Ini adalah suara pangeran Reksa. Ia tidak gila, tidak pula sedang berkhayal. Ia ingat betul bahwa lelaki yang baru saja masuk ini adalah orang yang membantai kakak perempuannya dan seluruh penghuni di dalam rumah itu.Sukma Harum terhenyak. Begitu kaget mendengar kejutan yang mengherankan ini. Tak terasa ia telah terkepung. Para murid-murid telah berjaga-jaga di luar ruangan. Para tetua kini mengelilinginya.Bhiksu Aji Satya, sang ketua Padepokan Rajawali Sakti menatapnya. Ada pandangan yang menusuk denga sangat dalam. Tetapi suaranya masih tetap tenang.“Sekarang semua sudah jelas, tuan Rakantara Gandakusuma,” ia menyebut nama asli Sukma Harum.Otak Sukma Harum bekerja dengan sangat cepat. Ia memiliki berbagai macam dugaan kemungkinan atas apa yang telah berlaku di dalam seluruh kejadian ini. Salah satunya adalah bahwa seseorang yang menyaru sebagai dirinya, datang ke rumah itu, lalu membantai semua orang. Itulah kenapa mereka semua seperti tidak sempat melawan karena mereka mengira
Sukma Harum tidak mau ambil pusing. Ia tetap berdiri di depan pintu dan tidak masuk ke dalam ruangan.“Masuk,” suara itu sangat pelan seperti orang berbisik. Nadanya berat namun halus. Sukma Harum melangkah masuk.Orang yang tengah bersemedhi itu sudah membuka mata memandang dirinya. Pandangannya pun halus. Tetapi sorotnya seperti mampu menembus jiwa orang sampai ke dasar-dasarnya.“Punten, mahaguru yang agung. Hamba terpaksa harus melarikan diri kemari. Hamba bersalah,” kata Sukma Harum sambil menjura mengangkat tangan.Orang tua itu mungkin usianya sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ia bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain putih yang tipis menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia memandang Sukma Harum dari atas ke bawah. Mengamati pemuda itu dari luar sampai dalam.“Dengan ilmu setinggi yang kau miliki, sepantasnya orang-orang di luar sana yang harusnya melarikan diri dari engkau, anak muda.”Sukma Harum hanya tersenyum masam. Orang tua itu melanjutkan, “Kau rela melanggar kesucian
“Aku belum tahu siapa nama asli ananda,” kata bhiksu tua itu dengan senyumnya yang hangat.“Nama asli nanda adalah Rakantara Gandakusuma,” jawab Sukma Harum.“Ayahmu dari keluarga Gandakusuma yang terkenal itu?”Sukma Harum hanya mengangguk dengan sungkan.“Kakek buyutmu yang mulia adalah orang yang sangat berjasa bagi Pajajaran. Menyebut nama beliau saja sungguh bibir ini masih belum pantas.”Sukma Harum tidak tahu harus menjawab apa.“Nanda tampan, kaya raya, cerdas, dan punya ilmu silat dan kanuragan yang sangat tinggi. Banyak orang memimpikan memiliki hal ini. Tapi tahukah ananda bahwa memiliki anugrah sedemikian besar, kadang membuat hidup tak seindah bayangan orang?” “Nanda sangat memahami perkataan yang agung,” jawab Sukma Harum.“Semakin besar hikmat yang diberikan langit kepadamu, maka semakin besar pula cobaan dan ujian yang akan nanda dapatkan.”Suasana gunung sangat hening. Langit sudah mulai gelap. Hanya terdengar suara angin yang bergemerisik menembus alang-alang. Pepoh
