Daniel membungkus paksa tubuh Delotta yang hanya mengenakan bikini dengan sebuah handuk besar. Dia membawa gadis itu menjauhi pantai dan menghindari keramaian. "Lagi-lagi Om bertindak seenaknya!" teriak Delotta saat Daniel melepas cekalan tangannya. "Yang kamu lakukan tadi sudah di luar batas, Otta. Bagaimana bisa kamu membiarkan Steve mencium kamu?" Daniel berusaha menekan suaranya. Dia kadang tidak bisa mengendalikan emosi dan nada suaranya bisa meninggi sewaktu-waktu. "Apa masalahnya?! Aku nggak keberatan." "Otta, Papamu memintaku buat menjaga kamu. Apa yang akan aku katakan padanya kalau kamu begini?" "Om nggak perlu mengatakan apa-apa sama, Papa," ucap Delotta dengan tatapan menghunus. "Aku bisa menjaga diri sendiri. Jadi, apa pun yang aku lakukan Om nggak usah peduli!" "Otta, dengar. Apa pun yang kamu lakukan selama itu positif aku nggak masalah, tapi mencium dan berpelukan dengan laki-laki? Astaga, Otta. Apa itu yang kamu sebut bisa menjaga diri?" "Aku sudah dewasa. Hal
Steve menarik napas berat seraya memundurkan badan. Dugaannya selama ini benar. Tidak ada wanita dewasa yang imun dari pesona Daniel Jagland, bahkan Delotta. Jika dia nekat terus mendekati gadis itu, hanya akan mendapatkan rasa sakit. Steve tidak bisa bersaing dengan Daniel. Perbedaan mereka terlalu jauh. Ibarat bumi dan langit.Delotta menggeleng pelan. "Tapi perasaan saya nggak penting, Pak. Dia tidak pernah melihat saya sebagai wanita." Dia memperagakan gerakan menimang. "Dia menganggap saya sama seperti saat masih bayi. Kata papa, dulu dia sering menimang saya." Delotta mengangkat bahu. "Atau mungkin saya bukan tipenya."Daniel Jagland memang memiliki selera yang tinggi untuk urusan wanita. Tapi demi apa pun, Delotta adalah tipe gadis yang wajib diperhitungkan juga. Dia bahkan lebih indah dari wanita-wanita yang pernah Daniel kencani. Tanpa pulasan make-up Delotta memiliki kecantikan luar biasa. Steve tertarik padanya dari awal gadis itu masuk kantor. "Kamu cantik, Delotta. Hanya
"Otta?" Detik itu juga rasa lega luar biasa membuncah memenuhi rongga dada Daniel. Dia beranjak berdiri segera seraya menatap gadis itu. Delotta tampak baik-baik saja dengan celana jins dan kaos putih yang kedodoran. Rambut cokelatnya yang tergerai, berkibar tertiup angin. "Otta?" "Ngapain Om Daniel di sini?" tanya Delotta dengan wajah datar. Padahal Daniel di depannya sangat mencemaskan gadis itu. Pria tinggi itu tidak menjawab. Dia bergerak mendekat, lalu memeluk gadis itu tanpa mengucapkan apa pun. Memastikan bahwa Delotta benar-benar ada di depannya. Daniel memejamkan mata, napasnya berembus tenang karena yang dipeluknya bukan hanya halusinasi. Setelah beberapa saat, dia mengurai pelukannya. Tatapnya bertemu dengan tatap heran Delotta. "Aku benar-benar cemas sampai kakiku lemas." Tangan Daniel terangkat dan menangkup dua sisi wajah gadis itu. "Karena aku anak teman Om?" Daniel menggeleng. "Karena aku sadar kamu sangat berharga buatku." Mata bulat legam milik Delotta meng
"Kita pulang?" "Nggak. Aku masih mau di sini." "Papamu akan nyariin kamu.""Om yang kasih kabar papa kalau aku masih ingin di sini."Daniel membuang napas, lalu melirik gadis yang duduk di sampingnya itu. "Besok ada banyak pekerjaan menanti." "Cuti satu hari ya, please." Delotta menangkupkan tangan seraya menunjukkan wajah memelasnya. "Perusahaanku bisa bangkrut kalau memelihara 10 saja karyawan seperti kamu," ujar Daniel membuat gelak tawa Dellotta kontan mengudara. "Om lebay!" Daniel berdiri seraya membersihkan butiran pasir yang menempel di celananya yang basah. "Ayo bangun. Kamu harus mandi dan ganti baju." "Aku nggak punya baju ganti. Semua barang-barangku ketinggalan di bus." Delotta merogoh saku celana, lalu menemukan selembar uang seratus ribu. "Aku hanya punya ini," katanya lantas tergelak lagi. Kepala Daniel menggeleng melihat kelakuan gadis itu. "Kamu bisa pakai bajuku, ayo!" tangan Daniel terulur, dan langsung Delotta sambut. Keduanya kembali ke resort dan memu
