Malam ini, aku sudah berada di rumah Mas Suryo. Sambutan keluarga yang hangat kami terima dengan baik, bahkan di meja sudah disediakan beberapa gelas minuman dan sekedar camilan. "Kalian pindah ke mana? Sudah merasa kaya sepertinya, bahkan sudah sepekan baru berkunjung kemari," ucap pria berkepala plontos itu. Mimik wajah sinis yang paling tak kusukai. "Ada, Mas. Kami--" "Kami pindah ke rumah yang lebih layak," sambungku memotong ucapan Mas Darman. Aku memang melarang suamiku untuk pamit saat pindah rumah dulu. Aku malas, karena Mas Suryo selalu memperlihatkan ketidaksukaannya pada keluarga kami. Apa lagi jika dia tahu keadaan keluargaku sekarang. "Bagaimana dukun yang sudah kutunjukkan pada kalian, apa sudah kalian datangi? Jika sudah, tentunya kalian sudah kaya, bukan?" Pertanyaan yang dibarengi dengan seringaian itu membuatku muak. Sikap sombongnya sampai saat ini masih terlihat jelas, padahal dia bukan orang berada. Dia hanya bekerja di perkebunan dan di percaya sebagai mand
Aku mengikuti langkah Mas Darman. Sesampainya di luar rumah, angin berembus begitu kencang sampai mengibas rambutku. Ini seperti kehadiran Nyai. "Marni, kita lakukan penumbalan Mas Suryo," ucap Mas Darman datar. Aku bahagia mendengar kata-kata itu. "Tidak, Mas. Aku ingin membuat dia mati dengan perlahan. Dengan caraku sendiri." ***Bau dupa sudah tercium, kepulan asap pun memenuhi kamar Lisa. Seperti yang dijanjikan oleh Ki Kusno, hari ini dia datang ingin melihat keadaan Lisa sekaligus mengobatinya. Sudah lima hari ini Lisa terbaring dan tidak memberikan respons sama sekali, padahal badannya sudah tidak terasa panas. Ki Kusno sudah bersila di atas kain putih dengan alat-alat ritual. Kami pun duduk di belakangnya sesuai dengan arahan yang diberikan. Mantra mulai dibacakan. Namun, bulu kuduk ini seketika merinding. Hawa aneh saat ritual memanggil Nyai, tidak seseram hawa sekarang yang sedang menyelimuti kami.Jendela mulai terbuka cukup kencang, angin berembus diikuti dengan cahaya
"Assalamualaikum." Ucapan salam terdengar dari balik pintu, dibarengi dengan ketukan beberapa kali. "Wa'alaikumsalam ... masuk, Pak." Pria paruh baya itu tampak tersenyum melihatku sedang membereskan peralatan salat. Ya, aku baru saja selesai menunaikan salat Isya. Aku bergegas menghampiri Bapak yang sudah duduk di atas ranjang. "Ada apa, Pak?" tanyaku, meletakkan kopiah dan sajadah di atas meja kecil samping ranjang. "Bapak khawatir, Nak." Aku mengernyit menatap Bapak yang wajahnya tampak penuh kegelisahan. Entah apa yang Bapak khawatirkan, tetapi aku berusaha tersenyum dan meresponsnya dengan baik. "Apa yang Bapak khawatirkan? Aku sudah dewasa, bisa menjaga diri, Pak." "Kamu jangan terlalu masuk ke dalam masalah keluarga pasien. Apalagi Bapak merasa merinding saat kamu bercerita sesuatu yang kamu lihat di rumahnya Pak Darman," tutur Bapak mengusap tengkuknya. Aku hanya tersenyum mendengar ungkapan perasaannya sebagai orang tua. Memang cukup mengerikan saat aku merasakan hawa
Hawa aneh mulai sangat terasa, bau busuk yang begitu menusuk membuat perut sedikit mual. Ada hal yang membuatku menelan ludah, saat tengkorak manusia berserakan di mana-mana. Bahkan ada tengkorak yang masih terbalut daging yang mulai menipis dan busuk. "Allahu Akbar. Kau maha pengasih dan penyayang, segera tunjukan hal apa yang membuatku masuk ke dalam sini." Doa dan kalimat istigfar menemaniku. Walau jantung berdegup kencang, tapi aku mencoba menepis segala rasa takut yang hinggap. Tunggu! Aku mendengar suara perempuan yang menangis tersedu-sedu. "Siapa di sana? Apa ada orang?" Aku tidak boleh terlena dengan tipu muslihat setan. Mungkin itu adalah jin nakal yang mencoba mengganggu dan mengarahkanku untuk berjalan menghampirinya. "Tunjukan wujudmu, mengapa kau membawaku kesini!" teriakku, berharap ada sosok yang mau menampakkan wujud aslinya. Tangisan itu semakin mengeras. Jika itu keinginannya, akan aku ikuti sampai ke mana pun. Aku mencoba mengarahkan langkah ini ke arah sum
