Share

Pesugihan Tumbal Nyai
Pesugihan Tumbal Nyai
Penulis: Dini Lisdianti

Awal Mula

Penulis: Dini Lisdianti
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-20 11:27:09

Suara detak jam menemaniku malam ini. Masih kutunggu sampai waktu menunjukkan pukul 12 malam, tak lupa sesajen itu kutatah dengan rapi. Bunga berwarna-warni sudah tersedia di nampan, tak lupa sesuatu yang menjadi tumbalku malam ini.

Kehadiran Nyai Gayatri harus disambut dengan mewah. Sebab, ia yang memberiku gelimang harta. Rumah yang dulu bak gubuk derita, dalam hitungan bulan bisa berubah menjadi istana.

Tak lagi tangis anak karena kelaparan atau kekurangan susu. Semua aku dapatkan dengan mudah. Tetangga yang dulu mencemooh, bahkan menghina-sekarang seolah menganggapku saudara. Cih ... munafik!

Aku sudah bersiap untuk meminta lagi harta yang lebih banyak malam ini. Remang-remang terdengar suara kereta kecana. Bau khas melati dan bunga sedap malam sudah mulai tercium. Tanda-tanda kedatangan putri agung, penguasa lautan bisa kurasakan.

Duduk bersila di antara kepulan asap, kurapalkan doa dengan menaburkan sedikit kemenyan di antara asap-asap yang mulai menebal. Seketika tengkuk ini terasa dingin, bulu kuduk merinding merasakan kehadirannya.

Aku menutup mata sejenak, sambil teras membaca mantra. Dalam kegelapan, terasa setitik cahaya mulai menerobos. Aku bisa membayangkan, Nyai duduk dalam sebuah kereta kencana bersama dua pengawalnya.

Sekelebat aku bisa merasakan, jika ia mulai hadir di kamar ini. Kamar rahasia yang tidak boleh dimasukin oleh siapa pun. Nuansa keemasan serta hijau mendominasi dari kain-kain yang membentang sebagai hiasan. Begitu juga dengan ranjang khusus yang memang dipersiapkan jika Nyai ingin bertamu kapan saja.

Suara kereta kencana semakin keras. Dia sudah hadir di sini. Wangi kembang tercium tajam diikuti dengan bau khas dupa yang kian menyengat. Namun, mataku masih enggan terbuka. Aku ingin menyambutnya dengan sangat sakral.

Suara itu, suara kereta lonceng dari kereta kencana yang membuat bibirku tersenyum tipis. Sekali lagi dia sudah mulai mendekat. Embusan angin terasa kian menusuk, ini saatnya aku membuka mata.

Cahaya yang cukup menyilaukan dibarengi kedatangan sesosok wanita berbaju hijau dengan pakaian khas putri raja.

Wajahnya yang dingin dan datar menjadi sesuatu yang sudah tak asing bagiku.

"Selamat datang, Nyai," ucapku menundukkan kepala, memberinya penghormatan.

"Ada apa kau memanggilku?" tanyanya dengan nada dingin. Mantra khusus yang aku lafalkan, berhasil membawa Nyai kemari.

Aku terdiam sejenak seraya meyakinkan diri dengan apa yang akan kuminta padanya. Aku menunduk kembali mengatur napas dan menutup mata beberapa detik.

"Aku minta kekayaan yang lebih dari ini, Nyai," pintaku yakin.

Jantungku kian berdebar. Aku tahu, ini terlalu serakah. Padahal, beberapa minggu yang lalu aku baru saja meminta hal serupa. Namun, aku masih butuh untuk membeli sepetak tanah yang nanti bisa diurus oleh Mas Darman. Tentunya agar warga tidak curiga dari mana kekayaan ini didapatkan.

Aku pun bisa memperkerjakan warga dan menjadikan mereka budak Nyai Gayatri. Tentu saja.

