Renata merasa serba salah dalam menengahi permasalahan Dylan dengan Damar, yang menurut Renata adalah kecemburuan akan kasih sayang seorang ayah. Dylan sudah pasti merasa kesal dengan sikap ayahnya yang selalu membela Damar. Akhirnya Renata hanya menanggapinya dengan mengangkat bahu. Mungkin karena Renata juga adalah anak tunggal, jadi dia mengerti bagaimana perasaan Dylan ketika tiba-tiba ayahnya berbagi kasih sayang dengan orang lain yang dianggap anak olehnya. Namun Renata tak habis pikir mengapa Damar ikut membenci Dylan.Renata juga tak menyangka bahwa suami dari Camelia adalah Damar, selama ini Renata menyangka suami Camelia adalah Bramantyo, karena Camelia pernah mengatakan kepergian Yasmine diatur oleh suaminya.‘Apakah itu artinya Pak Damar yang menginginkan Yasmine untuk pergi dan menetap di luar negeri?’ pertanyaan Renata yang hanya diutarakanya dalam hati saja.“Aku antar kamu ke rumah?” akhirnya Dylan membuka percakapan setelah sekian lama mereka berdua terdiam dalam perj
“Renata..” Dylan menepuk-nepuk pipi Renata pelan.“Senooo...”Renata masih saja memanggil-manggil nama Seno dengan mata yang masih terpejam, Dylan menjadi panik dan mengguncang tubuh Renata.“Renata.. bangun Re, kamu hanya mimpi, sadarlah Re”Mata Renata tiba-tiba terbuka. “Seno...Seno..”“Re? Kau sudah bangun?”Renata menatap sekelilingnya, beberapa saat baru dia tersadar bahwa dia masih berada di dalam mobil Dylan.“Kamu mimpi apa Re?” Dylan mengusap lembut kening Renata yang bercucuran keringat.“Seno... dia... ada api, disana ada api”“Sshh... kamu tenangkan diri kamu dulu, ini minumlah” Dylan menyodorkan air putih kemasan botol pada Renata.Renata membetulkan posisi duduknya dan menerima botol minuman dari tangan Dylan.“Aku bermimpi, tapi... aku merasakan mimpi itu begitu nyata” ucapnya setelah meneguk hampir seluruh isi dari botol yang diambilnya tadi.“Kau mengigau dan terus memanggil nama Seno, memangnya kau bermimpi apa?”Renata pun menceritakan semua yang di lihatnya dalam
“Kita harus pergi Re” Dylan buru-buru mengamit lengan Renata dan membawanya pergi dari sana. “Kak Dylan kenapa sih? Aku masih harus memastikan kalau itu benar-benar sama seperti dalam mimpiku” protes Renata “Dan jika itu memang benar-benar sama bagaimana? Apa kau akan membahayakan dirimu sendiri dengan berdiam disana dan membiarkan orang itu mengetahui bahwa kau tau apa yang dia sedang lakukan?” Renata terdiam, dalam hati dia membenarkan apa yang dikatakan oleh Dylan. “Kita akan kembali kesini lagi, tapi sebelumnya kita harus ke rumahku dulu” Dylan langsung membuka pintu mobilnya untuk Renata saat keduanya sudah berada di parkiran. “Kenapa aku harus ikut ke rumah Kak Dylan?” “Lebih baik kau ikuti saja rencanaku Re, jangan banyak protes” Dylan dengan cepat menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan pekarangan parkir kampus mereka. karena lokasi rumah Dylan tak jauh dari kampus, dalam hitungan menit mobil yang dikendarai oleh Dylan sudah memasuki carport rumahnya. “Sekarang kit
Dylan setuju dengan apa yang dikatakan Renata, dia menoleh kesana kemari untuk memastikan keadaan sudah aman bagi mereka. Perlahan dia menuntun Renata untuk keluar dari tempat persembunyianya.“Apa yang harus kita lakukan untuk menolong Seno Re?”“Aku juga ga ngerti kak, tapi sepertinya dupa dan baskom serta nyala lilin di sana itu yang dia buat sebagai senjata untuk menyakiti Seno”Baik Dylan maupun Renata masih dalam mode berbisik saat berbicara, setelah semua dipastikan sudah aman, Dylan berjalan menghampiri lilin yang masih menyala, kemudian di tiupnya nyala lilin itu hingga padam.Perlahan suara jeritan kesakitan pun mulai berkurang. “Sepertinya itu berhasil, lalu bagaimana dengan dupa dan air di baskom ini kak?”Dylan nampak berpikir sesaat, dia berjalan modar mandir memikirkan suatu ide. “Bagaimana kalau kita tumpahkan saja airnya ke tanah itu Re?”“Menurut Kak Dylan itu akan berhasil?”“Kita tidak akan tau kalau tidak mencoba Re”“Baiklah sepertinya hanya itu yang bisa kita la
