Delotta baru saja selesai membersihkan diri ketika perhatiannya teralihkan ke jendela kamar yang dia lihat bergerak. Tirainya melambai tertiup angin dan daun jendela itu sedikit terbuka. Kepala Delotta meneleng mengingat apakah dirinya sempat membuka jendela itu sebelum beranjak ke kamar mandi. Tidak mau berpikir macam-macam dia pun bergerak menutup kembali jendela tersebut. Di rumah saat ini hanya ada dirinya dan para asisten yang mungkin sekarang sudah terlelap. Di luar masih ada dua security yang berjaga jadi dia merasa aman. Delotta menarik selimut dan masuk ke dalamnya, lalu menekan sakelar, dan lampu kamar seketika padam kecuali lampu tidur di atas nakas. Dia baru saja memposisikan bantal tidurnya agar bisa merebah dengan nyaman ketika lagi-lagi sebuah suara mengalihkan perhatiannya. Gadis itu urung merebah dan tiba-tiba perasaan tidak nyaman merayap. Bola matanya bergerak menyapu setiap penjuru kamar, tapi tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. "Masa iya di kamar ini a
Ina menyajikan sarapan dengan tatapan yang tak lepas dari gerak-gerik Delotta. Matanya menyipit melihat Delotta begitu tenang menyantap roti bakar isi daging buatannya."Pagi ini muka Non Otta cerah ya. Agak glowing glowing gitu," katanya dengan nada seperti orang sedang menyindir. Mendengar itu Delotta mengangkat alis, tak paham. Dia tidak merespons dan lebih pilih mengunyah roti yang tersisa. "Bukannya Non Otta tiap hari juga glowing, ya?" timpal Bi Sari yang baru datang membawa dua gelas susu. "Loh, Bi? Kok susunya dua?" tanya Delotta heran. "Buat Mas Dave, paling sebentar lagi datang."Sejak antar-jemput Delotta beberapa hari belakangan, Dave sering numpang sarapan di rumah, tapi Delotta tak bisa melarang karena dia sendiri sering menumpang makan malam di apartemen lelaki itu. Jadi impas. "Glowingnya Non Otta kali ini beda." Ina bersuara lagi. "Non Otta yakin nih pagi ini nggak ada yang bikin Non seneng?" Delotta mengernyit makin tak paham apa yang asistennya itu katakan. Di
Delotta tentu berpikir untuk memberi tahu Ricko tentang hubungannya dengan Daniel. Walaupun tidak dalam jangka waktu dekat. Namun, sebelum itu terjadi Ricko—yang dia duga masih berada di Eropa—malah memergokinya bermesraan dengan Daniel. Lalu segalanya berantakan. Wajah Delotta pucat pasi. Dua tangannya mencengkeram erat lengan kemeja Daniel. Ketakutan luar biasa merambat. Dia tidak berharap Ricko tahu semuanya dalam keadaan dirinya berada di pangkuan Daniel.Delotta menelan ludah ketika melihat wajah Ricko yang merah padam sebelum pria itu berbalik dan bergerak ke sofa penerima tamu di balik ruang kerja Daniel. "Om, gimana ini?" tanya Delotta dengan wajah panik yang tidak bisa dia sembunyikan. "Kamu tenang, oke? Semua akan baik-baik saja," ucap Daniel. Tidak seperti Delotta, wajah pria itu tampak tenang meskipun tidak juga terlihat santai. Boow waktu sudah memercikan api, dan sebentar lagi siap meledak.Daniel membenarkan kembali pakaian Delotta. Lalu menurunkan gadis itu dari pa
Mata biru itu menyorot dengan tatapan menyipit. Dua sikunya bertumpu di meja dengan jari jemari yang saling terkait. Daniel berusaha tidak menampakkan kegusarannya di depan Dave."Om, apa yang terjadi? Mereka bilang Om Ricko datang dan menarik paksa Otta keluar dari kantor," tanya Dave dengan ekspresi tak mengerti. Dia agak kesal karena Daniel malah terlihat santai. "Ya. Karena itu Otta harus membayar pinalti kontrak kerjanya," sahut Daniel. Dia mengurai tautan jemarinya dan menjangkau sebuah map. "Nggak ada yang perlu kamu tahu di sini. Kamu bisa kembali bekerja, Dave." Hening. Dave tidak menyahut, tapi dua tangan di sisi tubuhnya mengepal erat. Dia memberi jeda beberapa saat sebelum bersuara kembali. "Aku nggak tau mesti senang atau sedih. Padahal aku sudah memperingatkan Om buat jauhin Otta. Om Ricko nggak akan pernah membiarkan kalian bersama. Tapi Om tetap tidak tahu diri. Kalau sudah begini yang kasihan Otta."Kegiatan membuka lembar di balik map terhenti seketika. Daniel men
