Home / Horor / Pesugihan Tumbal Nyai / Pilihan dari Nyai

Share

Pilihan dari Nyai

last update Last Updated: 2022-06-25 02:06:14

Aku masuk ke sebuah kamar dengan membawa sarapan di atas nampan dan meletakannya pada meja sisi ranjang. Gorden masih tertutup rapat. Kubuka perlahan agar matahari pagi ini bisa masuk dengan leluasa.

Gadis itu masih terlelap. Kubelai pucuk kepalanya dengan lembut sampai akhirnya mata itu mulai terbuka perlahan.

"Ibu ...!" Gadisku memeluk dengan erat sembari menangis ketakutan. Aku hanya membalas dekapan itu dengan membelai rambutnya yang panjang.

"Tenanglah, Lisa!" Aku mencoba menjadi sosok ibu yang selalu ada di saat ia membutuhkan.

"Aku takut, Bu," ucap putriku lirih.

Aku tak bisa berkata apa-apa selain membalas pelukannya yang begitu erat dengan tubuh bergetar hebat.

"Ibu, tunggu!" Lisa melepaskan pelukannya. "Apa yang terjadi padaku, Bu?"

Aku hanya tersenyum dan menghapus air mata yang sudah membasahi pipi merahnya.

"Katakan, Bu!"

"Ibu tidak tahu, Lisa. Ibu hanya mendengar teriakanmu. Saat masuk, kamu sudah dalam keadaan tergeletak di ujung sana," jelasku menunjuk salah satu ujung kamar.

Lisa membuang tatapannya dariku. Dari wajahnya, terlihat jika ia bingung dengan apa yang terjadi semalam. Lisa menarik lutut dan memeluknya erat, ia seperti seseorang yang kehilangan arah. Sebagai seorang Ibu, hatiku sakit melihat putri yang sangat kucintai dalam keadaan seperti ini.

"Lisa, dengarkan Ibu! Ceritakanlah semua bebanmu, ibu siap mendengarkan." Aku berusaha membujuknya, agar dia bisa melepas segala rasa yang membuatnya seperti ini.

Pandangannya kembali mengarah kepadaku. Ia mengambil kedua tanganku dan menggenggamnya erat.

"Tolong percaya padaku, Bu. Semalam saat aku mau Shalat tahajud, ada tangan yang begitu mengerikan menarik pergelangan kakiku sampai aku jatuh. Ibu melihatku masih memakai mukena, 'kan?"

"Lisa, itu hanya--"

"Ibu, aku tidak berbohong. Ibu harus percaya kepadaku, Bu."

Air mata Lisa semakin berderai, aku semakin tidak tega melihatnya seperti ini. Aku merasa menjadi orang yang begitu jahat. Namun, ego mengatakan jika semua ini untuk kebahagiaan keluarga kami.

"Iya, ibu percaya. Sekarang kamu makan dan beristirahatlah!" perintahku, menghapus air matanya kembali.

"Temani aku, ya, Bu!" pintanya merengek.

Aku hanya mengangguk. Tidak tega rasanya meninggalkan Lisa dengan keadaan bingung dan ketakutan seperti ini.

Tentu saja aku mengetahui apa yang terjadi pada Lisa malam tadi.

***

Setelah dari dapur aku kembali ke kamar. Merebahkan badan yang masih dikuasai oleh kantuk. Baru saja memejamkan mata, sayup-sayup terdengar suara teriakan minta tolong. Aku segera bangun kembali dan memastikan suara yang terdengar cukup jauh. Terlintas dalam pikiran jika itu adalah suara Lisa.

"Mas, Bangun, Mas!" Aku menggoyangkan tubuh Mas Darman beberapa kali.

"Hemmm ...," jawabnya tak peduli.

"Mas, Bangun! Itu, ada suara minta tolong." Mas Darman tak menjawab, ia malah membelakangiku dan menutup telinganya dengan bantal.