Dia hanya diam tak menggubris pernyataanku. Dari matanya terlihat dia menatapku dengan tajam, suasana berubah semakin hening dan mencekam. Angin berembus semakin kencang sampai mengibas rambutku yang terurai.

"Apa yang akan kau berikan untukku?" tanyanya dingin.

Kali ini Nyai tampak serius. Biasanya, ia hanya melirik sesajenku dan mengabulkan semuanya. Apa Nyai akan meminta hal yang lebih dari ini?

Aku bergeming beberapa detik, berharap kali ini aku tak salah berucap. "Apa saja yang Nyai mau, akan saya berikan," tegasku.

Suasana kembali hening. Jantungku berpacu semakin tak karuan. Aku takut Nyai meminta hal yang tak bisa aku kabulkan. Namun, bukankah itu risiko?

"Aku ingin sesuatu yang berharga darimu."

Kata-kata darinya membuatku menelan ludah. Sesuatu yang berharga? Aku memutar otak, apa yang harus kuberikan padanya? Aku menoleh ke arah perut yang sudah mulai terlihat menonjol lalu mengusapnya perlahan.

Seketika aku menoleh ke arah Nyai Gayatri, ia menyunggingkan sedikit senyum dan melirik tanganku yang meraba-raba area perut.

Pikiran jahat itu merasuk seketika. Aku mengangguk yakin dengan apa yang aku berikan padanya.

"Baik, Nyai. Sudah saya pikirkan dengan matang," tegasku. Aku yakin isi kepala kami sama. Tak apa, semua yang kulakukan demi harta dan kekuasaan.

Nyai mengangkat alisnya, aku mengerti jika dia sedang bertanya apa yang akan aku berikan padanya?

"Ambil anak dalam rahimku kapan pun kau mau," ucapku tegas sambil mengusap perut yang sudah memasuki kehamilan empat bulan.

Seketika Nyai menyeringai. Tawa dari sosok yang kupuja pecah dalam keheningan malam ini diikuti suara burung gagak dari luar, seolah ikut bersorak menemani tawa Nyai yang terasa memekakkan telinga.

"Kau yakin?"

"Saya yakin, Nyai." Aku kembali menegaskan ucapan, agar Nyai percaya pada janji yang sudah kubuat. Toh, kehamilan ini tidak aku harapkan. Semua karena Kang Darman. Padahal, aku sudah bilang tidak ingin punya anak lagi.

"Baiklah. Sepeninggalku nanti, bukalah kotak hitam yang biasa aku suguhkan padamu. Tapi, ingat, jika kau ingkar dengan janjimu, maka kau yang akan menjadi tumbalku."

Kata-kata Nyai kali ini terdengar menggelegar. Aku hanya mengangguk mengiyakan apa yang ia lontarkan.

Cahaya itu kembali muncul dibarengi dengan angin yang begitu kencang, mata ini tertutup tak mampu mengimbangi cahaya yang menyilaukan. Perlahan semua mulai meredup dan keheningan kembali terasa mengisi ruangan khusus untuk penyambutan Nyai.

Aku bergegas mengambil kotak hitam dalam lemari. Setelah kubuka, bibir ini tersenyum puas dengan apa yang didapatkan malam ini.

"Terima kasih, Nyai," ucapku senang.

Aku kembali memasukan kotak hitam ke dalam lemari kemudian berjalan ke arah ranjang. Mataku menelisik ke setiap sudut ruangan ini.

Bibirku menyunggingkan senyum, kala ingat hari itu, di mana aku dan Mas Darman berdiskusi tentang kehidupan yang serba susah.

"Tidak ada cara lagi, Mas." Air mataku berderai, melihat nasi kering hanya dengan taburan garam.

"Tapi itu perbuatan dosa, Dek. Kita sama saja menyembah setan," ucapnya dengan nada lesu.

"Mas, sekarang pikirkan anak kita saja. Kamu rela melihat dia makan dengan kerupuk atau tahu dan tempe setiap hari? Terus, sekolahnya nunggak. Kamu rela?"

