"Nak Bagas, kamu harus berhati-hati mulai sekarang!"
Bagas mendongakkan kepala. Kejadian seseorang yang dapat mengubah dirinya menjadi Kyai Ahmad membuatnya sulit percaya kepada siapa pun yang ada di pendopo."Bagaimana aku bisa membedakan kalian dengan tipuan?" tanya Feri, yang juga merasakan kebingungan.Bagas mengangguk setuju. "Ya, Kyai! Bagaimana cara membedakannya? Karena tidak ada celah untuk mengetahui yang asli dan yang palsu!"Kyai Ahmad mendekat, lalu membisikkan sesuatu kepada mereka. Setelah itu, beliau memberikan sebuah gelang emas yang akan terlihat hanya ketika mereka membacakan doa. Itu akan menjadi tanda bahwa mereka adalah manusia asli."Gelang ini tidak bisa dilihat oleh orang lain, Bah?" tanya Feri, masih ragu. "Lalu bagaimana dengan yang lain? Apa mereka juga akan diberi gelang seperti ini?"Kyai Ahmad menghela napas, tampak tenang. "Tenang saja! Abah akan memberikannya juga kepada mereka."Saat gel"Apa yang harus ku lakukan sekarang?" Bagas duduk di kursi kayu di depan rumah Ratih, menatap kosong ke arah kegelapan malam. Tangannya terangkat, menyibak lengan bajunya. Mata Bagas membelalak saat melihat bulu halus di lengannya yang semakin lebat dan tebal. Jantungnya berdebar. "Mau dicukur sampai kapan pun, bulu ini selalu tumbuh lebih banyak. Bagaimana sekarang?" gumamnya pelan. Angin malam berembus pelan, membuat helaian bulu di tangannya bergerak perlahan. Bagas meremas ujung bajunya dengan kuat, seolah berusaha menahan gemetar tubuhnya. Kegelisahan di hatinya semakin besar. Dulu, dia masih bisa menyembunyikannya dengan pakaian panjang—baju lengan panjang, celana panjang, bahkan sarung tangan saat bepergian. Tapi kini, tubuhnya semakin sulit dikendalikan. "Sampai kapan aku bisa menutupi ini?" bisiknya. Bagas mengusap wajahnya. Kulitnya terasa kasar, seperti ada sesuatu yang tumbuh di bawah permukaannya. Dia meraba pipinya dan merasakan bulu-bulu halus yang mulai menjalar
"Bagas, rumah itu buat anak setanmu, ya?" Suara itu terdengar begitu familiar. Bagas mengernyit. Sejak dulu, mereka—warga desa yang selalu mencaci makinya—tak pernah berubah. Saat dia miskin, mereka menghinanya. Saat dia kaya, mereka tetap merendahkannya. Bagas berusaha mengabaikan mereka. Tangannya sibuk menggergaji kayu, mencoba fokus pada pekerjaannya. "Hei, urus saja hidup kalian sendiri! Jangan ikut campur urusan orang lain!" teriak Bagas. Namun, bukannya pergi, warga malah semakin berani. "Sombong banget! Miskin tapi belagu!" seseorang berteriak lantang. Bagas mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi. Namun, kesabarannya kini hampir habis. Matanya yang tadinya cokelat perlahan berubah merah. Dia berdiri, menatap mereka satu per satu. Napasnya mulai memburu, ada sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Buk! Tanpa sadar, kepalan tangannya melayang dan mendarat di wajah salah satu warga. Warga yang lain langsung terperanjat. Mereka tak menyangka Bagas akan melawan. "Kurang
"Mas Bagas!"Ratih terbangun dengan napas memburu. Tangannya terulur seolah ingin meraih sesuatu yang tidak ada di sana. Matanya membelalak, keringat dingin membasahi dahinya."Kenapa aku mimpi seperti itu?" gumamnya, masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan.Dalam mimpi itu, dia melihat suaminya berdiri di tepi sungai dengan tubuh yang tidak lagi seperti manusia. Matanya merah menyala, kulitnya ditumbuhi bulu lebat, dan tubuhnya membesar seperti raksasa. Dia tidak mengenali Bagas dalam sosok itu.Ratih turun dari tempat tidur. Perasaan gelisah semakin menguasainya. Rumah terasa begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan burung hantu yang terdengar. Dia membuka pintu depan dan melangkah keluar. Angin malam yang dingin menerpa kulitnya, tapi itu tidak menghentikan langkahnya untuk memandang ke sekeliling."Mas Bagas mana, ya? Kenapa sudah malam begini belum pulang?" suaranya terdengar gemetar.Dia kembali masuk ke dalam rumah dan melihat jam dinding. Sudah pukul set
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Bagas berdiri di pojok rumah dengan tubuh besarnya. Cahaya redup dari lampu minyak membuat bayangannya tampak semakin menyeramkan. Namun, dia tidak menjawab ucapan Ratih. "Mas, kamu kenapa?" suara Ratih bergetar, mencoba mendekati suaminya. Bagas hanya menggeram. Suaranya terdengar berat dan dalam. Tubuhnya semakin tinggi, lebih besar dari sebelumnya. Ratih mencoba meraih tangan besar itu, tapi Bagas malah menghempaskannya dengan kasar. Hrgh! Erangan itu menggema di ruangan. Ratih mundur selangkah, dadanya berdebar kencang. Lalu, tiba-tiba, Bagas menghilang begitu saja ke balik dinding kayu rumah mereka. Ratih terperangah. Matanya membelalak tidak percaya. "Mas ... Mas!" Dia menggedor dinding itu, berharap Bagas kembali muncul. Tidak ada jawaban. Ratih meremas rambutnya. Napasnya tersengal. Dia benar-benar tidak menyangka Bagas bisa menghilang begitu saja. Tangannya gemetar, menggigit jarinya sendiri sambil mondar-mandir tidak karuan.
