Mercedes-Benz C-Class hitam metalik berhenti tepat di depan rumah. Sedikit menghalangi motorku, hingga terpaksa kuparkirkan di belakang kendaraan mewah tersebut. Tak lama sang pengemudi keluar. Entah siapa, yang jelas jarang-jarang rumah Bapak didatangi orang yang kelihatan sangat berkelas seperti ini. "Maaf, saya mau tanya. Rumah Wanda di sebelah mana?" tanya pria botak dengan perut agak buncit tersebut. "Oh, di sebelah situ, Pak," jawabku sambil menunjuk rumah bercat hijau. "Oh, iya. Terima kasih." Lelaki dengan setelan jas abu-abu itu kembali ke mobil dan memarkirkannya tepat di depan rumah Wanda. Tak lama, pagar rumah itu berderit. Budhe Wati keluar dari sana, menyambut semringah sang tamu lantas mempersilakan masuk. "Hei, Ranty!" Budhe Wati melangkah cepat ke arahku, menghentikanku menuntun motor. "Ada apa Budhe?" "Ngobrol apa saja kamu tadi dengan tamu saya?" cecarnya tiba-tiba. "Orang tadi cuma tanya alamat rumah Budhe. Lalu Ranty kasih tahu. Itu saja." Rupanya Budhe Wa
"Bukannya ini aneh, ya, Ran. Kemarin Budhe Wati gosipin yang enggak-enggak karena tanggal pernikahanmu dipercepat. Lha ini, Wanda ujug-ujug mau nikah minggu depan," ujar Ibu. Kabar itu pun tak kalah cepat menyebar ke seluruh penjuru RT. Kali ini bukan dari bisik-bisik tetangga, melainkan Budhe Wati sendiri yang mengumumkan. "Halah, Ibuk kaya enggak tau Budhe Wati aja. Dari dulu kan orangnya suka panas kalau tetangga beli sesuatu atau kebetulan punya hajat tertentu. Inget, enggak! Pas Bapak beli mobil bak terbuka buat usaha, keesokan hari si Budhe beli juga. Enggak cuma itu, motor, barang elektronik, renovasi rumah, pasti enggak mau kalah. Sebentar lagi Mbak Ranty nikah. Ya, jelas aja panas dan enggak mau diduluin," cerocos Mira. "Kalau dipikir-pikir, iya juga ya, Mir." Ibu sampai harus memelankan volume TV mendengar ocehan putri bungsunya. Tumben, kali ini wanita berjilbab ungu itu setuju dengan pendapat Mira. "Ranty mau tau, Buk. Apa iya kabar ini bakalan heboh melebihi gosip ten
"Rasanya aneh, ya, Mas. Jalan tanpa Yesha," ucapku begitu keluar dari butik bridal. Baru saja kami melakukan fitting baju pengantin. Seperti biasa aku menjadi sorotan beberapa pegawai di sana. Namun sedikit beruntung, karena mindset pemiliknya sendiri berbeda dengan kebanyakan orang. Dia begitu ramah dan hanya fokus pada busana mana yang cocok dengan tubuh dan warna kulitku. "Jangan menunduk, Sayang!" Wanita dengan dress merah selutut itu mengangkat daguku. Pada dasarnya semua perempuan itu cantik. Tonjolkan kepercayaan diri itu, kamu memiliki aura kecantikan luar biasa dari dalam. Saya bisa melihat itu," lanjutnya. Aku dituntun keluar dari kamar pas. Gaun lengan panjang full brokat marun melekat di tubuh ini. "Masya Allah, cantik sekali," puji Mas Riko. Padahal hanya menjajal baju saja, belum diaplikasikan dengan riasan wajah dan tutorial hijab khusus pengantin. "Tuh, kan. Calon suami kamu saja langsung terpukau." Entah trik marketing atau apa, tapi ucapan owner butik tadi ben
