"Ciee .... diliatin terus. Ingat sama istri, Bos!" Rudi datang mengejutkanku. "Bagaimana, Apa sudah berhasil menemui manager Darasifa?" "Sudah, Bos. Tapi aku belum berhasil bicara mengenai kontrak kerjasamanya Bos," sahut Rudi. "Sepertinya aku harus bisa mendekati Darasifa. Hanya itu satu-satunya cara untuk mendapatkan kontrak kerjasama dengannya," "Kamu serius , Suf? " tanya Rudi tak yakin.⁰ "Kamu meragukanku? Liat saja nanti, Darasifa akan kudapatkan. Tidak saja kontrak itu, tapi aku juga akan mendapatkan hatinya." sahutku penuh keyakinan. Rudi memandangku dengan heran sembari geleng-geleng kepala. Mungkin dia tidak yakin dengan ucapanku. Cukup lama aku menunggu Darasifa selesai pemotretan. Aku akan terus berjuang untuk mendekatinya. Karena kalau sampai gagal, banyak sekali resiko yang akan aku terima. Selain dipecat, aku juga tidak akan bisa membayar semua hutang-hutangku. Aku kembali mendekati Darasifa setelah selesai pemotretan. Sengaja aku duduk tidak jauh dari tempat D
"Apaa kamu bilang? Ganti model? Jangan seenaknya aja kamu bicara!! Kalau memang tidak sanggup, bilang!" Pak Sami terus memarahiku. "Oh tidak, Bos. Saya bukannya tidak sanggup. Tapi team mereka sungguh keterlaluan. Nominal yang mereka minta sampai lima milyar," jelasku. "Itu bukan urusanku. Itu tugasmu untuk melobi dengan mereka," tegas Bos botak itu. Kemudian pergi berlalu dari hadapanku. Habislah aku kalau begini. Ya Tuhan. Sepertinya aku harus lebih nekad lagi mendekati Darasifa. Apa yang harus aku lakukan? "Rud, gimana nih? Aku kehabisan akal nih." Menghempaskan tubuh pada sofa yang berada di ruanganku saat makan siang. "Entahlah, Bos. Aku juga sudah nyerah dengan managernya," sahut Rudi dengan suara lemah. Gawat, sepertinya dia pun putus asa. Kali ini aku terpaksa pesan makan sian⁸g secara online, karena Widia tidak datang hari ini. Bodohnya aku yang tidak mengetahui nomor ponsel wanita cantik itu. Pagi tadi aku kelabakan karena tidak ada sarapan dan pakaian yang biasanya su
POV Lidia Aku beranjak dari kamar saat mendengar keributan di luar. Terdengar suara Ibu dan bapak marah-marah dengan seseorang. Entah pada siapa. "Ada apa, Bu? Kenapa ibu marah-marah?" tanyaku seraya menghampiri Bapak dan ibu yang sedang duduk di ruang tamu. "Lidia, kamu pasti terkejut jika tau siapa tadi yang datang," ujar ibu masih dengan wajah kesal. "Memangnya siapa, Bu?" tanyaku penasaran. "Si Yusuf mantan suamimu," sahut Bapak. Aku tersentak, untuk apa Mas Yusuf datang kemari? Mau apa dia? "Lidia, mungkin dia lihat foto-foto Darasifa mirip kamu di media sosial, makanya dia datang minta-minta maaf. Dia pasti mengira Darasifa itu kamu," ujar ibu menerka-nerka. Aku terdiam. Ibu benar. Beberapa kali Mas Yusuf memang terus berusaha mendekati Darasifa. Bahkan hampir mempermalukannya di depan umum. Laki-laki yang pernah menyakiti hatiku itu saat ini sedang membutuhkan model Darasifa untuk perusahaannya. Yusuf kurniawan. Laki-laki yang pernah membuatku bahagia sesaat. Namun ju