Tanpa pikir panjang aku segera turun dari ranjang dengan hati-hati, karena takut membangunkan Fahmi dan bergegas mencari di mana suara tersebut berasal. Aku menoleh ke kamar sebelah. Tidak mungkin jika Ibu mertua yang berteriak, sudah jelas jika dia tak lebih dari boneka hidup.

Anak tangga mulai kunaiki satu persatu dengan perlahan. Tengkuk ini terasa begitu dingin. Entah kenapa aku merasakan kehadiran Nyai malam ini, padahal ini bukan malam pemanggilannya. Apa mungkin Nyai sedang berada di sini, tapi untuk apa?

Aku sudah berada tepat di depan kamar Lisa. Rasanya aneh. Hawa itu semakin menguat dengan bau khas bunga melati yang tercium tajam.

"Ibu ... Ayah, tolong aku!"

Teriakan Lisa? Iya itu Lisa. Aku segera memutar knop pintu beberapa kali, tapi sepertinya terkunci dari dalam.

"Lisa, kamu baik-baik saja?"

Hening, tak ada teriakan lagi atau bahkan jawaban.

"Lisa ... Lisa, buka!" ucapku dengan sedikit mengetuk pintu.

Masih tetap tak ada jawaban.

Aku membuka paksa pintu itu dan akhirnya terbuka. Mata ini terbelalak melihat putriku yang sudah tergeletak di lantai dengan keadaan masih mengenakan mukena.

"Lisa ...!" teriakku dengan setengah berlari menghampirinya.

Bingung. Hanya itu yang kurasakan saat ini. Ada apa dengan putriku?

Aku terperanjat saat jendela tiba-tiba saja terbuka disusul dengan angin yang begitu kencang. Bebauan yang sering kuhirup kini terasa lagi. Cahaya silau itu muncul dari balik jendela, membuatku menutup mata beberapa saat. Apa itu Nyai?

"Marni ...!"

Aku segera membuka mata perlahan. Ya, kini sosok wanita berwajah tegas itu berdiri di hadapanku.

"Ampun, Nyai," ucapku menyatukan telapak tangan dan menunduk, Memberi penghormatan padanya.

"Kau pasti kaget dengan keadaan putrimu yang seperti itu," ucapnya datar namun begitu menusuk.

Aku hanya menunduk, tak berani menatap wajahnya.

"Anakmu melakukan sesuatu yang akan membuatku sulit untuk masuk ke dalam rumah ini."

Dahiku mengernyit, mencoba mencerna pernyataan Nyai.

"Apa itu, Nyai? Saya tidak paham dengan pernyataan Nyai," jelasku memberanikan diri.

"Jangan pura-pura bodoh, Marni! Anakmu akan melakukan ibadah, dan itu sesuatu yang paling tidak aku sukai."

Jantungku berdegup kencang mendengar nada bicara Nyai yang semakin meninggi. Kuingat Lisa memang anak yang taat dalam beribadah, itu pun kami yang mengajarkannya saat jalur sesat ini belum melintas dalam pikiran.

"Apa yang harus saya lakukan, Nyai?" tanyaku dengan nada bergetar.

"Apa kau sudah punya tumbal pertama untuk dipersembahkan kepadaku nanti?"

Aku terdiam beberapa saat dan meyakinkan diri dengan jawaban yang akan kulontarkan kepada Nyai.

"Sudah, Nyai," ucapku yakin.

"Siapa yang akan kau tumbalkan?"

"Ibu mertuaku, Nyai."

Seketika tawa Nyai menggelegar mengisi ruangan yang hampa. Suara gagak ikut serta membuat hawa mistis ini kian menusuk.

"Kau manusia paling jahat yang pernah kutemui, Marni!" ucap Nyai dengan setengah berteriak.

"Dendam ini sudah terlanjur melekat dalam hati. Lebih cepat dia mati, maka dendamku akan terbalaskan, Nyai."

Nyai kembali tertawa dalam keheningan. Bulu kudukku seketika merinding.

