Share

193. Hasutan

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-25 20:47:03

"Usir dan bakar dia hidup-hidup!"

Bambang mendengar bisikan itu lagi. Suaranya rendah, berat, tetapi jelas terdengar di telinganya meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya. Dia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan dirinya benar-benar sendirian. Namun, bisikan itu terus mengisi kepalanya, seolah berbisik langsung ke jiwanya.

“Aku yakin ini benar,” gumam Bambang sambil menatap rumahnya. Tangannya mengepal kuat, dan tatapannya berubah dingin. “Bagas memang pembawa sial. Dia penyebab semua bencana ini.”

Langkah Bambang berat tetapi penuh tekad. Dia meninggalkan rumahnya menuju warung kopi tempat warga desa sering berkumpul. Wajahnya terlihat penuh amarah, tetapi tidak ada yang tahu bahwa amarah itu bukan miliknya sepenuhnya. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikirannya, mengendalikan setiap gerak dan perkataannya.

Di warung, beberapa warga sedang duduk bercengkerama. Mereka tertawa kecil sambil menikmati kopi hitam pekat. Namun, suasana itu segera berubah ketika Bambang datang.

“Eh,
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   194. Ratih Memantau

    "Ada apa ini? Kenapa warga berkumpul di balai desa?"Ratih yang kebetulan melewati Desa Karang Jati melihat kerumunan besar di balai desa. Wajahnya langsung dipenuhi rasa cemas. Firasat buruk menyelusup dalam pikirannya, dan nama seseorang segera terlintas.“Jangan-jangan mereka—” Ratih menggantungkan kalimatnya, ragu untuk melanjutkan. Namun, kekhawatiran di hatinya semakin menguat. “Mau melabrak Mas Bagas!” gumamnya, suaranya pelan tapi penuh ketegangan.Dengan hati-hati, Ratih bersembunyi di balik pepohonan, berusaha tetap tak terlihat. Dari kejauhan, dia mengamati para warga yang terlihat bersemangat, bahkan penuh emosi. Beberapa membawa obor yang menyala terang, menciptakan pemandangan yang tampak seperti adegan dari masa lampau, di mana massa menghakimi tanpa ampun.“Kenapa mereka begini? Apa yang sebenarnya terjadi?” pikir Ratih dalam hati, was-was. Dia terus memperhatikan tanpa berani mendekat, tubuhnya tegang seolah-olah dia juga merasakan ancaman itu.Namun, jauh di lubuk h

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Pesugihan Genderuwo   195. Bagas Kabur ke hutan Terlarang

    "Kenapa aku bisa di rumah? Bukannya tadi aku ada di rumah Ki Praja?" Bagas duduk termenung di ruang tamu, mencoba mengingat kejadian terakhir yang dialaminya. Semuanya terasa kabur dan membingungkan. Dia merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tak tahu apa. Tatapannya kosong, pikirannya terus berputar-putar mencari jawaban. Namun, belum sempat dia memahami apa yang terjadi, suara gaduh dari luar rumah mengalihkan perhatiannya. Terdengar langkah kaki banyak orang, disertai suara teriakan yang semakin mendekat. Bagas segera berdiri, matanya menatap penuh kewaspadaan ke arah jendela. "Usir dia! Keluar dia dari desa ini!" "Kita harus bertindak tegas!" Teriakan itu menggema di luar, membuat dada Bagas berdebar kencang. Dia menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski rasa cemas sudah membanjiri pikirannya. "Apa lagi ini?" gumamnya pelan. Pandangannya tak lepas dari kerumunan warga yang semakin dekat. Apa pun yang terjadi, Bagas tahu malam ini tidak akan berlalu dengan mudah. Bamban

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Pesugihan Genderuwo   196. Kocar-kacir

    "Cari dia sampai ketemu!"Teriakan salah seorang warga menggema di dalam gelapnya hutan. Obor-obor yang mereka bawa menebarkan sinar temaram di antara pepohonan lebat, namun hanya kegelapan hutan yang menyambut mereka. Beberapa warga terlihat gugup, langkah mereka melambat seiring dengan makin dalamnya perjalanan ke hutan terlarang."Eh, ini kan hutan terlarang di desa kita," ucap salah seorang warga dengan suara bergetar, berusaha mengingatkan yang lain."Benar juga," sahut warga lain yang tampaknya mulai menyadari situasi mereka. "Kita sudah terlalu jauh masuk. Ini bukan tempat biasa. Jangan-jangan ada sesuatu di sini!"Rasa takut mulai menyelimuti mereka. Beberapa warga mengangguk setuju, dan perlahan mereka memutuskan untuk berbalik arah. Namun, baru saja mereka ingin melangkah kembali menuju desa, suara keras tiba-tiba menggema dari dalam hutan.Graawwrr!Suara itu menyerupai raungan binatang buas, tetapi terdengar tidak seperti suara makhluk biasa. Suaranya memekakkan telinga, m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-28
  • Pesugihan Genderuwo   197. Deretan Kesialan