POV Yusuf Entah apalagi cara yang harus aku tempuh untuk mendapatkan kontrak dengan Darasifa. Aku sangat yakin kalau Darasifa itu adalah Lidia. Walaupun sekarang dia terlihat jauh lebih cantik, tapi aku sangat mengenalnya luar dan dalam. Bersamanya selama setahun itu cukup membuatku mengenalnya lebih jauh. Menurut informasi dari Rudi, malam ini Darasifa mengadakan jumpa fans di sebuah cafe di tengah kota. Aku harus ke sana. Kali ini aku harus nekad. Kamu tidak akan menghindar lagi dariku, Lidia. Lihat saja nanti. Cukup lama aku menunggu model iklan itu untuk tampil. Untung saja ada beberapa artis penyanyi yang tampil menghibur. Hitung-hitung refresing setelah sekian lama otak dan pikiranku terkuras oleh banyaknya beban pikiran. Terutama karena Rena. Istriku itu kini banyak membuat ulah. Kerjanya hanya menyusahkanku. Sebenarnya aku sangat ingin menceraikannya sekarang juga. Namun dulu aku telah bodoh memberikan rumah itu padanya. Dan merubah nama Lidia menjadi nama Rena di sertifik
Pov Rena [ Rena, aku rindu. Tolong angkat panggilan videoku] Kurang ajar si Rey, kenapa dia masih saja menggangguku? [Kenapa enggak diangkat? Jangan coba-coba menolak permintaanku! Atau semua foto-foto mesummu aku perlihatkan pada suamimu dan akan kusebar ke media sosial. Camkan itu!] Ya ampun Bagaimana ini? Sebenarnya aku sudah muak mengikuti kemauannya itu. Sungguh aku menyesal pernah berkenalan dengan Rey di media sosial. Awalnya dia mengaku sebagai pengusaha kaya, dan aku percaya. Aku pikir, bisa memanfaatkan uangnya demi kesenanganku. Berawal dari chatingan, telphon dan akhirnya lewat video call kamipun semakin dekat. Tentunya tanpa sepengetahuan Mas Yusuf. Laki-laki itu mudah sekali aku bohongi. Seluruh hartanya dengan mudah aku kuasai. Termasuk rumah ini. Beberapa kali Rey memintaku untuk melakukan video call tanpa busana guna menuntaskan hasratnya. Dengan berjanji akan mentransfer ke rekeningku uang lima juta setiap minggu. Lama-lama laki-laki itu ketagihan dan se
Toko perhiasan ini adalah yang terbesar dari pada toko-toko perhiasan lainnya. Langganannya rata-rata dari kalangan artis dan pejabat. Di sini pula dijual perhiasan dengan desain limited edition. Salah satunya kalung yang di pakai Darasifa. Aku jadi teringat kalung yang dipakai ARTku waktu itu. Kenapa bisa persis dengan kalung yang di pakai Darasifa? Itu pasti tiruannya. Tapi kenapa terlihat asli? Apa wanita itu mencurinya disini. Jangan-jangan perempuan itu disini ada maksud tidak baik. Ya, pasti dia akan mencuri perhiasan lagi. Dengan langkah mantap aku menghampiri salah satu pelayan toko. "Mbak, aku mau model kalungnya yg terbaru, dong." Sengaja kukeraskan suara, Agar semua orang melihatku. Dengan menaikkan dagu sedikit ke atas, aku berbicara dengan beberapa pelayan. Beberapa perhiasan kutunjuk agar mereka mengambilkannya untuk kulihat. Sementara wanita berkacamata besar kampungan itu diam-diam melirikku. Kasian, dia pasti jadi minder ketika aku datang. Aku yakin wanita berhi
Hari yang melelahkan. Sampai saat ini Rudi belum juga bisa aku hubungi. Biarlah aku pulang saja. Badan terasa mau rontok semua. Lidia benar-benar balas dendam padaku. Aku harus memutar otak mencari cara untuk mendapatkannya kembali. Ya, satu-satunya cara yaitu membuat dia jatuh cinta lagi padaku. Baru setahun yang lalu kami berpisah. Pasti masih ada rasa yang tersisa untukku. Wanita itu dulu sangat tergila-gila dan patuh padaku. Dengan kecepatan tingg kujalankan mobilku. Agar segera sampai di rumah