Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 222. Anak Kembar masih terlihat Aneh

Share

222. Anak Kembar masih terlihat Aneh

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-23 17:59:57

"Kamu itu bukan anakku!"

Suara Ratih melengking, dipenuhi amarah dan ketakutan. Napasnya memburu saat menatap kedua anaknya yang berdiri di samping ranjang dengan tatapan kosong. Tubuh mereka kecil, tetapi ada sesuatu yang mengerikan di mata mereka—sesuatu yang membuat Ratih semakin muak.

Siapa yang ingin memiliki anak dengan wujud seperti setan? Anak-anak yang selama ini menghantui hidupnya?

"Kalian lihat apa?! Jangan harap aku akan menyusui kalian lagi!" Ratih meluapkan kekesalannya, suaranya bergetar di antara kemarahan dan kepanikan.

Namun, kemarahan itu tak berhenti hanya dengan kata-kata. Ratih mulai kehilangan kendali. Dalam kepanikan yang membutakannya, tangannya terangkat—dan tanpa ragu, dia mencengkram Jagat dan Kala dengan kasar.

PLAK!

Tangan Ratih menampar tubuh kecil mereka. Jagat dan Kala menangis keras, suara mereka melengking memenuhi kamar.

Bagas yang tengah berbaring di ruang tamu sontak terbangun. Jantungnya berdebar ketika mendengar suara tangisan anak-anakn
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   223. Terhipnotis

    "Dia bukan anakku!" Suara Ratih menggema di dalam rumah kontrakan yang pengap. Matanya penuh ketakutan dan kebencian, menatap kedua bayi yang meringkuk di sudut ruangan. Sementara itu, Bagas tak lagi memedulikan amarah istrinya. Pandangannya kini tertuju pada anak-anak mereka—Jagat dan Kala. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Bagas memperhatikan ekspresi mereka dengan saksama. Sorot mata yang terlalu tajam untuk bayi yang baru lahir, gerakan mereka yang terasa bukan seperti bayi biasa. "Bagaimana bisa bayi yang baru lahir terlihat begitu… menyeramkan?" batinnya gemetar. Bagas mengingat kembali bercak merah kebiruan di tubuh Ratih setelah menyusui mereka. Bukan sekadar tanda hisapan biasa—melainkan luka. Luka yang terlihat seperti bekas gigitan atau hisapan yang terlalu kuat. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu di lengan mungil Jagat. Sejumput rambut panjang—rambut Ratih—tergenggam erat di tangannya yang kecil.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-24
  • Pesugihan Genderuwo   224. Merangkak

    "Bu Ajeng, sadarlah!" Bagas berusaha membangunkan Bu Ajeng dari kondisi tidak sadarnya. Setelah memastikan Bu Ajeng dalam posisi aman, dia segera melepaskan ikatan pada Ratih."Tih, tolong jaga Bu Ajeng. Aku harus segera ke Desa Karangjati untuk memanggil Kyai Ahmad!" ujar Bagas dengan nada panik."Baik, Mas!" Ratih mengangguk, meskipun wajahnya masih diliputi kecemasan.Sebelum melangkah keluar, Bagas menoleh kembali. "Tih, apa pun yang terjadi, jangan melihat mata anak-anak kita. Paham?""I—iya, Mas!" Ratih menjawab dengan suara bergetar.Setelah Bagas pergi, Ratih mencoba menyadarkan Bu Ajeng dengan memanggil namanya berulang kali. Namun, Bu Ajeng tetap diam, tatapannya kosong. Ratih merasa panik; Bu Ajeng adalah tetangga yang baik hati, seorang janda tanpa anak yang tinggal sendirian."Bu Ajeng, sadarlah!" Ratih mengguncang pelan bahu Bu Ajeng, berharap ada respons.Di tengah kepanikannya, Ratih mendengar suara aneh—seperti ketukan pelan di dinding, yang kemudian berubah menjadi s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-25
  • Pesugihan Genderuwo   225. Korban Pertama Jagat