"Kiai, tunggu!" Ratih berteriak sekencang mungkin. Dia tahu tidak ada waktu untuk menenangkan diri. Waktu terus berjalan, dan setiap detik terasa berharga. "Kiai, tunggu saya!" napasnya memburu, jantungnya berdetak tak beraturan. Kiai Ahmad, yang baru saja pulang dari masjid, menghentikan langkahnya dengan dahi berkerut. "Ada apa?" tanyanya. "Mas Bagas, Kiai... itu... Mas Bagas!" suara Ratih terdengar gemetar, ucapannya terbata-bata. Kiai Ahmad segera memahami ada sesuatu yang serius. Dia menepuk bahu Ratih dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Coba jelaskan perlahan. Apa yang terjadi?" Ratih menarik napas dalam-dalam. Dia berusaha mengatur jantungnya yang masih berdegup kencang. Setelah beberapa saat, dia mulai menceritakan apa yang telah terjadi. "Mas Bagas sudah berubah sepenuhnya!" kata Ratih dengan mata berkaca-kaca. Kiai Ahmad tersentak. Dia memang sudah menduga hal ini akan terjadi pada Bagas. Bagaimana tidak? Bagas telah bersekutu dengan iblis. Silsilah keluarganya p
"Astaghfirullah, Mbak Siti!" Mata Ratih terbelalak melihat Siti terbujur kaku di lantai. Kulitnya gosong dan kering, matanya melotot ke atas seolah menyaksikan sesuatu yang mengerikan sebelum ajal menjemput. "Mbak Siti, kenapa?" suara Ratih bergetar, dadanya sesak oleh ketakutan. Dia berlutut di samping jasad Siti, tangannya gemetar saat mencoba meraba denyut nadinya. Tidak ada detak, tidak ada kehidupan. Siti telah tewas dengan cara yang mengenaskan. Ratih menelan ludah, berusaha mengendalikan kepanikannya. "Kiai, bagaimana ini?" tanyanya dengan suara tercekat. Kiai Ahmad memandang jasad Siti dengan dahi berkerut. "Kenapa bisa seperti ini?" Ratih menghela napas berat. "Aku... aku meminta tolong padanya untuk menjaga Jagat dan Kala, Kiai," ucapnya, sedikit ragu. Kiai Ahmad mundur selangkah. Wajahnya menegang, dia mulai menyadari sesuatu yang mengerikan. "Tapi, kamu kasih tahu, kan? Dia nggak boleh menatap Jagat dan Kala terlalu lama?" Ratih terdiam sejenak, mencoba meng
"Wah, ini persis seperti kematian Bu Ajeng!" Bisik-bisik warga mulai terdengar, mereka saling berpandangan dengan wajah penuh kecemasan. Jasad Siti terbujur kaku dengan kondisi yang mengenaskan, sementara suaminya tersedu di depan tubuh tak bernyawa istrinya. "Maafkan saya, Pak..." ucap Ratih lirih. Suami Siti hanya menatapnya dengan mata sayu, penuh kesedihan dan kebingungan. Dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya. Kyai Ahmad maju ke tengah kerumunan, lalu mengarahkan warga untuk segera memandikan jenazah. "Semua perlengkapan sudah disiapkan?" "Sudah, Pak Kyai," jawab seorang lelaki paruh baya. Jasad Siti diangkat dengan hati-hati dan diletakkan di atas meja panjang. Para ibu-ibu mulai menyiram tubuhnya dengan air perlahan. Namun, saat air siraman pertama mengenai wajahnya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Mata Siti terbuka lebar! Jeritan histeris langsung memenuhi ruangan. Beberapa orang berhamburan keluar, sementara yang lain hanya bisa berdiri ka
"Jagat... Kala...."Ratih melihat kedua anaknya berjalan perlahan ke arah Hutan Terlarang—tempat yang seharusnya tak boleh dimasuki siapa pun. Panik, dia segera berlari mengejar mereka. Namun, semakin cepat dia berlari, semakin jauh jarak mereka."Jangan ke sana! Jangan!"Dia berteriak sekuat tenaga, tetapi kedua anaknya tidak menoleh. Seolah-olah mereka tidak mendengar suara ibunya sama sekali.Lalu, di dalam kegelapan hutan, sesosok makhluk besar bertanduk berdiri tegak di hadapan Jagat dan Kala. Makhluk itu berbicara kepada mereka dalam bahasa yang tak dimengerti Ratih. Suaranya bergemuruh seperti kilat yang menyambar."Jagat... Kala, jangan—"Ratih tersentak. Tatapan anak-anaknya kini berubah. Mata mereka bersinar merah menyala, seperti bara api yang menyala-nyala dalam kegelapan.Tiba-tiba saja, tubuh mereka melesat cepat—dalam sekejap, wajah mereka sudah tepat di depan wajah Ratih!Ratih gemetar. "Nak, kalian anakku! Mau seperti apa pun diri kalian... kalian tetap anakku!" ucapn
"Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar
"Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok
"Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba
“Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.
“Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te
"“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a
"“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik
Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku
“Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua