Seminggu dari obrolan itu, aku dan Mas Darman melakukan perjalanan yang lumayan jauh dengan menyewa motor milik tetangga. Namun, karena rumah Ki Kusno masuk ke pedalaman, terpaksa kendaraan roda dua itu kami titipkan ke rumah salah satu saudaraku yang bersebelahan dengan desa tempat Ki Kusno.
Mereka bertanya aku dan Darman akan ke mana, tetapi sebisa mungkin kami memberi alasan yang masuk akal. Beruntung mereka tipe orang yang tidak peduli pada orang susah seperti kami, jadi dengan cepat aku dan Mas Darman berjalan menuju area hutan di desa ini.Satu jam telah berlalu. Kulangkahkan kaki menyusuri jalanan terjal. Sejauh mata memandang hanya berjumpa dengan pepohonan yang amat rindang dan suara binatang-binatang kecil menambah kesan jauh dari kehidupan kota. Napas terengah menahan lelah karena perjalanan ini cukup jauh."Kamu yakin, Dek?" tanya Mas Darman, suamiku."Aku yakin, Mas. Untuk apa aku berjalan sejauh ini jika keyakinanku tidaklah kuat," ucapku tegas meyakinkan suami.Mas Darman hanya mengangguk, ia meraih tanganku untuk bisa berjalan beriringan dengannya. Kami semakin mempercepat langkah untuk segera sampai ke tempat tujuan, tempat di mana seseorang bisa membawa kami pada kehidupan yang lebih baik.Jalan ini terasa begitu mulus tanpa hambatan, lantas bibirku tersenyum tipis saat melihat tempat yang kami maksud sudah berada di depan mata.Angin terasa begitu kencang menerpa tubuh kami saat mendekati sebuah gubuk di pertengahan hutan ini. Aku mengusap tengkuk perlahan karena hawa dingin begitu kuat terasa saat ini. Takut, tentu saja berkecambuk dalam hati. Namun, tekad ini sudah berhasil mengalahkan rasa apa pun yang mencoba menghadang.Langkahku terhenti saat tangan Mas Darman menarik dan tubuhnya mematung di tempat."Ada apa, Mas?" tanyaku heran."Perasaanku tidak enak, Dek."Aku hanya menggeleng dan menarik kembali tanganya agar segera mendekat pada rumah tua itu. Semua tidak boleh berhenti sampai di sini, ini sudah terlalu jauh untuk menyerah.Dari jarak dekat terlihat dua orang berpakaian serba hitam berjaga di depan pintu, aku yakin jika mereka adalah anak buah dari pemilik rumah."Permisi, apa ini rumahnya Ki Kusno?" tanyaku.Mereka terlihat saling memandang satu sama lain."Betul, ada perlu apa?" tanya salah satu di antara mereka."Apa boleh saya bertemu dengan beliau?" tanyaku kembali."Sebentar." Salah satu dari mereka masuk, mungkin dia akan memberitahukan kedatangan kami pada Ki Kusno. Tak berselang lama, pria bertubuh kurus itu mempersilakan kami masuk."Tinggal masuk saja, dan kamarnya ada di sebelah kiri." Aku hanya mengangguk dan menarik kembali tangan Mas Darman untuk segera mengikuti langkah ini.Rumah bilik biasa yang jauh dari kesan angker. Namun, saat masuk ada sesuatu yang menyita perhatian yaitu lukisan wanita dengan memakai pakaian khas putri raja berwarna hijau. Tatapan mata yang tegas dan wajah yang ayu itu seolah memancarkan sesuatu yang kuat yang tak bisa dijelaskan."Dek, masuk!" ajakan Mas Darman membuyarkan lamunanku, entah mengapa rasanya enggan berpaling dari lukisan tersebut. Kamar yang di maksud penjaga tadi sudah di hadapan kami, aku dan Mas Darman saling pandang. Aku mengerti dari tatapan Mas Darman dia ingin bertanya untuk kesekian kalinya tentang keyakinan yang bisa membawa raga ke tempat ini.Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk lagi, akhirnya kami segera masuk ke dalam kamar yang hanya ditutup oleh gorden berwarna putih polos. Aku merasakan kembali embusan angin kencang yang bertiup sampai membuat bulu kuduk merinding, seketika mata ini menerawang pada ruangan yang gelap dengan pencahayaan yang mengandalkan beberapa lilin di setiap sudut."Masuklah!" ucap seorang pria yang yang masih tidak terlihat. Kami pun segera mendekati sumber suara dan akhirnya jelas sudah siapa yang menyuruh kami masuk. Seorang pria berjanggut panjang dengan perawakan tambun duduk di antara peralatan sesajen, setauku seperti itu. Akhirnya aku dan Mas Darman duduk dihadapannya."Ada tujuan apa kalian datang kemari?" tanyanya dengan suara yang menggelegar.Aku dan Mas Darman tak ada yang mau menjawab. Kami malah saling berpandangan kembali, seperti memberi perintah satu sama lain. Aku pun menelan ludah dan memberanikan diri untuk menyebutkan maksud dan tujuan."Kami ingin kaya, Ki," jawabku singkat."Kekayaan apa yang ingin kalian capai?" tanya Ki Kusno seperti meledek."Aku ingin harta yang banyak tanpa embel-embel lelah bekerja."Pria itu menyalakan rokok dan meniupkan asapnya ke arah kami. Aku hanya mengibas dengan tangan secara perlahan."Gampang. Tapi yang sulit adalah syarat yang harus kalian penuhi saat harta itu sudah berada dalam genggaman. Terkadang manusia suka lupa saat mereka sudah berada dipuncak. Lupa siapa yang sudah memberi," tegasnya.Aku terdiam sejenak, melirik Mas Darman yang hanya membisu menatap lurus ke depan. Apa dia kurang yakin dengan jalan yang akan kita ambil saat ini? aku tertunduk, jika memang dia tidak yakin ini semua tidak akan berjalan baik, pikirku."Memang syaratnya apa, Ki?" tanya Mas Darman."Banyak, dan salah satunya adalah tumbal yang harus kalian berikan. Termasuk nyawa dari seseorang yang kalian sayangi. Apa kalian sanggup?"Hening. Semua terasa begitu sunyi saat kata itu terdengar sangat jelas. Lagi-lagi tak ada jawaban, seolah semuanya terasa berat untuk diungkapkan. Pria itu meniupkan kembali kepulan asap rokok, itu membuatku kembali tersadar dalam lamunan."Saya siap apa pun persyaratannya," ucapku yakin. Mas Darman terlihat menoleh ke arahku, tapi aku tidak peduli sama sekali."Siapa namamu?""Marni ... dan ini suami saya Darman.""Kau sungguh tidak terlihat takut, Marni." Ia terkekeh, seperti menertawakan diriku."Karena sebuah penghinaan atas kemiskinan menutup rapat mata hati saya untuk melihat sebuah kebenaran. Saya mohon, Ki ... penuhi permintaan ini," pintaku memaksa.Dia menatapku dingin. Suasana berubah menjadi hening, sementara aku membalas tatapan itu seperti memberi keyakinan jika memang ini jalan yang ingin ditempuh."Baiklah. Kembalilah malam jumat nanti dengan membawa sesajen yang lengkap. Kalian akan kupertemukan dengan Nyai Gayatri.""Siapa itu, Ki?" tanya Mas Darman. Dia baru mau membuka suaranya kali ini."Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang pulang dan persiapkan semuanya.""Baik, Ki. Terima kasih," ucapku menunduk.Akan kupersiapkan segalanya sampai menemukan kehidupan yang lebih baik. Tak peduli jurang mana yang akan kulewati, sekalipun harus tersungkur sampai lapisan terdalam. Niat dan tekat ini sudah bulat. Persetan dengan apa yang mereka katakan tentang baik dan buruk, yang jelas aku ingin bahagia dengan semua yang akan didapatkan nanti.Kehidupan yang perih ini membuatku yakin untuk tetap mengikuti cara sesat. Syurga dan neraka bukan urusan orang lain, cukup aku hadapi nanti. Toh, yang merasakan perih adalah aku, mereka hanya bicara tanpa memberi kami makan.Suara lolongan anjing menjadi saksi kerasnya usaha kami malam ini. Hawa aneh kian merasuk, dibarengi dengan suara jeritan malam yang entar dari mana berasal. Aku melirik ke arah suamiku, ia terlihat tegang. Dia pria yang baik, mau menuruti permintaan istrinya bahkan menggadaikan iman sekalipun.Seperti yang dipaparkan ki Kusno, malam ini aku dan Mas Darman mengikuti langkahnya untuk menemui sang pemberi kekayaan. Keheningan malam dan cahaya bulan purnama akan menjadi saksi ketika sang ratu memberikan segala kekuasaannya. Di atas tebing tinggi, ditemani suara desir ombak aku berdiri dengan penuh percaya diri. Harapan akan kejayaan sudah berada di depan mata, kini tak ada yang mampu menggoyahkan langkah kami.Ki Kusno mulai mempersiapkan sesajen yang sudah kami
Aku berpikir keras dengan permintaan Nyai untuk memberikan suamiku kepadanya. Apa yang harus aku jawab? Sementara Mas Darman hanya terdiam tak memberi masukan. Apa saat ini dia marah? atau menyerahkan semua keputusan ini kepadaku? Tiba-tiba saja aku perasaanku berubah gamang. Ya, wanita mana yang mau berbagi ranjang dengan orang lain. Jangankan ranjang, bahkan berbagi cinta saja sudah sangat menyakitkan. "Dek, kalau kamu tidak mau, jangan kita teruskan. Ini pasti akan menyakitimu," bisik Mas Darman tiba-tiba. Seketika aku menelan ludah, dadaku benar-benar sesak. Akan tetapi, setan seolah berkata, "Sakit mana jika dibandingkan dengan hinaan dari mereka di luar sana?" Mataku terpejam sejenak lalu menarik napas beberapa kali. Baiklah, aku tak ingin semua berakhir sampai di sini."Saya setuju, Nyai," ucapku lantang. Aku tahu ada rasa kecewa di hati Mas Darman setelah ini. Begitu juga dengan perasaanku.Terlihat dari sudut mata, Mas Darman menoleh dan menatapku murka. Aku tidak peduli
Semua usaha sudah pasti akan ada hasilnya. Sama seperti yang aku alami saat ini. Bedanya, semua seakan mimpi karena terlalu singkat dan instan.Di sinilah aku sekarang, berdiri seraya menghirup aroma kebebasan. Aroma kemewahan. Kehidupanku kemarin, sudah aku tinggalkan. Tidak akan pernah jadi kenangan indah karena tidak ada yang indah saat itu.Mataku berbinar seketika kala menatap rumah mewah dengan tersenyum puas. Yang kami lakukan setelah mendapat harta adalah membeli rumah layak dan meninggalkan rumah kumuh milik ibu mertuaku. Rasanya ingin segera memamerkan segalanya pada mereka yang kemarin meremehkanku."Bagus sekali rumahnya, Bu," ucap Lisa dengan sangat antusias.Senyumku semakin lebar melihat anak-anak yang begitu bahagia dengan rumah barunya. Rumah dua lantai dengan dominasi cat berwarna putih dan gold memberi kesan mewah dan elegan. Kami sudah mengatur semua kamar masing-masing termasuk kamar ritualku untuk bertemu dengan Nyai."Mas, antarkan Ibu ke kamar! Aku ingin bicara
Aku menggosok mata dan melirik jam dinding dengan rasa kantuk yang luar biasa. Ternyata aku terbangun di tengah malam, karena jam menunjukkan tepat pukul dua belas malam. Badanku terasa lelah setelah membantu Ibu membereskan barang saat pindahan. Rasanya semua ini hanya mimpi. Aku memiliki kamar bagus karena biasanya kami tidur dalam satu ruangan dengan berdesak-desakkan. Pengap, panas, bahkan ingin mendapat angin pun harus memakai kipas tangan.Sekarang aku tidak menyangka, Ibu dan Ayah bekerja dengan giat hingga bisa membeli rumah semewah ini. Sekarang aku punya AC sendiri di kamar, tidak kegerahan lagi seperti kemarin. Entah mengapa rasanya malam ini haus sekali. Aku harus turun ke bawah untuk mengambil air minum. Ternyata tidur di lantai atas cukup merepotkan sampai harus menuruni anak tangga dengan suasana yang begitu gelap. Ya, di sini gelap dan dingin. Sesekali kuusap tengkuk karena hawa aneh yang begitu menusuk, ditambah bau melati yang begitu menyengat. Akhir-akhir ini Ibu
