Sudah hampir sore kami menunggu di depan pintu gerbang mengharap belas kasih dari dalam benteng, mereka masih saja keras kepala.
“Apakah kita harus pergi dari sini, Abdullah?” tanyaku penuh rasa kesal.
“Bersabarlah Nerva, kita pasti akan ditolong oleh mereka.” Abdullah terus melembutkan hatiku agar lebih tenang dalam menghadapi situasi yang sulit ini.
“Nerva aku haus...” Pinta Ruqqayah. Aku kebingungan melihat kiri kanan untuk mencari air yang menggenang barangkali ada beberapa yang bisa membuat rasa haus ini sedikit berkurang.
“Anak muda, aku ada beberapa air yang bisa diminum, minumkanlah untuk gadis yang ada disampingmu itu.” Tawar seorang bapak berpakaian lusuh di sampingku.
“Terimakasih pak, apakah ini bisa menggantikannya?” lalu aku menyodorkannya kepadanya pisau berlapis perak, dengan harapan dia bisa menerimanya dengan senang hati.
“Ambilah kembali, aku yakin kita akan masuk kedalam beteng, disana terdapat sumber mata air yang segar dan bersih.” Aku tersenyum senang dengan perkataan bapak tadi. Ketulusannya bagaikan mendatangi oase di tengah padang pasir yang tandus. Lalu minuman tadi aku berikan kepada Ruqqayah, kemudian dia meminumnya dengan pelan-pelan.
Kemudian datanglah sepasukan yang berjumlah sangat besar datang dari arah selatan. Kami ketakutan dan kami berlarian di bawah parit untuk berlindung. Namun aku melihat Hasan mengamatinya lebih jelas, dan ternyata itu adalah pasukan dari Dinasti Khwarezmia yang hendak menggabungkan kekuatan dengan pasukan beteng Urgench.
“Alhamdulillah, mereka akan membukakan gerbang untuk kita!” Teriak salah satu pengungsi yang juga mengamati apa yang ia bawa, yakni atribut Kwarezmia.
Setelah pasukan itu mendekat, kami kemudian naik ke atas parit dan mendekati mereka.
“Tolong bukakanlah pintu untuk kami!! Kami mohon.....” Abdullah merintih kepada mereka.
Kemudian penunggang kuda yang memakai atribut yang paling bagus datang dan berteriak kepada penjaga gerbang.
“Bukakanlah pintu itu untuk para pengungsi, penjaga... aku adalah pangeran Jalaludin!”
Kemudian mereka membukakan gerbang itu dengan lebar. Kami bersuka cita dan masuk meskipun dengan berdesak-desakan. Aku menjadi berpikir, alangkah besar kharisma seorang pangeran yang dapat menetralkan masalah yang sangat sulit bagi kami.
“Wahai Hasan, bagaimana kamu bisa masuk sedangkan penampilanmu sungguh mencolok?” Aku menggaruk-garuk kepala melihat Hasan.
“Tenang saja, aku memiliki jubah hitam yang bisa menutupi zirah dan segala perlengkapanku. Dan panah ini bisa di buat ringkas sehingga tidak tampak besar ketika ku sembunyikan di belakang punggung. Ketopong yang biasa aku pakai sudah ku buang supaya tidak begitu besar penampilanku.” Kata Hasan. Aku hanya bisa mengangguk-angguk mengerti.
Setelah kami masuk, lalu kami diberikan oleh penduduk asli kota Urgench minuman dingin yang menyegarkan. Serta roti dan buah-buahan. Penduduk disini sangat ramah terhadap kami. Aku melihat para penjaga ketakutan terhadap kami, mungkin karena mereka takut akan musuh yang nanti mereka hadapi, yakni mereka yang suka berperang dan senang berbuat keji. Lalu kemudian kami dibawa ketempat yang besar untuk istirahat.
Aku melihat bangunan sekitar yang begiitu megah dan indah. Di kiri kanan terdapat pilar yang tinggi penyangga bangunan dengan pohon persik dan aprikot yang rindang dan berbuah segar di kiri kanan jalan. Aku memetiknya dan memberikannya kepada Ruqqayah, Hasan, dan Abdullah.
