"Sendirian? Mau gue antar pulang?" tanya seorang laki-laki yang baru saja menghampiri Vivi.
"Gak perlu, makasih sebelumnya," jawab perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu tanpa menoleh sedikitpun ke arah lawan bicaranya."Gak perlu sungkan, gue ambil mobil dulu ya?" tawarnya. "Oh iya, gue Anton. Nama kamu siapa?"Anton mengulurkan tangannya. Vivi melirik sekilas ke arah lelaki di sampingnya. Tinggi, putih, rambut cool, badan atletis dibalut oleh kemeja abu polos, tapi ... umurnya sudah pasti di bawahnya. Hal yang membuatnya langsung memalingkan muka sesaat setelah meliriknya."Vivi. Gak perlu, aku udah pesan Gr*b." Vivi menjawab tanpa menjabat tangan Anton, dia masih fokus memandang ke arah jalanan."Gak baik lho nolak niat baik orang." Anton melihat ke arah perempuan di sampingnya sambil menyunggingkan senyuman semanis mungkin."Lebih gak baik lagi kalau aku nyuruh driver balik padahal dia udah mau nyampe."Anton menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Iya juga sih. Kalau gitu, boleh nggak gue minta no HP kamu?""Aku nggak hapal."Bisa aja nih cewek ngelaknya, gumam Anton dalam hati."Kan bisa liat di HP." Tiin tiin....Suara klakson mobil menghentikan percakapan, sebuah mobil Ayla sudah berhenti tepat di depan mereka."Dengan Mbak Vivi?" tanya seorang lelaki paruh baya yang bertanya lewat kaca mobil yang dia turunkan."Iya, betul, Pak," jawab Vivi. "Sorry, aku pamit duluan. Bye!" Vivi segera masuk ke mobil dan meninggalkan Anton."Eh, tapi kamu belum ngasih no HP." Anton melambaikan tangannya sambil setengah berteriak."Kamu lebih cocok jadi adek aku," ucap Vivi yang kembali menaikkan kaca mobil yang diturunkannya sesaat sebelum mobil melaju.Anton melongo. "Emang berapa sih umurnya?" Dia kemudian menggelengkan kepalanya pelan, lalu pergi menuju parkiran untuk mengambil mobilnya.Sesampainya di rumah, Vivi segera menuju kamarnya untuk berganti baju, dia tak ingin telat untuk mengisi jam kuliah siang ini. Saat dia hampir selesai bersiap, seseorang mengetuk pintu kamarnya."Siapa?" tanyanya tanpa menghentikan aktifitasnya memoles wajah dengan beberapa make up yang ada di meja rias."Ini, Mama, Nak.""Masuk aja, Ma. Pintunya nggak dikunci."Bu Vera memandangi anak gadisnya lewat pantulan cermin. Cantik seperti dia di masa muda. Sayangnya, di usia yang hampir kepala tiga ini, anaknya masih betah sendiri."Kamu tadi ketemu tante Reni?"Vivi menggeleng."Om Agus?"Vivi menggeleng lagi sambil sedikit melirik raut wajah mamanya lewat cermin."Apa benar kata gosip yang beredar kalau Lulu hamil duluan?" Vivi mengendikkan bahu. "Itu bukan urusan kita, Ma.""Tapi, Rey kan ....""Itu hanya masa lalu, Ma." Vivi menimpali ucapan ibunya yang terjeda. "Aku berangkat dulu, takut telat. Assalamu'alaikum."Vivi mencium punggung mamanya, lalu bergegas pergi menuju kampus di mana dia mengajar. Bu Vera hanya menarik napas panjang, dia tahu anaknya tidak ingin membahas hal yang berhubungan dengan Rey, namun dia juga khawatir dengan Vivi karena semenjak Rey putus dengan Vivi, anak gadisnya itu tak pernah lagi membawa laki-laki bertamu ke rumah. *******" Siang, Bu. Saya Dendi, cuma mau ngasih tau kalau Ibu udah telat 10 menit untuk mengajar