    "Aku akan aman di sini!" Bagas berteduh di sebuah gubuk tua di tengah hutan. Napasnya masih tersengal-sengal setelah berlari sejauh itu. Dadanya naik turun, mencoba mengatur ritme pernapasannya yang terasa berat. Hujan mulai turun rintik-rintik, menambah suasana semakin kelam. Dia menatap kosong ke depan, pikirannya melayang. Entah sejak kapan, hidupnya mulai terasa seperti mengulang takdir kakeknya, Wartono—diusir dari desa, terpaksa pergi tanpa tujuan. "Ah, hidup macam apa ini?! Aku benci diriku sendiri!" Bagas menggeram frustasi. Dengan penuh amarah, dia memukul batu besar di hadapannya. Tangannya terasa sakit, tapi tidak sebanding dengan rasa sakit yang dia pendam dalam hatinya. Semua terasa sia-sia. Tidak ada lagi tempat baginya untuk kembali."Sampai sekarang pun aku masih mendapatkan informasi yang simpang siur tentang Mbah dan Ki Praja! Ah, kenapa sih dunia ini buat aku pusing?!"Bagas berteriak, suaranya menggema di tengah hutan yang sunyi. Dadanya naik turun, dipenuh

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-29
  • Pesugihan Genderuwo   198. Kesaksian

    "I—itu, Kyai! Di hutan sana ada yang aneh!" Segerombolan warga berlari dengan napas tersengal-sengal, wajah mereka pucat dan tubuh masih gemetar. Mereka langsung mendatangi Kyai Ahmad, pemuka agama yang paling dihormati di desa. Kyai Ahmad yang sedang duduk di serambi masjid memandang mereka dengan tatapan tenang, meskipun jelas terlihat raut khawatir di wajahnya. "Kalian habis ngapain?" tanyanya sambil mengamati ekspresi mereka yang tampak panik. Seorang warga, Pak Sugeng, masih berusaha mengatur napas sebelum akhirnya menjawab, "I—itu, Kyai, kita semua tadi mengejar Bagas yang lari ke hutan!" Kyai Ahmad mengernyitkan dahi. "Kenapa kalian mengejar dia? Ada masalah apa?" Para warga saling pandang, lalu salah satu dari mereka, Pak Sukri, dengan nada penuh keyakinan berkata, "Kata Bambang, dia tahu semua yang dilakukan Bagas! Dia yang bilang kalau Bagas melakukan pesugihan, Kyai." Namun, sebelum Kyai Ahmad bisa menanggapi, Bambang yang berdiri di tengah kerumunan tiba-tiba berseru

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-30
  • Pesugihan Genderuwo   199. Langkah Memori

    "Sampai kapan aku begini!" Bagas mengusap perutnya yang keroncongan. Sudah berjam-jam dia bertahan di gubuk reyot ini, tapi dia tahu dirinya tidak bisa tinggal di sini selamanya."Aku nggak mungkin di sini terus!" keluhnya sambil berdiri dengan tubuh yang sempoyongan.Kakinya terasa lemah, kepalanya pusing, tapi dia memaksakan diri untuk berjalan meninggalkan tempat berteduhnya. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban tak kasat mata yang menekannya.Perjalanan ini membuat pikirannya kembali ke masa lalu. Keputusan-keputusan buruk yang dia buat, perjanjian yang dia setujui, dan dampak mengerikan yang kini harus dia tanggung.Beberapa meter ke depan, matanya menangkap sebuah rumah yang tampak tak asing."Itu rumah Ki Praja!" desisnya.Bagas mempercepat langkahnya. Dia tidak ingin menghampiri rumah itu. Tidak setelah apa yang terjadi terakhir kali.Namun, saat melintas di dekatnya, tubuhnya tiba-tiba terasa aneh. Dadanya berdenyut sakit, keringat dingin membasahi punggungnya, dan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-31
  • Pesugihan Genderuwo   200. Dirinya yang bukan Manusia