“Aku harus mencari Ibu dari mana, aku binggung....” tanyaku kepada mereka.
“Bagaimana jika kita bertanya kepada penduduk asli sini? Biasanya pelayan itu memiliki rumah tersendiri disamping bangunan istana.” Usul Abdullah.
“Aku akan kesana...” aku kemudian membenarkan pakaianku dan bersiap berangkat.
“Aku ikuutt..” Ruqqayah merengek ingin ikut.
“Aku juga.” Abdullah juga ingin ikut.
“Okey, Hasan bagaimana denganmu?” tanyaku kepada Hasan.
“Aku akan mencari kuda yang bisa kita beli, kita gunakan agar kita bisa keluar segera dari sini.”
“Kenapa tidak berlindung di sini saja, di sini terdapat banyak penjaga dan betengnya begitu tinggi menjulang.” Ruqqayah mengusulkan pemikirannya yang bersebrangan dengan pemikiran kami.
“Aku melihat di sini banyak kelemahan pada garis pertahanannya. Aku bisa mengira jika benteng ini tidak lebh dari seminggu akan runtuh oleh serangan Mongol yang berjumlah besar dan bisa lebih cepat dari itu dengan teknologi rahasia yang mungkin mereka rampas dari dinasti Jin yang maju.”
“Berarti kita tidak bisa mengharapkan perlindungan benteng ini?” tanya Abdullah kepada Hasan.
“Benar. Waktu kita hanya satu hari sampai subuh untuk menjemput ibunda Nerva keluar dari sini.”
“Kalau begitu ayo kita cari!” Sahutku...
Setelah kami mengintari kota, kemudian aku menemukan Istana yang begitu megah dan indah.
“Ini mungkin istana Shah, berarti kita hampir dekat dengan ibuku.” Aku mulai memikirkan siasat agar bisa masuk. Tiba-tiba Abdullah masuk dan menemui penjaga yang menjaga area istana. Aku khawatir mereka menangkap kami karena mendekati istana. “Abdullah tunggu!!”
“Tuan Penjaga, kami ingin bertemu dengan keluarga kami yang bekerja sebagai pelayan istana, apakah kami boleh masuk?” Abdullah tanya kepada pelayan tanpa pikir panjang.
“Baik, sebelah sini...” Jawab penjaga istana itu kepada Abdullah. Abdullah menunjukkan tampang sumringah setelah diizinkan masuk oleh pelayan, memang dirinya senang membuatku sebal.
Setelah kami masuk aku melihat berbagai keindahan istana yang begitu menakjubkan dengan suasana sore yang syahdu. Istana ini memiiki air mancur yang banyak dan simetris dari berbagai sisinya. Pilar-pilar yang besar dan dinding yang berlapis perak membuat istana tampak memantulkan sinar matahari dengan gemerlip yang menawan. Para penjaga yang mengelilingi bagian depan pintu masuk menyandang tombak dan tameng dan berpakaian yang beda daripada pakaian penjaga beteng yang ada di garis depan. Pakaian mereka yang berwarna hijau keemasan yang melapisi baju zirah tampil elok jika dipandang.
Kemudian kami melewati lorong yang memanjang dengan di kiri kanan pintu berlapis emas dan bersanding dengan kain sutra berwarna-warni yang memanjang sebagai hiasan kiri kanan pintu. Sesampainya di tujuan, aku melihat sebuah ruangan yang luas dengan banyaknya wanita-wanita yang cantik. Seketika bajuku ditarik oleh Ruqqayah dengan keras. Aku paham maksudnya, kemudian aku menundukkan pandanganku.
“Siapa pelayan yang ingin kamu temui?” tanya penjaga istana kepada kami.
“Namanya Mariya Tuan, dia ibuku.” Jawabku kepadanya.
“Benarkah kamu Nerva, anaknya? Dia adalah kepala pelayan istana Urgench yang kami hormati.”
Aku memandang Abdullah, dan dia mengangguk kepada ku. Berarti Abdullah sudah tahu dari awal tentang Ibuku.
“Nyonya Mariya, ada anakmu yang ingin bertemu denganmu.”
