Aku berpikir keras dengan permintaan Nyai untuk memberikan suamiku kepadanya. Apa yang harus aku jawab?
Sementara Mas Darman hanya terdiam tak memberi masukan. Apa saat ini dia marah? atau menyerahkan semua keputusan ini kepadaku?Tiba-tiba saja aku perasaanku berubah gamang. Ya, wanita mana yang mau berbagi ranjang dengan orang lain. Jangankan ranjang, bahkan berbagi cinta saja sudah sangat menyakitkan."Dek, kalau kamu tidak mau, jangan kita teruskan. Ini pasti akan menyakitimu," bisik Mas Darman tiba-tiba.Seketika aku menelan ludah, dadaku benar-benar sesak. Akan tetapi, setan seolah berkata, "Sakit mana jika dibandingkan dengan hinaan dari mereka di luar sana?"Mataku terpejam sejenak lalu menarik napas beberapa kali. Baiklah, aku tak ingin semua berakhir sampai di sini."Saya setuju, Nyai," ucapku lantang. Aku tahu ada rasa kecewa di hati Mas Darman setelah ini. Begitu juga dengan perasaanku.Terlihat dari sudut mata, Mas Darman menoleh dan menatapku murka. Aku tidak peduli, dia yang sudah memaksa melakukan ini dengan penghasilannya yang pas-pasan. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Tidak ada penghinaan kalau tidak ada penyebabnya.Nyai tersenyum simpul ke arahku."Baik, jika begitu tinggalkan tempat ini!" perintah Nyai.Aku mengangguk dan memberi penghormatan terakhir untuk Nyai. Lantas bergegas pergi tanpa menoleh ke arah Mas Darman.Langkahku terasa gontai, pikiranku hanya terpusat pada Mas Darman di sana. Mengapa aku menjadi manusia yang paling jahat saat ini?"Aku tidak menyangka, jika harta bisa membuat seseorang menjadi buta mata dan hati," ucap Ki Kusno memecah keheningan di tengah perjalanan kami.Sunyi kembali.Aku tidak ingin menanggapi perkataan Ki Kusno. Itu hanya akan membuat perasaan bersalah ini kian bergemuruh. Apa? tidak, aku tidak boleh merasa bersalah. Miskin hanya akan menjadikan kita manusia paling hina di antara manusia yang kaya.Perjalanan ini berakhir. Aku baru saja sampai di rumah yang pengap milik Ibu mertua. Kubuka pintu kamar Ibu dan menatap wanita yang sudah tak berdaya itu. Seperti biasa, dia hanya berbaring karena sakit yang dideritanya.Kembali kututup pintu dan segera ke kamar untuk beristirahat.Mataku kembali disuguhkan pada pemandangan yang tak pernah berubah, kamar kecil dengan empat orang penghuni. Aku, Mas Darman dan ke dua anakku. Lisa dan Fahmi. Aku menghampiri anak-anak di tengah tidurnya yang lelap."Ibu ... Ibu dari mana?" tanya Lisa, anak perempuanku yang berumur 17 tahun. Sepertinya dia terbangun karena suara pintu yang berdecit. Maklum saja pintu sudah kusam termakan usia."Ibu baru pulang mencari kerja," jawabku singkat."Ayah mana?"Apa yang harus aku jawab pada Lisa?"Ibu lelah, kamu lanjutkan tidurmu!" aku membaringkan diri dan membelakanginya. Lagi-lagi rasa bersalah ini muncul, rasa yang membuatku ingin memutar waktu untuk tidak melakukan semua ini.Sudah seminggu Mas Darman tidak ada di rumah, apa lagi Fahmi selalu merengek menanyakan Ayahnya yang tak kunjung pulang. Mungkin karena umurnya masih lima tahun, masih membutuhkan figur ayah di sampingnya.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu, siapa yang bertamu sepagi ini?"Sebentar!" aku menghentikan aktivitas mencuci piring dan segera membuka pintu.Mataku dibuat tak percaya dengan seseorang yang datang di pagi ini."Mas, Darman," ucapku yang memegang pundaknya, menatap tubuhnya dari atas sampai bawah berharap jika ini memang suamiku yang pulang dengan keadaan selamat."Iya, Marni. Aku sudah pulang." Dia langsung memelukku erat. "Ayo, masuk! aku punya hadiah untukmu," ajaknya sambil mengangkat keresek besar yang ia perlihatkan padaku.Kami segera masuk, dan bergegas menuju kamar. Tanpa menunggu waktu, Mas Darman menumpahkan isi keresek yang membuat mata ini terbelalak. Emas yang banyak dan setumpuk