Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / 229. Anak-anak Setan

Share

229. Anak-anak Setan

Author: Wenchetri
last update Huling Na-update: 2025-03-02 04:07:28

"Ratih, sadarlah!"

Bagas dengan sigap menarik Jagat dari pelukan Ratih dan segera meletakkannya kembali ke tempat tidur. Namun, begitu bayi itu lepas dari dekapannya, Ratih tiba-tiba berhenti bersenandung. Matanya yang tadinya kosong perlahan-lahan menatap Bagas.

Bagas merasakan hawa dingin menyelimutinya. Ratih bukan sekadar menatap, tapi menelanjangi jiwanya dengan sorot matanya yang kelam.

"Astaga, Ratih!" teriak Bagas ketika melihat sesuatu merembes keluar dari sudut bibir istrinya.

Cairan hitam pekat, kental seperti darah yang membusuk, menetes dari mulut Ratih, jatuh ke lantai dengan suara mencurigakan. Lalu, seakan seluruh isi perutnya mendidih, Ratih muntah dengan deras. Cairan hitam mengalir membanjiri lantai, menyebarkan bau busuk yang menusuk hidung Bagas.

Bruk!

Tubuh Ratih ambruk ke lantai, tak sadarkan diri.

"Ratih … cepatlah bangun!" Bagas mengguncang bahunya, berusaha menyadarkannya.

Tak lama kemudian, Ratih membuka matanya perlahan. Dia tampak kebingungan, tangannya te
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Kaugnay na kabanata

  • Pesugihan Genderuwo   230. Sulit untuk dipercaya

    "Tih, aku akan pergi sebentar! Aku harus menyelesaikan rumah kecil yang akan berguna nantinya!" Bagas bergegas pergi, meninggalkan beberapa ubi dan singkong untuk Ratih makan. "Hati-hati!" kata Ratih, sambil melambaikan tangan. Kini, Ratih hanya bersama anak kembar yang aneh. Kala, yang terlihat sedang menunggu, melirik pergerakan Ratih. Seperti biasa, Ratih merasa cemas. Kala bukan bayi biasa. "Ada apa dengan lirikan ini?" gumamnya pelan. Dalam sekejap mata, anak yang baru saja lahir itu mampu menunjukkan sesuatu yang sulit diterima akal sehat. Rasanya tak mungkin ada bayi yang mampu melakukan hal-hal seperti yang ditunjukkan oleh Kala. "Astaga apa itu? Kenapa banyak yang tergeletak dengan bersimbah darah?" Ratih mencoba untuk tidak memikirkan hal-hal aneh yang sering terjadi. Dia tahu, seperti yang sudah sering diceritakan oleh Bagas, bahwa kedua anak kembar mereka, memiliki kemampuan luar biasa. Namun, setiap kali dia menyaksikan hal-hal yang terjadi, hatinya selalu berdeb

    Huling Na-update : 2025-03-03
  • Pesugihan Genderuwo   231. Flasback

    Duk! Duk!"Aku harus menyelesaikan rumah ini!" suara letih Bagas terdengar penuh keputusasaan. Perasaan penyesalan semakin bertambah seiring kayu demi kayu tersusun rapi."Gas, kamu ngapain? Buat apa rumah itu?" seru seorang warga yang menegurnya.Bagas tidak menjawab. Ia tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, tiba-tiba matanya menangkap sosok putrinya—Kala—berdiri tak jauh darinya."Apa itu Kala? Ah, nggak mungkin! Kala masih bayi, mana mungkin dia sebesar itu?" gumamnya pelan.Matanya menyipit, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Namun, dalam sekejap, sosok itu menghilang. Cuaca tiba-tiba berubah mendung. Kilatan petir mulai muncul di langit."Astaga, kenapa tiba-tiba cuacanya begini?" ucapnya sambil mengusap peluh.Tak lama, beberapa warga berlarian ketakutan. Teriakan mereka membuat Bagas ingin tahu apa yang telah terjadi."Pakde, ada apa?" tanyanya pada seorang warga tua."Itu, Pak Dulah tewas di ladangmu!" jawabnya dengan napas memburu.Bagas langsung terdiam. Ia terkejut, matan