Dia terdiam sesaat. Wajahnya kian pucat. Aku yakin, Mas Darman sedang dihantui rasa bersalah karena tidak mampu memberikan kebahagiaan pada anak dan istrinya.

"Waktu keluarga kamu ngehina aku, kamu gak bisa ngomong, 'kan? Karena pada kenyataannya kita pantas dihina, Mas." Suaraku kian gemetar, membuat Mas Darman memejamkan matanya beberapa saat.

Tak berapa lama, aku mengambil jemari suamiku, menggenggamnya dengan sangat erat. Aku berusaha meyakinkan, jika semua akan baik-baik saja. Kehidupan kami harus lebih baik dari sebelumnya untuk membuktikan, jika Mas Darman juga pantas dihargai oleh semua saudaranya.

Sampai akhirnya, aku memberi waktu pada Mas Darman untuk memikirkan permintaanku ini. Saat malam tiba, aku berpura-pura tidur, sedangkan Mas Darman tampak gusar. Beberapa kali ia masuk dan keluar kamar.

Esok paginya, aku sengaja tidak menyiapkan sarapan. Tentunya agar Mas Darman semakin merasa bersalah.

"Dek, Mas mau bicara." Suara bariton itu mulai memecah keheningan di antara kami.

"Kenapa, Mas?" tanyaku menatapnya dengan seulas senyum.

"Aku setuju untuk mendatangi Ki Kusno. Aku sudah bertekad ingin membahagiakan kalian." Matanya terlihat berapi-api. Membuat aku menghela napas lega.

Bab terkait

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Main Dukun

    Seminggu dari obrolan itu, aku dan Mas Darman melakukan perjalanan yang lumayan jauh dengan menyewa motor milik tetangga. Namun, karena rumah Ki Kusno masuk ke pedalaman, terpaksa kendaraan roda dua itu kami titipkan ke rumah salah satu saudaraku yang bersebelahan dengan desa tempat Ki Kusno.Mereka bertanya aku dan Darman akan ke mana, tetapi sebisa mungkin kami memberi alasan yang masuk akal. Beruntung mereka tipe orang yang tidak peduli pada orang susah seperti kami, jadi dengan cepat aku dan Mas Darman berjalan menuju area hutan di desa ini.Satu jam telah berlalu. Kulangkahkan kaki menyusuri jalanan terjal. Sejauh mata memandang hanya berjumpa dengan pepohonan yang amat rindang dan suara binatang-binatang kecil menambah kesan jauh dari kehidupan kota. Napas terengah menahan lelah karena perjalanan ini cukup jauh."Kamu yakin, Dek?" tanya Mas Darman, suamiku. "Aku yakin, Mas. Untuk apa aku berjalan sejauh ini jika keyakinanku tidaklah kuat," ucapku tegas meyakinkan suami.Mas Dar

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-20
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Pertemuan dengan Nyai

    Kehidupan yang perih ini membuatku yakin untuk tetap mengikuti cara sesat. Syurga dan neraka bukan urusan orang lain, cukup aku hadapi nanti. Toh, yang merasakan perih adalah aku, mereka hanya bicara tanpa memberi kami makan.Suara lolongan anjing menjadi saksi kerasnya usaha kami malam ini. Hawa aneh kian merasuk, dibarengi dengan suara jeritan malam yang entar dari mana berasal. Aku melirik ke arah suamiku, ia terlihat tegang. Dia pria yang baik, mau menuruti permintaan istrinya bahkan menggadaikan iman sekalipun.Seperti yang dipaparkan ki Kusno, malam ini aku dan Mas Darman mengikuti langkahnya untuk menemui sang pemberi kekayaan. Keheningan malam dan cahaya bulan purnama akan menjadi saksi ketika sang ratu memberikan segala kekuasaannya. Di atas tebing tinggi, ditemani suara desir ombak aku berdiri dengan penuh percaya diri. Harapan akan kejayaan sudah berada di depan mata, kini tak ada yang mampu menggoyahkan langkah kami.Ki Kusno mulai mempersiapkan sesajen yang sudah kami