uang kertas yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Mulutku ternganga, menyaksikan sesuatu yang sangat luar biasa untuk orang miskin seperti kami."Kita kaya, Mas?""Iya, Marni. Kita kaya, kita jadi orang kaya."Aku dan Mas Darman berpelukan melepas kebahagiaan yang baru saja dimulai."Tapi, Mas. Apa yang terjadi di sana?" tanyaku melepaskan pelukan.Mas Darman tertunduk, ia terlihat memikirkan sesuatu. Rasa penasaran ini semakin kuat dengan sikap bungkamnya."Duduklah! akan kuceritakan."Aku mengangguk dan mengikutinya untuk duduk di tepi ranjang."Saat itu ...."°°°Aku tak menyangka jika Marni bisa mengorbankanku sebagai ambisinya menjadi kaya, bahkan dia tidak memberiku kesempatan untuk menolak atau menerima tawaran Nyai saat ini. Ada apa denganmu Marni? Hatimu sudah benar-benar buta. Jika aku tidak menghargai keberadaan Nyai, aku sudah beradu argumen dengannya.Marni melangkah kakinya keluar gua tanpa menoleh ke arahku sedikit pun."Sialan! bisa-bisanya dia meninggalkanku dalam keadaan seperti ini," cercaku dalam hati."Darman, ikutlah denganku!"Aku hanya bisa mengangguk dan mengikuti langkah Nyai. Sepertinya ia akan membawaku masuk lebih jauh lagi ke dalam gua ini. Takut, aku sangat takut jika ia akan menjadikanku tumbal atau membunuh, bahkan mencabik tubuhku untuk jadi persembahan para jin di dalam sana."Ini gara-gara kamu, Marni," umpatku dalam hati.Mataku terbelalak melihat ruangan kamar yang begitu indah dengan hiasan ornamen berwarna hijau dan wangi bunga-bungaan yang begitu menyengat."Ampun, Nyai. Kenapa saya dibawa ke sini?" tanyaku memberanikan diri.Nyai tertawa dengan begitu menggelegar. Tiba-tiba saja tubuhnya mengeluarkan cahaya yang begitu menyilaukan dan mataku tertutup seketika.Apa benar yang aku lihat? Siapa yang kini ada di hadapanku? wanita cantik berkebaya merah dengan sanggul yang membuatnya terlihat begitu anggun. Apa ini Nyai? Nyai merubah penampilannya? Tapi untuk apa?"Tidak usah kaget, Mas. Aku yang akan menemanimu malam ini," ucapnya dengan suara yang lembut.Dia menghampiriku dan membuka semua yang melekat di badan ini. Aku menikmatinya, menikmati semua adegan demi adegan malam ini. Pasrah, hanya bisa pasrah saat raga ini bersatu dengannya. Ketakutan berubah menjadi kenikmatan yang tidak pernah kudapatkan dari Marni. Wanita ini membuatku lemah dalam semalam.Kami merebahkan badan istirahat dari sisa lelah yang melanda. Wanita itu tersenyum dan masih bersandar di dadaku. Tidak ada wajah Nyai yang datar dan tegas, yang ada hanya seorang wanita luwes dan juga anggun."Setelah pulang nanti, katakan pada istrimu jika aku meminta ruangan khusus untuk pemujaan dan penyambutanku," ucapnya manja."Baik, Nyai. Ada lagi?""Setiap malam Jumat, siapkan sesajen seperti biasa. Tapi, aku minta lima ekor ayam hitam sebagai tumbal."Semudah itu mendapat kekayaan? kenapa tidak dari dulu aku melakukan semua ini."Kamu jangan senang dulu, Mas."Apa maksud dari perkataannya? apa dia bisa membaca pikiranku?"Setiap bulan purnama, aku minta tumbal manusia. Apa kamu sanggup mencari korban untuk persembahan sebagai wujud kesetiaanmu?"***"Begitu ceritanya, Marni," jelas Mas Darman.Cerita mas Darman sedikit membuatku cemburu. Tapi aku harus menghapus rasa ini, aku harus bersikap tidak peduli. Buktinya semua yang kuinginkan sudah dalam genggaman."Marni, siapa yang akan kita korbankan untuk persembahan pertama pada Nyai? tidak mungkin kita menumbalkan anak kita sendiri 'kan?"Aku berpikir, bagaimana caranya agar semua berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Sebuah ide gila menari-nari dalam pikiranku, tapi apa Suamiku akan menyetujui ideku ini?"Mas, aku punya seseorang yang akan kita tumbalkan. Tapi, aku takut kamu tidak setuju," jelasku pada Mas Derman."Siapa?""Ibumu ...."Semua usaha sudah pasti