“Jadi begitulah. Ia keluar rumah sambil memaki-maki,” kisah Sukma Harum. Rupanya ia sedang menceritakan pengalamannya tadi mampir ke rumah Oey Kim Seng kepada ke 5 orang dayang pengawalnya yang cantik-cantik.
Anjani, Anjati, dan Anjasih, adalah 3 orang saudara kandung. Sedangkan Aristi dan Andini adalah 2 orang lainnya yang berasal dari perguruan berbeda.
Anjani yang paling tua. Umurnya sekitar 22 tahun. Tugas utamanya adalah mengatur segala urusan di atas kapal. Ia pun bertanggung jawab pada semua kebutuhan majikannya. Selain ilmu silatnya paling tinggi, ia juga ahli siasat. Ia adalah pemimpin 5 dayang pengawal ini.
Anjati, umur 20 tahun, adalah nahkoda kapal yang paling handal. Di usianya yang masih sangat muda, ia pernah berkunjung ke berbagai tempat di nusantara.
Anjasih, berumur 18 tahun. Ia adalah koki paling handal. Apa yang disentuhnya akan menjadi sangat enak. Walaupun hanya dengan bumbu garam atau sekedar merica.
Aristi, 21 tahun. Ia yang paling luas pengetahuannya mengenai banyak hal. Mulai dari dunia persilatan, sejarah, dan lain-lain. Sukma Harum menyebutnya sebagai perpustakaan berjalan. Ia juga yang paling cantik di antara ke 5 pengawalnya. Selain itu, ia pintar pula memainkan musik dan menulis sajak.
Andini, 20 tahun, adalah ahli pengobatan. Ia mahir dalam mengobati luka dalam, luka bacok, racun, dan lain-lain.
Kini semua pengawal setianya itu sedang tiduran semua bersamanya di atas dipan yang nyaman itu.
“Kenapa Raden harus pergi datang kepadanya?” tanya Anjasih, si koki handal. Ia yang paling cerewet dan paling suka mengobrol.
“Ada pertanyaan yang harus kuajukan kepadanya,” jawab Sukma Harum.
“Bukankah segala pertanyaan di muka bumi ini dapat Raden tanyakan pada kak Aristi?” tanya Anjasih lagi.
Sukma Harum hanya menjawab pendek, “Betul.”
Malah Anjani yang menyahut, “Raden datang ke sana sebenarnya bukanlah untuk mengajukan pertanyaan, melainkan hanya karena kangen saja sudah lama tidak bertemu, bukan?”
“Memang Anjani yang paling mengerti perasaanku,” kata Sukma Harum sambil menyentuh ujung hidung nona itu.
“Raden kangen padanya tapi tidak mau mengakui. Sudah datang jauh-jauh, malah tidak bertemu. Ketika pulang malah dimaki-maki pula. Bukannya marah atau tersinggung, sampai di rumah malah wajah berseri-seri. Seumur hidup aku tidak bakalan mengerti hubungan persahabatan seperti ini,” gerutu Anjasih.
Kembali Anjani menyahut, “Hubungan yang dalam antara dua orang sahabat karib, memang kadang sulit dimengerti. Yang bisa kupahami, adalah alasan kenapa ia memaki-maki raden.”
“Jelaskan,” tukas Sukma Harum.
“Ia sengaja memaki-maki raden di depan gerbang, agar semua orang mengira kalian masih bermusuhan. Sepertinya ia menduga ada mata-mata yang mengawasi rumahnya.”
“Ah, bagus sekali.”
“Oooo, jadi begitu,” kata para pengawal lain hampir bersamaan.
“Orang yang memusuhiku memang banyak. Akan lebih aman jika orang lain tidak mau kenal denganku,” ujar Sukma Harum sambil tertawa masam.
“Tetapi raden pulang dengan wajah berseri-seri. Tentu bukan itu pikiran yang timbul di hati raden,” kata Anjani.
Sukma Harum menatapnya dengan wajah yang puas, “Menurutmu?”
“Oey Kim Seng sendiri memiliki banyak musuh pula. Justru ia memaki-maki Raden agar musuh-musuhnya tidak menjadi musuhmu.”