“Bawalah kesini tuan” Terdengar suara yang tidak asing lagi dari arah dalam.
“Masuklah” Perintah penjaga tadi.
Saat aku masuk, aku melihat ibuku sedang duduk bermain dengan kucing persia. Dialah ibuku yang telah melahirkanku dan meninggalkanku sejak kecil di desa Ashgabat.
“Assalamu’alaykum , Ibunda, ini aku Nerva.”
“Wa’alaykumussalam, Nerva, kamu sudah besar. Aku mendengar banyak hal tentangmu di desa Ashgabat.” Beliau menyapaku dengan nada yang dingin.
“Engaku pasti mendengarkan hal-hal yang buruk tentangku, tapi aku sekarang sudah berubah, Ibu.” Jawabku kepadanya. Lalu aku mencoba berperilaku baik kepadanya, berharap dia mau mendengarkanku dan mau pergi dari sini.
Impianku selama ini telah terwujud. Aku sangat senang bertemu dengan ibuku, aku selalu memimpikannya ketika tidur di malam hari, aku merasa sangat senang jika ia selalu bersamaku dan memasakkan kue untukku setiap hari. Namun kemaslahatan sebuah tatanan negeri membuatnya pergi dariku, aku pun telah memaafkannya. Aku berharap dia bisa pulang membawa sepotong senyuman yang mencairkan dinginya rasa rinduku kepadanya.Sekarang dirinya ada di hadapanku, aku ingin sekali mengobrol lama dengannya, namun sekarang aku harus menyadarkan ibuku akan pentingnya memperhatikan masalah ini. Masalah keselamatan diri kami menghadapi badai kehancuran yang dibawa oleh pasukan Mongol...............“Ibu, ayo kita pergi dari sini. Ancaman pasukan Mongol benar-benar dekat dan menakutkan, maukah engkau pergi bersamaku ke tempat aman yang jauh di sana, ibunda?” Aku memohon dengan lemah lembut kepadanya supaya beliau mau menurutiku.“Tidak Nerva, aku mempun
“Kenapa orang-orang tidak percaya kepada kita jika di timur kota terdapat celah keluar dari beteng?” Aku terus mengajak mereka mengikuti ku tetapi mereka enggan untuk keluar dari sini.“Ayo Nerva kita cari Abdullah dan Ruqqayah, barangkali mereka sudah di depan celah yang kamu beritakan padaku.” Hasan mengajak agar kami berempat bisa berkumpul dan memikirkan rencana keluar dari beteng.Aku kemudian kembali menuju ke tempat kuda yang Ibundaku janjikan yang lokasinya dekat dengan celah di bagian timur. Berkali-kali tentara Mongol melemparkan manjanik ke arah kota sehingga seisi kota menjadi berantakan. Banyak mayat-mayat yang tertimpa reruntuhan. Rumah-rumah terbakar, dan para Ibu kehilangan anaknya.“Apakah benar kesini jalannya?” tanya Hasan“Ibuku bilang di sebelah timur ada pegunungan, tetapi kenapa hanya ada beteng dan kemudian padang pasir......” tanyaku kesal karena aku telah dibohongi oleh Ibuku.