di kelas kami," ucap seorang mahasiswa di seberang telepon."Saya tahu." Vivi menjawab singkat."Kalau Ibu gak bisa hadir, kami mau pulang, Bu.""Terserah saja." Vivi mematikan telepon begitu saja setelah berkata demikian.Dosen dengan tubuh sintal yang cantik menawan itu melangkah santai menyusuri koridor kampus.Tepat saat para mahasiswanya akan keluar dari kelas, Vivi melewati pintu yang akan mereka lewati, meletakkan beberapa buku di atas meja dan memandang para mahasiswanya dengan tatapan tajam.Dengan rasa malas para mahasiswa kembali ke tempat duduk mereka, diiringi dengan gumaman kesal."Masukkan semua buku kalian, hari ini ulangan."Tidak ada yang protes, mereka hanya mengumpat dalam hati, sudah tidak asing bagi mereka saat dosen cantik di hadapannya memberikan ulangan dadakan. Banyak mahasiswi yang menatap sinis ke arah Vivi."Waktu kalian hanya 30 menit, selesai atau tidak, kumpulkan!" ucap Vivi lantang sambil menyerahkan tumpukan kertas pada orang yang duduk di depan dan mengisyaratkan agar mengoper kertas ke belakang di tiap barisnya.Tak ada jawaban, hanya beberapa orang yang mengangguk, sisanya tak peduli. Dua puluh menit berlalu, seorang mahasiswa maju mendekati meja dosen, dia menyerahkan selembar kertas ulangan."Kamu masih punya waktu sepuluh menit lagi," ucap Vivi. "Koreksi jawabanmu.""Aku tidak perlu mengoreksinya, jawabannya pasti sudah benar," jawab lelaki jangkung berkulit putih yang memakai kaos oblong polos warna merah. Vivi mengangkat wajahnya yang sedari tadi sibuk melihat handphone tanpa melihat lawan bicaranya. "Biar saya yang koreksi langsung." Vivi mengambil kertas yang berada di depannya, mengoreksi tiga puluh soal yang dia kasih."Kau terlalu percaya diri sepertinya," gumam Vivi pelan, tapi lelaki di depannya hanya tersenyum kecil."Sekadar informasi, aku sengaja menulis jawaban yang salah di nomor terakhir, bosan dengan nilai sempurna."Vivi hanya mengangguk karena lawan bicaranya paham dengan apa yang dia katakan."Mahasiswa baru?" tanyanya saat membaca nama yang tertera di atas kertas ulangan."Ferdinand Alexander, panggil saja Ferdi. Jika perlu informasi tentangku lebih lanjut, silakan cek g****e." Lelaki berkumis tipis itu nampak santai menjawab pertanyaan dosen cantik di depannya."Aku tak bertanya namamu. Silakan keluar dari ruangan ini jika tidak ada keperluan lagi."Ferdi hanya mengangkat kedua bahunya, lalu pergi menuju pintu."Siapa peduli dia siapa," gumam Vivi pelan pada dirinya sendiri setelah Ferdi pergi. Dia sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti saran mahasiswanya itu untuk mengetikkan namanya di g****e.Tiga puluh menit berlalu, Vivi mengisyaratkan beberapa buah ketukan di meja, setengah mahasiswanya yang belum mengumpulkan ulangan pun maju ke depan untuk menyerahkan kertas ulangan mereka dan pergi meninggalkan kelas. Tepat pada saat Vivi merapihkan semua barang yang ada di mejanya, seseorang datang tanpa Vivi ketahui. "Perlu bantuan?" Vivi sedikit kaget, mengingat bahwa kelasnya sudah kosong sedari lima menit yang lalu. Dia melempar pandangan ke arah asal suara, lalu menarik napas pelan ketika mengetahui siapa orang yang ada di depannya."Gak perlu," jawabnya acuh. Dia