Tidak ada yang berubah. Keadaan kantor nyaris sama seperti biasanya. Hanya beberapa staf yang menanyakan keadaan Delotta pasca tertinggal di tempat outing kemarin. Termasuk si judes, Imel. Steve, orang kedua yang ingin dia temui malah tidak ada. Yang kedua? Ya, karena yang pertama jelas Daniel. "Pak Steve ke mana ya, Mbak?" tanya Delotta pada Imel yang paginya tampak begitu sibuk. "Lagi ada tugas ke luar kota," sahut wanita berkacamata itu tanpa melirik secuil pun kepada Delotta. "Ooh." Delotta baru saja berbalik ketika wanita itu memanggilnya. "Sekedar informasi, pekerjaan kamu dari kemarin aku yang ngerjain." Kalau menuruti kata hati, Delotta ingin membalas dengan kata-kata : emang gue minta? Tapi tentu saja tidak dia lakukan. Berbanding terbalik dengan isi hatinya gadis itu tersenyum lebar seraya menangkupkan dua belah tangan sambil menelengkan kepala. "Ya ampun! Mbak Imel baik banget, sih. Terima kasih banyak loh, Mbak. Jarang-jarang ada orang sebaik, Mbak. Gimana kalau kit
Sandra terpingkal melihat muka cemberut Daniel. Saat melihat adegan bos melahap stafnya, dia sempat terkejut sampai-sampai harus menjatuhkan beberapa dokumen yang dia bawa. Namun, tidak berapa lama perutnya terasa mulas menahan tawa yang hendak menyembur. Dia baru bisa tergelak ketika Delotta dengan wajah merah padam keluar dari ruangan Daniel setelah sebelumnya membenarkan pakaiannya yang berantakan. "Diam, Sandra. Kamu pikir itu lucu?" tegur Daniel dengan tatapan sengit. "Pak, tapi ini lucu." Sandra sampai harus menyeka sudut matanya yang basah. "Anda menolak mati-matian gadis itu. Tapi sekarang yang saya lihat apa? Suer deh, Pak. Anda tadi seperti singa kelaparan. Dan ini masih terlalu pagi untuk bercumbu." Sandra kembali tertawa, membuat Daniel menggeram. "Diam, atau mulutmu aku sumpal sampai kamu tersedak."Tawa Sandra langsung terhenti seketika. Dia membekap mulutnya sendiri dengan telapak tangan. Melihat itu Daniel berdecak lalu menarik dokumen yang Sandra bawa. "Asal
"Jadi benar itu kamu?" Delotta mengangkat wajah dan langsung melihat sosok Daniel tidak jauh darinya. Mata bulatnya berbinar. Kendati tiap hari bertemu, rasanya Delotta tidak akan pernah bosan menatap wajah tampan itu. Namun, dia tahu Daniel tidak sedang menatapnya. Pria itu berjalan menuju meja Steve, oh bukan, maksudnya meja Steve yang sekarang dihuni Dave. Dave bahkan langsung berdiri dan keluar dari mejanya untuk menyambut pria itu. Dan yang mengejutkan, keduanya berpelukan seolah sudah sangat akrab. "Singapore membuatmu bosan? Aku langsung setuju saat sekretarisku memberi tahu kamu bakal bergabung dengan perusahaanku." Delotta yang mendengar itu mengernyit. Jadi Daniel benar-benar kenal Dave? Ini musibah kedua hari ini. How can? Delotta sudah ingin menangis saja. Dave tersenyum lebar. "Apa kabar, Om? Berapa tahun kita nggak pernah bertemu?" Tunggu! Delotta tidak salah dengar kan? Kenapa Dave memanggil Daniel 'om'? Delotta ingin mendengar percakapan mereka lebih lanjut. J
Sekali lagi Delotta harus berpapasan dengan Dave ketika dia menunggu Daniel di lobi untuk pulang bersama. Dia sama sekali tidak menyukai situasi ini. Delotta melengos dengan wajah masam saat Dave melempar senyum padanya. Pria itu berjalan mendekat sengaja menghampiri Delotta yang duduk di salah satu sofa lobi. "Kamu kenapa belum pulang?" tanya pria itu saat tepat berada di depan Delotta. "Kayaknya kamu turun udah lama. Kamu nunggu seseorang?" Dave celingukan seolah mencari seseorang. Delotta sudah memastikan tidak ada siapa pun saat dia keluar dari kantor. Jadi, melihat Dave tiba-tiba keluar dari lift jauh di belakangnya sedikit membuatnya menyesal. Delotta tidak berniat menjawab pertanyaan Dave. Lelaki itu tidak perlu tahu apa yang sedang dirinya lakukan di sini. "Atau nunggu jemputan?" Tanya lain keluar saat Delotta tidak merespons, namun lelaki itu menoleh ketika tatap Delotta bergerak melewati bahunya. Dan seketika dia tahu orang yang sedang Delotta tunggu begitu melihat Dan