Sejak kejadian tempo hari, sikap Budhe Wati berubah drastis. Terutama pada keluargaku. Sindiran, tatapan sinis dan ucapan nyinyir tak pernah kudengar lagi. Bahkan sekarang lebih banyak berdiam di rumah ketimbang nongkrong dan bergosip ria dengan tetangga lainnya. Aku tetap menjaga rapat-rapat aib itu. Termasuk pada Bapak dan Ibu, Mira pun tak tahu menahu. Namun, mereka justru aneh dengan perubahan sikap sang ibu Wanda. Bertahun-tahun kurang begitu ramah, sekarang mendadak hangat. Mungkin takut jika sewaktu-waktu aku membongkar rahasia anak dan menantunya. Kepulangan Wanda dari rumah sakit sempat menjadi perbincangan kanan kiri. Apalagi tak ada suami yang mendampingi. Namun, Budhe Wati berdalih bahwa menantunya tengah menangani pekerjaan di luar kota. Entah sampai kapan terus bertahan dalam kebohongan. Karena bangkai yang disimpan serapat apa pun lambat laun akan tercium juga. Kasihan Wanda, harus menahan luka batin berkepanjangan demi menyenangkan hati ibunya. Mulai kemarin lusa,
Malam Pertama "Jangan menunduk terus, Ran! Saya bercanda seperti itu biar kamu enggak tegang." Mas Riko mengangkat daguku, yang menyaksikan ikut senyam senyum. Mungkin terlihat manis, tapi aku malu setengah mati. Mungkin pewarna pipi ini bertambah merah akibat rona-rona yang tercipta oleh guyonan suamiku. Siapa yang tidak tegang, malam ini aku akan berbagi tempat tidur dengan orang asing. Meski telah sah, tetapi terasa aneh dan kaku. Takut bagaimana harus bersikap selayaknya pasangan suami istri. "Jangan pegang-pegang dulu, Mas. Aku malu." Tangan yang masih menempel di dagu, pelan-pelan kudorong menjauh dari wajahku. Bahu kokoh lelaki yang kini mengenakan pakaian adat Jawa itu bergoyang. Menutup mulut guna menahan ledakan tawa. Untung tidak sampai keterusan karena tamu undangan mulai berdatangan. Membentuk barisan memanjang, bergantian memberikan ucapan selamat di pelaminan. Aku tahu, bisik-bisik juga tatapan kurang menyenangkan itu masih ada. Bahkan hingga aku telah resmi menyan
"Selamat pagi, Istriku!" Sebentuk tangan melingkari perut ini. Aku mengelak karena masih berjibaku dengan penggorengan. Namun Mas Riko tak mau tahu dan malah membenamkan wajah di sela pipi dan pundakku. "Mas, enggak enak kalau dilihat--" "Dilihat siapa? Bapak dan Ibu sudah pulang kampung," potong lelaki yang entah kenapa pagi ini begitu semringah. "Yesha." Biar saja bocah itu yang jadi alasan. Tiga telur ceplok pelengkap nasi goreng selesai kubuat. Namun pria ini masih saja mengintil. "Yesha!" panggil Mas Riko. Tak lama bocah itu berlari kecil menyusul ke dapur. "Kenapa, Yah?" "Ayah boleh peluk bunda, nggak?" Mas Riko ini apa-apaan bertanya seperti itu di depan anak kecil. "Boleh, dong!" Putri cantikku malah senyam-senyum. "Kalo ayah peluk bunda, Yesha tau, nggak, artinya apa?" lanjut suamiku. "Artinya, ayah sayang sama bunda." Jujur dan polos sekali jawabanmu, Nak. "Tuh, kamu denger sendiri, kan, Ran!" "Terserah Mas saja." Begitu Yesha kembali bermain di ruang tengah, M
"Ris, yang kamu maksud tadi wanita itu bukan, Ris?" Sahabatku pernah melihat mantan istri Mas Riko, pasti dia masih hafal dengan ciri-ciri wanita itu. Mata Risma mengikuti arah jari telunjukku, pada wanita berambut cokelat sebahu yang memasuki mobil. Tak lama kendaraan itu bergerak menjauh dari area sekolah. "Iya, Ran. Beneran dia orangnya. Dulu maksa banget pengen ketemu Yesha. Tapi respons Yesha juga persis kaya gini, ketakutan. Makanya sampai cekcok dengan ibunya Pak Riko." "Kenapa Yesha ketakutan ya, Ris?" Bukankah aneh? Dulu, pertama kali bertemu denganku, Yesha langsung merasa nyaman saat kupeluk. Tidak seperti anak lain yang masih takut dan merasa asing. Kukira Yesha benar-benar merindukan sosok ibu. Maka dari itu, aku memberikan perhatian lebih. Namun, kenapa sikapnya berbeda dengan wanita yang sudah jelas adalah ibu kandung. "Mungkin trauma, Ran. Begitu sang nenek pulang kampung, Yesha sempat diasuh oleh babysitter cantik berambut pirang. Suatu hari Yesha mendapatkan pe
