Delotta sadar yang dia lakukan mengundang perhatian semua yang ada di workstation. Bahkan beberapa terlihat menganga kaget melihat adegan siraman kopi itu. Namun siapa yang bisa mengendalikan emosi jika mendapat pelecehan seperti itu? Apalagi dari orang yang sama sekali tidak dia harapkan.Gadis itu baru akan membuka mulut ketika suara Daniel lebih dulu mengudara. "Ada apa ini?" Pria itu melangkah memasuki kantor stafnya dengan sorot mata terkejut, penasaran, atau mungkin tidak menduga karena kantornya mendadak gaduh. Dave berjalan mundur seraya meraup wajahnya. Meskipun jengkel dengan reaksi Delotta yang berlebihan dia tidak bisa marah. "Tidak ada apa-apa, Pak. Mungkin Delotta kira saya belum mandi," ujarnya berkelakar. Imel dengan cepat menyodorkan sekotak tisu untuk lelaki itu seraya memberikan tatapan membunuh pada Delotta. "Saya ada baju ganti. Kalau mau, kamu bisa ke ruangan saya," tawar Daniel yang ikut merasa bersalah atas sikap kekasihnya. "Tidak perlu, Pak. Saya ada b
Daniel menjatuhkan kepala ke dada Delotta. Napasnya memburu lantaran menahan gejolak yang menggebu. Sekali lagi dia harus mengendalikan diri agar tidak melakukan lebih. Ini menyiksa. Pikiran dan hatinya benar-benar saling berlomba ingin dimenangkan. "Kenapa, Om?" Delotta menyentuh kepala pria yang terus tenggelam di dadanya itu. Daniel menjauhkan wajahnya yang memerah dan memaksa tersenyum. "Aku nggak apa-apa." Dia kemudian bangkit dari atas Delotta. Cumbuan panasnya membuat pakaian gadis itu sedikit berantakan. Dengan perlahan lelaki itu membantu Delotta bangun. "Kamu harus istirahat," ujarnya lagi sembari membenarkan pakaian gadis itu. "Hanya sebatas ini?" tanya Delotta bingung. Dia pikir Daniel akan melakukan lebih dari sekedar ciuman panas. "Jangan mulai nakal. Aku sudah mati-matian menahan diri." "Yang ditahan-tahan itu nggak enak loh, Om." Daniel tahu Delotta sedang menggodanya. Dia hanya menggeleng dan beringsut turun dari tempat tidur. "Padahal aku udah siap banget kala
"Aku belum pernah melihat dia seposesif itu sebelumnya.""Masa?" "Ya. Aku bisa menjamin." Delotta menoleh ketika Tya menyenggol lengannya. "Tinggal upayakan si Om biar nempel terus sama lo." Ucapan Steve membuat harapan Delotta melambung lagi. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan Steve setelah lelaki itu mutasi dari kantor pusat."Tapi aku minta maaf banget. Gara-gara aku Pak Steve malah dimutasi." Delotta menatap pria manis di depannya dengan raut menyesal. "Ini baru pertama kalinya aku alami. Tapi nggak masalah sih. Masih untung aku nggak dipecat. Dan Please call me Steve. Just Steve. Seperti yang teman kamu lakukan." Tya spontan mengedipkan mata ketika Steve mengerling padanya. "Oke. Aku usahakan." "Well. Kayaknya aku harus cabut sebelum Daniel datang. Atau dia tidak segan melemparku ke Timbuktu," ujar Steve seraya berdiri. "Sekali lagi terima kasih dan maaf." "Don't worry, Otta. Semoga kamu bahagia. Oke, Girls. See you again." Steve mundur, melambaikan tangan dan kembal