“Hebat! Aku sendiri membutuhkan waktu beberapa saat untuk dapat memahami maksud tindakannya itu.”
“Kak Anjani memang hebat!” sahut yang lain memuji pula.
Malam semakin beranjak kelam. Di atas sungai, kecil kecil nan mewah itu meluncur dengan luwesnya. Layarnya terkembang dengan gagah, menyongsong angin yang membawanya menyusuri dunia. Bintang-bintang tertutup di balik awan yang gelap.
“Aku mengantuk. Kalian kembalilah ke kamar masing-masing.”
“Kami ingin di sini menemani raden.”
Lelaki itu tertawa. Meskipun mereka adalah dayanglnya, ia sudah menganggap mereka seperti adik-adiknya sendiri. “Terserah kalian saja. Aristi, mainkan serulingmu.”
Aristi segera mengambil seruling yang selalu ia sisipkan di balik bajunya. “Raden ingin lagu apa?”
“Lagu apa saja. Pokoknya yang bisa mengiringi aku pulas.”
Nada-nada indah lalu terdengar. Mengalun lembut selembut gemericik air sungai yang menderai. Sukma Harum telah terbuai dengan mimpi.
“Cepat sekali raden tertidur,” kata Anjati entah kepada siapa.
“Ia memang seperti itu. Semakin besar masalah yang akan dihadapainya, maka semakin pulas juga ia tidur. Karena ia tahu ia harus mengumpulkan tenaga dan memusatkan segenap pikirannya,” kata Anjani.
Kelima orang itu menatap wajah majikan mereka yang telah tertidur pula situ dengan penuh kasih sayang. Jika mereka harus menyerahkan segenap jiwa raga untuk lelaki ini, mereka tidak akan ragu melakukannya.
Hanya mereka yang benar-benar mencintai, menghormati, dan mengasihi bawahannya lah yang akan mendapat cinta, rasa hormat dan kesetiaan seperti ini.
***
Pagi menjelang.
Sukma Harum malah sudah bangun. Nindita telah bersandar di sebuah deraga kecil. Di lihatnya Anjani masih terjaga di sana. “Kau sudah bangun atau malah belum tidur?”
Anjani hanya tersenyum. Katanya, “Semua keperluan Raden sudah siap. Jika Raden berangkat saya akan segera tidur.”
“Segala keperluanku bisa kukerjakan sendiri. Kau tidak perlu serepot ini.”
“Ini sudah kewajiban dan tugas saya, raden,” kata Anjani penuh hormat. Lanjutnya, “Jika Raden ingin mandi, sudah ada air panas di ruang pribadi Raden. Sarapan akan segera matang sebentar lagi.”
Sukma Harum berdiri dan mengusap kepala Anjani. “Terima kasih.” Ia lalu pergi ke kamar pribadinya di geladak ke dua dalam kapal. Kamar itu berukuran sedang dan tertata rapi. Anehnya, berbeda dengan bagian anjungan (ruang kemudi) yang sangat mewah dengan segala perhiasan dan kelengkapannya, kamar pribadinya malah terkesan sangat sederhana. Hanya ada satu dipan kecil yang hanya muat untuk satu orang, serta meja kecil di samping dipan untuk meletakan makanan atau benda-benda kecil. Juga ada lemari kayu jati yang berisi pakaian-pakaiannya.
Dari seluruh ruangan yang ada di dalam kapal, justru kamarnya sendiri yang paling sederhana. Jauh lebih sederhana daripada kamar dayang-dayangnya.
Di bagian belakang kamar ada ruangan untuk membersihkan diri dan jamban kecil yang sangat bersih dan wangi. Sukma Harum segera masuk ke ruangan ini dan mandi air hangat yang sudah disiapkan dayangnya. Selesai mandi ia menata diri dengan perlahan. Ia sangat menyukai hal ini. Beberapa orang sahabatnya berkata ia suka bersolek. Ia tidak perduli. Baginya, tampil dengan pakaian dan dandanan yang baik akan memberikannya rasa percaya diri dan pembawaan yang sempurna di hadapan orang lain.
Ia telah melalui pengalaman yang panjang untuk sampai kepada kesimpulan ini.
Tak berapa lama setelah selesai bersolek, pintu kamarnya diketuk salah satu dayang. “Sarapan sudah siap, raden. Apa raden ingin makan di kamar atau di ruang makan?”