'Mas, nanti jemput aku di rumah bapak aja. Baju untuk kondangan masih di sana.' Pesan yang kukirim untuk Mas Riko. Usai mengajar, kuputuskan untuk pulang ke rumah bapak. Pindahan kemarin, baju-baju belum terangkut semua. Sebagian besar memang kutinggal, jika sewaktu-waktu menginap tak perlu membawa baju ganti. Sekaligus menitipkan Yesha di sana. Nanti malam bocah itu tak turut serta ke undangan pernikahan. Dia tidak terbiasa tidur terlalu larut. Takut mengantuk di perjalanan. 'Oke, Sayang.' Tak lama, notifikasi balasan muncul. 'Baju Mas Riko udah aku siapin di kamar. Jadi enggak perlu nyari-nyari lagi.' Baju yang kusesuaikan dengan warna gamis brokatku nanti. Aku tak pandai memadupadankan style busana. Namun, kurasa itu yang paling cocok untuk kami pakai. 'Oke, Istriku.' Sayangku, istriku, bunda.Kadang terasa menggelitik di telinga. Namun, aku mulai terbiasa. Mungkin itu cara Mas Riko memperlakukan sang istri dengan sebaik dan semanis mungkin. Maka dari itu, malam ini aku ha
"Mas! Gimana hasilnya?" ulangku sekali lagi karena pertanyaan pertama belum terjawab. Lelaki itu hanya menunduk, sulit mengartikan ekspresinya. Bertumpu pada telapak tangan, aku berusaha bangun. Mas Riko mengatur ranjang dengan posisi lebih tinggi di bagian punggung dan kepala hingga aku merasa nyaman. Barulah dia duduk di kursi bekas Mbak Vera tadi lalu menggenggam tangan ini. Semakin tak sabar karena Mas Riko cukup lama terdiam. Seolah tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat agar aku siap mendengar apa pun kabar yang dia bawa. "Dokter bilang--" Kalimat itu menggantung lagi seiring helaan napas panjang suamiku. "Dokter bilang apa, Mas?" "Dokter bilang, bayi kita baik-baik saja." Ketegangan di mimik wajah lelakiku mendadak memudar, lantas berganti dengan senyuman lebar. Apa ini? Aku dikerjai? "Mas, tolong serius!" Aku memelototinya antara percaya dan tidak percaya. "Mas serius, Sayang. Alhamdulillah, bayi kita baik-baik saja. Pendarahan yang kamu alami ternyata tidak berbahay
"Yesha baik-baik saja," ucap Mas Riko, seperti ingin menenangkanku. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh, aku menggerakkan tubuh ini. Namun masih kesulitan untuk bangun. Menatap sekeliling, tahu-tahu sudah berada di kamar dengan baju yang bukan kupakai dari rumah Ibu. Kepala terlalu pening mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Kalau Yesha sakit, kenapa dibiarkan tidur di kamar sendirian? "Mas, aku mau ke kamar Yesha," pintaku usai meneguk teh hangat yang disodorkan suamiku. "Besok saja, ya! Lagipula kondisi kamu masih kaya gini. Kata dokter, harus banyak-banyak istirahat dan hindari stress." Dokter? Jadi aku sempat diperiksa oleh dokter? "Aku mau lihat keadaan Yesha, Mas." Mas Riko menghela napas dan menyerah karena desakanku. "Oke! Kamu tetap di sini, biar saya bawa Yesha ke sini." Lelaki itu melangkah keluar, tetapi kulihat seseorang sudah berdiri di depan pintu menggendong Yesha. Mbak Vera! Kenapa selarut ini dia masih di sini? "Maaf, Mas. Tadi Yesha kebangun, nyari Rant
