“Tidak, aku tidak punya kekasih, dan tidak pernah memiliki seorang kekasih selama di sana.” David memberikan penjelasan. “Mengapa seperti itu?” tanya Jessica. Tidak percaya kalau orang tampan seperti kakaknya itu, belum memiliki kekasih. “Aku sibuk belajar, tidak ada waktu untuk berpikir mengenai kekasih." David menjawab terlihat jujur. Padahal di dalam lubuk hati David, jangankan berpikir memiliki kekasih, waktunya hanya dia habiskan untuk belajar dan melakukan misi peperangan. Mana mungkin dia sempat belajar mengenal tentang dunia percintaan. Sebaliknya, Jessica sendiri merasa ada kesenangan saat tahu kalau David belum memiliki pacar. “Kau sendiri bagaimana?” Pertanyaan balik dari David, justru membuat Jessica gugup. “A-aku, tentu aku juga sibuk belajar," jawab Jessica salah tingkah. Wajanya menjadi merah“Begitu ...." David merespons singkat tanpa melihat Jessica. Hanya fokus ke depan.“Iya, Kakak tahu sendiri, bukan? Sepulang sekolah aku habiskan di toko membantu Kakek, mana
“Tidak perlu. Ini sangat enak,” ujar David. Berkata yang sebenarnya. “Benarkah? Jangan dipaksakan jika memang tidak menyukainya,” tambah Kakek. “Tidak, Kek, ini sungguh enak, aku hanya baru merasakannya.” David melanjutkan suapan berikutnya. Memang benar, makanan itu terasa enak di lidah David yang baru pertama kali menyantapnya. “Tentu saja, hot pot ini sudah terkenal dengan kelezatannya dan juga cara memasaknya yang berbeda," papar Jessica. Mengulas senyum tipis. Jessica meneguk segelas air dan mengelap bibirnya lalu berdiri menuju wastafel. “Hei, kami baru saja mulai dan kau sudah menghabiskannya?” ledek Kakek tertawa untuk Jessica. Jessica hanya tersipu malu. Sedikit menundukkan kepalanya. “Kau tau, David? Jessica itu hanya kecil tubuhnya, tapi bisa menghabiskan makanan dalam jumlah besar," sahut Kakek. Berbicara kepada David, tetapi melirik ke arah Jessica.“Kakek, berhentilah dan cepat makan! Kau bisa tersedak,” cibir Jessica dengan nada manja. Belum juga selesai berbicar
“Kakek butuh istirahat, besok harus ke toko, kan?” tanya Jessica. “Ahh, benar, tapi besok aku akan mempunyai partner untuk membantuku.” Kakek melirik David. “Kakak, kan, sekolah besok, eh ....” Jessica menutup mulutnya teringat bahwa David mendapat suspensi dari sekolah. Dia sontak menunduk terlihat murung merasa bersalah kembali. “Tentu, Kek, ini sebuah keberuntungan, aku bisa membantumu di toko seharian penuh besok.” David memahami perasaan Jessica mulai berbicara dengan nada semangat. “Baiklah, ayo kembali ke kamar. Kamu besok sekolah, kan, Sayangku, dan kau David, harus membantuku di toko.” Victor berkata sambil berdiri meregangkan otot-otot di tubuhnya. “Selamat malam cucu-cucuku,” lanjut Victor lalu meninggalkan mereka. “Selamat malam, Kek,” ucap David dan Jessica bersamaan. Mereka berdua pun berjalan menuju kamarnya masing-masing. “Jessica,” lirih David memanggil Jessica. “Iya, ada apa, Kak?” tanya Jessica menoleh. “Bagaimana dengan besok?” Tanya David.“Tentu saja be
“Kakek, apa yang mendorongmu membuka toko kue?” tanya David dengan memperhatikan Victor yang sedang mengolah bahan kue. “Kue yang manis, lembut, memanjakan lidah mampu merangsang perasaan hati dan pikiran menjadi positif, David,” jelasnya meminta David mencoba kue buatannya. “Kau tahu, David? Menghiasnya juga dibutuhkan cinta, di dalamnya tidak hanya manis, dia penuh dengan kasih sayang.” Victor memberi toping cream pada setiap pancake buatannya. David penasaran karena aroma yang menggoda, mencoba mengambil kue dan memakannya. “Enak, Kek,” pujinya. “Tentu saja, sesuatu yang dimulai dari hati yang tulus akan membuahkan hasil yang maksimal,” jelas Victor. “Kakek kenapa tidak terjun dalam bisnis lain?” tanya David, masih mengunyah kue. “Tidak, aku ingin melihat senyuman di wajah setiap orang dengan hal kecil, seperti itu contohnya. Kau tau, gigitan kecil membuatnya tersenyum bahagia.” Victor menunjuk ke arah salah satu pelanggan wanita dan putrinya yang sedang menikmati kue. “Mere
