"Bunda!" Yesha melepas pegangan tangan sang ayah, lantas menghamburku.
"Hallo, Sayang!" Aku mengelus pemilik rambut hitam berkilau berhias pita rambut merah muda.
"Assalamualaikum, Ran!" sapa Mas Riko.
Ah, lelaki itu. Selalu tampil rapi di berbagai kesempatan. Kali ini mengenakan kemeja batik dengan bawahan celana kain hitam. Rambut beraroma pomade tersisir rapi ke atas. Tidak ada sentuhan tangan wanita saja sudah pandai mengurus diri sendiri. Yakin, aku nanti bisa berguna?
"Wa'alaikum salam. Silakan masuk, Mas!"
Pemilik jenggot tipis itu benar-benar membuktikan ucapannya tempo hari. Tentang rencana tanggal pernikahan yang akan dimajukan bulan depan.
Mas Riko mengikuti langkahku dan duduk di salah satu kursi ruang tamu. Aku meninggalkannya sejenak bersama Yesha, meneruskan langkah ke dalam memanggil Bapak dan Ibu yang juga menunggu.
"Riko sudah datang, Nduk?" tanya Bapak yang langsung mematikan layar televisi.
"Sudah, Pak."
"Ayo, Buk!" Bapak memberi komando pada Ibu.
"Mira enggak diajak, Pak?" Adikku yang baru keluar kamar memajukan bibirnya.
"Kamu momong Yesha aja, ajak main ke mana gitu. Biar ndak mengganggu pembicaraan orang tua!" titah Bapak. Aku dan Ibu kompak setuju.
"Iya, iyaaa." Mahasiswi semester lima itu mengangguk pasrah.
"Kalian duluan saja, Ranty mau bikin minuman dulu."
Sengaja mencari alasan dengan berpamit ke belakang. Membiarkan Mas Riko mengawali niatnya datang malam ini langsung di depan Bapak. Karena posisiku hanya bisa manut dengan kesepakatan yang sudah dibuat.
Kembali ke depan, Yesha sudah tidak ada. Entah dibawa Mira ke mana. Tinggal tiga orang tersisa, tampak mulai serius masuk ke topik utama.
"Sebenernya, bulan depan juga tidak masalah. Ada hari dan tanggal baiknya. Hanya saja, Bapak harus bergerak cepat lagi ini." Candaan Bapak sedikit mencairkan suasana.
Selama ini, Bapak memang belum pernah mengadakan hajatan besar. Angan-angannya adalah saat anak sulungnya menikah. Namun, mengumpulkan keluarga besar pun harus benar-benar terencana secara matang.
"Untuk semua persyaratan-persyaratannya bisa saya handle secepatnya, Pak. Bapak dan Ibu cukup mendiskusikan resepsi pernikahan dengan keluarga. Mau di rumah ini atau menyewa gedung mungkin. Untuk dananya insyaa Allah sudah saya persiapkan." Santun dan tidak ada kesan jumawa dalam tutur kata Mas Riko. epertinya sudah terbiasa bagaimana menghadapi dan memperlakukan orang yang jauh lebih tua.
"Kalau untuk itu, insya Allah kami juga sudah mempersiapkan jauh-jauh hari, Le. Jadi ndak usah terlalu jadi beban. Ini memang salah satu harapan besar Bapak. Menyaksikan putri Bapak bersanding di pelaminan dengan lelaki pilihannya."
Hati ini terenyuh oleh ungkapan penuh haru dari bibir Bapak. Sedang tangan halus ibu, lembut mengusap punggungku. Bisa terlihat jelas kedua mata tuanya berkaca-kaca.
Tiga bulan sebelum hari pernikahan yang disepakati sebelumnya. Kupikir Mas Riko dapat memikirkan ulang tentang hubungan kami. Terlebih saat gunjingan demi gunjingan kian santer terdengar dari berbagai sisi. Namun aku salah, dia tetap melangkah untuk memantapkan hati. Bahkan meminta disegerakan.
***
"Bang, beli rujak!" Kuhentikan pria berperawakan kurus yang tengah mendorong gerobak berisi buah-buahan.
Dari kaca permukaan gerobak, tampak buah-buahan segar sudah bersih terkupas. Terdapat bongkahan-bongkahan es batu di dalamnya agar kesegaran buah tetap terjaga.
Tak lama beberapa ibu-ibu turut merapat, tak terkecuali Budhe Wati. Cuaca terik memang mendukung untuk menyantap buah-buahan segar dengan bumbu rujak yang khas.