Delotta masih memejamkan mata erat ketika sebelah tangannya merasakan hampa. Tangan itu bergerak meraba, mencari sesuatu yang menjadi sandarannya sejak semalam, tapi nihil. Dengan malas kelopak matanya terbuka sebelah. Gadis itu tidak menemukan sosok Daniel di sana. Tubuhnya menggeliat, lalu meregangkan tangan dan kaki dengan perasaan lebih ringan meskipun semalam baru bisa terlelap nyaris dini hari. Tepat saat Delotta membuka mata sepenuhnya, sosok Daniel keluar dari balik dinding yang menghubungkan area kamar mandi. Pria itu hanya mengenakan handuk yang melilit pinggang. Pemandangan itu menarik ingatan Delotta kembali ke masa ketika dia melihat Daniel pertama kali. Di kamar dan situasi yang sama. Pria itu belum menyadari Delotta yang sudah bangun dan sedang memperhatikannya. Wangi parfum yang biasa Daniel gunakan menguar. Wangi yang maskulin tapi tidak menyengat. Sangat cocok dan lembut bagi indera penciuman Delotta. Dari atas tempat tidurnya, gadis itu menahan napas sambil mempe
Om Daniel : [Hari ini ada beberapa meeting di luar. Kemungkinan lunch dan makan malam juga di luar dengan Pak Dasa. See you at home.] Pesan itu masuk setelah Delotta melihat Daniel dan rombongannya keluar. Sepertinya seharian dia tidak akan bisa melihat lelaki itu. Itu sama saja semangat kerjanya juga berkurang. Kantor juga terlihat sangat sibuk. Tidak ada sekumpulan staf yang berhaha-hihi seperti biasanya. Menjelang akhir bulan selalu seseram ini situasinya. Tidak terkecuali Delotta. Dia sampai harus mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Tatapannya tidak pernah beranjak dari layar mengecek satu per satu data yang masuk ke komputernya. Pekerjaan yang sekarang begitu monoton meskipun awal-awal dia merasa kesulitan. Ketika semua staf satu per satu beranjak keluar untuk makan siang, Delotta masih betah di depan layar komputer. Memindai deret angka yang hampir bikin matanya juling. Dia bahkan mengabaikan ajakan makan siang teman-temannya. Sudah diputuskan sejak menerima pesan Daniel, dia
Delotta tidak tahu kapan Daniel sampai rumah. Saat tiba-tiba terjaga, waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Pekerjaan yang hectic membuat niatnya menunggu Daniel pulang malah berakhir dengan ketiduran. "Kenapa aku ada di tempat tidur?" gumamnya saat menemukan dirinya berbaring nyaman di atas ranjang. Delotta masih ingat dia tengah menunggu Daniel di family room sambil menonton acara TV lokal. Bergegas dia turun dari ranjang dan bergerak keluar kamar. Kaki telanjangnya melangkah pelan di atas lantai yang terasa dingin. Dia melihat Pintu serupa dinding akses ke kamar Daniel tertutup rapat. Dia mendekat, lalu tangannya terangkat menekan sebuah tombol yang ada di sana. Dan dengan otomatis pintu itu terbuka. Delotta menyelinap masuk melewati satu set sofa lalu berbelok menuruni tangga landai. Dari sini dia bisa menemukan Daniel yang masih duduk bersandar pada headboard ranjang. Di pangkuannya terdapat sebuah laptop yang masih menyala. Bahkan sampai rumah pun dia masih memegang pekerja
Daniel menelan ludah kepayahan. Hasrat ingin menyentuh Delotta begitu besar, tapi lagi-lagi akal sehatnya menolak. Punggung tangan yang sedari tadi menelusuri kulit lengan Delotta menggantung di udara. Perlu usaha yang sangat keras untuk mengontrol dirinya dan dia merasa tak sanggup lagi saat melihat mata sayu Delotta yang dipenuhi kabut gairah. "Om?" panggil Delotta, menyaksikan Daniel malah mematung selama beberapa saat. "Kenapa?" Tanpa menjawab pertanyaan gadis itu, Daniel menjatuhkan wajah ke ceruk leher Delotta. Menghirup dalam-dalam aroma vanila di sana. Memabukkan, tapi dia harus menahan. "Om ragu lagi melakukannya?" tanya Delotta sambil mengusap punggung lelaki itu. "Kamu anak Ricko," desah Daniel. Lantas beranjak dari atas Delotta dan berguling di sisi gadis itu. Keduanya lantas berbaring miring saling berhadapan. "Aku nggak bisa melakukan ini. Setiap kali ingin, ada yang berbisik padaku, Otta. Kamu jahat, kamu menodai gadis yang saat kecil pernah kamu timang. Lantas ak