Kami terus menerjang barisan musuh dan selalu berusaha mengawal Shah hingga kami hampir keluar dari pasukan pengepung. Aku terus memacu kudaku dengan terus memanah setiap kali aku memiliki kesempatan. Dan dari belakang kami selalu dihujani anak panah hingga kakiku terkena anak panah yang menyasar. Saat ini pasukan pengawal Shah masih tersisa 100 orang dengan masing-masing membawa luka anak panah yang terus kami tahan rasa sakitnya.“Matahari sudah hampir terbit, kita harus segera keluar dari pasukan pengepung!” Perintah komandan prajurit pelindung Shah baris depan.Tentara Mongol mulai mengumpulkan kekuatan dan mulai mengejar sisa-sisa pasukan pelindung Shah. Kami tidak mengetahui lagi bagaimana nasib pasukan yang menjadi umpan. Apakah mereka sudah binasa ataukah ada keajaiban yang tidak disangka-sangka.“Mereka mulai dekat dengan kita, komandan.”“Sekarang pergilah dahulu bersama Shah dan beberapa pasukan pelindung, kita ham
Aku tidak merasa enakan dengan Abdullah karena telah menggendongku sejauh ini setelah kami mendarat kembali di daratan. Disamping rasa sakit yang ia derita pada lengannya, kini dia harus menanggung capek perjalanan jauh ke arah barat daya. Aku melihat Ruqqayah menertawakanku di jauh.“Sudahlah Abdullah, aku sudah baikan kali ini, sekarang berhentilah menggendongku!” Perintahku kepada pelayanku yang umurnya sudah hampir sepuh.“Aku sangat khawatir kepadamu, Tuan, karena kamu terlihat belum pulih secara sempurna, nanti bagaimana jika terjadi pendarahan jika kamu terus memaksakan diri berjalan?” Abdulllah bersikeras pada pendiriannya.“Kamu seperti anak kecil Nerva.” Tawa Ruqqayah.“Abdullah! Engkau membuatku malu! Cepat turunkan aku, jika tidak ,nanti aku tidak memberimu jatah kurma.”“Jangan begitu Tuanku, kalau terjadi apa-apa terhadapmu, aku nanti akan dimarahi oleh Nyon....”“Ibuk
Saat Abdullah membuka tempat minum yang ia rampas, lalu dia mencium bau minumannya.“Astaga, ini adalah minuman keras, dan ini kurasa berasal dari fermentasi perasan anggur.” Abdullah menutup kembali tempat minum itu dan membuangnya.“Apakah kita tidak diperbolehkan meminumnya?” Aku bertanya penuh penasaran.“Tidak boleh anakku, nanti engkau akan mabuk!” Jelas Abdullah sembari melotot dan mengangkat alisnya yang tebal.“Mabuk?” tanyaku penuh heran“Hilang kesadaran dan engkau akan berbuat dosa.” Tutur Abdullah kepadakuSuasana yang panas dan dahaga yang menyerang membuat kami sedikit lemah dan kurang bersemangat. aku pun melihat dari jauh ada mata air yang banyak.“Lihat, ada mata air! Ayo Abdullah, Ruqqayah kita kesana!”“Itu bukan mata air. Itu fatamorgana Nerva.” Ruqqayah kurasa lebih paham daripada Abdullah.“Bukan Istriku Itu mata air. Lihat! It
Hari sudah semakin sore dan belum ada tanda-tanda adanya sebuah kota yang bisa kita gunakan untuk menetap. Kami sekarang sudah memasuki wilayah Abbasiyah dan terus berjalan sembari melihat sekitar.“Lihat itu ada karavan” Aku menjadi sangat senang dengan bertemu orang yang masih hidup dari kejaran Mongol.“Ayo kita kesana, Nerva ....” Ruqqayah juga ingin segera kesana dan berkumpul dengan mereka. Lalu kami menghampiri mereka sembari melambaikan tangan.Setelah sampai disana aku melihat banyak orangtua, anak-anak dan perempuan yang memiiki luka yang banyak. Kurasa mereka berhasil kabur dari tentara Mongol.“Assalamua’alaykum, bolehkah kami bersama kalian sejenak?” tanyaku kepada mereka. Lalu salah seorang anak kecil yang paling dekat kepadaku menyapaku dan menjawab salam.“Wa’alaykumussaam, Tuan, darimana asal kalian?”“Kami dari Benteng Urgench sedang berjalan menuju Baghdad, apakah