Delotta sadar yang dia lakukan mengundang perhatian semua yang ada di workstation. Bahkan beberapa terlihat menganga kaget melihat adegan siraman kopi itu. Namun siapa yang bisa mengendalikan emosi jika mendapat pelecehan seperti itu? Apalagi dari orang yang sama sekali tidak dia harapkan.Gadis itu baru akan membuka mulut ketika suara Daniel lebih dulu mengudara. "Ada apa ini?" Pria itu melangkah memasuki kantor stafnya dengan sorot mata terkejut, penasaran, atau mungkin tidak menduga karena kantornya mendadak gaduh. Dave berjalan mundur seraya meraup wajahnya. Meskipun jengkel dengan reaksi Delotta yang berlebihan dia tidak bisa marah. "Tidak ada apa-apa, Pak. Mungkin Delotta kira saya belum mandi," ujarnya berkelakar. Imel dengan cepat menyodorkan sekotak tisu untuk lelaki itu seraya memberikan tatapan membunuh pada Delotta. "Saya ada baju ganti. Kalau mau, kamu bisa ke ruangan saya," tawar Daniel yang ikut merasa bersalah atas sikap kekasihnya. "Tidak perlu, Pak. Saya ada b
Daniel menjatuhkan kepala ke dada Delotta. Napasnya memburu lantaran menahan gejolak yang menggebu. Sekali lagi dia harus mengendalikan diri agar tidak melakukan lebih. Ini menyiksa. Pikiran dan hatinya benar-benar saling berlomba ingin dimenangkan. "Kenapa, Om?" Delotta menyentuh kepala pria yang terus tenggelam di dadanya itu. Daniel menjauhkan wajahnya yang memerah dan memaksa tersenyum. "Aku nggak apa-apa." Dia kemudian bangkit dari atas Delotta. Cumbuan panasnya membuat pakaian gadis itu sedikit berantakan. Dengan perlahan lelaki itu membantu Delotta bangun. "Kamu harus istirahat," ujarnya lagi sembari membenarkan pakaian gadis itu. "Hanya sebatas ini?" tanya Delotta bingung. Dia pikir Daniel akan melakukan lebih dari sekedar ciuman panas. "Jangan mulai nakal. Aku sudah mati-matian menahan diri." "Yang ditahan-tahan itu nggak enak loh, Om." Daniel tahu Delotta sedang menggodanya. Dia hanya menggeleng dan beringsut turun dari tempat tidur. "Padahal aku udah siap banget kala
"Aku belum pernah melihat dia seposesif itu sebelumnya.""Masa?" "Ya. Aku bisa menjamin." Delotta menoleh ketika Tya menyenggol lengannya. "Tinggal upayakan si Om biar nempel terus sama lo." Ucapan Steve membuat harapan Delotta melambung lagi. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Steve setelah lelaki itu mutasi dari kantor pusat."Tapi aku minta maaf banget. Gara-gara aku Pak Steve malah dimutasi." Delotta menatap pria manis di depannya dengan raut menyesal. "Ini baru pertama kalinya aku alami. Tapi nggak masalah sih. Masih untung aku nggak dipecat. Dan Please call me Steve. Just Steve. Seperti yang teman kamu lakukan." Tya spontan mengedipkan mata ketika Steve mengerling padanya. "Oke. Aku usahakan." "Well. Kayaknya aku harus cabut sebelum Daniel datang. Atau dia tidak segan melemparku ke Timbuktu," ujar Steve seraya berdiri. "Sekali lagi terima kasih dan maaf." "Don't worry, Otta. Semoga kamu bahagia. Oke, Girls. See you again." Steve mundur, melambaikan tangan dan kembal
Delotta masih memejamkan mata erat ketika sebelah tangannya merasakan hampa. Tangan itu bergerak meraba, mencari sesuatu yang menjadi sandarannya sejak semalam, tapi nihil. Dengan malas kelopak matanya terbuka sebelah. Gadis itu tidak menemukan sosok Daniel di sana. Tubuhnya menggeliat, lalu meregangkan tangan dan kaki dengan perasaan lebih ringan meskipun semalam baru bisa terlelap nyaris dini hari. Tepat saat Delotta membuka mata sepenuhnya, sosok Daniel keluar dari balik dinding yang menghubungkan area kamar mandi. Pria itu hanya mengenakan handuk yang melilit pinggang. Pemandangan itu menarik ingatan Delotta kembali ke masa ketika dia melihat Daniel pertama kali. Di kamar dan situasi yang sama. Pria itu belum menyadari Delotta yang sudah bangun dan sedang memperhatikannya. Wangi parfum yang biasa Daniel gunakan menguar. Wangi yang maskulin tapi tidak menyengat. Sangat cocok dan lembut bagi indera penciuman Delotta. Dari atas tempat tidurnya, gadis itu menahan napas sambil mempe