    Huling Na-update : 2025-03-04
  • Pesugihan Genderuwo   232. Penyesalan tidak ada habisnya

    "Jadi, pagi ini dua orang tewas?"Suara Ratih bergetar saat mendengar cerita Bagas. Dia pun mulai menceritakan apa yang terjadi di dalam rumah—tentang suara langkah berat di luar, bayangan hitam yang berkelebat, dan pria asing yang menghilang tanpa jejak.Bagas tercengang. Jika dikaitkan, cerita mereka seolah saling terhubung. Sesuatu yang tak kasatmata sedang bermain di sekitar mereka."Sebenarnya, untuk apa Mas membangun rumah itu?" tanya Ratih akhirnya, suaranya penuh keraguan.Bagas menghela napas panjang. Ini saatnya. Dia tahu, cepat atau lambat, Ratih harus mengetahui kebenarannya. Dengan berat hati, dia mulai menceritakan peringatan Kyai Ahmad.Ratih mendengarkan dengan seksama. Saat Bagas selesai berbicara, tubuhnya melemas. Dia terduduk di lantai, wajahnya pucat."Jika Kyai sudah mengatakannya... aku nggak punya alasan untuk nggak percaya..." bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.Bagas menatap Ratih dengan so

    Huling Na-update : 2025-03-05
  • Pesugihan Genderuwo   233. Mimpi Nyata

    "Bu, apa kamu nggak sayang sama kita?"Suara kecil itu menggema di telinga Ratih. Tubuhnya tersentak hebat. Dia menoleh dan melihat kedua anaknya—Jagat dan Kala—berdiri tegap di hadapannya.Tapi ada yang aneh. Mereka tidak lagi sekecil bayi. Tubuh mereka lebih besar, jauh lebih tinggi dari yang seharusnya. Wajah mereka pucat, mata mereka tajam, dan senyuman di bibir mereka... itu bukan senyuman seorang anak."Apa kalian ... Jagat dan Kala?" suara Ratih bergetar, ketakutan menyelimuti hatinya.Mereka tertawa kecil. Namun, tawa itu melengking, nyaring seperti suara besi yang bergesekan."Bahkan Ibu tidak mengenal kami," ucap salah satu dari mereka. Tangannya memegang sesuatu—benda hitam berkilat yang Ratih tak bisa kenali.Ratih mundur selangkah. Tubuhnya gemetar.Ini bukan anak-anaknnya.Dia berbalik dan berlari sekuat tenaga. Namun, langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menariknya kembali. Dia terus b

    Huling Na-update : 2025-03-06
  • Pesugihan Genderuwo   234. Desas-desus Anak setan

    "Kalian sudah dengar belum? Ratih melahirkan!" Suara gemuruh memenuhi warung kopi di sudut desa Karangjati. Warga berkumpul, saling berbisik dan bertukar cerita, seolah membicarakan hal yang lebih menarik daripada panen tahun ini. "Serius? Bukannya Ratih sudah lama meninggalkan Bagas?" "Nah, itu dia yang aneh! Tiba-tiba dia pulang, hamil, lalu melahirkan anak kembar! Bagaimana bisa?" Bagas yang kebetulan sedang melewati warung hanya diam. Dia sudah mendengar banyak bisikan serupa selama beberapa minggu terakhir. Langkahnya tetap tenang, meskipun di dalam dadanya ada bara yang siap menyala. Namun, warga tak berhenti berbicara. "Bagas! Hebat juga, ya, si Ratih bisa hamil!" seru seorang lelaki bertopi caping dengan nada mengejek. Bagas pura-pura tak mendengar. Dia sibuk menyusun kayu di hadapannya, memukul paku dengan keras, berusaha mengabaikan suara-suara yang semakin mendekatinya. Tuk! Tuk! "Gas, gimana bisa Ratih hamil? Bukannya dia sudah lama pergi?" Bagas masih m

    Huling Na-update : 2025-03-07
  • Pesugihan Genderuwo   235. Mbah Sarni?