    Duk! Duk!"Ratih, bukalah pintunya!"Teriakan Bagas terus menggema, memburu ketakutan yang menyelimuti hatinya. Dia kembali menggedor pintu dengan lebih keras, tetapi tetap tidak ada jawaban.Dengan napas terengah, Bagas mengintip melalui celah jendela yang bolong."Astaga, Kyai!"Pandangannya langsung tertuju pada sesuatu yang membuat darahnya berdesir. Ratih terduduk di lantai dengan wajah pucat dan mata kosong. Jagat, bayi mereka terbaring di pangkuannya, tetapi ada sesuatu yang terasa… salah."Ada apa, Nak Bagas?" tanya Kyai Ahmad, suaranya penuh kewaspadaan.Tanpa menjawab, Bagas langsung mendorong pintu hingga terbuka dengan kasar. Seketika, hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Rumah itu terasa jauh lebih gelap dari biasanya, seperti ada bayangan pekat yang merayap di setiap sudutnya.Di dalam, Ratih masih diam terpaku. Tubuhnya gemetar, bibirnya membiru."Ratih, kamu kenapa?" Bagas buru-buru menghampirinya, mengguncang bahunya dengan lembut.Ratih masih tidak merespons. Matanya be

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • Pesugihan Genderuwo   226. Perubahan baru dalam mimpi

    "Meninggal dalam keadaan yang mengerikan … Kasihan Bu Ajeng!" Para warga merasa berduka atas meninggalnya Bu Ajeng. Namun, mereka belum mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Ratih berjongkok sambil menaburkan bunga di atas makam. Air matanya deras mengalir, jatuh membasahi pipinya. Dia tak menyangka bahwa anaknya bisa membuat seseorang melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan. "Ratih, ayo pulang!" Bagas mengangkat tubuh Ratih dan perlahan membimbingnya pergi. Ketika mereka sampai di depan rumah, Ratih tiba-tiba menoleh ke arah Bagas. "Mas, sebaiknya kamu tidak tinggal di rumah ini!" ujar Ratih tegas. Bagas mengerutkan dahi. "Ada apa? Kenapa?" tanyanya heran. "Bukankah kita sudah berpisah? Sebaiknya kita tidak tinggal serumah!" jawab Ratih tanpa ragu. Bagas mendengus kesal. "Aku tidak pernah mengatakan bahwa kita berpisah, Tih! Aku di sini mau membantu kamu menjaga anak-anak ini! Apa itu salah?" suaranya meninggi. Ratih langsung berjalan cepat masuk ke dalam rumah

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-27
  • Pesugihan Genderuwo   227. Bagas berbulu

    "Ini sangat aneh, Mas! Semua ini terlalu aneh!"Badan Ratih menggigil. Mimpi buruk yang baru saja dialaminya seolah membawanya kembali ke ketakutan lamanya—ke teror Genderuwo yang dulu pernah menghantuinya.Bagas menghela napas panjang. "Lalu harus bagaimana, Tih? Kita cuma bisa merawat bayi kita, kan?" ucapnya, mencoba menenangkan. Namun, nada suaranya terdengar pasrah, seolah menerima keadaan tanpa ingin melawan.Ratih menatapnya tajam. Emosinya meledak. "Yang benar saja, Mas! Kamu terlalu santai menghadapi ini! Sama seperti dulu! Kamu juga santai membunuh orang-orang yang tidak bersalah!"Bagas tiba-tiba berdiri. Tatapan matanya berubah gelap, penuh kemarahan. Dia menunjuk wajah Ratih dan berkata, "Apa sih maumu sekarang, Tih? Coba lihat ... lihat badanku!"Dengan gerakan cepat, Bagas membuka bajunya. Seketika, Ratih membelalak. Tubuh lelaki itu kini penuh bulu hitam lebat, merayap dari dadanya hingga ke perut dan tangannya."Coba kamu lihat baik-baik! Apa menurutmu aku bersenang-s

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-28
  • Pesugihan Genderuwo   228. Nyanyian Malam