Tangan Delotta merambat menyentuh dada bidang Daniel. Membuka satu per satu kancing kemeja pria itu. Namun di tengah usahanya itu Daniel meraih tangannya. Lantas ciuman mereka terurai. "Not now, Baby. Aku ada meeting pagi ini. Dan kamu harus mengejar deadline akhir bulan kalau nggak mau kena omelan ketua tim kamu." Bibir Delotta kontan maju. Dia berdecap lirih. "Nggak asik banget sih." Daniel terkekeh seraya mengacak rambut gadis itu. "Sekarang kamu siap-siap, aku tunggu kamu di meja makan dalam 15 menit atau kalau enggak kamu terpaksa berangkat dengan supir." Dia berdiri lalu meraih sebuah dasi. Dengan terpaksa Delotta beranjak berdiri. Hari ini pasti akan melelahkan karena semalam dia kurang tidur. "Aku nggak boleh cuti, Om?" tanya Delotta dengan wajah memelas. "Nggak, Sayang. Kantor membutuhkan kamu," sahut Daniel seraya menyimpul dasinya. Dengan langkah gontai Delotta akhirnya keluar dari kamar Daniel. Gerakan menyimpul dasi terhenti begitu gadis itu hilang dari pandangan.
"Adik bayi itu dari angsa terbang, Mam?" Pertanyaan yang diajukan dengan nada khas balita itu membuat Dellota dan Daniel terkekeh. Kavia masih penasaran dengan kemunculan adik bayi. Gyan di sisi gadis kecil itu menarik napas panjang. "Bukan Kavia, kan aku udah bilang itu mitos." "Aku nggak tau mitos itu apa." Kavia tidak peduli dan meloncat ke bed ibunya. Seketika Daniel memekik tertahan. "Hati-hati, My Princess. Kamu bisa jatuh," ucapnya dengan dada yang masih berdebar kencang. "Aku cuma mau lihat adik bayi." Kavia bergerak ke sisi ibunya yang tengah menyusui adik barunya. "Mami, boleh aku ikut nenen juga sama mami?" Lagi-lagi Delotta terkekeh. Tangannya terjulur mengusap kepala Kavia dengan lembut. "Kavia kan udah jadi kakak, masa masih mau nenen ke mami?" "Kavia, nenen itu cuma buat bayi. Kita udah jadi kakak, udah besar. Kamu mau diejek sama teman-teman kalau masih nenen sama mami?" Gyan menggeleng tak habis pikir dengan keinginan adiknya. Namun Kavia lagi-lagi tak peduli
Tangan Daniel menggenggam kemudi dengan erat. Gigi-gigi dalam rongga mulutnya gemeretakan menahan kesal. Beberapa kali dia menghela napas panjang untuk menghalau amarah akibat tingkah sekretarisnya. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa seorang sekretaris baru seberani itu? Kepalanya penuh dengan Delotta sekarang. Beberapa hari belakangan wanita itu sering uring-uringan perkara sekretaris baru Daniel. Dan malam ini kekhawatiran Delotta terbukti. Daniel membelokkan kemudi ke kawasan rumah mewahnya. Pintu gerbang rumah terbuka saat sensor di sana mengenali mobilnya. Dia bergerak masuk melewati halaman taman yang luas, mengitari tugu air mancur warna-warni hingga mobilnya tepat berhenti di depan teras rumah. Dia turun begitu saja dari mobil dan memasuki rumah yang pintunya otomatis terbuka. Langkahnya berbelok ke kanan menuju jalan alternatif yang akan langsung menuju kamar pribadinya. Ketika tangannya menyentuh sebuah dinding berlapis marmer, dinding itu lantas bergerak terbuka. Danie
