajam dan beracun.Masih ada 5 titik yang ditujunya. Masih ada banyak senjata rahasia dan perangkap yang harus dihindarinya. Semuanya dilewatinya satu persatu dengan aman. Titik terakhir adalah sebuah pohon di ujung sana. Ia harus bisa sampai ke atas pohon itu dengan satu lompatan. Karena jika tidak, ia akan ditelan perangkap-perangkap ganas yang tersembunyi di balik rerumputan dan semak-semak di bawah sana.Raka menarik nafas dalam-dalam. Lompatan ini sangat jauh. Ia belum pernah melakukannya. Tetapi ia harus mencoba, karena inilah satu-satunya jalan. Dan selama ini, ia tidak pernah kecewa dengan ilmu meringankan tubuhnya.Swuuuuussshhh.Sebenarnya tidak ada orang yang mampu mendengar gerakannya. Hanya angin di sekitarnya sendiri yang dapat mampu “mendengar” gerakannya!Lompatan itu dilakukannya dengan sederhana. Tidak ada keindahan, tidak ada gerakan yang lema
Jika kau pernah melihat Kujang itu disambitkan, maka kau pun akan berpikiran terbuka.“Melihat bahwa Mahaguru kami menerima tuan pun dengan tangan terbuka, maka kami telah mengambil keputusan bahwa aturan ini tidak dapat diterapkan.”Dengan keputusan ini, sang bhiksu seolah mengatakan bahwa meskipun Sukma Harum telah memasuki daerah terlarang, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman, karena pemiik daerah terlarang itu sendiri telah menerimanya dengan tangan terbuka.“Kabar yang terdengar bahwa Bhiksu kepala Padepokan Rajawali Sakti adalah orang yang sangat bijaksana, ternyata bukanlah kabar angin. Hari ini sudah hamba buktikan sendiri,” tukas Sukma Harum.“Ingat, tuan. Satu purnama. Setelah itu kami akan mencari tuan,” kata-kata sang bhiksu penuh ancaman.Sukma Harum hanya mengangguk. Ia lalu menjura dan meminta diri.Semua mata masih memandangnya dengan tajam saat ia berjalan keluar dengan santai melalui pintu gerbang depan. Tahu-tahu Sukma Harum mengeluarkan suitan panjang yang keras s
Bahkan ketka seorang laki-laki sudah menjadi begitu tua, kenangan tentang cinta masa lalu akan tetap membara di hatinya.Menjadi bhiksu bukanlah menjadi manusia sempurna tanpa nafsu. Menjadi bhiksu adalah menjadi manusia yang mampu menjaga kesucian hatinya, menjaga diri dari nafsu dan amarah. Dari gejolak jiwa dan hati manusia yang tak pernah dapat lurus sepenuhnya.Kembang Gunung Lawu.Itulah nama julukan wanita itu di masa lalu. Kembang itu sekarang tentu telah menua. Telah layu, bahkan mungkin telah getas dan mengering. Hancur menjadi debu. Tetapi kembang itu pernah merekah dan mengharumi hidupnya. Bagi seorang laki-laki, kenangan yang harum saja sudah cukup baginya untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik.Sudah lebih dari cukup.Sukma Harum dapat melihat perubahan rona wajah bhiksu agung itu. Ia pun dapat merasakan getaran perasaan mahaguru itu.Hanya laki-laki yang pernah terluka yang dapat memahami perasaan lelaki yang terluka pula.Akhirnya Sukma Harum tidak berani mengangkat
ini bukanlah sebuah serangan secara serampangan melainkan merupakan gerakan tingkat tinggi yang sangat terlatih. Sukma Harum menghindar dengan satu langkah ringan. Begitu kakinya menginjak tanah, segera tubuhnya melenting tinggi ke atas pula. Kini tubuhnya berada di atas Cakrawala.Burung itu membalikkan tubuhnya dengan sangat gesit. Kini punggungnya menghadap ke tanah, dan cakarnya berada di atas, menyambar bayangan Sukma Harum yang seolah terbang pula. Serangan cakar itu sangat cepat dan sangat berbahaya. Tidak sembarang manusia yang bisa menghindari serangan seperti itu.Tetapi tentu saja Sukma Harum bisa menghindarinya, karena ia bukan sembarang manusia.Dengan sebuah gerakan kecil, ia memutar tubuhnya sehingga cakar-cakar itu lewat begitu saja di hadapannya. Begitu cakar itu melewati kepalanya, tangannya bergerak cepat memegang batang kaki burung raksasa itu. Dengan meminjam tenaga sambaran batang kaki itu, Sukma Harum melesat ke arah kepala sang burung. Lalu sekali tangannya be
“Aku belum tahu siapa nama asli ananda,” kata bhiksu tua itu dengan senyumnya yang hangat.“Nama asli nanda adalah Rakantara Gandakusuma,” jawab Sukma Harum.“Ayahmu dari keluarga Gandakusuma yang terkenal itu?”Sukma Harum hanya mengangguk dengan sungkan.“Kakek buyutmu yang mulia adalah orang yang sangat berjasa bagi Pajajaran. Menyebut nama beliau saja sungguh bibir ini masih belum pantas.”Sukma Harum tidak tahu harus menjawab apa.“Nanda tampan, kaya raya, cerdas, dan punya ilmu silat dan kanuragan yang sangat tinggi. Banyak orang memimpikan memiliki hal ini. Tapi tahukah ananda bahwa memiliki anugrah sedemikian besar, kadang membuat hidup tak seindah bayangan orang?” “Nanda sangat memahami perkataan yang agung,” jawab Sukma Harum.“Semakin besar hikmat yang diberikan langit kepadamu, maka semakin besar pula cobaan dan ujian yang akan nanda dapatkan.”Suasana gunung sangat hening. Langit sudah mulai gelap. Hanya terdengar suara angin yang bergemerisik menembus alang-alang. Pepoh