ini bukanlah sebuah serangan secara serampangan melainkan merupakan gerakan tingkat tinggi yang sangat terlatih. Sukma Harum menghindar dengan satu langkah ringan. Begitu kakinya menginjak tanah, segera tubuhnya melenting tinggi ke atas pula. Kini tubuhnya berada di atas Cakrawala.Burung itu membalikkan tubuhnya dengan sangat gesit. Kini punggungnya menghadap ke tanah, dan cakarnya berada di atas, menyambar bayangan Sukma Harum yang seolah terbang pula. Serangan cakar itu sangat cepat dan sangat berbahaya. Tidak sembarang manusia yang bisa menghindari serangan seperti itu.Tetapi tentu saja Sukma Harum bisa menghindarinya, karena ia bukan sembarang manusia.Dengan sebuah gerakan kecil, ia memutar tubuhnya sehingga cakar-cakar itu lewat begitu saja di hadapannya. Begitu cakar itu melewati kepalanya, tangannya bergerak cepat memegang batang kaki burung raksasa itu. Dengan meminjam tenaga sambaran batang kaki itu, Sukma Harum melesat ke arah kepala sang burung. Lalu sekali tangannya be
Bahkan ketka seorang laki-laki sudah menjadi begitu tua, kenangan tentang cinta masa lalu akan tetap membara di hatinya.Menjadi bhiksu bukanlah menjadi manusia sempurna tanpa nafsu. Menjadi bhiksu adalah menjadi manusia yang mampu menjaga kesucian hatinya, menjaga diri dari nafsu dan amarah. Dari gejolak jiwa dan hati manusia yang tak pernah dapat lurus sepenuhnya.Kembang Gunung Lawu.Itulah nama julukan wanita itu di masa lalu. Kembang itu sekarang tentu telah menua. Telah layu, bahkan mungkin telah getas dan mengering. Hancur menjadi debu. Tetapi kembang itu pernah merekah dan mengharumi hidupnya. Bagi seorang laki-laki, kenangan yang harum saja sudah cukup baginya untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik.Sudah lebih dari cukup.Sukma Harum dapat melihat perubahan rona wajah bhiksu agung itu. Ia pun dapat merasakan getaran perasaan mahaguru itu.Hanya laki-laki yang pernah terluka yang dapat memahami perasaan lelaki yang terluka pula.Akhirnya Sukma Harum tidak berani mengangkat
Jika kau pernah melihat Kujang itu disambitkan, maka kau pun akan berpikiran terbuka.“Melihat bahwa Mahaguru kami menerima tuan pun dengan tangan terbuka, maka kami telah mengambil keputusan bahwa aturan ini tidak dapat diterapkan.”Dengan keputusan ini, sang bhiksu seolah mengatakan bahwa meskipun Sukma Harum telah memasuki daerah terlarang, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman, karena pemiik daerah terlarang itu sendiri telah menerimanya dengan tangan terbuka.“Kabar yang terdengar bahwa Bhiksu kepala Padepokan Rajawali Sakti adalah orang yang sangat bijaksana, ternyata bukanlah kabar angin. Hari ini sudah hamba buktikan sendiri,” tukas Sukma Harum.“Ingat, tuan. Satu purnama. Setelah itu kami akan mencari tuan,” kata-kata sang bhiksu penuh ancaman.Sukma Harum hanya mengangguk. Ia lalu menjura dan meminta diri.Semua mata masih memandangnya dengan tajam saat ia berjalan keluar dengan santai melalui pintu gerbang depan. Tahu-tahu Sukma Harum mengeluarkan suitan panjang yang keras s
tadi. Raka menahan nafas. Kesalahan kecil saja bisa membuatnya terhempas ke dalam jurang dan disambut oleh ratusan perangkap tajam dan beracun.Masih ada 5 titik yang ditujunya. Masih ada banyak senjata rahasia dan perangkap yang harus dihindarinya. Semuanya dilewatinya satu persatu dengan aman. Titik terakhir adalah sebuah pohon di ujung sana. Ia harus bisa sampai ke atas pohon itu dengan satu lompatan. Karena jika tidak, ia akan ditelan perangkap-perangkap ganas yang tersembunyi di balik rerumputan dan semak-semak di bawah sana.Raka menarik nafas dalam-dalam. Lompatan ini sangat jauh. Ia belum pernah melakukannya. Tetapi ia harus mencoba, karena inilah satu-satunya jalan. Dan selama ini, ia tidak pernah kecewa dengan ilmu meringankan tubuhnya.Swuuuuussshhh.Sebenarnya tidak ada orang yang mampu mendengar gerakannya. Hanya angin di sekitarnya sendiri yang dapat mampu “mendengar” gerakannya!Lompatan itu dilakukannya dengan sederhana. Tidak ada keindahan, tidak ada gerakan yang lema