“Di ruang makan saja. Aku segera ke sana.”
Kota Mandeung adalah kota paling selatan dari kerajaan Pasundan. Berbatasan dengan kadipaten Jamparing yang merupakan bagian dari kerajaan sebelah, yaitu kerajaan Madangkara. Hubungan kedua kerajaan sangat erat, baik dalam perdagangan, kemasyarakatan maupun dalam hubungan kenegaraan.Prabu Siliwangi yang bertahta di kerajaan Pasundan, adalah seorang raja arif dan bijaksana. Di tangannya lah Pasundan menjadi kerajaan besar dan sejahtera. Penduduk aman dan bahagia. Di masa pemerintahannya jualah dunia persilatan maju pesat karena banyak pendekar-pendekar sakti bermunculan. Prabu Siliwangi sendiri adalah pendekar sakt mandraguna sehingga beliau sangat menggemari ilmu silat dan kanuragan. Perguruan-perguruan dan padepokan-padepokan silat dan kanuragan tumbuh dengan sangat pesat.Tapi, dampak buruk yang timbul karena perkembangan dunia yang persilatan yang pesat ini adalah seringnya terjadi pergesakkan antar pendekar dunia persilatan. Meskipun pergesekkan itu tidak sampai mempengaruhi peri
Tahu-tahu pula, sebuah tombak hitam menghujam menembus kerongkongan lelaki itu!Tombak Hitam yang menakutkan. Menancap dengan gagah di atas tanah setelah menembus kerongkongan manusia. Tidak ada darah yang menempel di sana. Begitu cepat tongkat itu dilemparkan, sampai-sampai tidak ada sesuatu apapun yang menempel di tombak itu!Bahkan tidak ada debu setitik pun yang menempel di tombak hitam yang menakutkan itu!Darah muncrat di mana-mana. Namun tidak setitik pun di tombak hitam.Seluruh penontoh ramai heboh melihat kejadian ini. Tapi tidak ada satu pun yang berani bergerak dari tempat mereka masing-masing.Sukma Harum sudah melayang turun ke bawah. Entah kapan, tiada seorang pun yang dapat melihat. Mereka hanya melihat sesosok pria muda tampan berbaju putih bersih yang tahu-tahu sudah ada di hadapan nona cantik itu.“Kakang Raka!” tukas si Pedang Pelangi.Sukma Harum tidak membalas sapaan itu karena kini perhatiannya terpusat sebuah sosok yang baru muncul pula. Dialah pemilik tombak h
Keberadaan kitab itu telah menjadi legenda dan menjadi kitab utama buruan orang-orang persilatan.Kini terdengar kabar kitab itu berada di sebuah pulau di laut selatan.“Mara tahu apa nama pulau itu?”“Ya. Semua pendekar telah tahu nama pulau itu. Makanya banyak orang kemari dan menyewa perahu di pelabuhannya. Namanya Pulau Sepingkan,” jawab Amara.“Oh. Jadi itu sebabnya banyak sekali orang persilatan yang beredar di sini. Awalnya kupikir karena kota ini sedang ramai saja. Ternyata karena ada kabar kitab ini. Kau akan pergi ke sana?”“Ya. Setelah pulang dari kediaman Tumenggung Sangkala, Mara segera berangkat ke sana.”Ingin Raka melarangnya, tapi ia tahu Amara tak akan mendengarkannya. Gadis itu berkemauan keras dan bukan seorang yang penurut. Malah jika dilarang, ia seolah merasa seperti disuruh!“Fiiiiiiiiuuuuuuuiiiiiiit”Amara mengeluarkan suitan panjang. Tak lama kemudian terdengar derap suara kaki kuda.“Bajra! Kemari!” nona itu memanggil kuda kesayangannya yang baru saja muncul