Pekerjaan membuat Daniel harus tinggal lebih lama di kantor. Beberapa saat lalu dia baru saja mengakhiri panggilan video dengan istri dan anak-anaknya yang tengah bersiap tidur. Ini menjadi hal yang sulit untuknya. Dellota tengah hamil anak ketiga, tapi pekerjaan malah makin membuat pria itu sibuk. Tak jarang dia meninggalkan istri dan anak-anak keluar kota. Blue Jagland Indonesia makin melebarkan sayap. Bisnisnya mulai menggurita di beberapa sektor. Itu yang membuat Daniel makin sibuk. Sampai-sampai Gyan dan Kavia protes karena waktu bermain mereka dengan sang papi jadi berkurang. Tidak jarang weekend pun Daniel tetap bekerja."I'm sorry, Baby. Tapi semua ini memang sulit ditinggal," ucap Daniel suatu kali ketika Delotta protes tentang jam kerjanya yang makin tak masuk akal."Tapi kami juga butuh waktu kamu. Lima hari kerja memangnya nggak cukup? Kalau majunya perusahaan malah bikin kamu nggak punya waktu buat kami lebih baik perusahaan nggak usah maju aja." Delotta bersedekap tangan
Delotta terkikik geli saat melihat Kavia tidur di lengan Daniel—yang juga ikutan tidur dengan lelap. Batita itu terlihat begitu nyaman tidur sambil memegangi lengan Daniel. Dalam keadaan begitu, keduanya tampak begitu mirip. Lima belas menit lalu Delotta sengaja menitipkan putrinya yang sudah dia dandani kepada Daniel. Bahkan dia juga berpesan untuk membawa Kavia jalan-jalan. Dan ternyata jalan-jalan mereka ke pulau kapuk. Delotta bersandar pada kusen pintu menatap mereka. Untuk semua alasan dia sangat bersyukur dengan keadaannya yang sudah sampai sejauh ini.Kepala Delotta menggeleng pelan sambil tersenyum melihat pemandangan itu. Tidak mau mengganggu, dia pun keluar. "Adek mana, Mam?" tanya Gyan saat melihat ibunya berjalan sendiri tanpa Kavia di gendongannya. "Lagi tidur sama papi," ujar Delotta pelan. "Kok tidur sih? Ini kan udah sore? Papi juga janji mau main bola sama aku." Wajah Gyan cemberut, pipi chubby-nya memerah. "Iya maafin, Papi. Nanti kalau Papi udah bangun kamu b
"Boleh satu lagi?" Delotta berjengit ketika Daniel mencium perutnya. Dia kaget dengan permintaan Daniel. Demi Tuhan! Kavia baru lepas dari asi eksklusif bisa-bisanya Daniel memintanya untuk memberi anak lagi. "Aku masih capek. Tenagaku masih perlu dipulihkan. Ya aku tau kamu memberiku bala bantuan. Tapi paling enggak tunggu sampai Kavia usia dua tahun?""Dua tahun? Bahkan hamil kedua saat Gyan umur satu tahun. Ayolah Sayang, kamu menikah bukan sama pria muda.""Ya, lalu?" Daniel menggigit bibir, tapi lantas menundukkan kepala sambil melukis gerakan abstrak dengan ujung jari di atas lengan Delotta. Mirip sekali dengan Gyan saat merajuk. "Kalau dilama-lamain lagi aku takut dikira sedang menggendong cucu nanti," ujar pria itu, yang mau tak mau membuat Delotta menyemburkan tawa. Daniel berdecak malas melihat reaksi istrinya. "Apanya yang lucu coba?"Delotta mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah untuk meredakan tawa. "Maaf, Sayang." Segera mungkin Delotta mendekat dan menyelipkan t
"Ah!" Delotta menengadah sambil menggigit bibir. Rintihan lirihnya membuat suasana di sekitar makin panas. Peluh membanjiri kulit tubuhnya yang seputih susu. Pinggulnya terus bergerak maju mundur dengan tempo sedang. Di bawahnya, Daniel mengerang. Dua tangannya merangkum dada Delotta. Sesekali jarinya menjepit gemas dua puncak dada itu yang kadang mengeluarkan cairan asi. "Sayang, ini perlu dipumping lagi kayaknya deh," ucap Daniel saat jarinya merasakan basah ketika menekan puncak dada istrinya. "Sebentar lagi," sahut Delotta agak terbata. Melihat wajah memerah Delotta, Daniel tersenyum. Dia segera mengambil alih permainan. Ditariknya tubuh gadis itu sampai jatuh ke pelukannya. Lantas dari bawah pinggulnya bergerak menghantamkan miliknya lebih keras dan dalam sampai-sampai membuat Delotta terpekik. "Aku bantu," ucap pria itu memberikan hujaman demi hujaman. Erangan dan desahan Delotta makin menjadi. Dirinya yang memang sudah tidak bisa menahan diri lagi dengan cepat meraih kep