akan ada hasilnya. Sama seperti yang aku alami saat ini. Bedanya, semua seakan mimpi karena terlalu singkat dan instan.Di sinilah aku sekarang, berdiri seraya menghirup aroma kebebasan. Aroma kemewahan. Kehidupanku kemarin, sudah aku tinggalkan. Tidak akan pernah jadi kenangan indah karena tidak ada yang indah saat itu.Mataku berbinar seketika kala menatap rumah mewah dengan tersenyum puas. Yang kami lakukan setelah mendapat harta adalah membeli rumah layak dan meninggalkan rumah kumuh milik ibu mertuaku. Rasanya ingin segera memamerkan segalanya pada mereka yang kemarin meremehkanku."Bagus sekali rumahnya, Bu," ucap Lisa dengan sangat antusias.Senyumku semakin lebar melihat anak-anak yang begitu bahagia dengan rumah barunya. Rumah dua lantai dengan dominasi cat berwarna putih dan gold memberi kesan mewah dan elegan. Kami sudah mengatur semua kamar masing-masing termasuk kamar ritualku untuk bertemu dengan Nyai."Mas, antarkan Ibu ke kamar! Aku ingin bicara
Aku menggosok mata dan melirik jam dinding dengan rasa kantuk yang luar biasa. Ternyata aku terbangun di tengah malam, karena jam menunjukkan tepat pukul dua belas malam. Badanku terasa lelah setelah membantu Ibu membereskan barang saat pindahan. Rasanya semua ini hanya mimpi. Aku memiliki kamar bagus karena biasanya kami tidur dalam satu ruangan dengan berdesak-desakkan. Pengap, panas, bahkan ingin mendapat angin pun harus memakai kipas tangan.Sekarang aku tidak menyangka, Ibu dan Ayah bekerja dengan giat hingga bisa membeli rumah semewah ini. Sekarang aku punya AC sendiri di kamar, tidak kegerahan lagi seperti kemarin. Entah mengapa rasanya malam ini haus sekali. Aku harus turun ke bawah untuk mengambil air minum. Ternyata tidur di lantai atas cukup merepotkan sampai harus menuruni anak tangga dengan suasana yang begitu gelap. Ya, di sini gelap dan dingin. Sesekali kuusap tengkuk karena hawa aneh yang begitu menusuk, ditambah bau melati yang begitu menyengat. Akhir-akhir ini Ibu
Aku masuk ke sebuah kamar dengan membawa sarapan di atas nampan dan meletakannya pada meja sisi ranjang. Gorden masih tertutup rapat. Kubuka perlahan agar matahari pagi ini bisa masuk dengan leluasa.Gadis itu masih terlelap. Kubelai pucuk kepalanya dengan lembut sampai akhirnya mata itu mulai terbuka perlahan. "Ibu ...!" Gadisku memeluk dengan erat sembari menangis ketakutan. Aku hanya membalas dekapan itu dengan membelai rambutnya yang panjang."Tenanglah, Lisa!" Aku mencoba menjadi sosok ibu yang selalu ada di saat ia membutuhkan."Aku takut, Bu," ucap putriku lirih. Aku tak bisa berkata apa-apa selain membalas pelukannya yang begitu erat dengan tubuh bergetar hebat."Ibu, tunggu!" Lisa melepaskan pelukannya. "Apa yang terjadi padaku, Bu?" Aku hanya tersenyum dan menghapus air mata yang sudah membasahi pipi merahnya. "Katakan, Bu!" "Ibu tidak tahu, Lisa. Ibu hanya mendengar teriakanmu. Saat masuk, kamu sudah dalam keadaan tergeletak di ujung sana," jelasku menunjuk salah satu
Bulan purnama telah tiba, hari di mana tumbal akan kami berikan kepada Nyai. Perjanjian sudah kusepakati tanpa sepengetahuan Mas Darman, ia tak boleh tahu tentang apa yang aku janjikan kepada Nyai.Kami merapikan kamar untuk pemanggilan Nyai. Sesajen dan syarat lainnya sudah tersedia dengan rapi. Entah mengapa pikiranku selalu teringat pada Lisa, padahal keadaannya berangsur pulih dan sudah bisa masuk sekolah kembali. "Marni ...!" Panggilan dari Mas Darman membuatku terperanjat. "Iya, Mas?" "Kamu kenapa?" Aku menggeleng perlahan. Dia tidak boleh tahu dengan apa yang kupikirkan. Aku akan menjadi seorang pengecut di mata Mas Darman, jika ia mengetahui ketakutan dalam hatiku tentang keadaan keluarga kami ke depannya."Apa sudah selesai semuanya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.Mas Darman yang sedang menyiapkan berbagai macam bunga berhenti dan mengangguk. "Sudah ko, Dek," ucapnya menyimpan semua peralatan di atas meja. Aku harus bertanya sekali lagi pada Mas Darman, apa dia sudah
