Dengan rasa penasaran yang meronta-ronta, aku terus membuka satu-persatu foto-foto Darasifa. Kuperhatikan wajahnya baik-baik. Memang model muslimah itu jauh lebih cantik. Namun kenapa mereka sangat mirip sekali? Matanya ... ya mata bulat namun terkesan sendu dan tenang itu sangat tidak asing bagiku. Senyum itu. Senyum yang menenangkan setiap orang jika memandangnya. Arrgh ...! Tidak mungkin itu Lidia. Mana mungkin Lidia menjadi model. Wanita itu sangat sederhana. Difoto saja dia sangat pemalu. Apa mungkin mereka kembar? Tapi dulu selama aku menjadi suaminya, Lidia bilang bahwa dia adalah anak satu-satunya. Drett ... Drett Aku terlonjak karena tiba-tiba ponselku bergetar. Tertera nama Rena di sana.Ah, Ya ampuuun. Pasti wanita itu berteriak minta diantarkan makanan. Dasar manja! "Hallo, Maaaas. Mana makanannyaaa ...?Aku sudah lapar, nih!" Tuh, kan betul dugaanku. Entah bagaimana caranya menasehati istriku itu. Semua apa yang dia minta harus segera di layani."Maaaas ! Kok dia
"Siapa kamu? Kenapa ada di rumahku?" Dari balik pintu kamar aku melihat Rena yang baru saja terbangun, dengan gusar menghampiri Widia yang sedang menghidangkan sarapan di meja makan. Widia membalikkan badannya, "Saya Asisten rumah tangga di sini. Ada masalah?" sahutnya santai. Rena melotot pada Widia. Namun wanita berhijab itu tetap bersikap tenang dan terus mengerjakan tugasnya. "Maaaas.!" "Ada apa, Rena?" Pagi-pagi istriku itu sudah berisik. Biasanya tidak pernah peduli dan tetap meringkuk di tempat tidur Aku yang melanjutkan berpakaian di dalam kamar menjawab teriakan Rena. Untunglah Widia datang pagi ini. Semua yang aku butuhkan dengan cekatan ia siapkan. Termasuk pakaian kerjaku yang sudah rapi di setrika. Paduan warnanya pun sangat pas. Sesuai seleraku. Aku senyum-senyum sendiri. Membayangkan memiliki istri seperti Widia. Astaga! Apa yang aku pikirkan ini ?"Kenapa Kamu senyum-senyum sendiri kayak gitu, mas?" Aku terlonjak melihat Rena sudah ada di belakangku. Mata istr
Suara itu ... Suara itu kenapa tidak asing di telingaku? Sontak aku membalikkan badan. Menatap punggung dua wanita berhijab yang menabrakku tadi. Entah kenapa aku jadi sangat penasaran. Perlahan kuikuti mereka dari jarak yang agak jauh. Mereka menuju arah lokasi pemotretan. Sesampai di lokasi, seorang laki-laki menghampiri mereka. "Darasifa, setelah ini giliranmu!!" Apa? Darasifa? Ternyata salah satu dari wanita itu adalah model cantik yang aku tunggu-tunggu sejak tadi. Bodohnya aku! Kenapa tidak langsung kuhampiri saja mereka tadi. Aku berhenti di dekat sebuah kursi taman yang berada sekitar sepuluh meter dari tempat Darasifa berpose. Dari tempat ini, aku sangat leluasa memandang wajah model cantik itu. "Bos, sudah jadi ketemu artis itu?" tanya Rudi seraya menunjuk Darasifa. Entah sejak kapan asistenku itu duduk di sampingku. Karena terlalu konsentrasi memperhatikan artis cantik itu, sampai aku tak sadar akan kedatangan Rudi. "Belum!" sahutku. "Bagaimana dengan managernya? A
"Assalamualaikum, Pak." "Waalaikumsalam, Widia." Akhirnya wanita yang aku tunggu-tunggu datang juga. Wanita berhijab lebar itu nampak sangat anggun dengan hijab dan gamis berwarna nude. Aroma parfumnya yang lembut langsung tercium saat wanita itu masuk ke rumahku. Setelah mengangguk sopan padaku, Widya langsung melangkah menuju dapur. Sejak beberapa hari Widia kerja di sini, semua keperluanku selalu beres teratasi. Tak ada lagi baju kusut saat hendak ke kantor. Aku pun hampir tak pernah sarapan di luar lagi. Justru saat ini Rena yang semakin bermalas-malasan. Setiap hari istriku itu selalu saja bangun siang. Kemudian pergi berbelanja barang-barang yang sama sekali tidak penting. Dia hanya pandai menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak berguna. "Widia, saya sarapan agak siang. Pagi ini nggak ke kantor. Saya langsung ke lapangan," ujarku seraya mengikutinya ke dapur. "Baik, Pak. Mau saya buatkan kopi?" "Boleh. Tolong antar ke ruang kerja!" sahutku yang kemudian berjalan
Rudi terus menghubungiku. Sepertinya klienku kali ini tidak sabaran. Gawat kalau sampai mereka tidak jadi melakukan kontrak kerjasama dengan perusahaan. Bisa-bisa aku dimaki-maki oleh si Botak. "Bos buruan, ini orangnya udah marah-marah. Lagian kemana dulu, sih?" Untuk ke sekian kalinya Rudi menghubungiku. "Macet, Rud. Ini sebentar lagi nyampe," sahutku. Aku menutup ponselku dan menambah kecepatan mobil. Kuabaikan ponselku yang terus berbunyi. Bagaimana aku bisa lekas sampai, kalau sebentar-sebentar ditelpon. Saat baru tiba di lokasi, kuangkat ponselku yang masih saja berbunyi. Tanpa melihat siapa yang menghubungiku, segera kujawab."Maaaas, kok kartu debitnya nggak bisa dipakai siih? Aku malu nih sudah sampai kasir!" Astaga! Ternyata Rena. Rasakan! Kartunya memang sudah aku blokir tadi pagi. "Aku lagi sibuk, Rena. Kembalikan saja barang-barang itu!" sahutku dengan penekanan. "Nggak mau! Pokoknya Mas Yusuf harus menyusulku ke sini sekarang juga!" Tiba-tiba panggilan ditutup
POV Rena Saat aku terbangun, Mas Yusuf tidak ada di sampingku. Mungkin suamiku itu tidur di luar. Masih marahkah dia? Biarlah, nanti juga dia menyesal telah memarahiku semalam. Mas Yusuf sangat mencintaiku. Jadi mana mungkin dia marah beneran sama aku. Liat aja, sebentar lagi pasti dia akan minta maaf padaku. Aku beranjak dari ranjang, lalu memandang ke cermin. Pipiku masih merah. Teganya kau, Mas. Aku tak menyangka Mas Yusuf telah menamparku. Selama ini laki-laki itu selalu menuruti apapun yang aku inginkan. Termasuk menceraikan istrinya yang sakit-sakitan dan buruk rupa itu. Dulu dengan mudahnya laki-laki itu memberikan segalanya untukku. Aku diperlakukan bagai putri raja olehnya. Dia nyaris jarang pulang ke rumah, karena muak dengan istrinya yang penyakitan itu. Hingga tanpa sepengetahuan Lidia, aku di belikan sebuah rumah minimalis oleh Mas Yusuf. Walaupun tidak sebesar rumah yang di tempati Lidia, namun laki-laki itu hampir tiap hari menginap di tempatku. Setelah mereka ber
Bab 10. Nyaris Bangkrut Suasana hatiku jadi kacau pagi ini gara-gara Rena. Tidak biasanya ia bangun pagi-pagi seperti tadi. Apalagi semalam dia habis aku marahi. Biasanya dia tidak akan keluar kamar dan tidur seharian. Padahal pagi ini aku ingin kembali mengantar Widia ke kampusnya. Ingin memastikan apakah kata-katanya kemarin serius? Wanita itu makin hari makin terlihat cantik. Sayangnya dia tidak mau membuka kacamatanya. Widia, Aku yakin di balik hijabmu itu tersembunyi kecantikan yang luar biasa. Seandainya saja kamu sudah halal untukku. Betapa bahagianya hidup ini. Ada istri yang cantik sholehah dan bisa mengurusku dengan baik. "Pak Yusuf, dipanggil Bos Sami!" ujar Pak Sarkim salah satu karyawan di sini, membuyarkan lamunanku. "Iya Pak. Saya segera ke sana." Mati aku. Pasti si Bos botak itu mau menanyakan perkembangan kerjasama dengan artis model Darasifa. Apa yang harus aku katakan nanti. Sebaiknya aku tanyakan dulu pada Rudi. Sepertinya Rudi belum datang. Sebaiknya aku hu
Pagi yang cerah, namun udara masih dingin. Ingin rasanya keluar untuk mencari keberadaan Widia. Aku memang memberikan satu kunci duplikat pada asisten rumah tanggaku itu. Agar tidak perlu membangunkanku jika dia datang lebih pagi. Rena masih saja meringkuk di atas ranjang. Perlahan aku beranjak turun dan melangkah keluar. Perlahan membuka pintu kamar agar jangan sampai membangunkan istriku itu. Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Harum masakan dari dapur sudah tercium aromanya. Perlahan melangkah menuju dapur. Tampak seorang wanita dengan sangat cekatan sedang memasak membelakangiku. Seandainya dia istriku, tentumya sejak tadi sudah aku peluk wanita itu dari belakang. Persis saat Lidia masih ada di sini, dulu. Ketika dia masih menjadi istriku. Kenapa aku begitu rindu saat-saat seperti dulu. Bagaimana kabarnya mantan istriku itu. Masih sakitkah dia? Dulu Lidia sangat cantik. Wanita itu sangat lembut dan selalu mengurusku dengan baik. " Ada apa, Pak?" Aku terlonjak saat Wid
Kami sedang menuju kampung halaman Naila. Walau kak Fahri keberatan, Mama tetap bersikeras mau ikut mendampingi kami. Akhirnya Kak Fahri menyerah. Justru aku sangat senang jika mama ikut. Mama bisa menjadi penengah diantara kami. Suasana di dalam mobil agak canggung. Kak Fahri menyetir mobil ditemani Bondan yang duduk disampingnya.Naila dan aku duduk di kursi tengah. Sementara Mama memilih pergi dengan mobilnya sendiri dengan seorang supir yang menyetir mobilnya. Mobil kami beriring-iringan hingga sampai ke kampung halaman Naila yang masih terletak di daerah jawa barat. Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana namun cukup luas dan bersih. Menurut Naila dia sudah menceritakan semuanya pada bapak dan ibunya semalam lewat telpon. Jadi sepertinya mereka sudah siap-siap menyambut kedatangan kami. Naila menghambur ke pelukan seorang laki-laki tua sambil menangis tergugu. "M-maafkan Nai, Pak! Nai sudah banyak bohong sama Bapak." "M-maafkan Nai, Bu!" Seorang wanita setengah ba
Kak Fahri bilang malam ini dia akan menyelesaikan masalah Naila. Suamiku itu telah meminta Naila untuk datang selepas isya. "Lidia, Aku butuh dukunganmu. Malam ini aku akan menceraikan Naila. Lalu, tolong biarkan dia tinggal di asrama putri hingga masa iddahnya habis." Entah kenapa dadaku selalu bergemuruh setiap Kak Fahri membicarakan Naila. Rasanya sangat sakit jika mengingat mereka pernah terikat dalam ikatan pernikahan. Walaupun Kak Fahri bilang akan menceraikan wanita itu, tapi hati ini terasa panas dan membara saat mendengar namanya. "Lidiaa ..." Kak Fahri membelai lenganku lembut, karena aku hanya bergeming. Kemudiam suamiku itu menggenggam erat jemariku. "Lidia Sayang, di hati ini hanya ada kamu seorang. Tak pernah berubah sejak dulu." "Halaah, gombal!" ketusku spontan. Kak Fahri terkejut dengan sikapku. Suamiku itu kemudian menjatuhkan bobotnya di sofa ruang tamu ini. Entah kenapa aku kini merasa risih setiap menerima sikap mesra dari kak Fahri. Apakah aku terlalu ke