Sementara itu di sekolah sedang jam istirahat, Jessica memutuskan untuk ke perpustakaan. “Jessica!” seru Evelyn. Jessica hanya berbalik badan memandang Evelyn dengan perasaan cemasnya. “Aku minta maaf soal kejadian kemarin, Kakak kamu jadi kena suspensi,” jelas Evelyn. Jessica masih terdiam tanpa respons.“Kevin dan yang lain tidak sengaja membuat Kakakmu terkena hukuman suspensi,” sambung gadis itu. “Aku tidak mempermasalahkannya,” Jessica sangat gugup karena perasaannya makin tidak keruan. “Untuk menebusnya, aku mentraktirmu di kafe depan,” ungkap Evelyn. “Tidak perlu, Evelyn!” Jessica mencoba menolak ajakan Evelyn. “Ayolah, kau tidak menghargaiku kalau begitu!” Evelyn memasang raut wajah kecewanya. “Baiklah.” Jessica pasrah mencoba percaya kepada Evelyn karena ucapan yang sepertinya tulus. “Ayook!” Evelyn menggandeng Jessica berjalan keluar gerbang sekolah. Semula Jessica tidak merasa curiga, tetapi hingga pada akhirnya di suatu gang kecil, Evelyn beralasan bahwa ponseln
“Jessica pulang secepat ini?” gumamnya. Dia masuk ke dapur mencari selai yang dikatakan kakek. Namun, sebelum dia pergi lagi, dia melihat pintu kamar Jessica yang tertutup. “Mungkin dia sangat lelah, sebaiknya aku tidak mengganggunya.” David berpikir akan langsung kembali ke toko. Dia keluar melihat kembali sepatu Jessica yang tergeletak tidak beraturan, dia berniat menaruhnya di rak sepatu. Namun, matanya terfokus melihat ada bercak darah di sepatu Jessica. David menyentuh bercak merah dan menciumnya memastikan bahwa itu benar darah. Dia terbelalak dan kembali menaiki anak tangga dengan cepat lalu mengetuk pintu kamar Jessica. “Jessica ....” “Jessica, buka pintunya! Kau pulang lebih awal?” tanya David menutupi rasa curiganya. “Jessica!” serunya lagi memanggil.Namun, tanpa ada jawaban dari dalam. “Jessica, aku tahu kau di dalam, buka pintunya!” pinta David sedikit berteriak. “Kak, aku sangat lelah, aku ingin istirahat sebentar, kebetulan sekolah memang pulang cepat, nan
"Apa kau melihat wajah orang yang memukulmu, Jessica?” tanya Kepala Sekolah mencoba membela Lisa berharap mengetahui kebenaran sesungguhnya. Kepala Sekolah yang tidak mau kehilangan salah satu donatur terbesar harus segera menyelesaikan permasalahan yang diperbuat oleh Lisa dengan menutupi kasusnya. "Mukanya memang tertutup, tapi aku yakin itu benar Lisa," teriak Jessica, dia harus meyakinkan diri sendiri agar tidak tersudut atas perilaku semua orang yang tidak percaya kepadanya. "Apa yang kau lakukan? Kau memanggil Polisi dan Kepala Sekolah untuk menuduh anak saya sebagai kriminal, begitu? Terus juga tanpa bukti yang jelas!" Ningsih, ibu kandung Lisa angkat bicara berdiri dari tempat duduk. Dengan ciri khas gaya elegan rambut pendek sebahu, memakai anting berlian yang berkilau dan aksesoris perhiasan mewah lain menghiasi penampilan. Seolah ingin menunjukkan dan memamerkan siapa dirinya. Ningsih bukan menegur anaknya yang bersalah, justru menambah keruh keadaan dan tetap ingin memb
"Pelan-pelan, Kak," sambungnya spontan hendak memegang tangan David yang sangat telaten merawat luka di wajahnya."Ya … ini udah pelan, kok, bagaimana bisa kamu mendapatkan luka sebanyak dan separah ini?" David menjawab dan kemudian bertanya kepada Jessica."Aku tadi terjatuh ketika mau berangkat ke sekolah," jawab Jessica tertunduk dan menggigit bibirnya sedikit. "Jadi … kamu tadi terjatuh ketika hendak pergi ke sekolah? Benarkah?" tanya David kembali. "Aku lari terburu-buru, tidak memperhatikan jalan dan tersandung." Bibir Jessica gemetar karena gugup. "Begitukah?" David sangat memahami luka jatuh tidak akan separah ini. Jessica membisu dipenuhi rasa bersalah karena sudah membohongi David. David sudah tau bahwa Jessica menutupi kejadian sebenarnya, tetapi dia bersikap tenang seperti biasanya. Salah satu watak David adalah terbiasa selalu tenang dalam keadaan genting apa pun. Pengalaman yang mengajarkannya untuk bisa mengontrol pikiran dan emosinya. "Lebih parah dari tertabrak