Pov Riko"Ayah, Bunda mana?" Suara kecil parau itu kian melemah. Namun sekeping hati ini begitu nyeri mendengarnya. "Yesha harus sembuh dulu. Kalau udah sehat, nanti ayah antar ke tempat Bunda." Kuletakkan handuk kecil basah di kening putriku. Meredam demam yang tiba-tiba menyerang tadi sore. Obat dari klinik belum juga mengurangi suhu panas di tubuh Yesha. "Ayah janji, ya!" tegasnya, dan sekarang disertai tangis kecil penuh kerinduan. "Ya, Sayang." Samar-samar, kudengar deru mesin motor masuk pagar rumah. Kamu pulang, Ran? Segera kutinggalkan Yesha dan tergesa berjalan ke depan untuk membuka pintu. "Assalamualaikum, Mas!" Aku salah, ternyata Mira yang datang. "Wa'alaikum salam, Mir. Masuk!" Kuisyaratkan dengan gerakan kepala. "Aku enggak lama-lama kok, Mas. Soalnya udah sore banget terus mendung juga. Aku cuma mau ngambil obat pereda mual sama vitamin ibu hamil punyanya Mbak Ranty." Gadis itu mengikutiku ke dalam. Aku lupa. Tadi pagi aku berencana datang lagi ke rumah mertua
"Bukankah ibuk sudah pernah bilang, jangan terlalu mencampuri urusan masa lalu Riko dengan istrinya." Ibu mengusap punggung yang membelakanginya. Sedari tadi membujuk agar aku mau menemui Mas Riko di depan sana. "Bukannya Ranty ikut campur, Buk. Ranty cuma enggak mau Mas Riko terus menerus menyimpan dendam lalu menyesal di kemudian hari karena tak pernah mau mendengarkan alasan Mbak Vera meninggalkannya." Yang kulihat selama ini, dia begitu dewasa dan sabar. Tidak mudah tersulut emosi sekalipun di kantor atau di rumah ada sesuatu yang membuatnya jengkel. Mas Riko selalu bijak menanggapi dari dua sisi. Namun, baru kali ini aku merasakan sendiri betapa keras kepalanya suamiku. Seakan benar-benar tidak ada ampun untuk satu kesalahan yang diperbuat oleh sang mantan istri. "Maka dari itu, cobalah saat ini kalian bicara baik-baik. Sampai kapan kamu akan diam seperti ini? Riko juga sangat mengkhawatirkanmu, Nduk!" "Ranty masih butuh waktu, Buk. Sampai Mas Riko menyadari, masih penting ka
POV Riko "Kejar Ranty, Mas! Kenapa Mas Riko diam saja?" Vera gusar denganku yang hanya bisa berteriak berharap Ranty segera kembali. Namun, tak berusaha untuk mengejar. Entah, tiba-tiba sisi egoisku lebih membiarkan wanitaku pergi. Takut kehilangan Yesha, kata-kata yang terucap dari mulut ini seakan lepas kendali. Aku tak sadar bahwa itu sangat melukai. "Kamu tidak usah sok peduli. Belum puas kamu menghancurkan hati saya, dan sekarang kembali untuk melakukan hal yang sama. Jika terjadi sesuatu dengan rumah tangga saya. Sudah jelas siapa penyebabnya. Pergi kamu dari rumah saya dan jangan pernah datang lagi. Pergi!" Tidak ada yang tersisa di dalam sini, kecuali benci. Vera berbalik dengan tangis tersedu, segera masuk mobilnya dan secepat kilat berlalu dari hadapanku. "Ayah, kenapa Bunda nangis? Anterin Yesha ke tempat Bunda." Tangan mungil itu menarik-narik kemejaku. Tangisnya makin menambah kekacauan otak ini. "Ayo masuk!" Aku menuntunnya untuk masuk. Namun, beberapa kali langkah
"Apa-apaan ini?" Bukan lagi tatapan teduh yang kudapatkan Mas Riko. Justru kebalikannya, terlebih saat menyadari bahwa di sana ada Mbak Vera. "Mas, aku bisa jelasin." Aku mencegah tubuh tegap yang ingin menumpahkan kemarahan pada sang mantan. Perkiraanku ternyata meleset, Mas Riko pulang lebih awal. Bodohnya aku tak menyadari bahwa mobil itu sudah terparkir di dalam. "Apa maksud kamu melakukan segala cara untuk mendekati anak saya? Kamu memaksa istri saya untuk mempertemukanmu dengan Yesha?"Tenagaku kalah kuat dari Mas Riko. Dengan mudah dia sedikit mendorongku ke pinggir lalu berdiri tepat di depan Mbak Vera. Emosi lelaki itu telah sampai pada puncaknya. "Enggak gitu, Mas. Apa salah jika aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan ingin dekat dengan darah dagingku sendiri?" Netra indah itu memerah, tak lama air matanya terburai. Sayang, tak mampu melumpuhkan amarah lelaki di hadapannya. "Ingin dekat katamu? Kamu pikir semudah itu saya mengizinkannya, setelah apa yang sudah kamu la