    "Lebih baik aku cepat pulang, di sini sudah nggak wajar!"Bagas mempercepat langkahnya. Rasa takut dan was-was menguasai dirinya. Setiap kali dia menoleh ke belakang, dia merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari dalam kegelapan.Begitu mencapai perbatasan hutan dan desa, Bagas berhenti sejenak. Napasnya tersengal, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa tak ada warga yang berkeliaran di sekitar."Aku nggak boleh ketahuan!" gumamnya pelan.Di kejauhan, terlihat beberapa rumah penduduk masih menyala dengan cahaya lampu minyak. Malam belum terlalu larut, tapi suasana desa terasa sunyi, terlalu sunyi.Bagas berjalan mengendap-endap menuju rumahnya. Saat sampai di depan, dia melihat batu-batu masih berserakan di teras—sisa amukan warga yang mengusirnya beberapa hari lalu.Dengan hati-hati, dia melangkah masuk seperti maling di rumahnya sendiri."Aman ... Nggak ada warga yang lihat!" bisiknya sambil menutup pintu pelan-pelan.Begitu berada di

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • Pesugihan Genderuwo   201. Tekanan Semakin Kuat

    Pagi yang muram menyelimuti desa. Matahari baru saja naik, tetapi sinarnya terasa suram, seolah enggan menyentuh bumi. Bagas terbangun di lantai dengan tubuh yang terasa kaku. Semalaman dia tertidur di sana setelah menyaksikan perubahan yang terus menghantuinya. Bayangannya sendiri yang bergerak tanpa kendali. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. "Ah, pagi ini aku harus apa?" gumamnya sambil merenggangkan tubuh. Bagas menatap kedua tangannya. Bulu-bulu kasar masih memenuhi kulitnya, dan wajahnya terasa lebih berat, seperti semakin tua dan berkerut. "Aku nggak bisa terus seperti ini—" Dia menatap sekeliling rumahnya yang berantakan, penuh dengan pecahan cermin dan sisa-sisa amukan frustrasinya semalam. "Aku harus ke ladang! Siapa tahu harapan masih berpihak kepadaku!" katanya pada diri sendiri, mencoba membangun semangat yang hampir musnah. Bagas mengenakan pakaian lengan panjang dan celana panjang, berusaha menutupi bulu-bulu aneh yang terus tumbuh di tub

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-02

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   215. Suara mengerikan

    Ratih terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Matanya memandang ke arah bayangan dirinya di cermin. Tatapan merah menyala itu bukan lagi miliknya. Itu adalah mata seorang pemangsa. "Aku seperti ... Mas Bagas!" gumamnya, nyaris tak percaya. Dia mengingat betul bagaimana Bagas dulu. Setelah menerima berkah pesugihan, suaminya menjadi sosok yang haus darah, makan daging mentah dengan lahap, dan sering kali kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Tapi Bagas masih bisa bertahan, sedangkan dirinya? Dia lebih buruk. Jauh lebih buruk. Ratih memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi buruk. Tapi sensasi menjalar di tubuhnya terlalu nyata. Kengerian itu terlalu jelas. Kepalanya terasa berputar, mulutnya masih dipenuhi sisa darah kepala kambing yang tadi dia makan. "Aaaah!!!" Teriaknya tiba-tiba. Dia menjambak rambutnya, menariknya dengan kasar seakan ingin merobek kepalanya sendiri. Namun, itu tak cukup. Dia butuh lebih dari sekadar kesakitan biasa untuk melepaskan diri dari penderitaan i

  • Pesugihan Genderuwo   214. Kepala Kambing

    "Neng, bangun!" Suara familiar terdengar di telinga Ratih. Tubuhnya sedikit diguncang. Mata Ratih terbuka dan melihat seorang lelaki di depannya. "Siapa?" tanyanya. Mata Ratih masih samar, tetapi suara itu terdengar tidak asing. Itu adalah tukang becak yang sering dia temui. "Neng, kamu kenapa?" "Iss, kepalaku sakit! Ada apa, Kang?" tanya Ratih masih terlihat lemas. Tukang becak itu memberikan bungkusan kepada Ratih. "Ini barangnya tertinggal." "Oh, makasih, letakkan saja di atas meja!" ucap Ratih sambil memegangi kepalanya. Setelah itu, tukang becak itu pamit untuk pulang. Namun, dia tampak terkejut melihat Ratih. Bahkan, dia gemetar saat meletakkan bungkusan itu. "Apa itu benar-benar kepala hewan?" katanya pelan hampir tak terdengar Ratih. Bukannya langsung segera pergi, tukang becak itu tidak bergerak. DIa masih berdiri di tempatnya, menatap Ratih dengan sorot mata penuh ketakutan. "Neng .…" suaranya bergetar. "Isinya itu beneran kepala hewan, ya?" Ratih, ya