"Denger-denger, pernikahanmu dimajukan, ya, Nduk?" tanya Budhe Yanti.
Rumah wanita berkulit hitam itu kebetulan dekat dengan istri Pak RT. Pasti sudah kecipratan kabar sewaktu Bapak dan Mas Riko mengurus data-data kelengkapan pernikahan. Feeling-ku akan segera menyebar dengan cepat seperti penularan virus. Terlihat dari bisik-bisik dan saling sikut dari ibu-ibu yang mengantre membeli rujak.
"Wah, pantesan. Kok, tumben-tumbenan kamu beli rujak, Ran." Budhe Wati mengamatiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lantas berhenti tepat di perutku.
Lainnya saling tatap, ada yang mengangkat alis, ada yang mengangkat bahu. Ada yang menggerak-gerakkan tangannya di depan perut.
Astaghfirullah, jangan-jangan ... aku dikira hamil duluan.
Next
"Hust! Kalian ini jangan su'udzon. Ada orang beli rujak wes mikir macem-macem." Ucapan lantang Budhe Yanti meredekan bisik-bisik yang ada. "Emang alasan pernikahan dipercepat itu kenapa, Ran?" Ketua tukang ghibah alias Budhe Wati bertanya dengan pandangan menyelidik. Lainnya juga melayangkan tatapan yang sama. "Ya, karena niat baik itu memang harus disegerakan. Bukan cuma diboncengin ngalor ngidul bertahun-tahun tapi enggak ada kepastian." Belum sempat aku menjawab, Budhe Yanti sudah menyiapkan jawaban menohok. "Kowe nyindir Wanda, yu?" Wajah Budhe Wati memerah, menahan malu. Sedang lawan berdebatnya hanya tersenyum sinis. Setidaknya, masih ada orang yang berpikiran positif tentangku di sini. Bahkan membelaku. "Permisi Budhe semua, monggo!"Menyelesaikan transaksi dengan Abang penjuala rujak, aku melipir dari perkumpulan tidak sehat itu. Tak mau tahu juga apa yang akan terjadi setelah ini. Akankah dua orang berusia sepantaran itu saling bermusuhan? Yang jelas, sekali-kali Budhe W
Mercedes-Benz C-Class hitam metalik berhenti tepat di depan rumah. Sedikit menghalangi motorku, hingga terpaksa kuparkirkan di belakang kendaraan mewah tersebut. Tak lama sang pengemudi keluar. Entah siapa, yang jelas jarang-jarang rumah Bapak didatangi orang yang kelihatan sangat berkelas seperti ini. "Maaf, saya mau tanya. Rumah Wanda di sebelah mana?" tanya pria botak dengan perut agak buncit tersebut. "Oh, di sebelah situ, Pak," jawabku sambil menunjuk rumah bercat hijau. "Oh, iya. Terima kasih." Lelaki dengan setelan jas abu-abu itu kembali ke mobil dan memarkirkannya tepat di depan rumah Wanda. Tak lama, pagar rumah itu berderit. Budhe Wati keluar dari sana, menyambut semringah sang tamu lantas mempersilakan masuk. "Hei, Ranty!" Budhe Wati melangkah cepat ke arahku, menghentikanku menuntun motor. "Ada apa Budhe?" "Ngobrol apa saja kamu tadi dengan tamu saya?" cecarnya tiba-tiba. "Orang tadi cuma tanya alamat rumah Budhe. Lalu Ranty kasih tahu. Itu saja." Rupanya Budhe Wa
"Bukannya ini aneh, ya, Ran. Kemarin Budhe Wati gosipin yang enggak-enggak karena tanggal pernikahanmu dipercepat. Lha ini, Wanda ujug-ujug mau nikah minggu depan," ujar Ibu. Kabar itu pun tak kalah cepat menyebar ke seluruh penjuru RT. Kali ini bukan dari bisik-bisik tetangga, melainkan Budhe Wati sendiri yang mengumumkan. "Halah, Ibuk kaya enggak tau Budhe Wati aja. Dari dulu kan orangnya suka panas kalau tetangga beli sesuatu atau kebetulan punya hajat tertentu. Inget, enggak! Pas Bapak beli mobil bak terbuka buat usaha, keesokan hari si Budhe beli juga. Enggak cuma itu, motor, barang elektronik, renovasi rumah, pasti enggak mau kalah. Sebentar lagi Mbak Ranty nikah. Ya, jelas aja panas dan enggak mau diduluin," cerocos Mira. "Kalau dipikir-pikir, iya juga ya, Mir." Ibu sampai harus memelankan volume TV mendengar ocehan putri bungsunya. Tumben, kali ini wanita berjilbab ungu itu setuju dengan pendapat Mira. "Ranty mau tau, Buk. Apa iya kabar ini bakalan heboh melebihi gosip ten
