"Yesha baik-baik saja," ucap Mas Riko, seperti ingin menenangkanku. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh, aku menggerakkan tubuh ini. Namun masih kesulitan untuk bangun. Menatap sekeliling, tahu-tahu sudah berada di kamar dengan baju yang bukan kupakai dari rumah Ibu. Kepala terlalu pening mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Kalau Yesha sakit, kenapa dibiarkan tidur di kamar sendirian? "Mas, aku mau ke kamar Yesha," pintaku usai meneguk teh hangat yang disodorkan suamiku. "Besok saja, ya! Lagipula kondisi kamu masih kaya gini. Kata dokter, harus banyak-banyak istirahat dan hindari stress." Dokter? Jadi aku sempat diperiksa oleh dokter? "Aku mau lihat keadaan Yesha, Mas." Mas Riko menghela napas dan menyerah karena desakanku. "Oke! Kamu tetap di sini, biar saya bawa Yesha ke sini." Lelaki itu melangkah keluar, tetapi kulihat seseorang sudah berdiri di depan pintu menggendong Yesha. Mbak Vera! Kenapa selarut ini dia masih di sini? "Maaf, Mas. Tadi Yesha kebangun, nyari Rant
"Mas! Gimana hasilnya?" ulangku sekali lagi karena pertanyaan pertama belum terjawab. Lelaki itu hanya menunduk, sulit mengartikan ekspresinya. Bertumpu pada telapak tangan, aku berusaha bangun. Mas Riko mengatur ranjang dengan posisi lebih tinggi di bagian punggung dan kepala hingga aku merasa nyaman. Barulah dia duduk di kursi bekas Mbak Vera tadi lalu menggenggam tangan ini. Semakin tak sabar karena Mas Riko cukup lama terdiam. Seolah tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat agar aku siap mendengar apa pun kabar yang dia bawa. "Dokter bilang--" Kalimat itu menggantung lagi seiring helaan napas panjang suamiku. "Dokter bilang apa, Mas?" "Dokter bilang, bayi kita baik-baik saja." Ketegangan di mimik wajah lelakiku mendadak memudar, lantas berganti dengan senyuman lebar. Apa ini? Aku dikerjai? "Mas, tolong serius!" Aku memelototinya antara percaya dan tidak percaya. "Mas serius, Sayang. Alhamdulillah, bayi kita baik-baik saja. Pendarahan yang kamu alami ternyata tidak berbahay
"Masa iya calon istrinya burik gitu." "Iya, selera Pak Riko anjlok banget." "Menukik tajam dibandingkan mantan istrinya dulu." "Hihihi." Bisik-bisik terdengar dari gerombolan wanita berseragam hitam biru di deretan kursi belakangku. Sepelan apa pun kasak kusuk itu tetap saja tertangkap telinga. Paling sakit hati kalau mereka kompak cekikikan. Persis perkumpulan tetangga julid yang sering nongkrong di warung Ceu Entin sebelah rumah. "Mas, aku malu," bisikku pada duda tampan di sebelah. "Malu kenapa, Ran?" Yassalam, teduhnya tatapan mata itu. Adem ayem tanpa beban, berbeda dengan wanita yang sedari tadi menjadi sorotan publik. "Insecure aja." "Sudahlah, cuek aja. Sebentar lagi acaranya mulai." Cuek? Itu gampang buatmu, Mas. Namun, tekanan batin untukku. Pria itu berperawakan ideal dengan tinggi 179 cm. Berambut cepak, berahang kokoh, plus hidung mancung. Berkulit sawo matang serta memiliki senyuman khas. Manis. Benar-benar Ji Chang Wook dengan cita rasa kearifan lokal. Kurang