dan beristirahat. Saat sampai di rumah aku melihat Rena dengan kebiasaannya tiduran di depan televisi. Sudah muak aku melihatnya. Apalagi setelah mendapatinya berselingkuh dengan laki-laki lain lewat panggilan video. Kalau tak ingat rumah ini atas namanya, sudah kuusir dia sejak kemarin. "Sudah pulang, Mas?" Rena perlahan mendekatiku yang baru saja masuk dan melewatinya "Sudah dong mas, jangan diamkan aku terus kayak gini. Aku kangen sama kamu, Mas" Tanpa rasa menyesal akan perbuatannya
Pagi ini tidak ada sarapan, pakaianku kembali kusetrika sendiri, semua kukerjakan sendiri. Menurut yayasan penyalur ART, Widia tidak nyaman bekerja disini karena perlakuan istriku. Memang sejak awal Rena tidak suka dengan Widia. Hari ini adalah batas waktu yang diberikan Pak Sami untukku mendapatkan kontrak kerja dengan Darasifa. Apa yang harus aku katakan kalau aku tidak berhasil. Aku pasti akan di pecat. Sial sekali aku ini. Terancam dipecat dengan hutang yang menumpuk. Semoga Pak Sami masih mau memberiku tambahan waktu. Perjalanan menuju kantor hari ini lancar. Sesampainya di kantor aku langsung menuju kantin untuk makan. Sejak semalam aku tidak makan. Punya istri tidak berguna. Hanya ingin enaknya saja. "Tumben sarapan di kantin lagi, Pak Yusuf." Aku hanya tersenyum menanggapi sapaan teman-teman kantor. Nasi uduk dan gorengan sudah cukup untuk sarapan pagi ini. Aku harus lebih berhemat sekarang. Biarlah Rena mengurus perutnya sendiri. Aku sudah enggan memikirkan wanita itu.
Kami sedang menuju kampung halaman Naila. Walau kak Fahri keberatan, Mama tetap bersikeras mau ikut mendampingi kami. Akhirnya Kak Fahri menyerah. Justru aku sangat senang jika mama ikut. Mama bisa menjadi penengah diantara kami. Suasana di dalam mobil agak canggung. Kak Fahri menyetir mobil ditemani Bondan yang duduk disampingnya.Naila dan aku duduk di kursi tengah. Sementara Mama memilih pergi dengan mobilnya sendiri dengan seorang supir yang menyetir mobilnya. Mobil kami beriring-iringan hingga sampai ke kampung halaman Naila yang masih terletak di daerah jawa barat. Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana namun cukup luas dan bersih. Menurut Naila dia sudah menceritakan semuanya pada bapak dan ibunya semalam lewat telpon. Jadi sepertinya mereka sudah siap-siap menyambut kedatangan kami. Naila menghambur ke pelukan seorang laki-laki tua sambil menangis tergugu. "M-maafkan Nai, Pak! Nai sudah banyak bohong sama Bapak." "M-maafkan Nai, Bu!" Seorang wanita setengah ba
Kak Fahri bilang malam ini dia akan menyelesaikan masalah Naila. Suamiku itu telah meminta Naila untuk datang selepas isya. "Lidia, Aku butuh dukunganmu. Malam ini aku akan menceraikan Naila. Lalu, tolong biarkan dia tinggal di asrama putri hingga masa iddahnya habis." Entah kenapa dadaku selalu bergemuruh setiap Kak Fahri membicarakan Naila. Rasanya sangat sakit jika mengingat mereka pernah terikat dalam ikatan pernikahan. Walaupun Kak Fahri bilang akan menceraikan wanita itu, tapi hati ini terasa panas dan membara saat mendengar namanya. "Lidiaa ..." Kak Fahri membelai lenganku lembut, karena aku hanya bergeming. Kemudiam suamiku itu menggenggam erat jemariku. "Lidia Sayang, di hati ini hanya ada kamu seorang. Tak pernah berubah sejak dulu." "Halaah, gombal!" ketusku spontan. Kak Fahri terkejut dengan sikapku. Suamiku itu kemudian menjatuhkan bobotnya di sofa ruang tamu ini. Entah kenapa aku kini merasa risih setiap menerima sikap mesra dari kak Fahri. Apakah aku terlalu ke