terus sibuk menumpuk buku dan kertas di depannya.Ferdi memandangi orang di depannya. Cantik juga. "Ibu belum nikah ya?" tanya Ferdi yang membuat Vivi menghentikan aktifitasnya sejenak."Bukan urusan kamu.""Aku ramal ibu akan bertemu jodoh ibu dalam waktu dekat ini," ucap Ferdi sambil tersenyum."Kapan?" Vivi refleks bertanya, satu kata yang akhirnya dia sesali."Sekarang, di hadapan ibu," jawab Ferdi dengan tegas dan yakin.Vivi seketika tertawa mendengar jawaban Ferdi, lalu menggelengkan kepalanya pelan."Nah, kalau ketawa kan cantik. Kayaknya Bu Dosen ini udah lama nggak ketawa," ujar Ferdi."Sok tau kamu!" "Lho, emang saya tempe kok, bukan tahu." Ferdi berusaha membuat wanita di hadapannya tertawa lagi."Garing!" "Yaudah, saya pamit dulu. Jangan lupa nanti malam di rumah saja ya!""Memang kenapa? Bukan urusan kamu juga," jawab Vivi ketus."Yasudah kalau nggak peduli, bodo amat juga." Ferdi melenggang pergi meninggalkan Vivi sendirian. *******Bu Vera menemui Vivi yang sedang duduk nonton TV dengan wajah sumringah, lalu dia tersenyum ke arah anaknya itu. Vivi yang melihat tingkah ibunya jadi risih, dia segera memegang dahi ibunya dengan telapak tangannya. "Gak panas, aku kira Mama lagi demam.""Siapa juga yang lagi sakit," ujar Bu Vera."Terus Mama kenapa senyum-senyum sendiri? Kesambet hantu?""Hust! Kamu itu ngaco, Vi. Itu di ruang tamu ada temen kamu dateng."Vivi mengerutkan keningnya. "Temen
“Eh, ada pengantin baru bertamu. Nggak bulan madu nih?” Bu Vera datang menghampiri Lulu dan Rey di ruang tamu.Perempuan paruh baya itu langsung memeluk ponakannya. “Kemarin tante sakit, jadi gak bisa ke pernikahan kalian. Tante minta maaf ya. Selamat menempuh hidup baru.”“Iya, Tante, gak papa. Yang penting sekarang Tante udah sehat,” ujar Lulu saat Bu Vera telah melepaskan pelukannya.Bu Vera kemudian menyalami Rey sekilas tanpa melihat ke arahnya sekalipun. Sementara Rey tahu diri mengapa Bu Vera bersikap demikian, namun dia tidak mau ambil pusing dan berpura-pura bahwa tidak mengenal Bu Vera sebelumnya.Vivi datang menghampiri mereka dengan membawa minuman, lalu menyuguhkannya tanpa berucap sepatah katapun. Dia masih kaget akan kedatangan tamu-tamu yang tak diundang ini ke rumahnya. Pertama adalah mahasiswa baru yang sok pintar dan menjengkelkan, kedua adalah sepupu dan mantan pacarnya yang baru saja menikah. Mereka semua membuat hati Vivi jengah sebenarnya, namun dia mencoba mene
“Sayang, menurut kamu mendingan yang ini atau yang itu?” Lulu bertanya pada Rey sambil memperlihatkan beberapa jenis susu ibu hamil.Mereka sedang berapa di sebuah Indom*rt yang agak jauh dari kediaman Lulu, sengaja memilih tempat yang jauh agar tidak bertemu dengan para tetangga atau teman-teman Lulu yang mengetahui bahwa mereka baru saja menikah.“Terserah kamu aja. Kan yang minum kamu,” jawab Rey acuh tak acuh.“Kok kamu gitu sih jawabnya?” Lulu memanyunkan bibirnya, tanda dia kesal dengan ucapan suaminya barusan.“Iya, maaf. Gitu aja kesel. Kan emang kamu yang minum susunya, kamu sukanya rasa apa? Pilih aja rasa yang kamu suka,” ucap Rey sambil mengelus lembut pucuk kepala Lulu, membuat istrinya tersenyum tipis.“Aku suka rasa coklat, tapi takutnya bikin enek,” ujar Lulu. “Apa pilih rasa strawberry aja kali ya?”“Ya udah beli rasa strawberry aja.”“Tapi ini ada rasa vanila juga,” ujar Lulu lagi sambil kembali melihat-lihat varian rasa susu ibu hamil di rak pajangan.Rey menepuk da