POV FAHRI "Assalamualaikum, Ustad. Ada seorang pria yang hendak bertemu dengan Ustad." Seorang santri masuk ke ruanganku. "Siapa?" "Dia bilang namanya Bondan, Ustad." Sontak aku berdiri. "Cepat suruh orang itu masuk!" pintaku tak sabar. Tak lama santri itu keluar dan menyuruh pria yang bernama Bondan itu masuk. "Assalamualaikum, Ustad Fahri!" Seorang pria tinggi dengan tubuh kekar, memakai kaos kerah bergaris, celana jeans dan peci di kepalanya. Jika diliat dari penampilannya yang bersih dan rapi, sama sekal tidak menampakkan dirinya seorang preman. "Waalaikumsalam! Silakan duduk ...!" "Terima kasih, Ustad." "Apa benar kamu yang bernama Bondan?" Pria itu mengangguk sopan. "S-saya Bondan. Saya pernah dekat dengan Naila." Aku menatap tajam pada pria di hadapanku ini. Bagaimanapun juga aku harus tetap waspada. Namun wajahnya sekilas ada kemiripan dengan Ibrahim, Anak Naila. Semoga saja ada titiik terang. "Kenapa kamu dulu putus dengan Naila?" pancingku. "Saya nggak pernah
Sebenarnya datang bulanku sudah telat satu minggu. Namun aku belum berani berharap apapun. Apalagi dengan masalah yang aku hadapi saat ini membuatku merasa lebih tegang dan banyak pikiran. Rasanya begitu lelah. Pagi ini seperti biasa Kak Fahri sudah berangkat ke pesantren. Mama masih menginap di sini. Hanya Mama yang membuatku kuat saat ini. Beliau begitu menguatkan diriku. Persis ketika aku terpuruk saat sakit dan diceraikan oleh Mas Yusuf dulu. Mama Anne juga yang memberiku semangat agar bisa sehat kembali. Menurut Jeng Putri saat itu, yang bisa menyembuhkan tubuh kita adalah diri kita sendiri. Sejak tadi aku tak melihat Mama Anne keluar kamar. Setelah sarapan tadi, Mama masuk lagi ke kamar. Namun sepertinya Mama sedang menghubungi seseorang. Sejak tadi tak henti-hentinya Mama berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Akan tetapi tak begitu jelas apa yang sedang Mama bicarakan. Ya Allah, kenapa perutku sakit sekali? Aku bergegas ke kamar mandi. Kekecewaan kembali kurasakan s
POV FAHRI Assalamualaikum ..." Aku tersentak dari lamunan saat mendengar seseorang datang mengucapkan salam. "Naila..?" "Ustad ...!" Tiba-tiba saja Naila menghampiriku dan meraih tanganku, lalu menciumnya. Aku yang masih terkejut tak sempat mengelak. "Hei! Lepaskan tangan anakku!" Ternyata Mama dan Lidia telah berada di belakangku. Ya Allah, Lidia tampak sangat sedih dan terpukul. Wajahnya pucat dan sembab. "Kamu Naila, kan? Apa kamu lupa peraturan yang ada di pesantren ini?" Mama memandang sinis pada Naila. "Iy-iyaa, Bu. Tapi ..., Ustad Fahri adalah ...""Kenapa dengan anak saya? Apa yang hendak kamu katakan?" Mama menatapku tajam seolah menyimpan kecurigaan. Apa yang hendak dikatakan Naila? Apa dia akan membongkar semuanya di depan Mama? "Ustad Fahri adalah ... suami saya." Ya Allah, Naila ... "Apaaa?" Mama terpekik mendengar ucapan Naila barusan, hingga membuatku menghempas napas kasar. Tidak seharusnya dia mengatakannya sekarang. "Fahri! jelaskan pada mama sekarang
Pov Fahri Mama dan Lidia masuk ke dalam kamar. Tinggal aku sendiri berada di ruang tamu ini. Masalah Naila sungguh membuatku pusing. Seharusnya sejak anaknya itu lahir, aku segera menceraikannya. Namun aku juga nggak tega mendengar bapaknya yang sedang sakit-sakitan. Orang tuanya pasti sangat terpukul jika tahu keadaan anaknya yang sebenarnya. Tiba-tiba saja kejadian lima tahun yang lalu kembali terlintas di benakku. Saat itu Nenek masih hidup. Aku sudah mulai membantu nenek mengajar para santri di pesantren. Naila adalah salah satu alumni yang juga mengajar di pesantren ini. Kami memang sering bertemu di acara-acara khusus dan rapat pengurus pesantren. Walau aku bukan lulusan pesantren, tapi Nenek bersikeras agar aku mau mengajar dan menggantikan beliau kelak. Mama menyekolahkan aku di bidang bisnis dengan harapan bisa ikut mengelola perusahaan Mama di jakarta dan di luar negeri. Namun setelah lulus S2, aku lebih memilih tinggal dan membantu Nenek di bogor. Bagaimanapun juga, Nen