Dengan perlahan Daniel beringsut dari tempat tidur. Hati-hati dia menjauhkan lengan Delotta yang memeluk tubuhnya sambil menahan napas. Fiuh! Akhirnya dia bisa melepaskan diri dari siksaan ini. Meskipun belum sepenuhnya. Bagaimana tidak? Semalaman dia menahan diri agar tidak menyentuh Delotta lebih dari sekedar ciuman. Bagi pria yang aktif soal seks sepertinya, jujur dia kesulitan. Apalagi cintanya pada Delotta sedang tumpah ruah. *Dia masih ingat semalam ketika dirinya nyaris saja kehilangan kendali. Begitu pun Delotta, gadis itu tidak bisa menghentikan aksinya yang sudah di luar batas. Keduanya sama-sama tertelan kabut gairah. Hingga sebuah tanya yang Daniel lontarkan akhirnya mendapat jawaban yang membuatnya cukup terkejut. "Aku masih virgin." Usapan ibu jari Daniel di pangkal paha milik Delotta terhenti seketika. Dia tercengang dan menatap takjub wajah Delotta yang berkabut gairah. "Kamu serius?" Delotta mengangguk dengan wajah memalu. "Jadi, apa yang kamu lakukan saat pa
"Hari ini aku izinkan kamu cuti. Tapi besok wajib masuk kerja, atau kalau enggak....""Kalau enggak apa?" Alih-alih takut, Delotta malah bergelayut manja di lengan Daniel. Saat ini mereka sudah berada di depan rumah Ricko. "Kalau enggak, selain gaji magangmu aku potong, kamu juga bakal dapat hukuman.""Wow, mau dong dihukum." "Dihukum kok malah mau.""Kalau yang hukum Om Daniel aku sih mau banget." Mata biru Daniel menatap gadis itu, senyum kecilnya terbit samar. Dengan gemas jarinya menyentil pelan dahi Delotta. "Awas aja kalau kamu lari dari hukuman." Delotta hanya nyengir, sambil mengusap dahinya. Tatapnya beralih memperhatikan gerbang rumahnya yang tertutup rapat. "Aku masih ingin sama Om," ucapnya terdengar sedih. Seolah-olah mereka bakal pisah selamanya. "Besok masih bisa ketemu." "Besok?! Emang nanti malam nggak bisa?" Daniel terkekeh melihat muka Delotta yang protes. "Aku nggak yakin. Banyak kerjaan hari ini. Kamu kan tahu Sandra terus menelepon." Sontak bibir kemer
Hanya kurang lima menit dari waktu yang Daniel janjikan, tapi rasanya begitu lama bagi Delotta. Detak jam seolah berkurang kecepatannya. Bahkan jarum panjangnya seakan-akan tidak mau bergeser ke kanan. Delotta sudah menunggu dengan bosan di kamar. Sesekali dia melakukan hal-hal aneh di sela waktu menunggu. Bolak-balik cek pesan chat, atau main games di gadgetnya, tapi waktu masih saja terasa lama. Pukul sepuluh kurang tiga menit sebuah notifikasi aplikasi chat muncul. Delotta hampir saja melompat kegirangan saat melihat si pengirim pesan itu Daniel. Daniel : [Aku di depan rumah kamu. Agak maju. Hati-hati jangan sampai papa kamu bangun.] Dua tipe hubungan yang paling tidak Delotta sukai itu LDR dan backstreet, tapi sekarang dia malah terjebak di salah satu hubungan itu. Setelah membalas singkat pesan Daniel, Delotta berjingkat keluar dari kamar. Kepalanya celingukan meninjau situasi. Lampu lantai dua sudah berubah redup. Pintu kamar papa juga tertutup rapat. Dan yang paling penti
Tidak ada yang berubah. Keadaan kantor nyaris sama seperti biasanya. Hanya beberapa staf yang menanyakan keadaan Delotta pasca tertinggal di tempat outing kemarin. Termasuk si judes, Imel. Steve, orang kedua yang ingin dia temui malah tidak ada. Yang kedua? Ya, karena yang pertama jelas Daniel. "Pak Steve ke mana ya, Mbak?" tanya Delotta pada Imel yang paginya tampak begitu sibuk. "Lagi ada tugas ke luar kota," sahut wanita berkacamata itu tanpa melirik secuil pun kepada Delotta. "Ooh." Delotta baru saja berbalik ketika wanita itu memanggilnya. "Sekedar informasi, pekerjaan kamu dari kemarin aku yang ngerjain." Kalau menuruti kata hati, Delotta ingin membalas dengan kata-kata : emang gue minta? Tapi tentu saja tidak dia lakukan. Berbanding terbalik dengan isi hatinya gadis itu tersenyum lebar seraya menangkupkan dua belah tangan sambil menelengkan kepala. "Ya ampun! Mbak Imel baik banget, sih. Terima kasih banyak loh, Mbak. Jarang-jarang ada orang sebaik, Mbak. Gimana kalau kit