    "Sampai kapan aku bisa bertahan sebagai manusia?"Lirih kepasrahan Bagas bercampur dengan derasnya hujan yang menghujam tanah. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena udara dingin yang menusuk, tetapi juga karena rasa sesal yang tak termaafkan.Dia tahu perbuatannya telah membawa kutukan. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Ratih dan anak-anak mereka. Bahkan, warga desa pun sudah mencurigainya, beberapa bahkan berniat membakar rumahnya."Hah ... terlalu banyak memikirkan dunia," keluhnya pada diri sendiri.Bagas menghela napas panjang. Semua ini akibat keserakahannya. Dulu, dia hanya ingin hidup lebih baik, ingin mengangkat derajat keluarganya. Tapi, kini dia sadar, yang dia lakukan hanyalah melempar mereka ke dalam jurang penderitaan."Aku nggak akan biarkan anak-anakku merasakan apa yang aku alami!" gumamnya, suaranya penuh tekad.Hujan semakin deras. Bagas yang tidur di luar rumah merasa hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Tiba-tiba, pintu rumah terbuka sedikit. Ratih mun

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Pesugihan Genderuwo   229. Anak-anak Setan

    "Ratih, sadarlah!"Bagas dengan sigap menarik Jagat dari pelukan Ratih dan segera meletakkannya kembali ke tempat tidur. Namun, begitu bayi itu lepas dari dekapannya, Ratih tiba-tiba berhenti bersenandung. Matanya yang tadinya kosong perlahan-lahan menatap Bagas.Bagas merasakan hawa dingin menyelimutinya. Ratih bukan sekadar menatap, tapi menelanjangi jiwanya dengan sorot matanya yang kelam."Astaga, Ratih!" teriak Bagas ketika melihat sesuatu merembes keluar dari sudut bibir istrinya.Cairan hitam pekat, kental seperti darah yang membusuk, menetes dari mulut Ratih, jatuh ke lantai dengan suara mencurigakan. Lalu, seakan seluruh isi perutnya mendidih, Ratih muntah dengan deras. Cairan hitam mengalir membanjiri lantai, menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung Bagas.Bruk!Tubuh Ratih ambruk ke lantai, tak sadarkan diri."Ratih … cepatlah bangun!" Bagas mengguncang bahunya, berusaha menyadarkannya.Tak lama kemudian, Ratih membuka matanya perlahan. Dia tampak kebingungan, tangannya te

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-02
  • Pesugihan Genderuwo   230. Sulit untuk dipercaya

    "Tih, aku akan pergi sebentar! Aku harus menyelesaikan rumah kecil yang akan berguna nantinya!" Bagas bergegas pergi, meninggalkan beberapa ubi dan singkong untuk Ratih makan. "Hati-hati!" kata Ratih, sambil melambaikan tangan. Kini, Ratih hanya bersama anak kembar yang aneh. Kala, yang terlihat sedang menunggu, melirik pergerakan Ratih. Seperti biasa, Ratih merasa cemas. Kala bukan bayi biasa. "Ada apa dengan lirikan ini?" gumamnya pelan. Dalam sekejap mata, anak yang baru saja lahir itu mampu menunjukkan sesuatu yang sulit diterima akal sehat. Rasanya tak mungkin ada bayi yang mampu melakukan hal-hal seperti yang ditunjukkan oleh Kala. "Astaga apa itu? Kenapa banyak yang tergeletak dengan bersimbah darah?" Ratih mencoba untuk tidak memikirkan hal-hal aneh yang sering terjadi. Dia tahu, seperti yang sudah sering diceritakan oleh Bagas, bahwa kedua anak kembar mereka, memiliki kemampuan luar biasa. Namun, setiap kali dia menyaksikan hal-hal yang terjadi, hatinya selalu berdeb

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   266. Desa Pesugihan

    "Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar

  • Pesugihan Genderuwo   265. Kehancuran Desa Karangjati

    "Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok

  • Pesugihan Genderuwo   264. Penyebab

    "Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba

  • Pesugihan Genderuwo   263. Pembantaian

    “Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.

  • Pesugihan Genderuwo   262. Teror

    “Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te

  • Pesugihan Genderuwo   261. Bisikan Balita IBlis

    "“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a

  • Pesugihan Genderuwo   260. Kebenaran Terkubur

    "“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik

  • Pesugihan Genderuwo   259. Amarah

    Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku

  • Pesugihan Genderuwo   258. Pembalasan

    “Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status