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-20
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Pengalaman Darman

    Aku berpikir keras dengan permintaan Nyai untuk memberikan suamiku kepadanya. Apa yang harus aku jawab? Sementara Mas Darman hanya terdiam tak memberi masukan. Apa saat ini dia marah? atau menyerahkan semua keputusan ini kepadaku? Tiba-tiba saja aku perasaanku berubah gamang. Ya, wanita mana yang mau berbagi ranjang dengan orang lain. Jangankan ranjang, bahkan berbagi cinta saja sudah sangat menyakitkan. "Dek, kalau kamu tidak mau, jangan kita teruskan. Ini pasti akan menyakitimu," bisik Mas Darman tiba-tiba. Seketika aku menelan ludah, dadaku benar-benar sesak. Akan tetapi, setan seolah berkata, "Sakit mana jika dibandingkan dengan hinaan dari mereka di luar sana?" Mataku terpejam sejenak lalu menarik napas beberapa kali. Baiklah, aku tak ingin semua berakhir sampai di sini."Saya setuju, Nyai," ucapku lantang. Aku tahu ada rasa kecewa di hati Mas Darman setelah ini. Begitu juga dengan perasaanku.Terlihat dari sudut mata, Mas Darman menoleh dan menatapku murka. Aku tidak peduli

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-20
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Rumah Baru

    Semua usaha sudah pasti akan ada hasilnya. Sama seperti yang aku alami saat ini. Bedanya, semua seakan mimpi karena terlalu singkat dan instan.Di sinilah aku sekarang, berdiri seraya menghirup aroma kebebasan. Aroma kemewahan. Kehidupanku kemarin, sudah aku tinggalkan. Tidak akan pernah jadi kenangan indah karena tidak ada yang indah saat itu.Mataku berbinar seketika kala menatap rumah mewah dengan tersenyum puas. Yang kami lakukan setelah mendapat harta adalah membeli rumah layak dan meninggalkan rumah kumuh milik ibu mertuaku. Rasanya ingin segera memamerkan segalanya pada mereka yang kemarin meremehkanku."Bagus sekali rumahnya, Bu," ucap Lisa dengan sangat antusias.Senyumku semakin lebar melihat anak-anak yang begitu bahagia dengan rumah barunya. Rumah dua lantai dengan dominasi cat berwarna putih dan gold memberi kesan mewah dan elegan. Kami sudah mengatur semua kamar masing-masing termasuk kamar ritualku untuk bertemu dengan Nyai."Mas, antarkan Ibu ke kamar! Aku ingin bicara

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-20
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Mimpi Lisa Jadi Nyata (POV Lisa)

    Aku menggosok mata dan melirik jam dinding dengan rasa kantuk yang luar biasa. Ternyata aku terbangun di tengah malam, karena jam menunjukkan tepat pukul dua belas malam. Badanku terasa lelah setelah membantu Ibu membereskan barang saat pindahan. Rasanya semua ini hanya mimpi. Aku memiliki kamar bagus karena biasanya kami tidur dalam satu ruangan dengan berdesak-desakkan. Pengap, panas, bahkan ingin mendapat angin pun harus memakai kipas tangan.Sekarang aku tidak menyangka, Ibu dan Ayah bekerja dengan giat hingga bisa membeli rumah semewah ini. Sekarang aku punya AC sendiri di kamar, tidak kegerahan lagi seperti kemarin. Entah mengapa rasanya malam ini haus sekali. Aku harus turun ke bawah untuk mengambil air minum. Ternyata tidur di lantai atas cukup merepotkan sampai harus menuruni anak tangga dengan suasana yang begitu gelap. Ya, di sini gelap dan dingin. Sesekali kuusap tengkuk karena hawa aneh yang begitu menusuk, ditambah bau melati yang begitu menyengat. Akhir-akhir ini Ibu