Rey memandangi handphone-nya, dia menunggu status WA atau status FB Vivi tentang pacarnya yang kecelakaan, namun hingga malam hari, tak juga dia mendapati status yang ditunggunya tersebut, padahal dia sudah bolak-balik mengecek handphone.“Masa si Ferdi bisa selamat sih? Gak mungkin kayaknya. Harusnya minimal lecet-lecet gitulah kena aspal,” ujar Rey bermonolog sendiri. Tak lupa dia kembali mengecek handphone, lalu membersihkan riwayat pencarian akun FB Vivi agar tidak ketahuan Lulu.“Dari siang perasaan ngeliatin HP mulu , emang ada apaan sih? Tumbenan banget,” ujar Lulu yang menghempaskan tubuhnya duduk di samping suaminya.“Eh, gak apa-apa, kok,” jawab Rey gelagapan.“Coba sini liat HP-nya.” Lulu langsung merebut handphone Rey dan memeriksanya.Bersih. Tak ada apa-apa dan tak ada sesuatu yang mencurigakan. Lulu mengechek riwayat aplikasi yang digunakan, bersih. Semua sudah dihapus oleh Rey. Lulu pun mengembalikan handphone suaminya setelah lelah memeriksa
“Ti-tidak.” Rey menjawab dengan terbata. Dia berusaha sekuat tenaga menutupi rasa bingung dan takutnya jika Ferdi benar-benar melaporkannya ke polisi.Lulu memicingkan mata, menatap heran ke arah suaminya.“A-aku ada perlu sebentar, mau ke kafeku,” ujar Rey mencari alasan untuk segera ke luar rumah, menghindari kemungkinan Lulu akan bertanya lebih jauh. Dia buru-buru menyambar kunci mobil di atas nakas, mengecup kening Lulu sekilas, lalu segera pergi.Rey memutar otaknya di sepanjang perjalanan yang entah dimana tempat yang dituju, dia berusaha mencari cara agar Ferdi tidak melaporkan perbuatannya ke polisi.“Aku gak mau dipenjara,” ujar Rey sambil memukul stir mobil. Suara klakson terdengar panjang. Rey membuang napas kasar, mengatur emosinya agar bisa berpikir jernih.“Vivi ….” Rey menjentikkan jari setelah mendapatkan sebuah ide. Dia segera melajukan mobilnya ke Universitas Nugraha, tempat dimana Vivi mengajar.
“Ferdi….” Rey berteriak memanggil Ferdi seraya menghampirinya.Ferdi menoleh, alisnya terangkat, dia memandangi lelaki berbaju necis itu melangkah ke arahnya. Rey terdiam ketika sudah berada tepat di hadapan Ferdi. Dia canggung. Untuk sejenak Rey mencari kata-kata yang tepat untuk meminta maaf.“Udah pulang kuliah?” Tanya Rey sok akrab. Dia mencoba berbasa-basi untuk mengurangi rasa groginya.“Udah.” Ferdi menjawab singkat sambil terus memandangi Rey penuh tanya.“Ada yang mau saya omongin sama kamu,” ucap Rey. “Buat masalah kemarin, saya minta maaf.”Ferdi tertawa mendengar perkataan Rey. Pada akhirnya lelaki sombong yang sempat tak mengakui kejahatannya itu malah menemuinya untuk meminta maaf. Sungguh lucu bukan? Kemana lelaki yang kemarin justru malah mengancam untuk melaporkannya balik ke polisi atas pencemaran nama baik? “Jadi ngaku nih kalau kamu pelakunya?” Ferdi bertanya memas
