"Otta?" Detik itu juga rasa lega luar biasa membuncah memenuhi rongga dada Daniel. Dia beranjak berdiri segera seraya menatap gadis itu. Delotta tampak baik-baik saja dengan celana jins dan kaos putih yang kedodoran. Rambut cokelatnya yang tergerai, berkibar tertiup angin. "Otta?" "Ngapain Om Daniel di sini?" tanya Delotta dengan wajah datar. Padahal Daniel di depannya sangat mencemaskan gadis itu. Pria tinggi itu tidak menjawab. Dia bergerak mendekat, lalu memeluk gadis itu tanpa mengucapkan apa pun. Memastikan bahwa Delotta benar-benar ada di depannya. Daniel memejamkan mata, napasnya berembus tenang karena yang dipeluknya bukan hanya halusinasi. Setelah beberapa saat, dia mengurai pelukannya. Tatapnya bertemu dengan tatap heran Delotta. "Aku benar-benar cemas sampai kakiku lemas." Tangan Daniel terangkat dan menangkup dua sisi wajah gadis itu. "Karena aku anak teman Om?" Daniel menggeleng. "Karena aku sadar kamu sangat berharga buatku." Mata bulat legam milik Delotta meng
"Kita pulang?" "Nggak. Aku masih mau di sini." "Papamu akan nyariin kamu.""Om yang kasih kabar papa kalau aku masih ingin di sini."Daniel membuang napas, lalu melirik gadis yang duduk di sampingnya itu. "Besok ada banyak pekerjaan menanti." "Cuti satu hari ya, please." Delotta menangkupkan tangan seraya menunjukkan wajah memelasnya. "Perusahaanku bisa bangkrut kalau memelihara 10 saja karyawan seperti kamu," ujar Daniel membuat gelak tawa Dellotta kontan mengudara. "Om lebay!" Daniel berdiri seraya membersihkan butiran pasir yang menempel di celananya yang basah. "Ayo bangun. Kamu harus mandi dan ganti baju." "Aku nggak punya baju ganti. Semua barang-barangku ketinggalan di bus." Delotta merogoh saku celana, lalu menemukan selembar uang seratus ribu. "Aku hanya punya ini," katanya lantas tergelak lagi. Kepala Daniel menggeleng melihat kelakuan gadis itu. "Kamu bisa pakai bajuku, ayo!" tangan Daniel terulur, dan langsung Delotta sambut. Keduanya kembali ke resort dan memu
Dengan perlahan Daniel beringsut dari tempat tidur. Hati-hati dia menjauhkan lengan Delotta yang memeluk tubuhnya sambil menahan napas. Fiuh! Akhirnya dia bisa melepaskan diri dari siksaan ini. Meskipun belum sepenuhnya. Bagaimana tidak? Semalaman dia menahan diri agar tidak menyentuh Delotta lebih dari sekedar ciuman. Bagi pria yang aktif soal seks sepertinya, jujur dia kesulitan. Apalagi cintanya pada Delotta sedang tumpah ruah. *Dia masih ingat semalam ketika dirinya nyaris saja kehilangan kendali. Begitu pun Delotta, gadis itu tidak bisa menghentikan aksinya yang sudah di luar batas. Keduanya sama-sama tertelan kabut gairah. Hingga sebuah tanya yang Daniel lontarkan akhirnya mendapat jawaban yang membuatnya cukup terkejut. "Aku masih virgin." Usapan ibu jari Daniel di pangkal paha milik Delotta terhenti seketika. Dia tercengang dan menatap takjub wajah Delotta yang berkabut gairah. "Kamu serius?" Delotta mengangguk dengan wajah memalu. "Jadi, apa yang kamu lakukan saat pa
"Hari ini aku izinkan kamu cuti. Tapi besok wajib masuk kerja, atau kalau enggak....""Kalau enggak apa?" Alih-alih takut, Delotta malah bergelayut manja di lengan Daniel. Saat ini mereka sudah berada di depan rumah Ricko. "Kalau enggak, selain gaji magangmu aku potong, kamu juga bakal dapat hukuman.""Wow, mau dong dihukum." "Dihukum kok malah mau.""Kalau yang hukum Om Daniel aku sih mau banget." Mata biru Daniel menatap gadis itu, senyum kecilnya terbit samar. Dengan gemas jarinya menyentil pelan dahi Delotta. "Awas aja kalau kamu lari dari hukuman." Delotta hanya nyengir, sambil mengusap dahinya. Tatapnya beralih memperhatikan gerbang rumahnya yang tertutup rapat. "Aku masih ingin sama Om," ucapnya terdengar sedih. Seolah-olah mereka bakal pisah selamanya. "Besok masih bisa ketemu." "Besok?! Emang nanti malam nggak bisa?" Daniel terkekeh melihat muka Delotta yang protes. "Aku nggak yakin. Banyak kerjaan hari ini. Kamu kan tahu Sandra terus menelepon." Sontak bibir kemer