"Rasanya aneh, ya, Mas. Jalan tanpa Yesha," ucapku begitu keluar dari butik bridal. Baru saja kami melakukan fitting baju pengantin. Seperti biasa aku menjadi sorotan beberapa pegawai di sana. Namun sedikit beruntung, karena mindset pemiliknya sendiri berbeda dengan kebanyakan orang. Dia begitu ramah dan hanya fokus pada busana mana yang cocok dengan tubuh dan warna kulitku. "Jangan menunduk, Sayang!" Wanita dengan dress merah selutut itu mengangkat daguku. Pada dasarnya semua perempuan itu cantik. Tonjolkan kepercayaan diri itu, kamu memiliki aura kecantikan luar biasa dari dalam. Saya bisa melihat itu," lanjutnya. Aku dituntun keluar dari kamar pas. Gaun lengan panjang full brokat marun melekat di tubuh ini. "Masya Allah, cantik sekali," puji Mas Riko. Padahal hanya menjajal baju saja, belum diaplikasikan dengan riasan wajah dan tutorial hijab khusus pengantin. "Tuh, kan. Calon suami kamu saja langsung terpukau." Entah trik marketing atau apa, tapi ucapan owner butik tadi ben
Sejak kejadian tempo hari, sikap Budhe Wati berubah drastis. Terutama pada keluargaku. Sindiran, tatapan sinis dan ucapan nyinyir tak pernah kudengar lagi. Bahkan sekarang lebih banyak berdiam di rumah ketimbang nongkrong dan bergosip ria dengan tetangga lainnya. Aku tetap menjaga rapat-rapat aib itu. Termasuk pada Bapak dan Ibu, Mira pun tak tahu menahu. Namun, mereka justru aneh dengan perubahan sikap sang ibu Wanda. Bertahun-tahun kurang begitu ramah, sekarang mendadak hangat. Mungkin takut jika sewaktu-waktu aku membongkar rahasia anak dan menantunya. Kepulangan Wanda dari rumah sakit sempat menjadi perbincangan kanan kiri. Apalagi tak ada suami yang mendampingi. Namun, Budhe Wati berdalih bahwa menantunya tengah menangani pekerjaan di luar kota. Entah sampai kapan terus bertahan dalam kebohongan. Karena bangkai yang disimpan serapat apa pun lambat laun akan tercium juga. Kasihan Wanda, harus menahan luka batin berkepanjangan demi menyenangkan hati ibunya. Mulai kemarin lusa,
Malam Pertama "Jangan menunduk terus, Ran! Saya bercanda seperti itu biar kamu enggak tegang." Mas Riko mengangkat daguku, yang menyaksikan ikut senyam senyum. Mungkin terlihat manis, tapi aku malu setengah mati. Mungkin pewarna pipi ini bertambah merah akibat rona-rona yang tercipta oleh guyonan suamiku. Siapa yang tidak tegang, malam ini aku akan berbagi tempat tidur dengan orang asing. Meski telah sah, tetapi terasa aneh dan kaku. Takut bagaimana harus bersikap selayaknya pasangan suami istri. "Jangan pegang-pegang dulu, Mas. Aku malu." Tangan yang masih menempel di dagu, pelan-pelan kudorong menjauh dari wajahku. Bahu kokoh lelaki yang kini mengenakan pakaian adat Jawa itu bergoyang. Menutup mulut guna menahan ledakan tawa. Untung tidak sampai keterusan karena tamu undangan mulai berdatangan. Membentuk barisan memanjang, bergantian memberikan ucapan selamat di pelaminan. Aku tahu, bisik-bisik juga tatapan kurang menyenangkan itu masih ada. Bahkan hingga aku telah resmi menyan