Sukma Harum tidak mau ambil pusing. Ia tetap berdiri di depan pintu dan tidak masuk ke dalam ruangan.“Masuk,” suara itu sangat pelan seperti orang berbisik. Nadanya berat namun halus. Sukma Harum melangkah masuk.Orang yang tengah bersemedhi itu sudah membuka mata memandang dirinya. Pandangannya pun halus. Tetapi sorotnya seperti mampu menembus jiwa orang sampai ke dasar-dasarnya.“Punten, mahaguru yang agung. Hamba terpaksa harus melarikan diri kemari. Hamba bersalah,” kata Sukma Harum sambil menjura mengangkat tangan.Orang tua itu mungkin usianya sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ia bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain putih yang tipis menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia memandang Sukma Harum dari atas ke bawah. Mengamati pemuda itu dari luar sampai dalam.“Dengan ilmu setinggi yang kau miliki, sepantasnya orang-orang di luar sana yang harusnya melarikan diri dari engkau, anak muda.”Sukma Harum hanya tersenyum masam. Orang tua itu melanjutkan, “Kau rela melanggar kesucian
Ini adalah suara pangeran Reksa. Ia tidak gila, tidak pula sedang berkhayal. Ia ingat betul bahwa lelaki yang baru saja masuk ini adalah orang yang membantai kakak perempuannya dan seluruh penghuni di dalam rumah itu.Sukma Harum terhenyak. Begitu kaget mendengar kejutan yang mengherankan ini. Tak terasa ia telah terkepung. Para murid-murid telah berjaga-jaga di luar ruangan. Para tetua kini mengelilinginya.Bhiksu Aji Satya, sang ketua Padepokan Rajawali Sakti menatapnya. Ada pandangan yang menusuk denga sangat dalam. Tetapi suaranya masih tetap tenang.“Sekarang semua sudah jelas, tuan Rakantara Gandakusuma,” ia menyebut nama asli Sukma Harum.Otak Sukma Harum bekerja dengan sangat cepat. Ia memiliki berbagai macam dugaan kemungkinan atas apa yang telah berlaku di dalam seluruh kejadian ini. Salah satunya adalah bahwa seseorang yang menyaru sebagai dirinya, datang ke rumah itu, lalu membantai semua orang. Itulah kenapa mereka semua seperti tidak sempat melawan karena mereka mengira
“Apa kabar ayah dan bunda? Sehat sentausa semoga tercurah,” tanya sang bhiksu.“Ah puji Tuhan, ramanda dan ibunda sehat tak kurang apa. Guru yang agung mengenal mereka pula?”“Terakhir bersua ibunda tuan saat sang Ratu Ayu masih remaja. Malahan Ratu Ayu datang ke sini bertegur sapa,” kata sang bhiksu. Ada tawa getir tersirat di wajahnya. Melihat raut wajah bhiksu itu dan mengetahui sepak terjang ibunya saat remaja dulu, Sukma Harum jadi paham bahwa mungkin dulu ibunya pernah datang dan bertarung di tempat ini. Ia hanya tersenyum lalu berkata, “Jaman remaja dahulu memang ibunda Ratu suka bertualang. Setelah menikah malah menjadi seperti bhiksuni. Mengabdi di rumah dan menutup diri.”Maksud kata-kata Sukma Harum ini adalah bahwa ibunya kini sudah sangat berbeda sepak terjangnya daripada saat masih remaja.“Saat remaja, tiada seorang pun pungkiri bahwa Ratu Ayu adalah satria pawestri (pendekar perempuan) nan jaya matra (tanpa lawan) di jamannya. Kujangnya maha digdaya. Jika dilesatkan, t
Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari lebih, akhirnya tampak juga padepokan Rajawali Sakti dari jauh. Bangunannya besar-besar dan terlihat sangat luas karena dari kejauhan terlihat tembok putih yang mengelilingi seluruh wilayah padepokan itu.“Besar sekali padepokan kalian, tuan Namban,” tukas Sukma Harum.“Ya. Anggota kami sudah hampir 3 ribu orang.”“Hebat sekali. Jumlahnya bahkan sudah bisa djadikan pasukan perang.”Namban tidak menjawab. Rasa bangga terlihat benar pada raut wajahnya. Sukma Harum melanjutkan, “Dalam dunia persilatan, tetua mahaguru bhiksu Mangkara Dharma adalah yang paling hebat dan paling sakti. Ilmunya sudah tiada tandingan lagi. Ingin sekali aku berjumpa dengan beliau.”“Beliau mahaguru telah mengundurkan diri dari perguruan sudah sejak lama. Beliau mengasingkan diri dan bertapa moksa.”“Ah begitukah? Sungguh bijaksana sekali yang beliau lakukan. Untuk tingkatan seperti beliau mahaguru, dunia dan segala isinya ini hanyalah debu pada kaki beliau,” Sukma Harum