POV FAHRI "Assalamualaikum, Ustad. Ada seorang pria yang hendak bertemu dengan Ustad." Seorang santri masuk ke ruanganku. "Siapa?" "Dia bilang namanya Bondan, Ustad." Sontak aku berdiri. "Cepat suruh orang itu masuk!" pintaku tak sabar. Tak lama santri itu keluar dan menyuruh pria yang bernama Bondan itu masuk. "Assalamualaikum, Ustad Fahri!" Seorang pria tinggi dengan tubuh kekar, memakai kaos kerah bergaris, celana jeans dan peci di kepalanya. Jika diliat dari penampilannya yang bersih dan rapi, sama sekal tidak menampakkan dirinya seorang preman. "Waalaikumsalam! Silakan duduk ...!" "Terima kasih, Ustad." "Apa benar kamu yang bernama Bondan?" Pria itu mengangguk sopan. "S-saya Bondan. Saya pernah dekat dengan Naila." Aku menatap tajam pada pria di hadapanku ini. Bagaimanapun juga aku harus tetap waspada. Namun wajahnya sekilas ada kemiripan dengan Ibrahim, Anak Naila. Semoga saja ada titiik terang. "Kenapa kamu dulu putus dengan Naila?" pancingku. "Saya nggak pernah
Sebenarnya datang bulanku sudah telat satu minggu. Namun aku belum berani berharap apapun. Apalagi dengan masalah yang aku hadapi saat ini membuatku merasa lebih tegang dan banyak pikiran. Rasanya begitu lelah. Pagi ini seperti biasa Kak Fahri sudah berangkat ke pesantren. Mama masih menginap di sini. Hanya Mama yang membuatku kuat saat ini. Beliau begitu menguatkan diriku. Persis ketika aku terpuruk saat sakit dan diceraikan oleh Mas Yusuf dulu. Mama Anne juga yang memberiku semangat agar bisa sehat kembali. Menurut Jeng Putri saat itu, yang bisa menyembuhkan tubuh kita adalah diri kita sendiri. Sejak tadi aku tak melihat Mama Anne keluar kamar. Setelah sarapan tadi, Mama masuk lagi ke kamar. Namun sepertinya Mama sedang menghubungi seseorang. Sejak tadi tak henti-hentinya Mama berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Akan tetapi tak begitu jelas apa yang sedang Mama bicarakan. Ya Allah, kenapa perutku sakit sekali? Aku bergegas ke kamar mandi. Kekecewaan kembali kurasakan s
POV FAHRI Assalamualaikum ..." Aku tersentak dari lamunan saat mendengar seseorang datang mengucapkan salam. "Naila..?" "Ustad ...!" Tiba-tiba saja Naila menghampiriku dan meraih tanganku, lalu menciumnya. Aku yang masih terkejut tak sempat mengelak. "Hei! Lepaskan tangan anakku!" Ternyata Mama dan Lidia telah berada di belakangku. Ya Allah, Lidia tampak sangat sedih dan terpukul. Wajahnya pucat dan sembab. "Kamu Naila, kan? Apa kamu lupa peraturan yang ada di pesantren ini?" Mama memandang sinis pada Naila. "Iy-iyaa, Bu. Tapi ..., Ustad Fahri adalah ...""Kenapa dengan anak saya? Apa yang hendak kamu katakan?" Mama menatapku tajam seolah menyimpan kecurigaan. Apa yang hendak dikatakan Naila? Apa dia akan membongkar semuanya di depan Mama? "Ustad Fahri adalah ... suami saya." Ya Allah, Naila ... "Apaaa?" Mama terpekik mendengar ucapan Naila barusan, hingga membuatku menghempas napas kasar. Tidak seharusnya dia mengatakannya sekarang. "Fahri! jelaskan pada mama sekarang