Sudah beberapa hari ini Seno tinggal di rumah Dylan, dan hampir setiap malam Dylan meributkan Seno yang menguarkan hawa dingin hingga menusuk tulang.“Seno, bisakah kau sedikit menjauh? Kau bisa membuatku terkena hipotermia akut jika terus-terusan seperti ini. Suhu udara di kamarku jadi sedingin ini pasti karena ada dirimu disini kan?” Dylan menatap tembok kosong di depanya, dia hanya mengira akan kehadiran Seno karena udara dikamarnya bertambah dingin.Seno mendengkus sebal dengan protes yang dilayangkan oleh Dylan. “Kau pikir ini kemauanku hah!? Jika bisa memilih aku juga tak ingin seperti ini, kau matikan saja AC di kamarmu”Seolah dapat mendengar apa yang di ucapkan Seno, dengan malas Dylan bangun dan turun dari ranjang untuk meraih remote AC dan mematikanya, sesaat kemudian dia sudah kembali memejamkan mata. Baru setengah jam Dylan terlelap, dia kembali bangun karena keringat yang mengucur deras karena hawa ruanganya terasa panas.Dylan yang memang tak dapat melihat Seno, dia ti
Nadia duduk di lantai, bersandar pada ranjang kamarnya, kedua kakinya di tekuk, dia duduk dengan memeluk lutut.“Apa yang harus kukatakan pada Renata dan Yoke? Aku malu”Satu tangan Nadia mengusap kedua matanya yang basah, satu sisi dia merasa malu pada kedua sahabatnya, di sisi lain dia merasa khawatir akan kakaknya, Wendi.Masih terbayang dalam ingatanya tentang percakapan dirinya dan Wendi beberapa waktu lalu.“Jadi sebenarnya kakak mengetahui cerita yang sebenarnya?”Wendi mengangguk lemah mendengar pertanyaan adiknya, Nadia terduduk lemas di sisi Wendi, mendengar semua pengakuan Wendi.“A..apa kakak ehm.. hamil?” Wendi tampak ragu-ragu mengutarakan pertanyaanya, matanya berkaca-kaca menatap Wendi.“Tidak, aku selalu memintanya memakai pengaman saat kami sedang melakukan ehm… itu”“Ya ampun kakak, kenapa kakak mau saja sama si kambing cap playboy itu? rugi banget, kakak kebagusan buat dia.” Nadia mengepalnya kedua tanganya nampak gemas sambil menatap Wendi.“Kebalik. Playboy cap k
Sesuai janjinya pada Wendi, hari ini Nadia mengantarkan kakaknya menemui seorang psikiater. “Kakak tenang saja, aku akan ada selalu bersama kakak, apapun yang kakak pernah lakukan, aku akan selalu mendukung kakak”“Terimakasih Nad, maaf kalau karena kondisi kakak yang sering sakit-sakitan kamu jadi hidup terpisah dari mama papa”“Jangan ungkit hal itu, buktinya aku baik-baik saja kan hidup bersama atok di desa sana”Motor yang dikendarai kedua kakak beradik itu akhirnya sampai di sebuah gedung perkantoran, mereka kemudian mengkonfirmasikan kedatangan mereka pada salah satu staff administrasi. Karena ini adalah kali kedua Wendi berkonsultasi, maka staff admin tersebut sudah mengenalinya. Mereka dipersilahkan untuk menunggu beberapa saat sebelum nama Wendi dipanggil.Tangan Wendi saling bertaut, dia nampak gelisah. Nadia mengusap bahunya untuk memberikan kekuatan pada saudarinya. Saat petugas admin memanggil namanya, Nadia turut masuk ke ruangan konsultasi atas permintaan Wendi.Dengan
Satu minggu kemudian.Di Bandara Soekarno-Hatta, tampak seorang wanita cantik tengah menuruni tangga pesawat yang baru saja landing. Kaki jenjangnya melangkah dengan anggun dan percaya diri, satu tanganya menuntun seorang bocah laki-laki berusia 2 tahun yang berjalan pelan disampingnya. Kacamata hitam menghiasi wajah wanita tersebut, menjadikanya terlihat semakin elegan dan mewah.Sementara itu di ruang tunggu kedatangan Dylan berjalan mondar mandir, seperti sedang menanti kedatangan seseorang.“Dylan..”Laki-laki muda yang usianya baru genap 21 tahun itu menoleh dan mendapati wanita cantik yang memanggilnya dengan suara khasnya yang lembut.“Yasmine? Kau Yasmine kan?”“Memangnya siapa lagi? Seingatku aku tidak memiliki saudari kembar identik”Dylan memperhatikan penampilan Yasmine dari kepala hingga ujung kaki. “Kamu… cantik”“Thanks, by the way… kamu disini sedang apa? Jangan bilang bahwa orang yang menjemputku itu adalah kamu?”“Ehm… ituu.. iya, papa tadi menyuruhku untuk menjemput