Aku masuk ke sebuah kamar dengan membawa sarapan di atas nampan dan meletakannya pada meja sisi ranjang. Gorden masih tertutup rapat. Kubuka perlahan agar matahari pagi ini bisa masuk dengan leluasa.Gadis itu masih terlelap. Kubelai pucuk kepalanya dengan lembut sampai akhirnya mata itu mulai terbuka perlahan. "Ibu ...!" Gadisku memeluk dengan erat sembari menangis ketakutan. Aku hanya membalas dekapan itu dengan membelai rambutnya yang panjang."Tenanglah, Lisa!" Aku mencoba menjadi sosok ibu yang selalu ada di saat ia membutuhkan."Aku takut, Bu," ucap putriku lirih. Aku tak bisa berkata apa-apa selain membalas pelukannya yang begitu erat dengan tubuh bergetar hebat."Ibu, tunggu!" Lisa melepaskan pelukannya. "Apa yang terjadi padaku, Bu?" Aku hanya tersenyum dan menghapus air mata yang sudah membasahi pipi merahnya. "Katakan, Bu!" "Ibu tidak tahu, Lisa. Ibu hanya mendengar teriakanmu. Saat masuk, kamu sudah dalam keadaan tergeletak di ujung sana," jelasku menunjuk salah satu
Bulan purnama telah tiba, hari di mana tumbal akan kami berikan kepada Nyai. Perjanjian sudah kusepakati tanpa sepengetahuan Mas Darman, ia tak boleh tahu tentang apa yang aku janjikan kepada Nyai.Kami merapikan kamar untuk pemanggilan Nyai. Sesajen dan syarat lainnya sudah tersedia dengan rapi. Entah mengapa pikiranku selalu teringat pada Lisa, padahal keadaannya berangsur pulih dan sudah bisa masuk sekolah kembali. "Marni ...!" Panggilan dari Mas Darman membuatku terperanjat. "Iya, Mas?" "Kamu kenapa?" Aku menggeleng perlahan. Dia tidak boleh tahu dengan apa yang kupikirkan. Aku akan menjadi seorang pengecut di mata Mas Darman, jika ia mengetahui ketakutan dalam hatiku tentang keadaan keluarga kami ke depannya."Apa sudah selesai semuanya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.Mas Darman yang sedang menyiapkan berbagai macam bunga berhenti dan mengangguk. "Sudah ko, Dek," ucapnya menyimpan semua peralatan di atas meja. Aku harus bertanya sekali lagi pada Mas Darman, apa dia sudah
Aku masih memandangi Mas Darman yang menangisi jenazah Ibunya. Dari dimandikan sampai dikafani Mas Darman setia disisi Ibu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Lalu, siapa yang menemani ritual malam tadi? Kami dan para warga mengiringi jenazah Ibu ke tempat peristirahatan terakhir. Suamiku terlihat sedikit tegar untuk kali ini, ia ikut masuk ke liang lahat untuk menemani Ibu yang terakhir kali. Proses pemakaman telah usai. Kami sekeluarga berjalan beriringan. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, bahkan aku tidak berani bertanya pada Mas Darman tentang kejadian yang tengah menimpanya semalam."Pak ... Bu!" Panggilan dari arah belakang membuatku menoleh. Tampak Ustaz Zul tergesa-gesa menghampiri kami. "Pak ... Bu, ada yang ingin saya bicarakan," ucapnya dengan sedikit terengah-engah. Aku segera menoleh ke arah Lisa, lantas memerintahkannya untuk pulang terlebih dahulu, "Lisa, kamu pulang duluan, sekalian bawa adikmu! Nanti kami menyusul." Lisa mengangguk da
Pria yang aku ikuti menghentikan langkahnya, tak disangka ia menoleh ke arahku yang berdiam diri di sudut jalan yang gelap. Seperti dugaanku, seketika dia pun menghampiri."Bu Marni, sedang apa di sini?" tanyanya dengan wajah kebingungan.Aku hanya tersenyum tipis dan berbalik membelakanginya, berharap dia mengikuti langkahku yang sengaja dipelankan. Orang lain akan melihatku sebagai Marni. Penyamaran yang bagus, bukan?"Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanyanya kembali. Langkah ini terhenti di sebuah tempat tak berpenghuni. Gelap, serta gemercik hujan kian membasahi permukaan tanah."Kau sudah mencampuri urusanku, Pak tua," ucapku datar tanpa menoleh ke arahnya."Astagfirullah hal Adzim, siapa kamu?" Aku berbalik badan dengan memperlihatkan setengah sosokku. Mata merah, wajah bersisik, dan gigi bertaring, serentak membuatnya terperanjat. Aku memang meminjam tubuh Marni, tetapi wujud asliku tetap bisa kutampakkan dengan sesuka hati."Kau ... kau jelmaan siluman. Untuk apa berada di tubu
Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud
Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila
Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini
Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa
Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb
Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad
Saat Lisa pergi ke taman, Bu Nyai mendatangi Dokter untuk hasil pemeriksaan kemarin. "Apa yang terjadi, Dokter?” tanyanya. Bu Nyai tak sabar.Dokter tampak mengembuskan napas berat. “Semua indra di tubuh Lisa tidak bekerja dengan baik. Hanya mata yang dapat melihat, itu pun pandangannya buram. Kami masih memeriksa bagian yang lain. Pasti kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.”Penjelasan dokter masih belum dimengerti sepenuhnya baik oleh Kyai dan Bu Nyai, atau pun Andi. Rasanya mustahil hal itu terjadi pada Lisa yang tidak mengalami kecelakaan apa pun.Setelah kejadian malam itu, kondisi Lisa sangat mengkhawatirkan sehingga mereka memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Tubuhnya sama sekali tidak merespons apa pun. Baik suntikan, infus mau pun obat-obatan. Dia hanya tergeletak hampir seperti mayat hidup, dan itu berjalan selama kurang lebih dua bulan lamanya.Kini ... setelah Lisa sudah bangun, malah kenyataan pahit ini yang mereka terima. Apa sebenarnya yang dijanjikan Da
Aku mengerjap beberapa kali. Cahaya terang begitu menyilaukan mata, hingga pandanganku sulit beradaptasi.Cukup lama aku seperti itu, sampai perlahan aku bisa membuat mata dengan sempurna. Kedua netra mengedar ke sekitar. Tidak asing.Ruangan serba putih dengan bau khas yang menusuk hidung. Aku tentu tahu peralatan yang ada di ruangan ini. Belum lagi dengan pakaian biru muda yang melekat di tubuh ini. Menegaskan bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit.Ada beberapa orang dokter tersenyum entah sebab apa. Mereka terus memeriksa infus yang terhubung ke tangan kiriku. Lalu beberapa peralatan yang aku tidak tahu apa namanya.Indra pendengaranku tidak bisa menangkap apa yang sedang mereka bicarakan. Bibir mereka bergerak-gerak seperti sedang berbicara satu sama lain, tetapi aku tidak bisa mendengar apa pun.Seluruh tubuhku rasanya sakit, bahkan untuk menggerakkan jari telunjuk rasanya sangat sulit. Aku hanya bisa melihat, menoleh ke sana ke mari dengan perlahan. Masih mencerna apa
Entah sudah berapa lama Lisa duduk di atas sajadah. Tak ia pedulikan lagi rasa kebas yang menjalar di sekujur kaki. Yang ia tahu, dirinya harus terus di atas sajadah ini sampai Bu Nyai sendiri yang akan memberitahu kapan ia boleh berhenti berzikir.Makin lama ada rasa yang menjalar ke bagian atas tubuh. Bukan kebas seperti di kaki, tetapi lebih seperti rasa panas. Ingin sekali rasanya beranjak untuk meminum setidaknya seteguk air, hanya saja peringatan dari Bu Nyai syukurnya lebih mendominasi. Ini ujian, ia harus kuat, harus sanggup melewatinya. Lisa tidak tahu apa yang dialami Kyai Ilham dan rombongan di dalam hutan sana. Kalau hanya rasa panas tentunya akan harus bisa menahan.Rasa panas itu semakin menyiksa. Seperti siap kapan saja membakar raga. Berulang kali ia tersengal menahan sesak karena panas itu makin naik ke bagian kepala.Mata Lisa terbelalak saat merasa ada sebuah benda yang melilit leher dengan kuat. Ia meraba-raba bagian tersebut, tetapi tidak ada benda apa pun yang me