"Selamat pagi, Istriku!" Sebentuk tangan melingkari perut ini. Aku mengelak karena masih berjibaku dengan penggorengan. Namun Mas Riko tak mau tahu dan malah membenamkan wajah di sela pipi dan pundakku. "Mas, enggak enak kalau dilihat--" "Dilihat siapa? Bapak dan Ibu sudah pulang kampung," potong lelaki yang entah kenapa pagi ini begitu semringah. "Yesha." Biar saja bocah itu yang jadi alasan. Tiga telur ceplok pelengkap nasi goreng selesai kubuat. Namun pria ini masih saja mengintil. "Yesha!" panggil Mas Riko. Tak lama bocah itu berlari kecil menyusul ke dapur. "Kenapa, Yah?" "Ayah boleh peluk bunda, nggak?" Mas Riko ini apa-apaan bertanya seperti itu di depan anak kecil. "Boleh, dong!" Putri cantikku malah senyam-senyum. "Kalo ayah peluk bunda, Yesha tau, nggak, artinya apa?" lanjut suamiku. "Artinya, ayah sayang sama bunda." Jujur dan polos sekali jawabanmu, Nak. "Tuh, kamu denger sendiri, kan, Ran!" "Terserah Mas saja." Begitu Yesha kembali bermain di ruang tengah, M
"Ris, yang kamu maksud tadi wanita itu bukan, Ris?" Sahabatku pernah melihat mantan istri Mas Riko, pasti dia masih hafal dengan ciri-ciri wanita itu. Mata Risma mengikuti arah jari telunjukku, pada wanita berambut cokelat sebahu yang memasuki mobil. Tak lama kendaraan itu bergerak menjauh dari area sekolah. "Iya, Ran. Beneran dia orangnya. Dulu maksa banget pengen ketemu Yesha. Tapi respons Yesha juga persis kaya gini, ketakutan. Makanya sampai cekcok dengan ibunya Pak Riko." "Kenapa Yesha ketakutan ya, Ris?" Bukankah aneh? Dulu, pertama kali bertemu denganku, Yesha langsung merasa nyaman saat kupeluk. Tidak seperti anak lain yang masih takut dan merasa asing. Kukira Yesha benar-benar merindukan sosok ibu. Maka dari itu, aku memberikan perhatian lebih. Namun, kenapa sikapnya berbeda dengan wanita yang sudah jelas adalah ibu kandung. "Mungkin trauma, Ran. Begitu sang nenek pulang kampung, Yesha sempat diasuh oleh babysitter cantik berambut pirang. Suatu hari Yesha mendapatkan pe
"Mas! Gimana hasilnya?" ulangku sekali lagi karena pertanyaan pertama belum terjawab. Lelaki itu hanya menunduk, sulit mengartikan ekspresinya. Bertumpu pada telapak tangan, aku berusaha bangun. Mas Riko mengatur ranjang dengan posisi lebih tinggi di bagian punggung dan kepala hingga aku merasa nyaman. Barulah dia duduk di kursi bekas Mbak Vera tadi lalu menggenggam tangan ini. Semakin tak sabar karena Mas Riko cukup lama terdiam. Seolah tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat agar aku siap mendengar apa pun kabar yang dia bawa. "Dokter bilang--" Kalimat itu menggantung lagi seiring helaan napas panjang suamiku. "Dokter bilang apa, Mas?" "Dokter bilang, bayi kita baik-baik saja." Ketegangan di mimik wajah lelakiku mendadak memudar, lantas berganti dengan senyuman lebar. Apa ini? Aku dikerjai? "Mas, tolong serius!" Aku memelototinya antara percaya dan tidak percaya. "Mas serius, Sayang. Alhamdulillah, bayi kita baik-baik saja. Pendarahan yang kamu alami ternyata tidak berbahay
"Yesha baik-baik saja," ucap Mas Riko, seperti ingin menenangkanku. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh, aku menggerakkan tubuh ini. Namun masih kesulitan untuk bangun. Menatap sekeliling, tahu-tahu sudah berada di kamar dengan baju yang bukan kupakai dari rumah Ibu. Kepala terlalu pening mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Kalau Yesha sakit, kenapa dibiarkan tidur di kamar sendirian? "Mas, aku mau ke kamar Yesha," pintaku usai meneguk teh hangat yang disodorkan suamiku. "Besok saja, ya! Lagipula kondisi kamu masih kaya gini. Kata dokter, harus banyak-banyak istirahat dan hindari stress." Dokter? Jadi aku sempat diperiksa oleh dokter? "Aku mau lihat keadaan Yesha, Mas." Mas Riko menghela napas dan menyerah karena desakanku. "Oke! Kamu tetap di sini, biar saya bawa Yesha ke sini." Lelaki itu melangkah keluar, tetapi kulihat seseorang sudah berdiri di depan pintu menggendong Yesha. Mbak Vera! Kenapa selarut ini dia masih di sini? "Maaf, Mas. Tadi Yesha kebangun, nyari Rant