Minumanku yang diberikan Abdullah kepadaku kini berubah rasa menjadi anyir seperti lemak kambing. Kemudian aku tanyakan kepada Abdullah“Kenapa minumanku berubah seperti lemak kambing, wahai Abdullah, apakah kamu campur dengan lemak?”“Kamu kan sudah pernah merasakan pertama kalinya, segar bukan? Itu karena ada kekurangan dari tempat minum yang dibuat dari kulit hewan.” Jelas Abdullah kepadaku.“Lalu bagaimana ini, apakah harus aku buang?” Aku merasa jijik dengan tempat minum ini.“Tidak mengapa, selama perjalanan masih jauh pakailah saja, jika sudah menemukan penjual tempat minum yang tidak dilarang islam maka boleh kamu membelinya. Kurasa tempat minum dari kaca lebih bagus, kalau tidak ya tempat minum dari bambu yang dijual oleh pedagang timur.”“Ide yang bagus, Abdullah.” Aku menyetujui ide Abdullah.“Memang tempat minum apa saja yang dilarang oleh islam?” tanya ku penuh keherana
“Semuanya lekaslah berkumpul kemari di dekatku.” Aku memberi aba-aba kepada semua pengungsi yang kebanyakan mereka memencar di sekitar lembah.“Ayo semua, dengarkanlah gadis ini dan ikutilah.” Seorang janda 30 tahun mendukung untuk mengikuti perintahnya.“Dia menantu tuan Aida, namanya Ruqqayah, ayo dekati anak itu dan dengarkan apa yang ia katakan.” Salah satu sesepuh laki-laki memukul-mukul tongkat dan menyuruh mereka untuk segera berkumpul.Tidak tersisa seorang lelaki yang kuat menyandang pedang yang tampak di antara para pengungsi. Hanya ada anak-anak, perempuan, dan orang tua. Kami hanya bisa menunggu kapan suamiku, paman Abdullah, dan mertuaku Aida akan pulang kembali. Mega masih terlihat warna merah yang semburatnya tinggal sebentar lagi akan lenyap menuju waktu isya’.“Aku mendapat perintah oleh ayah mertuaku Aida agar membacakan surat al-Baqarah. Harap dengarkan dengan seksama wahai kaum muslim supaya kali
"Appppaaa?" Kaget sekali jika orang yang ada di depanku adalah anak dari ayah seseorang yang aku cari untuk membayar diyat atas perbuatanku yang telah merenggut nyawa yang sangat berharga.Aku berpikir seakan dunia ini yang betapa sempitnya luas daratan yang membentang mudah sekali menemukan seseorang untuk segera menunaikan hajat."Silahkan sholat terlebih dahulu, aku akan menanti kalian di sini, dadaaaa" "Nerva, jangan buka""Iiiyyaa, ada perempuan ya?""Tidak pakai kerudung, cantik lagi! huft" Sewot Ruqoyyah yang sebal dengan suara yang keras, setelah melihat adab perempuan itu jelek yang sampai kami tidak sadar bahwa dirinya perempuan, sesuatu yang tidak disukai Rabb kami. Menyerupai lawan jenis."Iyya maafkan aku, aku berusaha agar terlihat mencolok bagi kalian, karena aku telah lama menanti kalian di depan gerbang al-Ula setiap harinya.....6 tahun yang lalu di Asghaban"Keluarga Zahn terkenal dengan hubungan dekatnya terhadap keluarga kekhalifahan dan dekatnya pula dengan par
Dahulu kota Bagdad adalah bagian dari salah satu ambisi Khalifah Al Mu'tasim yakni memindahkan surga akhirat ke dunia. Hampir seluruh kas negara kala itu yang tengah merekah, ludes untuk membayar para pegawai terampil nan piawai dari segala penjuru negeri. Meskipun tahu jika itu boros, mau bagaimanapun pikiran sehat sang khalifah senantiasa terkotori oleh berbagai hasutan bangsa Turk yang sudah dari dahulu diperingatkan oleh para ulama sebelumnya bakal mencaplok kekuasaan bangsa Quraisy. Sedikit demi sedikit, hingga bangsa Quraisy hingga saat ini bagaikan bonekah mainan yang kapan saja bisa di lempar ke lubang api yang membakar dan diganti dengan boneka yang lain."Wahai Nerva, aku sangat menyesal atas sikap leluhurku dahulu terhadap bangsa Quraiys keturunan al Abbas paman Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam, aku ingin engkau menolongku untuk kali ini, membalas budi bangsaku terhadap bangsa Quraiys dan seluruh umat islam....."Tumben sekali Hasan menulis surat se-melankolis ini, da
"Sayang, jangan pergi dahulu, aku akan sangat merindukanmu", tangis istrinya karena sulit akan keputusan yang sudah digariskan oleh takdir yang ghaib.Rasyid memeluk istrinya dengan hangat penuh kasih sayang dan mengelus lembut perut istrinya yang semakin lama semakin membuncit karena hamil anak pertamanya. Dia tidak bisa berkata-kata bak pujangga jaman dahulu yang ia kagumi selama perjalanan menuju negeri impian. Yang Ia bisa lakukan kini hanyalah beristigfar supaya segala hal yang merisaukah segera dimudahkan oleh Dzat Yang Maha Penyayang."Rasyid, bacalah surat ini, sudah lama aku menyimpannya, maafkanlah ayahandamu ini.""Dari siapakah ayahanda?" Rasyid melihat gulungan kertas dengan stempel kekhalifahan Abbasiyah. Aaih ini dari Hasan si Jendral bersenjata modern."Apakah orang yang membawa surat ini memakai zirah besar?""Orang yang bertubuh kurus dengan tudung putih," apakah pesuruhnya?Setelah terbuka kertas yang tergulung nampak tertulis tulisan arab yang sangat indah guratan
15 Tahun sebelum pernikahan Rasyid dengan Putri Shah BandarKeadaan Masa itu....Hidup yang bergelimang harta terasa hambar bagi hati seorang pedagang mujur yang hatinya terpaut dengan masjid. Selalu saja ada harta mengalir meski berusaha sekuat tenaga memiskinkan diri dengan bersedekah dan menolong finansial orang-orang dari jerat riba bank plecit. Tetapi selalu saja diberikan oleh Zat yang Maha Kaya harta berlipat ganda, hingga memiliki pegawai setia berjumlah seribu orang lebih."Sayangku, apakah aku kini sedang diazab oleh Allah? aku begitu menderita akibat banyaknya harta yang menumpuk, Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, aku ingin merasakan ketenangan dalam hidup." Keluh kesah yang sangat membuat orang yang mendengarnya ikut putus asa."Jangan berkata demikian, Wahai suamiku, Shah Bandar, Engkau tidaklah diuji perihal harta bagaikan si Qorun musuh Musa 'alaihisalam dan musuh Dzat Yang Maha Kaya, buktinya engkau bisa bersedekah, berinfak di jalan Allah, berdzikir, dan memudahkan h
" Apakah engkau bersumpah tiada lagi berbuat dosa?" tanya seseorang dengan nada meremehkan sambil mengangkat alis bagian kiri."Aku rasa demikian, supaya aku memiliki banyak teman dan sahabat" Jawabku singkat sambil mengibaskan poni ke arah belakang kepala."Lalu siapa yang lebih dzalim dan sombong dari dirimu terhadap Tuhan yang Maha Menerima Taubat? Lalu apakah peran dirimu di dunia sedangkan tiada satupun mahkluk yang hidup tanpa pernah melakukan dosa? Apa engkau hendak menjadi gila supaya terkabul impianmu memperoleh ridho manusia?""Lalu apa yang harus ku lakukan?""Bertaubatlah dan jangan mendahului Allah dan Rasulnya, Janganlah melampaui batas dalam beragama, dan tetaplah jaga perintah Allah. Jauhi dosa kecil dan besar, baik tersembunyi dan terang-terangan. Dan bersegeralah meraih ampunan Allah, sungguh kelak di hari kiamat engkau akan melihat catatan amalmu yang akan mengantarmu ke neraka atau ke surga. Tiada seluruh manusia yang ridho dengan manusia yang lain, maka carilah ri