Bab 4 Banjir DarahSetelah semua selesai, Sukma Harum segera bergegas menuju tempat pertemuannya dengan Sri Murti. Sebuah rumah yang terletak di bagian luar kota Mandeung. Ia menunggang sebuah kuda yang baru dibelinya di kota itu. Kuda berwarna hitam kecoklatan yang tegap dan cukup kuat.Sepanjang jalan Sukma Harum memperhatikan bahwa keadaan kota ini memang sangat sejahtera. Perdagangan ramai, kekayaan alam melimpah ruah, orang-orang hdup tentram dalam rasa saling percaya. Sangat berbeda dengan kerajaan-kerajaan di luar Pajajaran seperti Majapahit yang telah berangsur-angsur runtuh, atau Madangkara yang masih sibuk dengan perebutan kekuasaan antar keluarga.Prabu Siliwangi benar-benar belajar dari kisah-kisah kerajaan lain yang terlalu sibuk mengembangkan wilayah dan daerah kekuasaan sehingga lupa mensejahterakan rakyatnya. Sehingga keadaan dalam negeri kerajaan-kerajaan itu menjadi goyah dan mudah diruntuhkan. Pelajaran dan kenyataan ini membuat beliau lebih memperhatikan kesejahtra
Tetapi jika ia mampu membunuh seluruh orang di rumah itu, mengapa ia harus takut kepada tamu yang datang?Apakah karena pembunuh itu tahu bahwa tamu yang datang adalah Sukma Harum?Ya tentu saja. Pembunuh itu adalah orang yang dikenal oleh semua orang yang berada di rumah ini.Tetapi ke mana dia pergi?Sukma Harum menoleh keluar melalui jendela yang terbuka. Terdengar deru suara kuda dari luar yang mendekat. Rupanya ada beberapa orang lain yang datang ke sana pula.Pikirannya berputar dengan cepat. Jika ia pergi mengejar pelaku itu, maka nyawa pemuda ini tidak dapat ia selamatkan. Tetapi jika ia tidak pergi dari sana, maka orang-orang yang datang ini akan menuduhnya sebagai pelakunya.Sukma Harum telah mengambil keputusan dalam sepersekian detik.Tangannya mengeluarkan obat dari balik kantongnya. Begitu diteteskan di atas luka yang menganga di leher itu, cairan itu mengeluarkan bau amis dan suara mendesis.Sssssssssssssssssss!Pemuda itu telah kehilangan kesadaran sehingga ia tidak me
Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari lebih, akhirnya tampak juga padepokan Rajawali Sakti dari jauh. Bangunannya besar-besar dan terlihat sangat luas karena dari kejauhan terlihat tembok putih yang mengelilingi seluruh wilayah padepokan itu.“Besar sekali padepokan kalian, tuan Namban,” tukas Sukma Harum.“Ya. Anggota kami sudah hampir 3 ribu orang.”“Hebat sekali. Jumlahnya bahkan sudah bisa djadikan pasukan perang.”Namban tidak menjawab. Rasa bangga terlihat benar pada raut wajahnya. Sukma Harum melanjutkan, “Dalam dunia persilatan, tetua mahaguru bhiksu Mangkara Dharma adalah yang paling hebat dan paling sakti. Ilmunya sudah tiada tandingan lagi. Ingin sekali aku berjumpa dengan beliau.”“Beliau mahaguru telah mengundurkan diri dari perguruan sudah sejak lama. Beliau mengasingkan diri dan bertapa moksa.”“Ah begitukah? Sungguh bijaksana sekali yang beliau lakukan. Untuk tingkatan seperti beliau mahaguru, dunia dan segala isinya ini hanyalah debu pada kaki beliau,” Sukma Harum
“Apa kabar ayah dan bunda? Sehat sentausa semoga tercurah,” tanya sang bhiksu.“Ah puji Tuhan, ramanda dan ibunda sehat tak kurang apa. Guru yang agung mengenal mereka pula?”“Terakhir bersua ibunda tuan saat sang Ratu Ayu masih remaja. Malahan Ratu Ayu datang ke sini bertegur sapa,” kata sang bhiksu. Ada tawa getir tersirat di wajahnya. Melihat raut wajah bhiksu itu dan mengetahui sepak terjang ibunya saat remaja dulu, Sukma Harum jadi paham bahwa mungkin dulu ibunya pernah datang dan bertarung di tempat ini. Ia hanya tersenyum lalu berkata, “Jaman remaja dahulu memang ibunda Ratu suka bertualang. Setelah menikah malah menjadi seperti bhiksuni. Mengabdi di rumah dan menutup diri.”Maksud kata-kata Sukma Harum ini adalah bahwa ibunya kini sudah sangat berbeda sepak terjangnya daripada saat masih remaja.“Saat remaja, tiada seorang pun pungkiri bahwa Ratu Ayu adalah satria pawestri (pendekar perempuan) nan jaya matra (tanpa lawan) di jamannya. Kujangnya maha digdaya. Jika dilesatkan, t