Siang itu matahari sedang semangat menyinari bumi, pukul sepuluh pun rasanya seperti sudah tengah hari.Saat itu, Rey sedang mengantarkan pesanan sebuah perusahaan yang tak jauh dari restoran miliknya, dia sengaja mengantarkannya sendiri dibantu oleh seorang karyawan pria saja. Selain karena restoran kecil yang Rey bangun belum memiliki banyak karyawan, Rey juga ingin melihat perusahaan besar yang sudah menjadi idamannya sejak dulu. Dia pernah punya mimpi untuk menjadi karyawan di perusahaan tersebut, namun mimpi itu pupus karena dia hanya tamatan SMA. "Ayo cepat. Bawakan makanan di bagasi ke dalam," ujar Rey pada seorang karyawan yang diajaknya, Zul."Siap, Pak." Zul dengan sigap memindahkan kotak-kotak makanan yang telah dipesan oleh perusahaan tersebut dari bagasi mobil ke depan meja resepsionis perusahaan.Rey pun membantu karyawannya itu karena pesanan yang mereka bawa cukup banyak. Tidak kurang dari seratus kotak makanan. Saat sedang mondar
“Kamu mau pesan apa, Jes?” Tanya Diana pada Jessica yang duduk di sampingnya.“Hmm … pesen apaan ya? Menunya pada so sweet gini sih? Nasi goreng cinta, jus kasih sayang, terus …. Apalagi ini? Cappucino rindu, kopi mantan.” Jessica tertawa setelah membaca menu makanan yang tertera pada kertas di atas meja. “Kayaknya yang punya restoran ini bucin banget orangnya. Tapi kreatif sih, ditambah lagi interior dan hiasan restoran yang bikin restoran ini bagus sampe viral gitu di Instagram.”“Dia malah komenin restorannya. Ayo buruan pesen ah, udah laper nih. Eh, BTW, kamu yang traktir ya, Lu?” Diana berkata sambil melirik ke arah Lulu.“Tenang. Aku yang traktir. Gratis kita makannya di sini karena kebetulan aku juga tahu pemilik restorannya.” Lulu menjawab sambil tersenyum. “Ah, serius Lu? Sejak kapan kamu punya kenalan wirausahawan kayak dia? Sampe punya restoran yang viral pula.” Jessica bertanya sambil menyenggol lengan Lulu yang duduk tak jauh d
Dua bulan berlalu setelah pertemuan kedua Rey dan Lulu di restoran Janji Hati. Mereka pun semakin dekat dan sering berbalas pesan via WA. Lulu juga dua minggu sekali mampir ke restoran Rey untuk sekadar makan dan berfoto di tempat yang masih viral di medsos itu.“Lulu.” Rey memanggil perempuan dengan rambut panjang tergerai yang duduk di hadapannya. “Iya,” sahut Lulu tanpa mengalihkan pandangan dari handphone di genggamannya.“Aku suka sama kamu sejak pertama kita ketemu. Kamu mau nggak jadi pacar aku?” Tanya Rey sambil menatap lekat ke arah Lulu.Lulu yang kini sedang meminum jus pun sampai tersedak mendengar penuturan Rey.“Kamu nembak aku? Serius?” tanya Lulu.Rey mengangguk mantap. “Mau nggak?” Sebenarnya Lulu sudah mulai menyukai Rey, meskipun dulu dia tidak ada rasa sama sekali pada lelaki di hadapannya itu. Namun semakin berjalannya waktu, Lulu merasa nyaman dan senang dengan p
“Kamu mau pesan apa, Jes?” Tanya Diana pada Jessica yang duduk di sampingnya.“Hmm … pesen apaan ya? Menunya pada so sweet gini sih? Nasi goreng cinta, jus kasih sayang, terus …. Apalagi ini? Cappucino rindu, kopi mantan.” Jessica tertawa setelah membaca menu makanan yang tertera pada kertas di atas meja. “Kayaknya yang punya restoran ini bucin banget orangnya. Tapi kreatif sih, ditambah lagi interior dan hiasan restoran yang bikin restoran ini bagus sampe viral gitu di Instagram.”“Dia malah komenin restorannya. Ayo buruan pesen ah, udah laper nih. Eh, BTW, kamu yang traktir ya, Lu?” Diana berkata sambil melirik ke arah Lulu.“Tenang. Aku yang traktir. Gratis kita makannya di sini karena kebetulan aku juga tahu pemilik restorannya.” Lulu menjawab sambil tersenyum. “Ah, serius Lu? Sejak kapan kamu punya kenalan wirausahawan kayak dia? Sampe punya restoran yang viral pula.” Jessica bertanya sambil menyenggol lengan Lulu yang duduk tak jauh d