1. Cerita ini tidak ada unsur menyinggung, hanya sebagai cerita perumpamaan.2. Bukan bertujuan menyihir orang lain3. Tidak bermaksud memjual agama harga murah. Karena saya jual kisah hikmah sebagai penambah semangat beribadah dan adab4. Sesuai judul penerbit. Good Novel berarti Novel Bagus. Saya hanya tertarik dgn judulnya, kalau ternyata kebanyakan isinya selain buku saya banyak tercipta buku prostitusi maka saya berlepas tangan.5. Jika Antum orang yg lebih paham agama daripada saya. Maka utamakan Tabayun daripada Thatayur6. Orang Kaya dan Alim tapi pelit lebih mulia daripada orang miskin tapi gemar beli koin supaya bisa baca novel prostitusi.7. Islam tetaplah sempurna tanpa novel nerva8. Saya bertaubat dari menulis novel dan saya sekarang berlepas diri dgn Novel ini setelah saya ajukan penghapusan ke admin9. Laa Illaha Illallah... Sya lebih suka dibenci orang Musyrik, Munafik, Kafirin, daripada dibenci meski 1 orang mukmin 🙏
Kuda kami beradu cepat menyusuri lorong hutan oak dengan disambut hujan petir dari langit dan rentetan anak panah yang menghujani langkah kami dari gerombolan perampok tengik yang siap memporak -porandakan negeri-negeri islam yang telah berdiri sejak kekhalifahan Abu Bakar ash Shidiq."Aku akan menjadi tameng untuk lolos dari pengepungan mereka. Cepat! ambil lembingmu dan serang lurus ke arah pemimpin mereka., aku akan mulai hancurkan kroco-kroco mereka satu persatu." Hasan memberiku aba-aba menjalankan stategi serangan membabi buta dua orang melawan 1000 pasukan berkuda Mongol.Aku berdiri di atas kuda liar yang kujinakan dari negeri Moor sembari memasang kuda-kuda untuk melempar lembing ke arah kepala calon khanate yang mencari gara-gara demi mendapatkan pengakuan sang Dukun Agung, Jengis Khan.Slappsss....Jebreet! "Hmmmp meleset" Lembing itu mengenai pundak calon khanate hingga dirinya terplanting dari kuda yang ingin menabrakku sejauh 5 meter. Kemudian aku melompat dari kuda menda
Keberangkatanku menuju cita-citaku selama bertahun-tahun membawa berbagai kemungkinan-kemungkinan yang saat ini aku pikirkan solusinya. Sepintas aku mengambil sarung pedangku dan ku tarik bilahnya dari sarungnya. Banyak sekali karat yang mengotori pedangku karena malasnya diriku membersihkan darah para korban keganasanku di medan perang."Ini ambillah" Pedang Mongol yang berkilau warna zamrud disodorkannya kepadaku, oleh seorang yang ku anggap aneh bin ajaib."Haa? Kenapa harus ku pakai pedang milik setan itu?""Kau tahu ini sangat berharga untuk menghancurkan mulut kafirin itu. Dengan bahan yang ringan bergagang bambu kemudian ada tutup pada ujung gagang ini. Nah seketika engkau buka tutup sedikit ini maka mengalirlah racun keluar menuju lubang sekecil lubang jarum yang terhubung pada bilah pedang.""Coba kulihat!" Aku merampas cepat pedang yang ia bawa. Setelah kubuka sedikit tutup pada gagang bilah seketika memancar racun hijau yang mematikan itu, tidak tercium bau menyengat tetapi
"Nerva.. Nervaaa...lihat ini, ada bunga lavender yang saanggaaat indah..." Baru kali ini aku melihat Ruqqayah seantusias ini melihat pemandangan di sepanjang jalur sutra yang kami lewati. Aku hanya tersenyum sembari menyimpan kesedihan memikirkan bagaimana nasib ibuku disana.Kemudian Ruqqayah memetik 3,4 dan wah, wah banyak sekali hingga sampai satu pelukan?"Ruqayyah, apa yang kamu lakukan? 😅 Jangan kamu rusak lingkungan disini....!!" Aku berusaha menyadarkan Ruqqayah agar tidak rakus dengan tanaman lavender sebanyak itu.."Nananana..." Ruqqayah cuman bernyanyi-nyanyi nada girang tanpa mau menoleh terhadapku. setelah hampir 10 gantang tanaman lavender baru dirinya berhenti berbuat aneh."Suamiku, tolong kemari..." Ajaknya penuh mesra"Iya aku kesana"" Tolong ikat ini per 50 tanaman dan engkau tata memanjang di bawah pohon bidara disana, oke?"iya-iya tuan putri" Ngos-ngosan aku mengangkut tanaman lavender ini jauh hingga dibawah pohon bidara. Tapi demi istriku yang cantik ini apa