Pagi hari di Gunung Batu Lawang. Matahari baru saja muncul, embun masih tersisa di rerumputan. Angin segar meniupkan wangi bunga-bunga yang sedang mekar. Biasanya banyak pelancong datang ke bukit ini hanya untuk menikmati pemandangannya yang asri. Karena itu, daerah sekitar sini menjadi sangat ramai di musim-musim tertentu.Ada sebuah kedai makan di atas gunung yang sangat terkenal karena tempatnya yang nyaman dan mewah. Makanannya sangat enak sehingga setiap hari kedai itu pasti sesak dikunjungi orang. Biasanya kedai ini sangat ramai, namun nampaknya hari-hari belakangan ini cukup berbeda.Kedai itu kini sangat sepi. Bahkan hanya ada satu orang yang makan di situ. Sudah beberapa hari ini, hanya dia seorang tamu yang datang. Menikmati sarapan pagi yang hangat dan nikmat.Ia duduk di lantai 3 bagian belakang bangunan kedai yag mewah. Mejanya berada di tempat yang tepat sehingga ia dapat menyaksikan seluruh pemandangan daerah bukit itu yang amat indah. Memang, bagian belakang kedai itu
tadi. Raka menahan nafas. Kesalahan kecil saja bisa membuatnya terhempas ke dalam jurang dan disambut oleh ratusan perangkap tajam dan beracun.Masih ada 5 titik yang ditujunya. Masih ada banyak senjata rahasia dan perangkap yang harus dihindarinya. Semuanya dilewatinya satu persatu dengan aman. Titik terakhir adalah sebuah pohon di ujung sana. Ia harus bisa sampai ke atas pohon itu dengan satu lompatan. Karena jika tidak, ia akan ditelan perangkap-perangkap ganas yang tersembunyi di balik rerumputan dan semak-semak di bawah sana.Raka menarik nafas dalam-dalam. Lompatan ini sangat jauh. Ia belum pernah melakukannya. Tetapi ia harus mencoba, karena inilah satu-satunya jalan. Dan selama ini, ia tidak pernah kecewa dengan ilmu meringankan tubuhnya.Swuuuuussshhh.Sebenarnya tidak ada orang yang mampu mendengar gerakannya. Hanya angin di sekitarnya sendiri yang dapat mampu “mendengar” gerakannya!Lompatan itu dilakukannya dengan sederhana. Tidak ada keindahan, tidak ada gerakan yang lema
Jika kau pernah melihat Kujang itu disambitkan, maka kau pun akan berpikiran terbuka.“Melihat bahwa Mahaguru kami menerima tuan pun dengan tangan terbuka, maka kami telah mengambil keputusan bahwa aturan ini tidak dapat diterapkan.”Dengan keputusan ini, sang bhiksu seolah mengatakan bahwa meskipun Sukma Harum telah memasuki daerah terlarang, maka ia tidak dapat dijatuhi hukuman, karena pemiik daerah terlarang itu sendiri telah menerimanya dengan tangan terbuka.“Kabar yang terdengar bahwa Bhiksu kepala Padepokan Rajawali Sakti adalah orang yang sangat bijaksana, ternyata bukanlah kabar angin. Hari ini sudah hamba buktikan sendiri,” tukas Sukma Harum.“Ingat, tuan. Satu purnama. Setelah itu kami akan mencari tuan,” kata-kata sang bhiksu penuh ancaman.Sukma Harum hanya mengangguk. Ia lalu menjura dan meminta diri.Semua mata masih memandangnya dengan tajam saat ia berjalan keluar dengan santai melalui pintu gerbang depan. Tahu-tahu Sukma Harum mengeluarkan suitan panjang yang keras s