Pov Riko"Ayah, Bunda mana?" Suara kecil parau itu kian melemah. Namun sekeping hati ini begitu nyeri mendengarnya. "Yesha harus sembuh dulu. Kalau udah sehat, nanti ayah antar ke tempat Bunda." Kuletakkan handuk kecil basah di kening putriku. Meredam demam yang tiba-tiba menyerang tadi sore. Obat dari klinik belum juga mengurangi suhu panas di tubuh Yesha. "Ayah janji, ya!" tegasnya, dan sekarang disertai tangis kecil penuh kerinduan. "Ya, Sayang." Samar-samar, kudengar deru mesin motor masuk pagar rumah. Kamu pulang, Ran? Segera kutinggalkan Yesha dan tergesa berjalan ke depan untuk membuka pintu. "Assalamualaikum, Mas!" Aku salah, ternyata Mira yang datang. "Wa'alaikum salam, Mir. Masuk!" Kuisyaratkan dengan gerakan kepala. "Aku enggak lama-lama kok, Mas. Soalnya udah sore banget terus mendung juga. Aku cuma mau ngambil obat pereda mual sama vitamin ibu hamil punyanya Mbak Ranty." Gadis itu mengikutiku ke dalam. Aku lupa. Tadi pagi aku berencana datang lagi ke rumah mertua
"Bukankah ibuk sudah pernah bilang, jangan terlalu mencampuri urusan masa lalu Riko dengan istrinya." Ibu mengusap punggung yang membelakanginya. Sedari tadi membujuk agar aku mau menemui Mas Riko di depan sana. "Bukannya Ranty ikut campur, Buk. Ranty cuma enggak mau Mas Riko terus menerus menyimpan dendam lalu menyesal di kemudian hari karena tak pernah mau mendengarkan alasan Mbak Vera meninggalkannya." Yang kulihat selama ini, dia begitu dewasa dan sabar. Tidak mudah tersulut emosi sekalipun di kantor atau di rumah ada sesuatu yang membuatnya jengkel. Mas Riko selalu bijak menanggapi dari dua sisi. Namun, baru kali ini aku merasakan sendiri betapa keras kepalanya suamiku. Seakan benar-benar tidak ada ampun untuk satu kesalahan yang diperbuat oleh sang mantan istri. "Maka dari itu, cobalah saat ini kalian bicara baik-baik. Sampai kapan kamu akan diam seperti ini? Riko juga sangat mengkhawatirkanmu, Nduk!" "Ranty masih butuh waktu, Buk. Sampai Mas Riko menyadari, masih penting ka
POV Riko "Kejar Ranty, Mas! Kenapa Mas Riko diam saja?" Vera gusar denganku yang hanya bisa berteriak berharap Ranty segera kembali. Namun, tak berusaha untuk mengejar. Entah, tiba-tiba sisi egoisku lebih membiarkan wanitaku pergi. Takut kehilangan Yesha, kata-kata yang terucap dari mulut ini seakan lepas kendali. Aku tak sadar bahwa itu sangat melukai. "Kamu tidak usah sok peduli. Belum puas kamu menghancurkan hati saya, dan sekarang kembali untuk melakukan hal yang sama. Jika terjadi sesuatu dengan rumah tangga saya. Sudah jelas siapa penyebabnya. Pergi kamu dari rumah saya dan jangan pernah datang lagi. Pergi!" Tidak ada yang tersisa di dalam sini, kecuali benci. Vera berbalik dengan tangis tersedu, segera masuk mobilnya dan secepat kilat berlalu dari hadapanku. "Ayah, kenapa Bunda nangis? Anterin Yesha ke tempat Bunda." Tangan mungil itu menarik-narik kemejaku. Tangisnya makin menambah kekacauan otak ini. "Ayo masuk!" Aku menuntunnya untuk masuk. Namun, beberapa kali langkah