Luna melihat Sari membawa kembali nampan yang isinya utuh dari kamar Delotta. Ini sudah ketiga kalinya sejak pagi. Aksi mogok makan Delotta membuatnya khawatir dan iba. Apalagi sejak kemarin gadis itu terus mendekam di kamar. Tidak berniat keluar sejak Ricko memutuskan membatasi pergerakan Delotta. Bagi Luna itu terlalu berlebihan, tapi siapa yang bisa membantah keputusan Ricko? Parahnya, suaminya itu bahkan menyewa beberapa bodyguard untuk menjaga Delotta. "Aku lebih tahu anakku," ucap Ricko ketika Luna protes soal bodyguard di rumahnya itu. "Kamu seperti nggak percaya kalau kami bisa menjaga Otta." "Bukan begitu, Sayang. Otta itu pintar, apalagi kamu orangnya nggak tegaan. Dirayu dikit pasti luluh." "Nggak masuk akal." Dan Luna tidak ingin berkomentar lagi. Tapi aksi mogok makan yang Delotta lakukan membuatnya cukup cemas. Dia memutuskan berbelanja aneka camilan lantaran Delotta kembali menolak makanan yang Sari bawa. "Otta lagi apa, Bi?" tanya Luna saat Bi Sari dengan muka l
Delotta hendak membawa Daniel masuk ke rumah. Namun enam bodyguard itu menghalangi. Mereka bersikeras tidak memperbolehkan Daniel masuk untuk sekedar mengobati luka. "Maaf ini perintah Tuan Ricko, Nona," ucap salah satu bodyguard itu. "Whatever, tapi dia terluka gara-gara kalian!" Delotta memelotot jengkel sambil mencengkeram erat lengan Daniel. "Biarkan dia masuk. Setidaknya agar diberi obat lebih dulu," sela Luna yang sebenarnya tidak ingin ada keributan lagi di rumah ini. "Maaf, Nyonya. Tidak bisa." Alis Delotta menukik tajam kepada bodyguard menyebalkan itu. Dia beringsut ke depan mereka. "Kalau kalian tidak mengizinkan Om Daniel masuk, akan aku pastikan kalian kehilangan pekerjaan," ucapnya dengan nada berapi-api. Namun, keenam bodyguard itu bergeming, membuat Delotta makin jengkel. "Ayo , Om kita lewat pintu samping aja." Baru saja Delotta memapah Daniel menuju ke sayap kiri rumahnya, dua bodyguard dengan sigap menghalangi langkah mereka. Daniel menghela napas panjang lal
"Bantu gue, Ty." Sudah hampir dua Minggu Delotta tidak keluar rumah. Selama itu pula dia tidak pernah bertemu Daniel. Ricko tidak main-main menentang hubungan mereka. Delotta kesusahan bernapas menjalani hukuman dari sang papa. Sore ini untuk pertama kalinya dia diperbolehkan menerima tamu setelah dua kali percobaan sebelumnya Tya gagal menemuinya."Gue susah payah loh ke sini. Jangan sampai gara-gara keinginan lo yang nggak masuk akal gue jadi dilarang ketemu lo juga." Tya mendelik seraya berbisik. Ujung matanya melirik ke arah pintu yang setengah terbuka. Di luar ada bodyguard yang berjaga. Delotta benar-benar seperti tawanan. "Tapi gue kangen banget sama dia," rengek Delotta menggoyang-goyang lengan Tya. "Lo bisa vicol dia pake smartphone gue." Tya mengerang. "Lo serius nggak ada laptop atau tablet gitu di tempat ini.""Kalau ada nggak mungkin gue minta tolong sama lo.""Buset, bokap lo bener-bener ya. Gue curiga habis ini lo bakal dikawinin sama jodoh pilihan dia.""No!" Delott
Konyol! Delotta hampir saja membanting sendok yang dia genggam. Hanya saja dia masih ingat sopan santun di depan para tamu. Dia berusaha sekuat hati agar tidak meledakan emosi di depan mereka. Senyum Ricko di ujung meja makan membuat Delotta muak. Dia tidak pernah merasa semuak ini sebelumnya. Namun, semua kelembutan dan kebaikan sang papa mendadak raib karena keputusan sepihak yang diambil pria itu. Tawa renyah lima pasang mata di meja makan membuat telinga Delotta pengang. Mereka tampak bahagia, tidak seperti Delotta yang memasang wajah kaku sepanjang makan malam berlangsung. "Biar semua acara tunangan kami yang mengurus. Kalau Anda nggak keberatan Pak Ricko," ucap pria yang duduk di samping kiri Ricko. Regio Mahendra, pria yang memiliki rambut dominan putih itu tersenyum. Di sebelahnya duduk wanita cantik dengan penampilan elegan ciri khas ibu-ibu sosialita. Dia Marlin Jagland, wanita yang lebih banyak diam di sisi suaminya. Dan di samping wanita itu tampak Dave yang sejak tadi