"Ran, kok dari tadi diam saja? Lagi mikirin apa?" tanya Mas Riko. Sekarang tengah fokus menyetir mobil dalam perjalanan pulang. "Enggak papa, Mas." Aku mengecup pucuk kepala Yesha yang terlelap di pangkuan. Sekaligus menyembunyikan kecamuk dalam otak ini. Sepanjang acara gathering, aku tak benar-benar menikmati hiburan yang tersuguh. Padahal rencana awal ingin berfoto dengan personil band pengisi acara. Mas Riko sudah bersedia mengantar ke back stage. Namun, antusiasku ambyar terbawa kasak kusuk yang menyesakkan dada. Lebih-lebih saat aku diperkenalkan sebagai calon istri di depan rekan-rekan kerja Mas Riko. Ekspresi mereka beragam, ada yang biasa saja, ada yang sok-sokan terkejut, ada juga yang pura-pura antusias di depan tapi pada ketawa ketiwi di belakang. Rata-rata dari kaum sesama hawa. "Mas ...." "Ya." "Mas Riko benar-benar yakin ingin menikah denganku?" Tidak bisa. Ini perkara serius, aku harus mempertimbangkan matang-matang. "Kalau ditulis dalam catatan, mungkin ini ada
"Kenyamanan itu soal rasa, Ran. Bukan masalah visual saja, tapi letaknya di sini. Dan itu yang saya dapatkan dalam diri kamu." Mas Riko menunjuk dada bidangnya. Tatapanku mengabur, ada yang setengah mati ingin keluar. Namun mampu kutahan, jangan sampai terjatuh. Sebelum ini, ada beberapa pria yang sengaja dijodohkan denganku. Melalui kawan, juga saudara yang mencoba berikhtiar mencarikan pasangan. Qadar Allah, satu per satu mundur tanpa ingin mengenal pribadiku lebih jauh. Jujur, kurang percaya diri sempat menghinggap dalam hati. Sekian lama berpasrah dan berserah pada Yang Maha Pemberi jodoh. Bahkan, sudah tak terlalu peduli saat orang-orang terdekat belum berputus asa mengenalkan sosok pria dengan latar belakang berbeda-beda. Ya, aku selalu merasa rendah diri. Penolakan bagi seorang wanita pastilah menyakitkan. Aku trauma. Lalu sekarang? Dengan sendirinya sesosok pria tampan dan mapan hadir dalam penantian panjang. Menawarkan kesungguhan hati. Benarkah ini jawaban dari-Nya? "
"Nduk, ada apa? Kok, nangis." Aku berjalan lurus ke kamar usai mengucap salam. Namun, Ibu terlanjur tahu saat tangan ini mengusap pipi beberapa kali. "Enggak papa, Buk."Ini bukan jawaban memuaskan untuk Ibu. Anak sulungnya menangis mustahil tanpa sebab. "Mbak Ranty kenapa, Buk?" Mira merapat di depan pintu kamar yang kubiarkan terbuka. Ibu hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaan anak bungsunya. Dua wanita beda usia itu akhirnya mendekat. Duduk mengapitku di bibir ranjang. Mira merangkul dan meletakkan kepala di pundakku. "Cerita, Mbak," ucap Mira pelan. Pada siapa lagi aku berbagi cerita selain pada dua orang yang sepenuhnya bisa kupercayai. "Mbak sudah terbiasa digunjingkan sana sini, Mir. Tapi kali ini sangat menyakitkan hati. Budhe Wati menganggap bahwa Mbak menggunakan jasa dukun untuk menggaet Mas Riko." "Astaghfirullah hal adzim!" Ibu dan adikku kompak mengelus dada. "Yang sabar, ya, Mbak. Mira yakin, sebenernya Budhe Wati itu cuma iri. Mbak Wanda memang cantik, tapi
"Bunda!" Yesha melepas pegangan tangan sang ayah, lantas menghamburku. "Hallo, Sayang!" Aku mengelus pemilik rambut hitam berkilau berhias pita rambut merah muda. "Assalamualaikum, Ran!" sapa Mas Riko. Ah, lelaki itu. Selalu tampil rapi di berbagai kesempatan. Kali ini mengenakan kemeja batik dengan bawahan celana kain hitam. Rambut beraroma pomade tersisir rapi ke atas. Tidak ada sentuhan tangan wanita saja sudah pandai mengurus diri sendiri. Yakin, aku nanti bisa berguna? "Wa'alaikum salam. Silakan masuk, Mas!" Pemilik jenggot tipis itu benar-benar membuktikan ucapannya tempo hari. Tentang rencana tanggal pernikahan yang akan dimajukan bulan depan. Mas Riko mengikuti langkahku dan duduk di salah satu kursi ruang tamu. Aku meninggalkannya sejenak bersama Yesha, meneruskan langkah ke dalam memanggil Bapak dan Ibu yang juga menunggu. "Riko sudah datang, Nduk?" tanya Bapak yang langsung mematikan layar televisi. "Sudah, Pak." "Ayo, Buk!" Bapak memberi komando pada Ibu. "Mira e