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-25
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Pilihan dari Nyai

    Aku masuk ke sebuah kamar dengan membawa sarapan di atas nampan dan meletakannya pada meja sisi ranjang. Gorden masih tertutup rapat. Kubuka perlahan agar matahari pagi ini bisa masuk dengan leluasa.Gadis itu masih terlelap. Kubelai pucuk kepalanya dengan lembut sampai akhirnya mata itu mulai terbuka perlahan. "Ibu ...!" Gadisku memeluk dengan erat sembari menangis ketakutan. Aku hanya membalas dekapan itu dengan membelai rambutnya yang panjang."Tenanglah, Lisa!" Aku mencoba menjadi sosok ibu yang selalu ada di saat ia membutuhkan."Aku takut, Bu," ucap putriku lirih. Aku tak bisa berkata apa-apa selain membalas pelukannya yang begitu erat dengan tubuh bergetar hebat."Ibu, tunggu!" Lisa melepaskan pelukannya. "Apa yang terjadi padaku, Bu?" Aku hanya tersenyum dan menghapus air mata yang sudah membasahi pipi merahnya. "Katakan, Bu!" "Ibu tidak tahu, Lisa. Ibu hanya mendengar teriakanmu. Saat masuk, kamu sudah dalam keadaan tergeletak di ujung sana," jelasku menunjuk salah satu

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-25
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Kematian Ibu Mertua

    Bulan purnama telah tiba, hari di mana tumbal akan kami berikan kepada Nyai. Perjanjian sudah kusepakati tanpa sepengetahuan Mas Darman, ia tak boleh tahu tentang apa yang aku janjikan kepada Nyai.Kami merapikan kamar untuk pemanggilan Nyai. Sesajen dan syarat lainnya sudah tersedia dengan rapi. Entah mengapa pikiranku selalu teringat pada Lisa, padahal keadaannya berangsur pulih dan sudah bisa masuk sekolah kembali. "Marni ...!" Panggilan dari Mas Darman membuatku terperanjat. "Iya, Mas?" "Kamu kenapa?" Aku menggeleng perlahan. Dia tidak boleh tahu dengan apa yang kupikirkan. Aku akan menjadi seorang pengecut di mata Mas Darman, jika ia mengetahui ketakutan dalam hatiku tentang keadaan keluarga kami ke depannya."Apa sudah selesai semuanya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.Mas Darman yang sedang menyiapkan berbagai macam bunga berhenti dan mengangguk. "Sudah ko, Dek," ucapnya menyimpan semua peralatan di atas meja. Aku harus bertanya sekali lagi pada Mas Darman, apa dia sudah

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-25
  • Pesugihan Tumbal Nyai   Penghalang Harus Mati

    Aku masih memandangi Mas Darman yang menangisi jenazah Ibunya. Dari dimandikan sampai dikafani Mas Darman setia disisi Ibu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Lalu, siapa yang menemani ritual malam tadi? Kami dan para warga mengiringi jenazah Ibu ke tempat peristirahatan terakhir. Suamiku terlihat sedikit tegar untuk kali ini, ia ikut masuk ke liang lahat untuk menemani Ibu yang terakhir kali. Proses pemakaman telah usai. Kami sekeluarga berjalan beriringan. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, bahkan aku tidak berani bertanya pada Mas Darman tentang kejadian yang tengah menimpanya semalam."Pak ... Bu!" Panggilan dari arah belakang membuatku menoleh. Tampak Ustaz Zul tergesa-gesa menghampiri kami. "Pak ... Bu, ada yang ingin saya bicarakan," ucapnya dengan sedikit terengah-engah. Aku segera menoleh ke arah Lisa, lantas memerintahkannya untuk pulang terlebih dahulu, "Lisa, kamu pulang duluan, sekalian bawa adikmu! Nanti kami menyusul." Lisa mengangguk da

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-25

Bab terbaru

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Akhir Cerita

    Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Takdir (POV Lisa)

    Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Ungkapan Rasa

    Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Sudah Meninggal

    Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Kabar Baik dan Buruk 2

    Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Kabar Baik dan Buruk 1

    Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Rahasia Masa Lalu

    Saat Lisa pergi ke taman, Bu Nyai mendatangi Dokter untuk hasil pemeriksaan kemarin. "Apa yang terjadi, Dokter?” tanyanya. Bu Nyai tak sabar.Dokter tampak mengembuskan napas berat. “Semua indra di tubuh Lisa tidak bekerja dengan baik. Hanya mata yang dapat melihat, itu pun pandangannya buram. Kami masih memeriksa bagian yang lain. Pasti kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.”Penjelasan dokter masih belum dimengerti sepenuhnya baik oleh Kyai dan Bu Nyai, atau pun Andi. Rasanya mustahil hal itu terjadi pada Lisa yang tidak mengalami kecelakaan apa pun.Setelah kejadian malam itu, kondisi Lisa sangat mengkhawatirkan sehingga mereka memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Tubuhnya sama sekali tidak merespons apa pun. Baik suntikan, infus mau pun obat-obatan. Dia hanya tergeletak hampir seperti mayat hidup, dan itu berjalan selama kurang lebih dua bulan lamanya.Kini ... setelah Lisa sudah bangun, malah kenyataan pahit ini yang mereka terima. Apa sebenarnya yang dijanjikan Da

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Lisa yang Menyedihkan (POV Lisa)

    Aku mengerjap beberapa kali. Cahaya terang begitu menyilaukan mata, hingga pandanganku sulit beradaptasi.Cukup lama aku seperti itu, sampai perlahan aku bisa membuat mata dengan sempurna. Kedua netra mengedar ke sekitar. Tidak asing.Ruangan serba putih dengan bau khas yang menusuk hidung. Aku tentu tahu peralatan yang ada di ruangan ini. Belum lagi dengan pakaian biru muda yang melekat di tubuh ini. Menegaskan bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit.Ada beberapa orang dokter tersenyum entah sebab apa. Mereka terus memeriksa infus yang terhubung ke tangan kiriku. Lalu beberapa peralatan yang aku tidak tahu apa namanya.Indra pendengaranku tidak bisa menangkap apa yang sedang mereka bicarakan. Bibir mereka bergerak-gerak seperti sedang berbicara satu sama lain, tetapi aku tidak bisa mendengar apa pun.Seluruh tubuhku rasanya sakit, bahkan untuk menggerakkan jari telunjuk rasanya sangat sulit. Aku hanya bisa melihat, menoleh ke sana ke mari dengan perlahan. Masih mencerna apa

  • Pesugihan Tumbal Nyai   Kendali Tubuh

    Entah sudah berapa lama Lisa duduk di atas sajadah. Tak ia pedulikan lagi rasa kebas yang menjalar di sekujur kaki. Yang ia tahu, dirinya harus terus di atas sajadah ini sampai Bu Nyai sendiri yang akan memberitahu kapan ia boleh berhenti berzikir.Makin lama ada rasa yang menjalar ke bagian atas tubuh. Bukan kebas seperti di kaki, tetapi lebih seperti rasa panas. Ingin sekali rasanya beranjak untuk meminum setidaknya seteguk air, hanya saja peringatan dari Bu Nyai syukurnya lebih mendominasi. Ini ujian, ia harus kuat, harus sanggup melewatinya. Lisa tidak tahu apa yang dialami Kyai Ilham dan rombongan di dalam hutan sana. Kalau hanya rasa panas tentunya akan harus bisa menahan.Rasa panas itu semakin menyiksa. Seperti siap kapan saja membakar raga. Berulang kali ia tersengal menahan sesak karena panas itu makin naik ke bagian kepala.Mata Lisa terbelalak saat merasa ada sebuah benda yang melilit leher dengan kuat. Ia meraba-raba bagian tersebut, tetapi tidak ada benda apa pun yang me

DMCA.com Protection Status