"Welcome back, Bumil!" Risma memelukku erat, gemas, kangen campur bahagia. "Kok, tahu, sih?" Aku menepuk pundak Risma keheranan. Lantas melepaskan genggaman tangan Yesha, karena sudah sampai di depan kelasnya. "Kemarin aku ketemu sama Mira di mal. Cerita, deh, itu anak. Selamat, ya, Sayangku! Oleh-oleh dari Jogja ternyata luar biasa, gak kebayang gimana senengnya suamimu, Ran." Sahabatku terus menerus menyerocos sembari merangkul diri ini memasuki ruangan guru. "Jelas seneng banget, lah. Saking excited-nya sampai rempong banget ngelarang ini itu." Bagaimana tidak disebut rempong, capek dan mual sedikit saja sudah mengomel. Tidak boleh mengerjakan ini itu, tidak boleh makan sembarangan. Harus yang sesuai dengan anjuran dokter. "Aduh, so sweet banget, sih! Betewe, oleh-oleh buat aku mana?" Risma senyum-senyum sambil menaik-turunkan alisnya. "Tenang! Bukan cuma buat kamu aja. Tapi buat bunda-bunda di sini juga. Bagiin sana!"Aku mengeluarkan kotak-kotak kecil dalam plastik besar ya
"Maafkan Ibu, Ran. Kalau ibu tahu kamu hamil, gak bakalan ibu biarin kamu kecapaian." Ibu mertuaku mengelus-elus perut ini. Seakan menyesalkan sakitku kemarin. "Enggak, papa, Buk. Alhamdulillah, dokter bilang kalau Ranty dan calon cucu Ibuk baik-baik saja." Kuraih telapak tangan dengan jari-jari kurus itu, lantas memeluk dan menciumnya. Pagi ini, keluarga kecilku pulang lagi ke Tangerang. "Sehat-sehat, nggih, Pak!" Sekarang bergantian pamit dengan ayah mertua. "Hati-hati, Nduk! Jangan lupa kalau sudah sampai, langsung kabari bapak," pesan lelaki berpeci hitam tersebut. "Enggih, Pak." "Ko, jaga istri dan anakmu dengan baik. Kamu harus lebih sabar, biasanya perempuan hamil itu lebih sensitif. Kalau ngidam sesuatu, turutin! Jangan ditunda-tunda." Aku tersenyum simpul mendengar wejangan Ibu untuk anak lelakinya. "Enggih, Buk. Pasti Riko jagain baik-baik. Yesha, salim dulu sama eyang!" titah pria penyabar itu. Anak gadisku menuruti perintah sang ayah. Peluk cium dari kakek neneknya
"Cukup, Mas. Aku sudah kenyang." Aku menolak suapan bubur hangat yang disodorkan Mas Riko ke mulut ini. "Belum habis separuhnya, Ran. Harus dipaksakan. Kata Ibu, dari siang perutmu belum terisi." Lelaki itu tetap memaksa, tetapi belum sampai sendok itu mencapai mulut. Perutku kembali mual dan ingin mengeluarkan seluruh isinya. Beruntung aku bisa menahannya. "Oke, oke. Minum dulu!"Melihatku demikian, Mas Riko menyerah dan meletakkan mangkok tersebut di atas meja. Jujur, aku kasihan karena Ibu sudah bersusah payah membuatnya. Namun apa daya, perut ini belum bisa diajak kompromi. Teh hangat yang kuteguk hingga tersisa setengah gelas, lumayan menetralisir gejolak perutku tadi. "Mas tidur saja, ini sudah larut malam!" titahku. Mas Riko menggeleng, malah duduk bersandar di kepala ranjang dan meraih kepala ini agar merebah di pangkuannya. Lantas mengusap rambut yang kubiarkan tergerai tanpa balutan hijab. "Maaf, ya, Ran. Saya menyuruh kamu ke sini harusnya bisa sekalian untuk refreshi