Siang itu matahari sedang semangat menyinari bumi, pukul sepuluh pun rasanya seperti sudah tengah hari.Saat itu, Rey sedang mengantarkan pesanan sebuah perusahaan yang tak jauh dari restoran miliknya, dia sengaja mengantarkannya sendiri dibantu oleh seorang karyawan pria saja. Selain karena restoran kecil yang Rey bangun belum memiliki banyak karyawan, Rey juga ingin melihat perusahaan besar yang sudah menjadi idamannya sejak dulu. Dia pernah punya mimpi untuk menjadi karyawan di perusahaan tersebut, namun mimpi itu pupus karena dia hanya tamatan SMA. "Ayo cepat. Bawakan makanan di bagasi ke dalam," ujar Rey pada seorang karyawan yang diajaknya, Zul."Siap, Pak." Zul dengan sigap memindahkan kotak-kotak makanan yang telah dipesan oleh perusahaan tersebut dari bagasi mobil ke depan meja resepsionis perusahaan.Rey pun membantu karyawannya itu karena pesanan yang mereka bawa cukup banyak. Tidak kurang dari seratus kotak makanan. Saat sedang mondar
“Ferdi….” Rey berteriak memanggil Ferdi seraya menghampirinya.Ferdi menoleh, alisnya terangkat, dia memandangi lelaki berbaju necis itu melangkah ke arahnya. Rey terdiam ketika sudah berada tepat di hadapan Ferdi. Dia canggung. Untuk sejenak Rey mencari kata-kata yang tepat untuk meminta maaf.“Udah pulang kuliah?” Tanya Rey sok akrab. Dia mencoba berbasa-basi untuk mengurangi rasa groginya.“Udah.” Ferdi menjawab singkat sambil terus memandangi Rey penuh tanya.“Ada yang mau saya omongin sama kamu,” ucap Rey. “Buat masalah kemarin, saya minta maaf.”Ferdi tertawa mendengar perkataan Rey. Pada akhirnya lelaki sombong yang sempat tak mengakui kejahatannya itu malah menemuinya untuk meminta maaf. Sungguh lucu bukan? Kemana lelaki yang kemarin justru malah mengancam untuk melaporkannya balik ke polisi atas pencemaran nama baik? “Jadi ngaku nih kalau kamu pelakunya?” Ferdi bertanya memas
“Ti-tidak.” Rey menjawab dengan terbata. Dia berusaha sekuat tenaga menutupi rasa bingung dan takutnya jika Ferdi benar-benar melaporkannya ke polisi.Lulu memicingkan mata, menatap heran ke arah suaminya.“A-aku ada perlu sebentar, mau ke kafeku,” ujar Rey mencari alasan untuk segera ke luar rumah, menghindari kemungkinan Lulu akan bertanya lebih jauh. Dia buru-buru menyambar kunci mobil di atas nakas, mengecup kening Lulu sekilas, lalu segera pergi.Rey memutar otaknya di sepanjang perjalanan yang entah dimana tempat yang dituju, dia berusaha mencari cara agar Ferdi tidak melaporkan perbuatannya ke polisi.“Aku gak mau dipenjara,” ujar Rey sambil memukul stir mobil. Suara klakson terdengar panjang. Rey membuang napas kasar, mengatur emosinya agar bisa berpikir jernih.“Vivi ….” Rey menjentikkan jari setelah mendapatkan sebuah ide. Dia segera melajukan mobilnya ke Universitas Nugraha, tempat dimana Vivi mengajar.