  • Pesugihan Genderuwo   213. Babak baru

    "Haha, belum saatnya semua ini berakhir!"Suara itu terdengar mengerikan, lebih dalam dan bergema, seolah bukan berasal dari tenggorokan manusia. Jelas, sosok di hadapan mereka bukanlah Kyai Ahmad yang asli.Bagas menelan ludah, tubuhnya menegang. Sosok itu masih menyerupai Kyai Ahmad, tetapi ada sesuatu yang janggal—cara berdirinya terlalu kaku, dan sorot matanya terlalu tajam, lebih seperti predator yang mengincar mangsanya.Dalam hati, Bagas yakin sosok itu bukan sekadar penyamaran Ki Raden Praja. Bisa saja dia dibantu oleh Genderuwo—makhluk astral yang pernah membantunya dalam pesugihan."Apa yang kamu inginkan?!" tanya Kyai Ahmad tegas, suaranya menggema di dalam pendopo. Tangannya menggenggam tasbih erat-erat, menunjukkan keteguhan hatinya.Makhluk itu menyeringai tipis, sudut bibirnya terangkat dengan cara yang tidak wajar. Perlahan, dia mengangkat tangannya dan menunjuk lurus ke arah Bagas."Kehancuranmu!"Bagas tersentak.Jantungnya seakan berhenti berdetak. Kepalanya terasa

  • Pesugihan Genderuwo   212. Dua Kyai

    "Sepertinya ini sudah di luar kendali!" Kyai mulai mencium bau yang kurang sedap, seperti ada sesuatu yang telah dilakukan di pendoponya. "Saya serius, Kyai. Sejak tadi saya bicara dengan Kyai, dengan segala keluh kesah saya!" Bagas mencoba meyakinkan Kyai Ahmad. "Ya, Nak Bagas, saya percaya hal itu. Mungkin saja ini kerjaan orang iseng yang membuat kita terpecah belah," jelas Kyai sambil terus memandang kamar tersebut. Bagas mencoba mencerna setiap kejadian, namun dia tidak menemukan cela sedikit pun. Semua gaya bicara dan kebijaksanaan Kyai membuatnya bingung, tak tahu mana Kyai yang asli. "Jelas ini pasti ulah Ki Praja. Dia bisa berubah jadi apa saja—bahkan mungkin saat ini bisa saja dia berubah jadi Feri atau kembali berubah seperti Kyai!" gumamnya pelan. Feri yang merasa tatapan Bagas begitu tajam padanya langsung mengumpat."Heh, apa yang kamu lihat?" tanyanya dengan nada ketus."Tidak—" Bagas mencoba menjawab, tetapi Feri langsung memotongnya."Jangan bohong, Mas Bagas! S

  • Pesugihan Genderuwo   211. Tidak ada Tanda

    'Astaga, apa lagi kejadian ini? kenapa ... kenapa buat aku bingung?' batinnya. Tadi, dia baru saja berbicara dengan Kyai Ahmad di Pendopo. Mereka membahas kutukan yang mengalir di darahnya—kutukan yang berasal dari kakeknya, Wartono. Setelah mendengar cerita mengerikan itu, dia pulang dengan kepala penuh kekhawatiran. Namun, ketika masih di dalam perjalanan pulang, dia justru bertemu Kyai Ahmad lagi. Bagas merasa sekujur tubuhnya dingin. "Astaga, siapa yang tadi bersamaku di Pendopo?" batinnya. Kyai Ahmad yang ada di hadapannya sekarang menatapnya dengan penuh keheranan. "Ada apa, Nak Bagas?" suara Kyai itu terdengar tenang, tapi ada sedikit nada curiga. Bagas menatapnya dengan keraguan. "Kyai ... bisa kah ikut sebentar dengan saya?" tanyanya dengan suara gemetar. Kyai Ahmad mengernyit. "Ada apa memangnya, Nak Bagas?" Bagas tak langsung menjawab. Pikirannya terlalu kacau. Tadi dia berbicara dengan Kyai Ahmad di Pendopo milik Kyai, mendengar tentang kutukan, merasa semakin terp