Bahkan ketka seorang laki-laki sudah menjadi begitu tua, kenangan tentang cinta masa lalu akan tetap membara di hatinya.Menjadi bhiksu bukanlah menjadi manusia sempurna tanpa nafsu. Menjadi bhiksu adalah menjadi manusia yang mampu menjaga kesucian hatinya, menjaga diri dari nafsu dan amarah. Dari gejolak jiwa dan hati manusia yang tak pernah dapat lurus sepenuhnya.Kembang Gunung Lawu.Itulah nama julukan wanita itu di masa lalu. Kembang itu sekarang tentu telah menua. Telah layu, bahkan mungkin telah getas dan mengering. Hancur menjadi debu. Tetapi kembang itu pernah merekah dan mengharumi hidupnya. Bagi seorang laki-laki, kenangan yang harum saja sudah cukup baginya untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik.Sudah lebih dari cukup.Sukma Harum dapat melihat perubahan rona wajah bhiksu agung itu. Ia pun dapat merasakan getaran perasaan mahaguru itu.Hanya laki-laki yang pernah terluka yang dapat memahami perasaan lelaki yang terluka pula.Akhirnya Sukma Harum tidak berani mengangkat
ini bukanlah sebuah serangan secara serampangan melainkan merupakan gerakan tingkat tinggi yang sangat terlatih. Sukma Harum menghindar dengan satu langkah ringan. Begitu kakinya menginjak tanah, segera tubuhnya melenting tinggi ke atas pula. Kini tubuhnya berada di atas Cakrawala.Burung itu membalikkan tubuhnya dengan sangat gesit. Kini punggungnya menghadap ke tanah, dan cakarnya berada di atas, menyambar bayangan Sukma Harum yang seolah terbang pula. Serangan cakar itu sangat cepat dan sangat berbahaya. Tidak sembarang manusia yang bisa menghindari serangan seperti itu.Tetapi tentu saja Sukma Harum bisa menghindarinya, karena ia bukan sembarang manusia.Dengan sebuah gerakan kecil, ia memutar tubuhnya sehingga cakar-cakar itu lewat begitu saja di hadapannya. Begitu cakar itu melewati kepalanya, tangannya bergerak cepat memegang batang kaki burung raksasa itu. Dengan meminjam tenaga sambaran batang kaki itu, Sukma Harum melesat ke arah kepala sang burung. Lalu sekali tangannya be
“Aku belum tahu siapa nama asli ananda,” kata bhiksu tua itu dengan senyumnya yang hangat.“Nama asli nanda adalah Rakantara Gandakusuma,” jawab Sukma Harum.“Ayahmu dari keluarga Gandakusuma yang terkenal itu?”Sukma Harum hanya mengangguk dengan sungkan.“Kakek buyutmu yang mulia adalah orang yang sangat berjasa bagi Pajajaran. Menyebut nama beliau saja sungguh bibir ini masih belum pantas.”Sukma Harum tidak tahu harus menjawab apa.“Nanda tampan, kaya raya, cerdas, dan punya ilmu silat dan kanuragan yang sangat tinggi. Banyak orang memimpikan memiliki hal ini. Tapi tahukah ananda bahwa memiliki anugrah sedemikian besar, kadang membuat hidup tak seindah bayangan orang?” “Nanda sangat memahami perkataan yang agung,” jawab Sukma Harum.“Semakin besar hikmat yang diberikan langit kepadamu, maka semakin besar pula cobaan dan ujian yang akan nanda dapatkan.”Suasana gunung sangat hening. Langit sudah mulai gelap. Hanya terdengar suara angin yang bergemerisik menembus alang-alang. Pepoh
Sukma Harum tidak mau ambil pusing. Ia tetap berdiri di depan pintu dan tidak masuk ke dalam ruangan.“Masuk,” suara itu sangat pelan seperti orang berbisik. Nadanya berat namun halus. Sukma Harum melangkah masuk.Orang yang tengah bersemedhi itu sudah membuka mata memandang dirinya. Pandangannya pun halus. Tetapi sorotnya seperti mampu menembus jiwa orang sampai ke dasar-dasarnya.“Punten, mahaguru yang agung. Hamba terpaksa harus melarikan diri kemari. Hamba bersalah,” kata Sukma Harum sambil menjura mengangkat tangan.Orang tua itu mungkin usianya sudah berusia lebih dari 100 tahun. Ia bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain putih yang tipis menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia memandang Sukma Harum dari atas ke bawah. Mengamati pemuda itu dari luar sampai dalam.“Dengan ilmu setinggi yang kau miliki, sepantasnya orang-orang di luar sana yang harusnya melarikan diri dari engkau, anak muda.”Sukma Harum hanya tersenyum masam. Orang tua itu melanjutkan, “Kau rela melanggar kesucian