Ini adalah suara pangeran Reksa. Ia tidak gila, tidak pula sedang berkhayal. Ia ingat betul bahwa lelaki yang baru saja masuk ini adalah orang yang membantai kakak perempuannya dan seluruh penghuni di dalam rumah itu.Sukma Harum terhenyak. Begitu kaget mendengar kejutan yang mengherankan ini. Tak terasa ia telah terkepung. Para murid-murid telah berjaga-jaga di luar ruangan. Para tetua kini mengelilinginya.Bhiksu Aji Satya, sang ketua Padepokan Rajawali Sakti menatapnya. Ada pandangan yang menusuk denga sangat dalam. Tetapi suaranya masih tetap tenang.“Sekarang semua sudah jelas, tuan Rakantara Gandakusuma,” ia menyebut nama asli Sukma Harum.Otak Sukma Harum bekerja dengan sangat cepat. Ia memiliki berbagai macam dugaan kemungkinan atas apa yang telah berlaku di dalam seluruh kejadian ini. Salah satunya adalah bahwa seseorang yang menyaru sebagai dirinya, datang ke rumah itu, lalu membantai semua orang. Itulah kenapa mereka semua seperti tidak sempat melawan karena mereka mengira
tadi. Raka menahan nafas. Kesalahan kecil saja bisa membuatnya terhempas ke dalam jurang dan disambut oleh ratusan perangkap tajam dan beracun.Masih ada 5 titik yang ditujunya. Masih ada banyak senjata rahasia dan perangkap yang harus dihindarinya. Semuanya dilewatinya satu persatu dengan aman. Titik terakhir adalah sebuah pohon di ujung sana. Ia harus bisa sampai ke atas pohon itu dengan satu lompatan. Karena jika tidak, ia akan ditelan perangkap-perangkap ganas yang tersembunyi di balik rerumputan dan semak-semak di bawah sana.Raka menarik nafas dalam-dalam. Lompatan ini sangat jauh. Ia belum pernah melakukannya. Tetapi ia harus mencoba, karena inilah satu-satunya jalan. Dan selama ini, ia tidak pernah kecewa dengan ilmu meringankan tubuhnya.Swuuuuussshhh.Sebenarnya tidak ada orang yang mampu mendengar gerakannya. Hanya angin di sekitarnya sendiri yang dapat mampu “mendengar” gerakannya!Lompatan itu dilakukannya dengan sederhana. Tidak ada keindahan, tidak ada gerakan yang lema
Jika kau pernah melihat Kujang itu disambitkan, maka kau pun akan berpikiran terbuka.“Melihat bahwa Mahaguru kami menerima tuan pun dengan tangan terbuka, maka kami telah mengambil keputusan bahwa aturan ini tidak dapat diterapkan.”Dengan keputusan ini, sang bhiksu seolah mengatakan bahwa meskipun Sukma Harum telah memasuki daerah terlarang, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman, karena pemiik daerah terlarang itu sendiri telah menerimanya dengan tangan terbuka.“Kabar yang terdengar bahwa Bhiksu kepala Padepokan Rajawali Sakti adalah orang yang sangat bijaksana, ternyata bukanlah kabar angin. Hari ini sudah hamba buktikan sendiri,” tukas Sukma Harum.“Ingat, tuan. Satu purnama. Setelah itu kami akan mencari tuan,” kata-kata sang bhiksu penuh ancaman.Sukma Harum hanya mengangguk. Ia lalu menjura dan meminta diri.Semua mata masih memandangnya dengan tajam saat ia berjalan keluar dengan santai melalui pintu gerbang depan. Tahu-tahu Sukma Harum mengeluarkan suitan panjang yang keras s