"Manusia serakah dan penuh dendam sepertimu, memang pantas mendapatkan kekayaan dariku."

Aku tersenyum tipis. Aku tak akan  setega ini jika wanita sialan itu tidak menyakiti perasaanku. Teringat dulu saat dia menghina, merendahkan, bahkan menyebutku menantu tidak berguna. Dia selalu membicarakan kejelekan menantunya pada tetangga sekitar rumah, dan itu membuat hatiku begitu terluka. Padahal aku sudah berusaha membahagiakan Mas Darman sebisa mungkin, berusaha menjadi istri yang baik. Namun, Ibu tak pernah menganggap semua pengabdianku. Bagi Ibu, menantunya ini tak lebih dari sampah. Ini adalah kesempatan untuk membalas dendam kepada Ibu, dan kematiannya adalah kebahagiaan yang ditunggu sejak lama.

"Marni ...!"

Aku menoleh dan menatap Nyai.

"Bukan Ibu mertuamu yang harusnya kau tumbalkan," ucapnya datar.

"Lantas siapa, Nyai?"

"Anakmu! dia yang akan menjadi benalu dalam setiap ritualmu."

Apa? Aku harus menumbalkan Lisa?

Hatiku begitu tertusuk jika harus membayangkan putri yang kucintai menjadi korban sebuah ego. Apa yang harus aku lakukan?

"Bagaimana, Marni?"

Aku terdiam menatap Nyai dengan tubuh yang gemetar dan kembali mengarahkan tatapan pada Lisa yang sedang dalam pangkuanku. Apa yang harus kulakukan?

Related chapters

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Kematian Ibu Mertua

    Bulan purnama telah tiba, hari di mana tumbal akan kami berikan kepada Nyai. Perjanjian sudah kusepakati tanpa sepengetahuan Mas Darman, ia tak boleh tahu tentang apa yang aku janjikan kepada Nyai.Kami merapikan kamar untuk pemanggilan Nyai. Sesajen dan syarat lainnya sudah tersedia dengan rapi. Entah mengapa pikiranku selalu teringat pada Lisa, padahal keadaannya berangsur pulih dan sudah bisa masuk sekolah kembali. "Marni ...!" Panggilan dari Mas Darman membuatku terperanjat. "Iya, Mas?" "Kamu kenapa?" Aku menggeleng perlahan. Dia tidak boleh tahu dengan apa yang kupikirkan. Aku akan menjadi seorang pengecut di mata Mas Darman, jika ia mengetahui ketakutan dalam hatiku tentang keadaan keluarga kami ke depannya."Apa sudah selesai semuanya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.Mas Darman yang sedang menyiapkan berbagai macam bunga berhenti dan mengangguk. "Sudah ko, Dek," ucapnya menyimpan semua peralatan di atas meja. Aku harus bertanya sekali lagi pada Mas Darman, apa dia sudah

    Last Updated : 2022-06-25
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Penghalang Harus Mati

    Aku masih memandangi Mas Darman yang menangisi jenazah Ibunya. Dari dimandikan sampai dikafani Mas Darman setia disisi Ibu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Lalu, siapa yang menemani ritual malam tadi? Kami dan para warga mengiringi jenazah Ibu ke tempat peristirahatan terakhir. Suamiku terlihat sedikit tegar untuk kali ini, ia ikut masuk ke liang lahat untuk menemani Ibu yang terakhir kali. Proses pemakaman telah usai. Kami sekeluarga berjalan beriringan. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, bahkan aku tidak berani bertanya pada Mas Darman tentang kejadian yang tengah menimpanya semalam."Pak ... Bu!" Panggilan dari arah belakang membuatku menoleh. Tampak Ustaz Zul tergesa-gesa menghampiri kami. "Pak ... Bu, ada yang ingin saya bicarakan," ucapnya dengan sedikit terengah-engah. Aku segera menoleh ke arah Lisa, lantas memerintahkannya untuk pulang terlebih dahulu, "Lisa, kamu pulang duluan, sekalian bawa adikmu! Nanti kami menyusul." Lisa mengangguk da