"Hust! Kalian ini jangan su'udzon. Ada orang beli rujak wes mikir macem-macem." Ucapan lantang Budhe Yanti meredekan bisik-bisik yang ada. "Emang alasan pernikahan dipercepat itu kenapa, Ran?" Ketua tukang ghibah alias Budhe Wati bertanya dengan pandangan menyelidik. Lainnya juga melayangkan tatapan yang sama. "Ya, karena niat baik itu memang harus disegerakan. Bukan cuma diboncengin ngalor ngidul bertahun-tahun tapi enggak ada kepastian." Belum sempat aku menjawab, Budhe Yanti sudah menyiapkan jawaban menohok. "Kowe nyindir Wanda, yu?" Wajah Budhe Wati memerah, menahan malu. Sedang lawan berdebatnya hanya tersenyum sinis. Setidaknya, masih ada orang yang berpikiran positif tentangku di sini. Bahkan membelaku. "Permisi Budhe semua, monggo!"Menyelesaikan transaksi dengan Abang penjuala rujak, aku melipir dari perkumpulan tidak sehat itu. Tak mau tahu juga apa yang akan terjadi setelah ini. Akankah dua orang berusia sepantaran itu saling bermusuhan? Yang jelas, sekali-kali Budhe W
"Mas! Gimana hasilnya?" ulangku sekali lagi karena pertanyaan pertama belum terjawab. Lelaki itu hanya menunduk, sulit mengartikan ekspresinya. Bertumpu pada telapak tangan, aku berusaha bangun. Mas Riko mengatur ranjang dengan posisi lebih tinggi di bagian punggung dan kepala hingga aku merasa nyaman. Barulah dia duduk di kursi bekas Mbak Vera tadi lalu menggenggam tangan ini. Semakin tak sabar karena Mas Riko cukup lama terdiam. Seolah tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat agar aku siap mendengar apa pun kabar yang dia bawa. "Dokter bilang--" Kalimat itu menggantung lagi seiring helaan napas panjang suamiku. "Dokter bilang apa, Mas?" "Dokter bilang, bayi kita baik-baik saja." Ketegangan di mimik wajah lelakiku mendadak memudar, lantas berganti dengan senyuman lebar. Apa ini? Aku dikerjai? "Mas, tolong serius!" Aku memelototinya antara percaya dan tidak percaya. "Mas serius, Sayang. Alhamdulillah, bayi kita baik-baik saja. Pendarahan yang kamu alami ternyata tidak berbahay
"Yesha baik-baik saja," ucap Mas Riko, seperti ingin menenangkanku. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh, aku menggerakkan tubuh ini. Namun masih kesulitan untuk bangun. Menatap sekeliling, tahu-tahu sudah berada di kamar dengan baju yang bukan kupakai dari rumah Ibu. Kepala terlalu pening mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Kalau Yesha sakit, kenapa dibiarkan tidur di kamar sendirian? "Mas, aku mau ke kamar Yesha," pintaku usai meneguk teh hangat yang disodorkan suamiku. "Besok saja, ya! Lagipula kondisi kamu masih kaya gini. Kata dokter, harus banyak-banyak istirahat dan hindari stress." Dokter? Jadi aku sempat diperiksa oleh dokter? "Aku mau lihat keadaan Yesha, Mas." Mas Riko menghela napas dan menyerah karena desakanku. "Oke! Kamu tetap di sini, biar saya bawa Yesha ke sini." Lelaki itu melangkah keluar, tetapi kulihat seseorang sudah berdiri di depan pintu menggendong Yesha. Mbak Vera! Kenapa selarut ini dia masih di sini? "Maaf, Mas. Tadi Yesha kebangun, nyari Rant