"Apa-apaan ini?" Bukan lagi tatapan teduh yang kudapatkan Mas Riko. Justru kebalikannya, terlebih saat menyadari bahwa di sana ada Mbak Vera. "Mas, aku bisa jelasin." Aku mencegah tubuh tegap yang ingin menumpahkan kemarahan pada sang mantan. Perkiraanku ternyata meleset, Mas Riko pulang lebih awal. Bodohnya aku tak menyadari bahwa mobil itu sudah terparkir di dalam. "Apa maksud kamu melakukan segala cara untuk mendekati anak saya? Kamu memaksa istri saya untuk mempertemukanmu dengan Yesha?"Tenagaku kalah kuat dari Mas Riko. Dengan mudah dia sedikit mendorongku ke pinggir lalu berdiri tepat di depan Mbak Vera. Emosi lelaki itu telah sampai pada puncaknya. "Enggak gitu, Mas. Apa salah jika aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan ingin dekat dengan darah dagingku sendiri?" Netra indah itu memerah, tak lama air matanya terburai. Sayang, tak mampu melumpuhkan amarah lelaki di hadapannya. "Ingin dekat katamu? Kamu pikir semudah itu saya mengizinkannya, setelah apa yang sudah kamu la
"Welcome back, Bumil!" Risma memelukku erat, gemas, kangen campur bahagia. "Kok, tahu, sih?" Aku menepuk pundak Risma keheranan. Lantas melepaskan genggaman tangan Yesha, karena sudah sampai di depan kelasnya. "Kemarin aku ketemu sama Mira di mal. Cerita, deh, itu anak. Selamat, ya, Sayangku! Oleh-oleh dari Jogja ternyata luar biasa, gak kebayang gimana senengnya suamimu, Ran." Sahabatku terus menerus menyerocos sembari merangkul diri ini memasuki ruangan guru. "Jelas seneng banget, lah. Saking excited-nya sampai rempong banget ngelarang ini itu." Bagaimana tidak disebut rempong, capek dan mual sedikit saja sudah mengomel. Tidak boleh mengerjakan ini itu, tidak boleh makan sembarangan. Harus yang sesuai dengan anjuran dokter. "Aduh, so sweet banget, sih! Betewe, oleh-oleh buat aku mana?" Risma senyum-senyum sambil menaik-turunkan alisnya. "Tenang! Bukan cuma buat kamu aja. Tapi buat bunda-bunda di sini juga. Bagiin sana!"Aku mengeluarkan kotak-kotak kecil dalam plastik besar ya
"Maafkan Ibu, Ran. Kalau ibu tahu kamu hamil, gak bakalan ibu biarin kamu kecapaian." Ibu mertuaku mengelus-elus perut ini. Seakan menyesalkan sakitku kemarin. "Enggak, papa, Buk. Alhamdulillah, dokter bilang kalau Ranty dan calon cucu Ibuk baik-baik saja." Kuraih telapak tangan dengan jari-jari kurus itu, lantas memeluk dan menciumnya. Pagi ini, keluarga kecilku pulang lagi ke Tangerang. "Sehat-sehat, nggih, Pak!" Sekarang bergantian pamit dengan ayah mertua. "Hati-hati, Nduk! Jangan lupa kalau sudah sampai, langsung kabari bapak," pesan lelaki berpeci hitam tersebut. "Enggih, Pak." "Ko, jaga istri dan anakmu dengan baik. Kamu harus lebih sabar, biasanya perempuan hamil itu lebih sensitif. Kalau ngidam sesuatu, turutin! Jangan ditunda-tunda." Aku tersenyum simpul mendengar wejangan Ibu untuk anak lelakinya. "Enggih, Buk. Pasti Riko jagain baik-baik. Yesha, salim dulu sama eyang!" titah pria penyabar itu. Anak gadisku menuruti perintah sang ayah. Peluk cium dari kakek neneknya
"Cukup, Mas. Aku sudah kenyang." Aku menolak suapan bubur hangat yang disodorkan Mas Riko ke mulut ini. "Belum habis separuhnya, Ran. Harus dipaksakan. Kata Ibu, dari siang perutmu belum terisi." Lelaki itu tetap memaksa, tetapi belum sampai sendok itu mencapai mulut. Perutku kembali mual dan ingin mengeluarkan seluruh isinya. Beruntung aku bisa menahannya. "Oke, oke. Minum dulu!"Melihatku demikian, Mas Riko menyerah dan meletakkan mangkok tersebut di atas meja. Jujur, aku kasihan karena Ibu sudah bersusah payah membuatnya. Namun apa daya, perut ini belum bisa diajak kompromi. Teh hangat yang kuteguk hingga tersisa setengah gelas, lumayan menetralisir gejolak perutku tadi. "Mas tidur saja, ini sudah larut malam!" titahku. Mas Riko menggeleng, malah duduk bersandar di kepala ranjang dan meraih kepala ini agar merebah di pangkuannya. Lantas mengusap rambut yang kubiarkan tergerai tanpa balutan hijab. "Maaf, ya, Ran. Saya menyuruh kamu ke sini harusnya bisa sekalian untuk refreshi