Bahkan ketka seorang laki-laki sudah menjadi begitu tua, kenangan tentang cinta masa lalu akan tetap membara di hatinya.Menjadi bhiksu bukanlah menjadi manusia sempurna tanpa nafsu. Menjadi bhiksu adalah menjadi manusia yang mampu menjaga kesucian hatinya, menjaga diri dari nafsu dan amarah. Dari gejolak jiwa dan hati manusia yang tak pernah dapat lurus sepenuhnya.Kembang Gunung Lawu.Itulah nama julukan wanita itu di masa lalu. Kembang itu sekarang tentu telah menua. Telah layu, bahkan mungkin telah getas dan mengering. Hancur menjadi debu. Tetapi kembang itu pernah merekah dan mengharumi hidupnya. Bagi seorang laki-laki, kenangan yang harum saja sudah cukup baginya untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik.Sudah lebih dari cukup.Sukma Harum dapat melihat perubahan rona wajah bhiksu agung itu. Ia pun dapat merasakan getaran perasaan mahaguru itu.Hanya laki-laki yang pernah terluka yang dapat memahami perasaan lelaki yang terluka pula.Akhirnya Sukma Harum tidak berani mengangkat
ini bukanlah sebuah serangan secara serampangan melainkan merupakan gerakan tingkat tinggi yang sangat terlatih. Sukma Harum menghindar dengan satu langkah ringan. Begitu kakinya menginjak tanah, segera tubuhnya melenting tinggi ke atas pula. Kini tubuhnya berada di atas Cakrawala.Burung itu membalikkan tubuhnya dengan sangat gesit. Kini punggungnya menghadap ke tanah, dan cakarnya berada di atas, menyambar bayangan Sukma Harum yang seolah terbang pula. Serangan cakar itu sangat cepat dan sangat berbahaya. Tidak sembarang manusia yang bisa menghindari serangan seperti itu.Tetapi tentu saja Sukma Harum bisa menghindarinya, karena ia bukan sembarang manusia.Dengan sebuah gerakan kecil, ia memutar tubuhnya sehingga cakar-cakar itu lewat begitu saja di hadapannya. Begitu cakar itu melewati kepalanya, tangannya bergerak cepat memegang batang kaki burung raksasa itu. Dengan meminjam tenaga sambaran batang kaki itu, Sukma Harum melesat ke arah kepala sang burung. Lalu sekali tangannya be
“Aku belum tahu siapa nama asli ananda,” kata bhiksu tua itu dengan senyumnya yang hangat.“Nama asli nanda adalah Rakantara Gandakusuma,” jawab Sukma Harum.“Ayahmu dari keluarga Gandakusuma yang terkenal itu?”Sukma Harum hanya mengangguk dengan sungkan.“Kakek buyutmu yang mulia adalah orang yang sangat berjasa bagi Pajajaran. Menyebut nama beliau saja sungguh bibir ini masih belum pantas.”Sukma Harum tidak tahu harus menjawab apa.“Nanda tampan, kaya raya, cerdas, dan punya ilmu silat dan kanuragan yang sangat tinggi. Banyak orang memimpikan memiliki hal ini. Tapi tahukah ananda bahwa memiliki anugrah sedemikian besar, kadang membuat hidup tak seindah bayangan orang?” “Nanda sangat memahami perkataan yang agung,” jawab Sukma Harum.“Semakin besar hikmat yang diberikan langit kepadamu, maka semakin besar pula cobaan dan ujian yang akan nanda dapatkan.”Suasana gunung sangat hening. Langit sudah mulai gelap. Hanya terdengar suara angin yang bergemerisik menembus alang-alang. Pepoh
Sukma Harum tidak mau ambil pusing. Ia tetap berdiri di depan pintu dan tidak masuk ke dalam ruangan.“Masuk,” suara itu sangat pelan seperti orang berbisik. Nadanya berat namun halus. Sukma Harum melangkah masuk.Orang yang tengah bersemedhi itu sudah membuka mata memandang dirinya. Pandangannya pun halus. Tetapi sorotnya seperti mampu menembus jiwa orang sampai ke dasar-dasarnya.“Punten, mahaguru yang agung. Hamba terpaksa harus melarikan diri kemari. Hamba bersalah,” kata Sukma Harum sambil menjura mengangkat tangan.Orang tua itu mungkin usianya sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ia bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain putih yang tipis menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia memandang Sukma Harum dari atas ke bawah. Mengamati pemuda itu dari luar sampai dalam.“Dengan ilmu setinggi yang kau miliki, sepantasnya orang-orang di luar sana yang harusnya melarikan diri dari engkau, anak muda.”Sukma Harum hanya tersenyum masam. Orang tua itu melanjutkan, “Kau rela melanggar kesucian