Pov Riko"Ayah, Bunda mana?" Suara kecil parau itu kian melemah. Namun sekeping hati ini begitu nyeri mendengarnya. "Yesha harus sembuh dulu. Kalau udah sehat, nanti ayah antar ke tempat Bunda." Kuletakkan handuk kecil basah di kening putriku. Meredam demam yang tiba-tiba menyerang tadi sore. Obat dari klinik belum juga mengurangi suhu panas di tubuh Yesha. "Ayah janji, ya!" tegasnya, dan sekarang disertai tangis kecil penuh kerinduan. "Ya, Sayang." Samar-samar, kudengar deru mesin motor masuk pagar rumah. Kamu pulang, Ran? Segera kutinggalkan Yesha dan tergesa berjalan ke depan untuk membuka pintu. "Assalamualaikum, Mas!" Aku salah, ternyata Mira yang datang. "Wa'alaikum salam, Mir. Masuk!" Kuisyaratkan dengan gerakan kepala. "Aku enggak lama-lama kok, Mas. Soalnya udah sore banget terus mendung juga. Aku cuma mau ngambil obat pereda mual sama vitamin ibu hamil punyanya Mbak Ranty." Gadis itu mengikutiku ke dalam. Aku lupa. Tadi pagi aku berencana datang lagi ke rumah mertua
"Bukankah ibuk sudah pernah bilang, jangan terlalu mencampuri urusan masa lalu Riko dengan istrinya." Ibu mengusap punggung yang membelakanginya. Sedari tadi membujuk agar aku mau menemui Mas Riko di depan sana. "Bukannya Ranty ikut campur, Buk. Ranty cuma enggak mau Mas Riko terus menerus menyimpan dendam lalu menyesal di kemudian hari karena tak pernah mau mendengarkan alasan Mbak Vera meninggalkannya." Yang kulihat selama ini, dia begitu dewasa dan sabar. Tidak mudah tersulut emosi sekalipun di kantor atau di rumah ada sesuatu yang membuatnya jengkel. Mas Riko selalu bijak menanggapi dari dua sisi. Namun, baru kali ini aku merasakan sendiri betapa keras kepalanya suamiku. Seakan benar-benar tidak ada ampun untuk satu kesalahan yang diperbuat oleh sang mantan istri. "Maka dari itu, cobalah saat ini kalian bicara baik-baik. Sampai kapan kamu akan diam seperti ini? Riko juga sangat mengkhawatirkanmu, Nduk!" "Ranty masih butuh waktu, Buk. Sampai Mas Riko menyadari, masih penting ka
POV Riko "Kejar Ranty, Mas! Kenapa Mas Riko diam saja?" Vera gusar denganku yang hanya bisa berteriak berharap Ranty segera kembali. Namun, tak berusaha untuk mengejar. Entah, tiba-tiba sisi egoisku lebih membiarkan wanitaku pergi. Takut kehilangan Yesha, kata-kata yang terucap dari mulut ini seakan lepas kendali. Aku tak sadar bahwa itu sangat melukai. "Kamu tidak usah sok peduli. Belum puas kamu menghancurkan hati saya, dan sekarang kembali untuk melakukan hal yang sama. Jika terjadi sesuatu dengan rumah tangga saya. Sudah jelas siapa penyebabnya. Pergi kamu dari rumah saya dan jangan pernah datang lagi. Pergi!" Tidak ada yang tersisa di dalam sini, kecuali benci. Vera berbalik dengan tangis tersedu, segera masuk mobilnya dan secepat kilat berlalu dari hadapanku. "Ayah, kenapa Bunda nangis? Anterin Yesha ke tempat Bunda." Tangan mungil itu menarik-narik kemejaku. Tangisnya makin menambah kekacauan otak ini. "Ayo masuk!" Aku menuntunnya untuk masuk. Namun, beberapa kali langkah
"Apa-apaan ini?" Bukan lagi tatapan teduh yang kudapatkan Mas Riko. Justru kebalikannya, terlebih saat menyadari bahwa di sana ada Mbak Vera. "Mas, aku bisa jelasin." Aku mencegah tubuh tegap yang ingin menumpahkan kemarahan pada sang mantan. Perkiraanku ternyata meleset, Mas Riko pulang lebih awal. Bodohnya aku tak menyadari bahwa mobil itu sudah terparkir di dalam. "Apa maksud kamu melakukan segala cara untuk mendekati anak saya? Kamu memaksa istri saya untuk mempertemukanmu dengan Yesha?"Tenagaku kalah kuat dari Mas Riko. Dengan mudah dia sedikit mendorongku ke pinggir lalu berdiri tepat di depan Mbak Vera. Emosi lelaki itu telah sampai pada puncaknya. "Enggak gitu, Mas. Apa salah jika aku ingin menebus semua kesalahanku. Dan ingin dekat dengan darah dagingku sendiri?" Netra indah itu memerah, tak lama air matanya terburai. Sayang, tak mampu melumpuhkan amarah lelaki di hadapannya. "Ingin dekat katamu? Kamu pikir semudah itu saya mengizinkannya, setelah apa yang sudah kamu la