Aku marapatkan telingaku ke pintu. Tubuhku bergetar hebat saat mengetahui suara siapa saja yang berada di dalam. Dadaku bergemuruh dan sesak. Seakan ada batu besar yang menghimpit. Benarkah apa yang aku dengar ini? Atau hanya mimpi? Atau mungkin saja saat ini mereka berdua sedang prank aku. Sepertinya firasatku sejak kemarin memang tidak salah. Ada sesuatu yang terjadi diantara mereka. "Tidak semudah itu, Naila. Aku tak mau menyakiti perasaan Lidia. Dia sedang program hamil. Aku tak mau dia berpikir yang berat-berat." Kak Fahri ternyata masih memikirkan perasaanku, makamya dia tak mau terus terang. Lalu siapa Ayah dari anak yang kemarin dibawa Naila? Apakah ... "Tapi Upstad, Ibra sebentar lagi akan sekolah. Dia butuh akte dan nama seorang Ayah. Apa kata orang tuaku jika mengetahui bahwa kita hanya menikah siri?" "Apaaaa? Kalian menikah siri?" jeritku bergetar. Tak tahan akhirnya aku memberanikan diri masuk ke dalam ruangan yang cukup besar itu. Kak Fahri dan Naila sedang duduk
Aku membalikkan tubuhku. Anak balita itu turun dari pangkuan Naila dan berjalan menghampiri Kak Fahri. "Ayah ... Ayah ...!" "Assalamualaikum Ibra, kamu sudah semakin besar sekarang." Kak Fahri berjongkok mengimbangi tubuh mungil itu. Suamiku memberikan tangannya untuk dicium oleh anak yang dia panggil Ibra. "Apaa? A-ayah?" Spontan aku memandang Kak Fahri dengan tatapan penuh tanda tanya. "Nah, Ibra. Kenalkan ini Ibu. Panggilnya Ibu Lidia, Ya!" Kak Fahri meraih tanganku agar mendekat pada Ibra. Namun Ibra hanya memandangku dengan wajah bingung. Perlahan anak itu justru menjauh dariku. "Ibuuuu ....!" teriak Ibra menghampiri Naila. Kak Fahri nampak gelagapan. "Istirahatlah Naila. Saya dan Lidia masuk dulu." "Iy-iya, ustad. Saya permisi ke asrama putri dulu." Kak Fahri kembali meraih jemariku dan membawaku masuk ke dalam rumah. "Bikinin aku makanan, dong! Aku kangen masakan kamu. Laper, nih!" Sebenarnya aku masih sangat penasaran kenapa anaknya Naila memanggil Kak Fahri den
Lidia "Cukup, Andre! Lidia, ayo pulang. Kita kembali ke pesantren!" Kak Fahri menghentikan makannya, kemudian bangkit dari kursi dan menghampiriku. "Kak ..., kita kan mau menginap," ucapku hati-hati. Aku tau saat ini Kak Fahri sedang dilanda api cemburu. Wajahnya merah padam. "Fahrii ... , tolong jangan pulang, Sayang. Mama masih kangen sama kalian!" Mama tampak sedih dan terus memohon. Sementara Andre tampak salah tingkah. Sepertinya dia tak sengaja membuat Kak Fahri cemburu. "Aku minta maaf ....! Aku nggak bermaksud membuatmu marah. Tolong jangan pulang. Biar aku saja yang pindah ke kamar kost." Andre beranjak dari kursinya dan melangkah pergi melewati pintu belakang. Sepertinya Andre memang benar-benar ke rumah kost yang di belakang rumah Mama Anne. Tempat Mas Yusuf dulu pernah tinggal di sana. Tak satupun dari kami mencegah kepergian Andre. Mama juga membiarkan Andre .pergi. Mungkin sejak dulu mereka memang tidak cocok. Wajah Kak Fahri terlihat mulai tenang. Suamiku itu kem