Hanya kurang lima menit dari waktu yang Daniel janjikan, tapi rasanya begitu lama bagi Delotta. Detak jam seolah berkurang kecepatannya. Bahkan jarum panjangnya seakan-akan tidak mau bergeser ke kanan. Delotta sudah menunggu dengan bosan di kamar. Sesekali dia melakukan hal-hal aneh di sela waktu menunggu. Bolak-balik cek pesan chat, atau main games di gadgetnya, tapi waktu masih saja terasa lama. Pukul sepuluh kurang tiga menit sebuah notifikasi aplikasi chat muncul. Delotta hampir saja melompat kegirangan saat melihat si pengirim pesan itu Daniel. Daniel : [Aku di depan rumah kamu. Agak maju. Hati-hati jangan sampai papa kamu bangun.] Dua tipe hubungan yang paling tidak Delotta sukai itu LDR dan backstreet, tapi sekarang dia malah terjebak di salah satu hubungan itu. Setelah membalas singkat pesan Daniel, Delotta berjingkat keluar dari kamar. Kepalanya celingukan meninjau situasi. Lampu lantai dua sudah berubah redup. Pintu kamar papa juga tertutup rapat. Dan yang paling penti
Tidak ada yang berubah. Keadaan kantor nyaris sama seperti biasanya. Hanya beberapa staf yang menanyakan keadaan Delotta pasca tertinggal di tempat outing kemarin. Termasuk si judes, Imel. Steve, orang kedua yang ingin dia temui malah tidak ada. Yang kedua? Ya, karena yang pertama jelas Daniel. "Pak Steve ke mana ya, Mbak?" tanya Delotta pada Imel yang paginya tampak begitu sibuk. "Lagi ada tugas ke luar kota," sahut wanita berkacamata itu tanpa melirik secuil pun kepada Delotta. "Ooh." Delotta baru saja berbalik ketika wanita itu memanggilnya. "Sekedar informasi, pekerjaan kamu dari kemarin aku yang ngerjain." Kalau menuruti kata hati, Delotta ingin membalas dengan kata-kata : emang gue minta? Tapi tentu saja tidak dia lakukan. Berbanding terbalik dengan isi hatinya gadis itu tersenyum lebar seraya menangkupkan dua belah tangan sambil menelengkan kepala. "Ya ampun! Mbak Imel baik banget, sih. Terima kasih banyak loh, Mbak. Jarang-jarang ada orang sebaik, Mbak. Gimana kalau kit
Sandra terpingkal melihat muka cemberut Daniel. Saat melihat adegan bos melahap stafnya, dia sempat terkejut sampai-sampai harus menjatuhkan beberapa dokumen yang dia bawa. Namun, tidak berapa lama perutnya terasa mulas menahan tawa yang hendak menyembur. Dia baru bisa tergelak ketika Delotta dengan wajah merah padam keluar dari ruangan Daniel setelah sebelumnya membenarkan pakaiannya yang berantakan. "Diam, Sandra. Kamu pikir itu lucu?" tegur Daniel dengan tatapan sengit. "Pak, tapi ini lucu." Sandra sampai harus menyeka sudut matanya yang basah. "Anda menolak mati-matian gadis itu. Tapi sekarang yang saya lihat apa? Suer deh, Pak. Anda tadi seperti singa kelaparan. Dan ini masih terlalu pagi untuk bercumbu." Sandra kembali tertawa, membuat Daniel menggeram. "Diam, atau mulutmu aku sumpal sampai kamu tersedak."Tawa Sandra langsung terhenti seketika. Dia membekap mulutnya sendiri dengan telapak tangan. Melihat itu Daniel berdecak lalu menarik dokumen yang Sandra bawa. "Asal
"Jadi benar itu kamu?" Delotta mengangkat wajah dan langsung melihat sosok Daniel tidak jauh darinya. Mata bulatnya berbinar. Kendati tiap hari bertemu, rasanya Delotta tidak akan pernah bosan menatap wajah tampan itu. Namun, dia tahu Daniel tidak sedang menatapnya. Pria itu berjalan menuju meja Steve, oh bukan, maksudnya meja Steve yang sekarang dihuni Dave. Dave bahkan langsung berdiri dan keluar dari mejanya untuk menyambut pria itu. Dan yang mengejutkan, keduanya berpelukan seolah sudah sangat akrab. "Singapore membuatmu bosan? Aku langsung setuju saat sekretarisku memberi tahu kamu bakal bergabung dengan perusahaanku." Delotta yang mendengar itu mengernyit. Jadi Daniel benar-benar kenal Dave? Ini musibah kedua hari ini. How can? Delotta sudah ingin menangis saja. Dave tersenyum lebar. "Apa kabar, Om? Berapa tahun kita nggak pernah bertemu?" Tunggu! Delotta tidak salah dengar kan? Kenapa Dave memanggil Daniel 'om'? Delotta ingin mendengar percakapan mereka lebih lanjut. J