Rey memandangi handphone-nya, dia menunggu status WA atau status FB Vivi tentang pacarnya yang kecelakaan, namun hingga malam hari, tak juga dia mendapati status yang ditunggunya tersebut, padahal dia sudah bolak-balik mengecek handphone.“Masa si Ferdi bisa selamat sih? Gak mungkin kayaknya. Harusnya minimal lecet-lecet gitulah kena aspal,” ujar Rey bermonolog sendiri. Tak lupa dia kembali mengecek handphone, lalu membersihkan riwayat pencarian akun FB Vivi agar tidak ketahuan Lulu.“Dari siang perasaan ngeliatin HP mulu , emang ada apaan sih? Tumbenan banget,” ujar Lulu yang menghempaskan tubuhnya duduk di samping suaminya.“Eh, gak apa-apa, kok,” jawab Rey gelagapan.“Coba sini liat HP-nya.” Lulu langsung merebut handphone Rey dan memeriksanya.Bersih. Tak ada apa-apa dan tak ada sesuatu yang mencurigakan. Lulu mengechek riwayat aplikasi yang digunakan, bersih. Semua sudah dihapus oleh Rey. Lulu pun mengembalikan handphone suaminya setelah lelah memeriksa
“Sayang, menurut kamu mendingan yang ini atau yang itu?” Lulu bertanya pada Rey sambil memperlihatkan beberapa jenis susu ibu hamil.Mereka sedang berapa di sebuah Indom*rt yang agak jauh dari kediaman Lulu, sengaja memilih tempat yang jauh agar tidak bertemu dengan para tetangga atau teman-teman Lulu yang mengetahui bahwa mereka baru saja menikah.“Terserah kamu aja. Kan yang minum kamu,” jawab Rey acuh tak acuh.“Kok kamu gitu sih jawabnya?” Lulu memanyunkan bibirnya, tanda dia kesal dengan ucapan suaminya barusan.“Iya, maaf. Gitu aja kesel. Kan emang kamu yang minum susunya, kamu sukanya rasa apa? Pilih aja rasa yang kamu suka,” ucap Rey sambil mengelus lembut pucuk kepala Lulu, membuat istrinya tersenyum tipis.“Aku suka rasa coklat, tapi takutnya bikin enek,” ujar Lulu. “Apa pilih rasa strawberry aja kali ya?”“Ya udah beli rasa strawberry aja.”“Tapi ini ada rasa vanila juga,” ujar Lulu lagi sambil kembali melihat-lihat varian rasa susu ibu hamil di rak pajangan.Rey menepuk da
“Eh, ada pengantin baru bertamu. Nggak bulan madu nih?” Bu Vera datang menghampiri Lulu dan Rey di ruang tamu.Perempuan paruh baya itu langsung memeluk ponakannya. “Kemarin tante sakit, jadi gak bisa ke pernikahan kalian. Tante minta maaf ya. Selamat menempuh hidup baru.”“Iya, Tante, gak papa. Yang penting sekarang Tante udah sehat,” ujar Lulu saat Bu Vera telah melepaskan pelukannya.Bu Vera kemudian menyalami Rey sekilas tanpa melihat ke arahnya sekalipun. Sementara Rey tahu diri mengapa Bu Vera bersikap demikian, namun dia tidak mau ambil pusing dan berpura-pura bahwa tidak mengenal Bu Vera sebelumnya.Vivi datang menghampiri mereka dengan membawa minuman, lalu menyuguhkannya tanpa berucap sepatah katapun. Dia masih kaget akan kedatangan tamu-tamu yang tak diundang ini ke rumahnya. Pertama adalah mahasiswa baru yang sok pintar dan menjengkelkan, kedua adalah sepupu dan mantan pacarnya yang baru saja menikah. Mereka semua membuat hati Vivi jengah sebenarnya, namun dia mencoba mene
Vivi seketika tertawa mendengar jawaban Ferdi, lalu menggelengkan kepalanya pelan."Nah, kalau ketawa kan cantik. Kayaknya Bu Dosen ini udah lama nggak ketawa," ujar Ferdi."Sok tau kamu!" "Lho, emang saya tempe kok, bukan tahu." Ferdi berusaha membuat wanita di hadapannya tertawa lagi."Garing!" "Yaudah, saya pamit dulu. Jangan lupa nanti malam di rumah saja ya!""Memang kenapa? Bukan urusan kamu juga," jawab Vivi ketus."Yasudah kalau nggak peduli, bodo amat juga." Ferdi melenggang pergi meninggalkan Vivi sendirian. *******Bu Vera menemui Vivi yang sedang duduk nonton TV dengan wajah sumringah, lalu dia tersenyum ke arah anaknya itu. Vivi yang melihat tingkah ibunya jadi risih, dia segera memegang dahi ibunya dengan telapak tangannya. "Gak panas, aku kira Mama lagi demam.""Siapa juga yang lagi sakit," ujar Bu Vera."Terus Mama kenapa senyum-senyum sendiri? Kesambet hantu?""Hust! Kamu itu ngaco, Vi. Itu di ruang tamu ada temen kamu dateng."Vivi mengerutkan keningnya. "Temen