Aku tersenyum puas melihat kotak hitam berisi tumpukan kertas merah dan benda kuning berkilauan hasil pemujaanku malam tadi. Malam tadi Nyai memberikan nilai yang sangat fantastis karena Mas Darman sudah mengabulkan permintaan Nyai untuk memenuhi segala hasratnya.Cemburu, tentu saja awalnya seperti itu. Aku harus meninggalkan suamiku memadu cinta dan kasih dengan wanita lain, tetapi semua rasa itu hilang saat semua terbayar dengan hal yang sangat kucintai di dunia ini. Aku yakin sebagai lelaki normal, Mas Darman pun tidak akan menolak dengan wujud Nyai yang cantik.Isi kotak sedang kuhitung. Namun, suara bel terdengar berbunyi beberapa kali. Aneh, mengapa ada tamu sepagi ini. Rumah ini tak pernah terjamah oleh tamu. Keluarga kami menutup akses untuk warga untuk berkunjung kemari.Aku segera menyimpan kotak di lemari tempat biasa, dan bergegas melangkahkan kaki ke arah pintu luar untuk melihat siapa yang berani menginjakkan kaki ke rumah ini. Aku terdiam beberapa detik, menatap seseor
Mas Darman mengarahkan matanya ke arah Lisa. Sementara aku masih menahan embusan angin yang mengibas rambut dan pakaian yang dikenakan."Jangan mendekat!" teriak Lisa, bukan dengan suaranya. "Kau harus keluar dari tubuh anak ini!" ucap Andi dengan Lantang. Dia seolah tidak gentar dengan keadaan Lisa yang sangat mengerikan. "Pak, bantu saya memegang Lisa! Tidak usah takut, saya akan melakukan sesuatu," perintahnya pada Mas Darman. Mas Darman mengangguk dan ia menarik tanganku. Mungkin ia meminta bantuan, aku mengerti dan kami pun segera memegang kedua tangan Lisa. Ia meronta, tapi tetap tidak ada pergerakan selain mengentak-entakkan tangannya. Dalam hati ingin sekali aku menangis dan memeluknya erat. Mengapa, mengapa ini bisa terjadi pada anakku yang kukenal kuat dalam agama. Apa memang ini kesalahan kami? Apa karena persekutuan ini? Andi mengangkat kedua tangannya di hadapan kami. Ia melantunkan ayat suci Al-Quran. Lisa semakin meronta, memaksa kami melepas tangannya. Bahkan ia me
Pagi sekali aku mendatangi kamar Lisa dengan membawakan sarapan seperti biasa. Roti dan susu ditata dalam nampan yang sudah kuletakan di atas nakas. Gorden dibuka agar cahaya bisa masuk dengan leluasa, Lisa kududukkan dengan bersandar pada bantal. Perlahan goresan sisir ini mengusap rambut Lisa yang panjang dan hitam. Sesekali bibirku mengulum senyum, merasa bahagia bisa sedekat ini dengannya. "Putri Ibu sudah dewasa, pasti di sekolah sudah ada cowok yang naksir. Cerita sama Ibu ... Ibu, kan, ingin tahu siapa laki-laki yang beruntung itu," ucapku sembari menyisir rambut gadis manis ini. "Eh, sebentar lagi Ayah ulang tahun, 'kan? Mau kasih kado apa buat Ayah? Atau kita kasih kejutan saja?" "Emmm ... Ibu siap mengatur semuanya pokoknya, nanti kita hias rumah ini bersama-sama. Terus, pas Ayah datang kita nyanyikan lagi selamat ulang tahun." Aku mengoceh sendiri dengan berteman sunyi. Tidak ada jawaban atau respons sedikit pun dari Lisa. Sudut bibir ini berganti menjadi menekuk ke bawa
Sambil menggenggam tangan Fahmi, aku melangkah dengan santai menuju rumah milik Mas Suryo. Terlihat beberapa orang tampak mengobrol di teras rumahnya. Mungkin ada beberapa tetangga yang datang menjenguk. Mbak Nuri kemarin sudah bercerita tentang keadaan suaminya yang sedang sakit, sakit yang menurutnya aneh. Saat aku bertanya perihal kedatangannya mengapa harus mencariku, dia bermaksud untuk bermusyawarah masalah biaya. Manusia tidak tahu malu, tidak punya otak. Mereka sudah meludah, tapi ludah itu dilap kembali dengan perilaku polos seolah teraniaya. Tidak pernahkah mereka berpikir perasaan yang dulu, perasaan yang pernah mereka sakiti tanpa ada kata maaf yang terucap. "Mbak ... baru datang?" sapa salah seorang pria yang duduk di bangku teras rumah. "Iya, Mas. Baru punya waktu, mari ...," jawabku ramah. Aku memasuki rumah itu dan terlihat beberapa Ibu-Ibu yang sedang menjenguk. Mereka berpamitan untuk pulang, beberapa di antaranya tersenyum ramah padaku. Aku semakin penasaran deng
Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud
Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila
Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini
Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa
Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb
Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad
Saat Lisa pergi ke taman, Bu Nyai mendatangi Dokter untuk hasil pemeriksaan kemarin. "Apa yang terjadi, Dokter?” tanyanya. Bu Nyai tak sabar.Dokter tampak mengembuskan napas berat. “Semua indra di tubuh Lisa tidak bekerja dengan baik. Hanya mata yang dapat melihat, itu pun pandangannya buram. Kami masih memeriksa bagian yang lain. Pasti kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.”Penjelasan dokter masih belum dimengerti sepenuhnya baik oleh Kyai dan Bu Nyai, atau pun Andi. Rasanya mustahil hal itu terjadi pada Lisa yang tidak mengalami kecelakaan apa pun.Setelah kejadian malam itu, kondisi Lisa sangat mengkhawatirkan sehingga mereka memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Tubuhnya sama sekali tidak merespons apa pun. Baik suntikan, infus mau pun obat-obatan. Dia hanya tergeletak hampir seperti mayat hidup, dan itu berjalan selama kurang lebih dua bulan lamanya.Kini ... setelah Lisa sudah bangun, malah kenyataan pahit ini yang mereka terima. Apa sebenarnya yang dijanjikan Da
Aku mengerjap beberapa kali. Cahaya terang begitu menyilaukan mata, hingga pandanganku sulit beradaptasi.Cukup lama aku seperti itu, sampai perlahan aku bisa membuat mata dengan sempurna. Kedua netra mengedar ke sekitar. Tidak asing.Ruangan serba putih dengan bau khas yang menusuk hidung. Aku tentu tahu peralatan yang ada di ruangan ini. Belum lagi dengan pakaian biru muda yang melekat di tubuh ini. Menegaskan bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit.Ada beberapa orang dokter tersenyum entah sebab apa. Mereka terus memeriksa infus yang terhubung ke tangan kiriku. Lalu beberapa peralatan yang aku tidak tahu apa namanya.Indra pendengaranku tidak bisa menangkap apa yang sedang mereka bicarakan. Bibir mereka bergerak-gerak seperti sedang berbicara satu sama lain, tetapi aku tidak bisa mendengar apa pun.Seluruh tubuhku rasanya sakit, bahkan untuk menggerakkan jari telunjuk rasanya sangat sulit. Aku hanya bisa melihat, menoleh ke sana ke mari dengan perlahan. Masih mencerna apa
Entah sudah berapa lama Lisa duduk di atas sajadah. Tak ia pedulikan lagi rasa kebas yang menjalar di sekujur kaki. Yang ia tahu, dirinya harus terus di atas sajadah ini sampai Bu Nyai sendiri yang akan memberitahu kapan ia boleh berhenti berzikir.Makin lama ada rasa yang menjalar ke bagian atas tubuh. Bukan kebas seperti di kaki, tetapi lebih seperti rasa panas. Ingin sekali rasanya beranjak untuk meminum setidaknya seteguk air, hanya saja peringatan dari Bu Nyai syukurnya lebih mendominasi. Ini ujian, ia harus kuat, harus sanggup melewatinya. Lisa tidak tahu apa yang dialami Kyai Ilham dan rombongan di dalam hutan sana. Kalau hanya rasa panas tentunya akan harus bisa menahan.Rasa panas itu semakin menyiksa. Seperti siap kapan saja membakar raga. Berulang kali ia tersengal menahan sesak karena panas itu makin naik ke bagian kepala.Mata Lisa terbelalak saat merasa ada sebuah benda yang melilit leher dengan kuat. Ia meraba-raba bagian tersebut, tetapi tidak ada benda apa pun yang me