    Bab XI: Ancaman yang Menghilang“Anda siapa?”Bagas bergegas mengejar Mbah Sarni yang tiba-tiba meninggalkan kerumunan warga. Napasnya memburu, kakinya melangkah cepat di atas tanah yang berdebu. Tatapan matanya tajam, menatap penuh intimidasi ke arah wanita tua itu.Mbah Sarni tidak berhenti. Dia tetap berjalan dengan tenang seolah tak mendengar panggilan Bagas."Tunggu! Jangan pergi! Saya tidak akan membiarkan Anda pergi begitu saja!" seru Bagas keras.Wanita tua itu akhirnya berhenti. Dia berbalik perlahan, dan untuk pertama kalinya, mereka bertemu pandang dalam jarak dekat. Mata Bagas dipenuhi amarah, sementara mata Mbah Sarni kosong, seolah melihat sesuatu yang tak kasatmata.Bagas mendekat, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan."Kenapa Anda berbicara seperti itu kepada warga?" suaranya meninggi. "Jelas-jelas Anda tidak ada di sana saat istri saya melahirkan! Anda bahkan baru muncul di desa ini! Apa tujuan A

    Huling Na-update : 2025-03-08
  • Pesugihan Genderuwo   236. Penghakiman

    "Kalian di sini saja, biar aku dan Kadir yang ke Desa Sumberarum!"Seorang warga berkata lantang, bersiap berangkat ke desa tempat Ratih dan anak kembarnya tinggal. Malam semakin larut, dan obor yang mereka bawa menari-nari ditiup angin."Kenapa juga ya Ratih pergi dari Desa Karangjati?" tanya salah seorang warga, suaranya penuh rasa ingin tahu.Kadir, pria yang lebih tua dan cukup dihormati, mendengus. "Kalian ini bagaimana sih? Bagas dan Ratih sudah pisah rumah sejak lama!" Dia menyalakan obornya, cahayanya menerangi wajah seriusnya.Beberapa warga saling berpandangan. Salah satu dari mereka berbisik, "Kurasa karena Bagas sudah nggak kaya lagi."Bisikan itu memicu percakapan."Iya juga, dulu dia hidup berkecukupan. Tapi sekarang?""Kalian masih ingat kan, dulu ada desas-desus kalau Bagas pakai pesugihan?""Benar! Apalagi kakeknya juga pernah dituduh melakukan hal yang sama!"Obrolan itu semakin memana

    Huling Na-update : 2025-03-09
  • Pesugihan Genderuwo   237. Mbah Sarni adalah Ki Praja?

    Bab XII – Rahasia yang Kian Gelap"Mas, kamu ke mana aja?"Ratih menatap tajam ke arah Bagas yang baru saja tiba di rumah. Wajahnya memerah, sorot matanya penuh kemarahan."Kamu tahu nggak sih, Mas? Mereka semua bawa obor dan celurit! Mereka melihat anak kita seperti melihat iblis! Begitu kejamnya!" Ratih naik pitam, suaranya meninggi.Bagas terdiam sejenak. Dia menghela napas berat, jelas ada sesuatu yang mengganjal pikirannya."Maafkan aku, tadi di hutan aku mengalami kejadian aneh," jawab Bagas akhirnya.Ratih tetap cemberut. Dia bahkan tidak tertarik menanyakan kejadian yang dialami Bagas. Tanpa banyak bicara, dia langsung menarik tangan suaminya, menyeretnya ke dalam rumah."Lihat sendiri anak-anak kita!"Saat matanya jatuh pada Jagat, Bagas terkejut. Kulit anaknya tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak seharusnya terjadi."Loh, kenapa dengan Jagat?"Ratih men

    Huling Na-update : 2025-03-10

Pinakabagong kabanata

  • Pesugihan Genderuwo   266. Desa Pesugihan

    "Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar

  • Pesugihan Genderuwo   265. Kehancuran Desa Karangjati

    "Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok

  • Pesugihan Genderuwo   264. Penyebab

    "Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba

  • Pesugihan Genderuwo   263. Pembantaian

    “Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.

  • Pesugihan Genderuwo   262. Teror

    “Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te

  • Pesugihan Genderuwo   261. Bisikan Balita IBlis

    "“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a

  • Pesugihan Genderuwo   260. Kebenaran Terkubur

    "“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik

  • Pesugihan Genderuwo   259. Amarah

    Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku

  • Pesugihan Genderuwo   258. Pembalasan

    “Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status