"Welcome back, Bumil!" Risma memelukku erat, gemas, kangen campur bahagia. "Kok, tahu, sih?" Aku menepuk pundak Risma keheranan. Lantas melepaskan genggaman tangan Yesha, karena sudah sampai di depan kelasnya. "Kemarin aku ketemu sama Mira di mal. Cerita, deh, itu anak. Selamat, ya, Sayangku! Oleh-oleh dari Jogja ternyata luar biasa, gak kebayang gimana senengnya suamimu, Ran." Sahabatku terus menerus menyerocos sembari merangkul diri ini memasuki ruangan guru. "Jelas seneng banget, lah. Saking excited-nya sampai rempong banget ngelarang ini itu." Bagaimana tidak disebut rempong, capek dan mual sedikit saja sudah mengomel. Tidak boleh mengerjakan ini itu, tidak boleh makan sembarangan. Harus yang sesuai dengan anjuran dokter. "Aduh, so sweet banget, sih! Betewe, oleh-oleh buat aku mana?" Risma senyum-senyum sambil menaik-turunkan alisnya. "Tenang! Bukan cuma buat kamu aja. Tapi buat bunda-bunda di sini juga. Bagiin sana!"Aku mengeluarkan kotak-kotak kecil dalam plastik besar ya
"Maafkan Ibu, Ran. Kalau ibu tahu kamu hamil, gak bakalan ibu biarin kamu kecapaian." Ibu mertuaku mengelus-elus perut ini. Seakan menyesalkan sakitku kemarin. "Enggak, papa, Buk. Alhamdulillah, dokter bilang kalau Ranty dan calon cucu Ibuk baik-baik saja." Kuraih telapak tangan dengan jari-jari kurus itu, lantas memeluk dan menciumnya. Pagi ini, keluarga kecilku pulang lagi ke Tangerang. "Sehat-sehat, nggih, Pak!" Sekarang bergantian pamit dengan ayah mertua. "Hati-hati, Nduk! Jangan lupa kalau sudah sampai, langsung kabari bapak," pesan lelaki berpeci hitam tersebut. "Enggih, Pak." "Ko, jaga istri dan anakmu dengan baik. Kamu harus lebih sabar, biasanya perempuan hamil itu lebih sensitif. Kalau ngidam sesuatu, turutin! Jangan ditunda-tunda." Aku tersenyum simpul mendengar wejangan Ibu untuk anak lelakinya. "Enggih, Buk. Pasti Riko jagain baik-baik. Yesha, salim dulu sama eyang!" titah pria penyabar itu. Anak gadisku menuruti perintah sang ayah. Peluk cium dari kakek neneknya
"Cukup, Mas. Aku sudah kenyang." Aku menolak suapan bubur hangat yang disodorkan Mas Riko ke mulut ini. "Belum habis separuhnya, Ran. Harus dipaksakan. Kata Ibu, dari siang perutmu belum terisi." Lelaki itu tetap memaksa, tetapi belum sampai sendok itu mencapai mulut. Perutku kembali mual dan ingin mengeluarkan seluruh isinya. Beruntung aku bisa menahannya. "Oke, oke. Minum dulu!"Melihatku demikian, Mas Riko menyerah dan meletakkan mangkok tersebut di atas meja. Jujur, aku kasihan karena Ibu sudah bersusah payah membuatnya. Namun apa daya, perut ini belum bisa diajak kompromi. Teh hangat yang kuteguk hingga tersisa setengah gelas, lumayan menetralisir gejolak perutku tadi. "Mas tidur saja, ini sudah larut malam!" titahku. Mas Riko menggeleng, malah duduk bersandar di kepala ranjang dan meraih kepala ini agar merebah di pangkuannya. Lantas mengusap rambut yang kubiarkan tergerai tanpa balutan hijab. "Maaf, ya, Ran. Saya menyuruh kamu ke sini harusnya bisa sekalian untuk refreshi