Ini adalah suara pangeran Reksa. Ia tidak gila, tidak pula sedang berkhayal. Ia ingat betul bahwa lelaki yang baru saja masuk ini adalah orang yang membantai kakak perempuannya dan seluruh penghuni di dalam rumah itu.Sukma Harum terhenyak. Begitu kaget mendengar kejutan yang mengherankan ini. Tak terasa ia telah terkepung. Para murid-murid telah berjaga-jaga di luar ruangan. Para tetua kini mengelilinginya.Bhiksu Aji Satya, sang ketua Padepokan Rajawali Sakti menatapnya. Ada pandangan yang menusuk denga sangat dalam. Tetapi suaranya masih tetap tenang.“Sekarang semua sudah jelas, tuan Rakantara Gandakusuma,” ia menyebut nama asli Sukma Harum.Otak Sukma Harum bekerja dengan sangat cepat. Ia memiliki berbagai macam dugaan kemungkinan atas apa yang telah berlaku di dalam seluruh kejadian ini. Salah satunya adalah bahwa seseorang yang menyaru sebagai dirinya, datang ke rumah itu, lalu membantai semua orang. Itulah kenapa mereka semua seperti tidak sempat melawan karena mereka mengira
“Apa kabar ayah dan bunda? Sehat sentausa semoga tercurah,” tanya sang bhiksu.“Ah puji Tuhan, ramanda dan ibunda sehat tak kurang apa. Guru yang agung mengenal mereka pula?”“Terakhir bersua ibunda tuan saat sang Ratu Ayu masih remaja. Malahan Ratu Ayu datang ke sini bertegur sapa,” kata sang bhiksu. Ada tawa getir tersirat di wajahnya. Melihat raut wajah bhiksu itu dan mengetahui sepak terjang ibunya saat remaja dulu, Sukma Harum jadi paham bahwa mungkin dulu ibunya pernah datang dan bertarung di tempat ini. Ia hanya tersenyum lalu berkata, “Jaman remaja dahulu memang ibunda Ratu suka bertualang. Setelah menikah malah menjadi seperti bhiksuni. Mengabdi di rumah dan menutup diri.”Maksud kata-kata Sukma Harum ini adalah bahwa ibunya kini sudah sangat berbeda sepak terjangnya daripada saat masih remaja.“Saat remaja, tiada seorang pun pungkiri bahwa Ratu Ayu adalah satria pawestri (pendekar perempuan) nan jaya matra (tanpa lawan) di jamannya. Kujangnya maha digdaya. Jika dilesatkan, t
Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari lebih, akhirnya tampak juga padepokan Rajawali Sakti dari jauh. Bangunannya besar-besar dan terlihat sangat luas karena dari kejauhan terlihat tembok putih yang mengelilingi seluruh wilayah padepokan itu.“Besar sekali padepokan kalian, tuan Namban,” tukas Sukma Harum.“Ya. Anggota kami sudah hampir 3 ribu orang.”“Hebat sekali. Jumlahnya bahkan sudah bisa djadikan pasukan perang.”Namban tidak menjawab. Rasa bangga terlihat benar pada raut wajahnya. Sukma Harum melanjutkan, “Dalam dunia persilatan, tetua mahaguru bhiksu Mangkara Dharma adalah yang paling hebat dan paling sakti. Ilmunya sudah tiada tandingan lagi. Ingin sekali aku berjumpa dengan beliau.”“Beliau mahaguru telah mengundurkan diri dari perguruan sudah sejak lama. Beliau mengasingkan diri dan bertapa moksa.”“Ah begitukah? Sungguh bijaksana sekali yang beliau lakukan. Untuk tingkatan seperti beliau mahaguru, dunia dan segala isinya ini hanyalah debu pada kaki beliau,” Sukma Harum