Aku masih memandangi Mas Darman yang menangisi jenazah Ibunya. Dari dimandikan sampai dikafani Mas Darman setia disisi Ibu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Lalu, siapa yang menemani ritual malam tadi? Kami dan para warga mengiringi jenazah Ibu ke tempat peristirahatan terakhir. Suamiku terlihat sedikit tegar untuk kali ini, ia ikut masuk ke liang lahat untuk menemani Ibu yang terakhir kali. Proses pemakaman telah usai. Kami sekeluarga berjalan beriringan. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, bahkan aku tidak berani bertanya pada Mas Darman tentang kejadian yang tengah menimpanya semalam."Pak ... Bu!" Panggilan dari arah belakang membuatku menoleh. Tampak Ustaz Zul tergesa-gesa menghampiri kami. "Pak ... Bu, ada yang ingin saya bicarakan," ucapnya dengan sedikit terengah-engah. Aku segera menoleh ke arah Lisa, lantas memerintahkannya untuk pulang terlebih dahulu, "Lisa, kamu pulang duluan, sekalian bawa adikmu! Nanti kami menyusul." Lisa mengangguk da
Pria yang aku ikuti menghentikan langkahnya, tak disangka ia menoleh ke arahku yang berdiam diri di sudut jalan yang gelap. Seperti dugaanku, seketika dia pun menghampiri."Bu Marni, sedang apa di sini?" tanyanya dengan wajah kebingungan.Aku hanya tersenyum tipis dan berbalik membelakanginya, berharap dia mengikuti langkahku yang sengaja dipelankan. Orang lain akan melihatku sebagai Marni. Penyamaran yang bagus, bukan?"Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanyanya kembali. Langkah ini terhenti di sebuah tempat tak berpenghuni. Gelap, serta gemercik hujan kian membasahi permukaan tanah."Kau sudah mencampuri urusanku, Pak tua," ucapku datar tanpa menoleh ke arahnya."Astagfirullah hal Adzim, siapa kamu?" Aku berbalik badan dengan memperlihatkan setengah sosokku. Mata merah, wajah bersisik, dan gigi bertaring, serentak membuatnya terperanjat. Aku memang meminjam tubuh Marni, tetapi wujud asliku tetap bisa kutampakkan dengan sesuka hati."Kau ... kau jelmaan siluman. Untuk apa berada di tubu
Memegang benda pipih berwarna putih dengan dua garis merah. Sudah kuduga ternyata memang hamil, pantas saja beberapa hari ini sering mual dan terlalu mudah lelah. Aku kembali membasuh muka, memandang wajah yang sudah sangat basah. Namun, entah mengapa hawa aneh seketika menyeruak. Ah, mungkin hanya pikiranku saja. Kuambil handuk dan mengelap sisa-sisa air yang menempel di kulit. Selintas ujung mataku menangkap bayangan di cermin. Aku terperanjat dan berbalik arah, tapi tak ada siapa pun di sana. Lantas berbalik kembali menghadap cermin.Kuusapkan kembali handuk, tetapi belum sempat membuka mata ada sesuatu yang menggerayang dari belakang tepat mengenai perut. Kubuka mata sedikit demi sedikit, terlihat sebuah tangan berwarna hijau dengan kuku yang sangat panjang, hitam pekat. Ia mengelus perutku dengan hati-hati. Jantungku berdegup kencang, napas ini terasa begitu sesak. Ingin sekali berteriak, tapi bibirku seolah membisu seketika. Belum cukup sampai di sana. Kini sebuah rambut ber
Aku mengompres kening Lisa karena demam yang cukup tinggi. Setelah kejadian kemarin ia jatuh dari tangga, badannya menggigil disertai ocehan yang tidak jelas. "Jangan ... aku mohon, jangan!" ucapnya berkali-kali dengan mata tertutup. Ada apa dengan anak ini? Aku merasa berdosa sudah membuat dia jadi seperti ini. Apa yang Lisa ceritakan sama persis dengan yang kualami di kamar mandi. Sebelum sakit, Lisa sempat bercerita bahwa ada sepasang tangan dengan kuku yang panjang menyeretnya dari belakang. Ciri-cirinya sama seperti tangan yang sudah mengelus perutku.Aku terperanjat saat suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku."Masuk!" ucapku, sambil membulak-balikan kain yang di gunakan untuk mengompres.Mas Darman membawa seorang dokter muda, berwajah tampan dengan lesung pipi yang membuatnya terlihat semakin menawan. "Assalamualaikum, Bu. Saya Andi, dokter di kampung ini," tuturnya dengan sangat ramah. "Bapak sudah menceritakan sakitnya Lisa, tapi saya akan memeriksanya dulu. Permisi,
Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud
Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila
Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini
Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa
Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb
Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad
Saat Lisa pergi ke taman, Bu Nyai mendatangi Dokter untuk hasil pemeriksaan kemarin. "Apa yang terjadi, Dokter?” tanyanya. Bu Nyai tak sabar.Dokter tampak mengembuskan napas berat. “Semua indra di tubuh Lisa tidak bekerja dengan baik. Hanya mata yang dapat melihat, itu pun pandangannya buram. Kami masih memeriksa bagian yang lain. Pasti kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.”Penjelasan dokter masih belum dimengerti sepenuhnya baik oleh Kyai dan Bu Nyai, atau pun Andi. Rasanya mustahil hal itu terjadi pada Lisa yang tidak mengalami kecelakaan apa pun.Setelah kejadian malam itu, kondisi Lisa sangat mengkhawatirkan sehingga mereka memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Tubuhnya sama sekali tidak merespons apa pun. Baik suntikan, infus mau pun obat-obatan. Dia hanya tergeletak hampir seperti mayat hidup, dan itu berjalan selama kurang lebih dua bulan lamanya.Kini ... setelah Lisa sudah bangun, malah kenyataan pahit ini yang mereka terima. Apa sebenarnya yang dijanjikan Da
Aku mengerjap beberapa kali. Cahaya terang begitu menyilaukan mata, hingga pandanganku sulit beradaptasi.Cukup lama aku seperti itu, sampai perlahan aku bisa membuat mata dengan sempurna. Kedua netra mengedar ke sekitar. Tidak asing.Ruangan serba putih dengan bau khas yang menusuk hidung. Aku tentu tahu peralatan yang ada di ruangan ini. Belum lagi dengan pakaian biru muda yang melekat di tubuh ini. Menegaskan bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit.Ada beberapa orang dokter tersenyum entah sebab apa. Mereka terus memeriksa infus yang terhubung ke tangan kiriku. Lalu beberapa peralatan yang aku tidak tahu apa namanya.Indra pendengaranku tidak bisa menangkap apa yang sedang mereka bicarakan. Bibir mereka bergerak-gerak seperti sedang berbicara satu sama lain, tetapi aku tidak bisa mendengar apa pun.Seluruh tubuhku rasanya sakit, bahkan untuk menggerakkan jari telunjuk rasanya sangat sulit. Aku hanya bisa melihat, menoleh ke sana ke mari dengan perlahan. Masih mencerna apa
Entah sudah berapa lama Lisa duduk di atas sajadah. Tak ia pedulikan lagi rasa kebas yang menjalar di sekujur kaki. Yang ia tahu, dirinya harus terus di atas sajadah ini sampai Bu Nyai sendiri yang akan memberitahu kapan ia boleh berhenti berzikir.Makin lama ada rasa yang menjalar ke bagian atas tubuh. Bukan kebas seperti di kaki, tetapi lebih seperti rasa panas. Ingin sekali rasanya beranjak untuk meminum setidaknya seteguk air, hanya saja peringatan dari Bu Nyai syukurnya lebih mendominasi. Ini ujian, ia harus kuat, harus sanggup melewatinya. Lisa tidak tahu apa yang dialami Kyai Ilham dan rombongan di dalam hutan sana. Kalau hanya rasa panas tentunya akan harus bisa menahan.Rasa panas itu semakin menyiksa. Seperti siap kapan saja membakar raga. Berulang kali ia tersengal menahan sesak karena panas itu makin naik ke bagian kepala.Mata Lisa terbelalak saat merasa ada sebuah benda yang melilit leher dengan kuat. Ia meraba-raba bagian tersebut, tetapi tidak ada benda apa pun yang me