  • Pesugihan Genderuwo   210. Kutukan dari Ki Raden Praja

    "Ya. Kemungkinan buruk lainnya, anak itu memiliki sifat iblis!" Bagas dan Kyai menceritakan kehamilan Ratih yang mungkin akan membahayakan bagi manusia. "Aku yakin! kamu tau akan seperti ini, Nak Bagas!" kata Kyai. Bagas menghela napas panjang. "Ya. Aku udah menduganya, Kyai! Karena akulah hal ini menimpa Ratih! ini memang kebodohanku!" jawab Bagas sambil tertunduk menyesal. "Aku juga yakin, bahwa tubuhmu sekarang ini telah di gerogoti oleh sesuatu!" ucap Kyai sambil menatap Bagas dengan prihatin. "Bagaimana Kyai tau?" tanya Bagas mulai tertarik dengan ucapan Kyai. karena dia memang telah ingin menemui Kyai Ahmad dan membicarakan persoalan bulu-bulu halus yang ada di badannya. "Aku udah mengira akan terjadi seperti itu, Bagas! Karena dulu aku pernah menemukan pasien yang seperti itu!" jawab Kyai. Bagas langsung menaikan kepalanya. dia semakin tertarik dengan ucapan Kyai Ahmad. "Lalu, apa Kyai bisa menolong orang itu?" tanya Bagas. "Tidak—" jawaban singkat Kyai. "Aku tidak

  • Pesugihan Genderuwo   209. Kutukan dalam Kandungan

    "Kamu pernah menyadari sesuatu, tidak, Nak Bagas?" Pertanyaan Kyai Ahmad membuat Bagas terdiam sejenak, kebingungan. "Maksud Kyai apa?" tanyanya, mencoba memahami arah pembicaraan Kyai. Kyai Ahmad tidak langsung menjawab. Dia berdiri, mengambil sesuatu dari meja di dekatnya, lalu menyerahkannya pada Bagas. Sebuah kain putih yang sudah menguning, terikat rapat. Saat Bagas menerimanya dan membuka lipatannya, bau busuk menyengat langsung menyerbu hidungnya. "Em—!" Bagas buru-buru menutup hidung, wajahnya meringis jijik. "Baunya busuk sekali, Kyai!" Kyai Ahmad menghela napas panjang. "Itu adalah muntahan istrimu, Ratih." Bagas tersentak. Matanya membesar, tangannya yang memegang kain itu sedikit gemetar. "Apa...?" suaranya melemah. Ratih mengalami hal seperti ini? Kyai Ahmad mengangguk. "Beberapa hari lalu, dia datang kepadaku. Dalam keadaan lemah, wajahnya pucat, dan tubuhnya menggigil." Bagas semakin cemas. "Kenapa dia nggak bilang ke saya, Kyai?" "Karena dia takut

  • Pesugihan Genderuwo   208. Terhalang

    Bagas menunduk dalam-dalam, suaranya bergetar saat dia akhirnya mengakui sesuatu yang selama ini dia pendam. "Saya seorang pembunuh, Kyai!" Tangannya mengepal di atas lutut, tubuhnya berguncang. Air matanya jatuh, bercampur dengan sisa air hujan yang masih menempel di wajahnya. Di hadapannya, Kyai Ahmad menghela napas panjang. Sorot matanya tajam, penuh pertimbangan. Dia tahu Bagas bukan hanya sekadar pendosa biasa. Bagas adalah pria yang telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kubangan dosa, melakukan pesugihan yang telah merenggut nyawa banyak orang. Warga kehilangan keluarga mereka. Harta mereka lenyap dan desa ini perlahan-lahan berubah menjadi tempat yang penuh kutukan. Namun, di balik dosa-dosa itu, Kyai Ahmad melihat sesuatu dalam diri Bagas—sesuatu yang mungkin bisa diselamatkan. "Jangan bicara begitu, Bagas." Kyai berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya ada keraguan yang tak bisa ia pungkiri. "Semua orang punya kesalahan. Sekarang kamu sudah mau bertaubat, k

  • Pesugihan Genderuwo   207. Dosa Tak terampuni

    "Mana bisa saya memaafkan manusia seperti dia, Bah!" Feri hampir kehilangan kendali. Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan luapan emosi yang sejak lama ia pendam. Tangannya menunjuk-nunjuk wajah Bagas, seakan ingin menusukkan setiap kata kebenciannya langsung ke hati pria itu. Bagas tak bergeming. Dia tetap duduk diam, membiarkan hujatan itu menghantamnya. Kyai Ahmad, yang sejak tadi mengamati, mencoba menenangkan situasi. "Feri, istighfar! Jangan begitu. Semua orang bisa berubah. Siapa kita sampai berhak menutup pintu taubat bagi orang lain?" suara Kyai terdengar lembut, tapi tegas. Namun, Feri tak terima. Matanya memerah, penuh dendam yang tak bisa dipulihkan hanya dengan kata-kata. "Nggak, Bah! Dia tidak akan pernah bisa berubah!" teriaknya, tangannya mengepal. Feri mendekat, berdiri tepat di depan Bagas. Rahangnya mengeras, pandangan matanya dingin. Cuh! Ludahnya jatuh tepat di lantai di hadapan Bagas. "Sampai dia mati pun, saya nggak akan pernah memaafkan manusia

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status