Daniel mencium pipi Delotta yang sedang mengoles selai pada sehelai roti. Dia lantas beranjak duduk di kursi makan paling ujung. Tepat di depannya ada satu tangkup sandwich segitiga dengan isian sayur. Tangannya meraih gelas panjang berisi air putih dan meneguknya hinga isinya tersisa setengah. Perlahan Delotta duduk di kursi. Perutnya yang sudah membesar membuatnya agak kesulitan bergerak. "Yakin bukan hari ini lahirannya?" tanya Daniel yang selalu seperti menahan sesuatu ketika Delotta bergerak. Ada rasa khawatir tiap kali melihat Delotta tampak kesusahan dengan perutnya yang makin besar. "Yakinlah. Masih sepuluh hari lagi kata dokter." Delotta menggigit roti selai cokelat yang dia buat tadi. "Tapi perut kamu kayak mau jatuh gitu aku liatnya." Delotta memutar bola mata. "Memang Om nggak pernah liat orang hamil sebelumnya?" "Ya, ya liat sih, tapi kan baru sekarang liat istri hamil." "Ya terus apa bedanya? Orang hamil ya begini, namanya juga udah bulannya. Wajar dong kalau peru
Belum lengkap rasanya ke Santorini tanpa menikmati Oia sunset di atas ketinggian kota kecil di ujung utara pulau ini. Delotta merasa beruntung karena dia bisa melihat gradasi jingga yang memendar di langit dan bangunan-bangunan unik khas Cyclades berwarna putih bersama orang yang dia cintai. Delotta bisa merasakan kehangatan udaranya. Ditambah pelukan lengan kokoh Daniel di balik punggungnya. Senja terasa sempurna berkat itu. "Are you happy?" "Sure because of you." Tangan Delotta terulur menggapai wajah Daniel yang bersandar di bahunya. "Dia pasti senang juga," ucap Daniel sambil meraba perut Delotta. "Iya dong pasti. Kalau dia lahir kita bakal ke sini lagi kan, Om?" "Ke mana pun kamu mau. Tapi sekarang kita harus pulang ke hotel. Jalan-jalan hari ini cukup. Kamu butuh istirahat." Lelah, tapi cukup terbayarkan semuanya. Seharian ini Daniel menuruti semua keinginan istrinya untuk menjelajah pulau. Dimulai dari Desa Wisata Pygros—yang memiliki jalan-jalan sempit berliku, tembok b
Tya memandang takjub potrait foto Daniel dan Delotta yang dipajang secara estetik di pintu masuk menuju ballroom hotel tempat resepsi pernikahan mereka diadakan. Ukiran inisial huruf D ganda bertinta emas di keramik berbentuk persegi panjang, terpasang cantik di sebelah foto itu dengan hiasan tabung panjang berisi lilin buatan dan segerombolan bunga mawar peony. Di foto itu, Daniel yang terlihat tampan tengah tertawa sambil menatap Delotta yang juga tengah tertawa lebar. Hanya melihat dari foto saja kebahagiaan mereka lantas menular. Di sepanjang dinding koridor setelah melewati petugas keamanan, foto mereka juga dipasang setiap jarak dua meter. "Ini kapan mereka foto beginian sih?" gumam Tya masih dengan tatap takjub. Beberapa tamu sudah melewatinya, meninggalkan gadis itu yang tampak masih mengamati pameran foto prewed ala-ala Daniel Delotta. "Lo mau di sini terus?" Pertanyaan itu membuat Tya menoleh. Dia menemukan Dave dengan setelan jas kupu-kupu berada di sebelahnya. "Dave