    Last Updated : 2022-06-25
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Nyai sang Pembunuh

    Pria yang aku ikuti menghentikan langkahnya, tak disangka ia menoleh ke arahku yang berdiam diri di sudut jalan yang gelap. Seperti dugaanku, seketika dia pun menghampiri."Bu Marni, sedang apa di sini?" tanyanya dengan wajah kebingungan.Aku hanya tersenyum tipis dan berbalik membelakanginya, berharap dia mengikuti langkahku yang sengaja dipelankan. Orang lain akan melihatku sebagai Marni. Penyamaran yang bagus, bukan?"Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanyanya kembali. Langkah ini terhenti di sebuah tempat tak berpenghuni. Gelap, serta gemercik hujan kian membasahi permukaan tanah."Kau sudah mencampuri urusanku, Pak tua," ucapku datar tanpa menoleh ke arahnya."Astagfirullah hal Adzim, siapa kamu?" Aku berbalik badan dengan memperlihatkan setengah sosokku. Mata merah, wajah bersisik, dan gigi bertaring, serentak membuatnya terperanjat. Aku memang meminjam tubuh Marni, tetapi wujud asliku tetap bisa kutampakkan dengan sesuka hati."Kau ... kau jelmaan siluman. Untuk apa berada di tubu

    Last Updated : 2022-06-27
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Sosok Aneh

    Memegang benda pipih berwarna putih dengan dua garis merah. Sudah kuduga ternyata memang hamil, pantas saja beberapa hari ini sering mual dan terlalu mudah lelah. Aku kembali membasuh muka, memandang wajah yang sudah sangat basah. Namun, entah mengapa hawa aneh seketika menyeruak. Ah, mungkin hanya pikiranku saja. Kuambil handuk dan mengelap sisa-sisa air yang menempel di kulit. Selintas ujung mataku menangkap bayangan di cermin. Aku terperanjat dan berbalik arah, tapi tak ada siapa pun di sana. Lantas berbalik kembali menghadap cermin.Kuusapkan kembali handuk, tetapi belum sempat membuka mata ada sesuatu yang menggerayang dari belakang tepat mengenai perut. Kubuka mata sedikit demi sedikit, terlihat sebuah tangan berwarna hijau dengan kuku yang sangat panjang, hitam pekat. Ia mengelus perutku dengan hati-hati. Jantungku berdegup kencang, napas ini terasa begitu sesak. Ingin sekali berteriak, tapi bibirku seolah membisu seketika. Belum cukup sampai di sana. Kini sebuah rambut ber

    Last Updated : 2022-06-27
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Kedatangan Dokter Andi

    Aku mengompres kening Lisa karena demam yang cukup tinggi. Setelah kejadian kemarin ia jatuh dari tangga, badannya menggigil disertai ocehan yang tidak jelas. "Jangan ... aku mohon, jangan!" ucapnya berkali-kali dengan mata tertutup. Ada apa dengan anak ini? Aku merasa berdosa sudah membuat dia jadi seperti ini. Apa yang Lisa ceritakan sama persis dengan yang kualami di kamar mandi. Sebelum sakit, Lisa sempat bercerita bahwa ada sepasang tangan dengan kuku yang panjang menyeretnya dari belakang. Ciri-cirinya sama seperti tangan yang sudah mengelus perutku.Aku terperanjat saat suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku."Masuk!" ucapku, sambil membulak-balikan kain yang di gunakan untuk mengompres.Mas Darman membawa seorang dokter muda, berwajah tampan dengan lesung pipi yang membuatnya terlihat semakin menawan. "Assalamualaikum, Bu. Saya Andi, dokter di kampung ini," tuturnya dengan sangat ramah. "Bapak sudah menceritakan sakitnya Lisa, tapi saya akan memeriksanya dulu. Permisi,

    Last Updated : 2022-07-01
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Keluarga Suryo 1