Ini adalah suara pangeran Reksa. Ia tidak gila, tidak pula sedang berkhayal. Ia ingat betul bahwa lelaki yang baru saja masuk ini adalah orang yang membantai kakak perempuannya dan seluruh penghuni di dalam rumah itu.Sukma Harum terhenyak. Begitu kaget mendengar kejutan yang mengherankan ini. Tak terasa ia telah terkepung. Para murid-murid telah berjaga-jaga di luar ruangan. Para tetua kini mengelilinginya.Bhiksu Aji Satya, sang ketua Padepokan Rajawali Sakti menatapnya. Ada pandangan yang menusuk denga sangat dalam. Tetapi suaranya masih tetap tenang.“Sekarang semua sudah jelas, tuan Rakantara Gandakusuma,” ia menyebut nama asli Sukma Harum.Otak Sukma Harum bekerja dengan sangat cepat. Ia memiliki berbagai macam dugaan kemungkinan atas apa yang telah berlaku di dalam seluruh kejadian ini. Salah satunya adalah bahwa seseorang yang menyaru sebagai dirinya, datang ke rumah itu, lalu membantai semua orang. Itulah kenapa mereka semua seperti tidak sempat melawan karena mereka mengira
“Apa kabar ayah dan bunda? Sehat sentausa semoga tercurah,” tanya sang bhiksu.“Ah puji Tuhan, ramanda dan ibunda sehat tak kurang apa. Guru yang agung mengenal mereka pula?”“Terakhir bersua ibunda tuan saat sang Ratu Ayu masih remaja. Malahan Ratu Ayu datang ke sini bertegur sapa,” kata sang bhiksu. Ada tawa getir tersirat di wajahnya. Melihat raut wajah bhiksu itu dan mengetahui sepak terjang ibunya saat remaja dulu, Sukma Harum jadi paham bahwa mungkin dulu ibunya pernah datang dan bertarung di tempat ini. Ia hanya tersenyum lalu berkata, “Jaman remaja dahulu memang ibunda Ratu suka bertualang. Setelah menikah malah menjadi seperti bhiksuni. Mengabdi di rumah dan menutup diri.”Maksud kata-kata Sukma Harum ini adalah bahwa ibunya kini sudah sangat berbeda sepak terjangnya daripada saat masih remaja.“Saat remaja, tiada seorang pun pungkiri bahwa Ratu Ayu adalah satria pawestri (pendekar perempuan) nan jaya matra (tanpa lawan) di jamannya. Kujangnya maha digdaya. Jika dilesatkan, t
Setelah menempuh perjalanan selama 3 hari lebih, akhirnya tampak juga padepokan Rajawali Sakti dari jauh. Bangunannya besar-besar dan terlihat sangat luas karena dari kejauhan terlihat tembok putih yang mengelilingi seluruh wilayah padepokan itu.“Besar sekali padepokan kalian, tuan Namban,” tukas Sukma Harum.“Ya. Anggota kami sudah hampir 3 ribu orang.”“Hebat sekali. Jumlahnya bahkan sudah bisa djadikan pasukan perang.”Namban tidak menjawab. Rasa bangga terlihat benar pada raut wajahnya. Sukma Harum melanjutkan, “Dalam dunia persilatan, tetua mahaguru bhiksu Mangkara Dharma adalah yang paling hebat dan paling sakti. Ilmunya sudah tiada tandingan lagi. Ingin sekali aku berjumpa dengan beliau.”“Beliau mahaguru telah mengundurkan diri dari perguruan sudah sejak lama. Beliau mengasingkan diri dan bertapa moksa.”“Ah begitukah? Sungguh bijaksana sekali yang beliau lakukan. Untuk tingkatan seperti beliau mahaguru, dunia dan segala isinya ini hanyalah debu pada kaki beliau,” Sukma Harum