    Malam ini, aku sudah berada di rumah Mas Suryo. Sambutan keluarga yang hangat kami terima dengan baik, bahkan di meja sudah disediakan beberapa gelas minuman dan sekedar camilan. "Kalian pindah ke mana? Sudah merasa kaya sepertinya, bahkan sudah sepekan baru berkunjung kemari," ucap pria berkepala plontos itu. Mimik wajah sinis yang paling tak kusukai. "Ada, Mas. Kami--" "Kami pindah ke rumah yang lebih layak," sambungku memotong ucapan Mas Darman. Aku memang melarang suamiku untuk pamit saat pindah rumah dulu. Aku malas, karena Mas Suryo selalu memperlihatkan ketidaksukaannya pada keluarga kami. Apa lagi jika dia tahu keadaan keluargaku sekarang. "Bagaimana dukun yang sudah kutunjukkan pada kalian, apa sudah kalian datangi? Jika sudah, tentunya kalian sudah kaya, bukan?" Pertanyaan yang dibarengi dengan seringaian itu membuatku muak. Sikap sombongnya sampai saat ini masih terlihat jelas, padahal dia bukan orang berada. Dia hanya bekerja di perkebunan dan di percaya sebagai mand

    Last Updated : 2022-07-01
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Keluarga Suryo 2

    Aku mengikuti langkah Mas Darman. Sesampainya di luar rumah, angin berembus begitu kencang sampai mengibas rambutku. Ini seperti kehadiran Nyai. "Marni, kita lakukan penumbalan Mas Suryo," ucap Mas Darman datar. Aku bahagia mendengar kata-kata itu. "Tidak, Mas. Aku ingin membuat dia mati dengan perlahan. Dengan caraku sendiri." ***Bau dupa sudah tercium, kepulan asap pun memenuhi kamar Lisa. Seperti yang dijanjikan oleh Ki Kusno, hari ini dia datang ingin melihat keadaan Lisa sekaligus mengobatinya. Sudah lima hari ini Lisa terbaring dan tidak memberikan respons sama sekali, padahal badannya sudah tidak terasa panas. Ki Kusno sudah bersila di atas kain putih dengan alat-alat ritual. Kami pun duduk di belakangnya sesuai dengan arahan yang diberikan. Mantra mulai dibacakan. Namun, bulu kuduk ini seketika merinding. Hawa aneh saat ritual memanggil Nyai, tidak seseram hawa sekarang yang sedang menyelimuti kami.Jendela mulai terbuka cukup kencang, angin berembus diikuti dengan cahaya

    Last Updated : 2022-07-01
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Mimpi Andi

    "Assalamualaikum." Ucapan salam terdengar dari balik pintu, dibarengi dengan ketukan beberapa kali. "Wa'alaikumsalam ... masuk, Pak." Pria paruh baya itu tampak tersenyum melihatku sedang membereskan peralatan salat. Ya, aku baru saja selesai menunaikan salat Isya. Aku bergegas menghampiri Bapak yang sudah duduk di atas ranjang. "Ada apa, Pak?" tanyaku, meletakkan kopiah dan sajadah di atas meja kecil samping ranjang. "Bapak khawatir, Nak." Aku mengernyit menatap Bapak yang wajahnya tampak penuh kegelisahan. Entah apa yang Bapak khawatirkan, tetapi aku berusaha tersenyum dan meresponsnya dengan baik. "Apa yang Bapak khawatirkan? Aku sudah dewasa, bisa menjaga diri, Pak." "Kamu jangan terlalu masuk ke dalam masalah keluarga pasien. Apalagi Bapak merasa merinding saat kamu bercerita sesuatu yang kamu lihat di rumahnya Pak Darman," tutur Bapak mengusap tengkuknya. Aku hanya tersenyum mendengar ungkapan perasaannya sebagai orang tua. Memang cukup mengerikan saat aku merasakan hawa

    Last Updated : 2022-07-01

Latest chapter

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Akhir Cerita

    Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Takdir (POV Lisa)

    Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Ungkapan Rasa

    Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Sudah Meninggal

    Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Kabar Baik dan Buruk 2

    Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Kabar Baik dan Buruk 1

    Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Rahasia Masa Lalu

    Saat Lisa pergi ke taman, Bu Nyai mendatangi Dokter untuk hasil pemeriksaan kemarin. "Apa yang terjadi, Dokter?” tanyanya. Bu Nyai tak sabar.Dokter tampak mengembuskan napas berat. “Semua indra di tubuh Lisa tidak bekerja dengan baik. Hanya mata yang dapat melihat, itu pun pandangannya buram. Kami masih memeriksa bagian yang lain. Pasti kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.”Penjelasan dokter masih belum dimengerti sepenuhnya baik oleh Kyai dan Bu Nyai, atau pun Andi. Rasanya mustahil hal itu terjadi pada Lisa yang tidak mengalami kecelakaan apa pun.Setelah kejadian malam itu, kondisi Lisa sangat mengkhawatirkan sehingga mereka memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Tubuhnya sama sekali tidak merespons apa pun. Baik suntikan, infus mau pun obat-obatan. Dia hanya tergeletak hampir seperti mayat hidup, dan itu berjalan selama kurang lebih dua bulan lamanya.Kini ... setelah Lisa sudah bangun, malah kenyataan pahit ini yang mereka terima. Apa sebenarnya yang dijanjikan Da

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Lisa yang Menyedihkan (POV Lisa)

    Aku mengerjap beberapa kali. Cahaya terang begitu menyilaukan mata, hingga pandanganku sulit beradaptasi.Cukup lama aku seperti itu, sampai perlahan aku bisa membuat mata dengan sempurna. Kedua netra mengedar ke sekitar. Tidak asing.Ruangan serba putih dengan bau khas yang menusuk hidung. Aku tentu tahu peralatan yang ada di ruangan ini. Belum lagi dengan pakaian biru muda yang melekat di tubuh ini. Menegaskan bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit.Ada beberapa orang dokter tersenyum entah sebab apa. Mereka terus memeriksa infus yang terhubung ke tangan kiriku. Lalu beberapa peralatan yang aku tidak tahu apa namanya.Indra pendengaranku tidak bisa menangkap apa yang sedang mereka bicarakan. Bibir mereka bergerak-gerak seperti sedang berbicara satu sama lain, tetapi aku tidak bisa mendengar apa pun.Seluruh tubuhku rasanya sakit, bahkan untuk menggerakkan jari telunjuk rasanya sangat sulit. Aku hanya bisa melihat, menoleh ke sana ke mari dengan perlahan. Masih mencerna apa

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Kendali Tubuh

    Entah sudah berapa lama Lisa duduk di atas sajadah. Tak ia pedulikan lagi rasa kebas yang menjalar di sekujur kaki. Yang ia tahu, dirinya harus terus di atas sajadah ini sampai Bu Nyai sendiri yang akan memberitahu kapan ia boleh berhenti berzikir.Makin lama ada rasa yang menjalar ke bagian atas tubuh. Bukan kebas seperti di kaki, tetapi lebih seperti rasa panas. Ingin sekali rasanya beranjak untuk meminum setidaknya seteguk air, hanya saja peringatan dari Bu Nyai syukurnya lebih mendominasi. Ini ujian, ia harus kuat, harus sanggup melewatinya. Lisa tidak tahu apa yang dialami Kyai Ilham dan rombongan di dalam hutan sana. Kalau hanya rasa panas tentunya akan harus bisa menahan.Rasa panas itu semakin menyiksa. Seperti siap kapan saja membakar raga. Berulang kali ia tersengal menahan sesak karena panas itu makin naik ke bagian kepala.Mata Lisa terbelalak saat merasa ada sebuah benda yang melilit leher dengan kuat. Ia meraba-raba bagian tersebut, tetapi tidak ada benda apa pun yang me

DMCA.com Protection Status