Pov Fahri Mama dan Lidia masuk ke dalam kamar. Tinggal aku sendiri berada di ruang tamu ini. Masalah Naila sungguh membuatku pusing. Seharusnya sejak anaknya itu lahir, aku segera menceraikannya. Namun aku juga nggak tega mendengar bapaknya yang sedang sakit-sakitan. Orang tuanya pasti sangat terpukul jika tahu keadaan anaknya yang sebenarnya. Tiba-tiba saja kejadian lima tahun yang lalu kembali terlintas di benakku. Saat itu Nenek masih hidup. Aku sudah mulai membantu nenek mengajar para santri di pesantren. Naila adalah salah satu alumni yang juga mengajar di pesantren ini. Kami memang sering bertemu di acara-acara khusus dan rapat pengurus pesantren. Walau aku bukan lulusan pesantren, tapi Nenek bersikeras agar aku mau mengajar dan menggantikan beliau kelak. Mama menyekolahkan aku di bidang bisnis dengan harapan bisa ikut mengelola perusahaan Mama di jakarta dan di luar negeri. Namun setelah lulus S2, aku lebih memilih tinggal dan membantu Nenek di bogor. Bagaimanapun juga, Nen
Aku marapatkan telingaku ke pintu. Tubuhku bergetar hebat saat mengetahui suara siapa saja yang berada di dalam. Dadaku bergemuruh dan sesak. Seakan ada batu besar yang menghimpit. Benarkah apa yang aku dengar ini? Atau hanya mimpi? Atau mungkin saja saat ini mereka berdua sedang prank aku. Sepertinya firasatku sejak kemarin memang tidak salah. Ada sesuatu yang terjadi diantara mereka. "Tidak semudah itu, Naila. Aku tak mau menyakiti perasaan Lidia. Dia sedang program hamil. Aku tak mau dia berpikir yang berat-berat." Kak Fahri ternyata masih memikirkan perasaanku, makamya dia tak mau terus terang. Lalu siapa Ayah dari anak yang kemarin dibawa Naila? Apakah ... "Tapi Upstad, Ibra sebentar lagi akan sekolah. Dia butuh akte dan nama seorang Ayah. Apa kata orang tuaku jika mengetahui bahwa kita hanya menikah siri?" "Apaaaa? Kalian menikah siri?" jeritku bergetar. Tak tahan akhirnya aku memberanikan diri masuk ke dalam ruangan yang cukup besar itu. Kak Fahri dan Naila sedang duduk
Aku membalikkan tubuhku. Anak balita itu turun dari pangkuan Naila dan berjalan menghampiri Kak Fahri. "Ayah ... Ayah ...!" "Assalamualaikum Ibra, kamu sudah semakin besar sekarang." Kak Fahri berjongkok mengimbangi tubuh mungil itu. Suamiku memberikan tangannya untuk dicium oleh anak yang dia panggil Ibra. "Apaa? A-ayah?" Spontan aku memandang Kak Fahri dengan tatapan penuh tanda tanya. "Nah, Ibra. Kenalkan ini Ibu. Panggilnya Ibu Lidia, Ya!" Kak Fahri meraih tanganku agar mendekat pada Ibra. Namun Ibra hanya memandangku dengan wajah bingung. Perlahan anak itu justru menjauh dariku. "Ibuuuu ....!" teriak Ibra menghampiri Naila. Kak Fahri nampak gelagapan. "Istirahatlah Naila. Saya dan Lidia masuk dulu." "Iy-iya, ustad. Saya permisi ke asrama putri dulu." Kak Fahri kembali meraih jemariku dan membawaku masuk ke dalam rumah. "Bikinin aku makanan, dong! Aku kangen masakan kamu. Laper, nih!" Sebenarnya aku masih sangat penasaran kenapa anaknya Naila memanggil Kak Fahri den
Lidia "Cukup, Andre! Lidia, ayo pulang. Kita kembali ke pesantren!" Kak Fahri menghentikan makannya, kemudian bangkit dari kursi dan menghampiriku. "Kak ..., kita kan mau menginap," ucapku hati-hati. Aku tau saat ini Kak Fahri sedang dilanda api cemburu. Wajahnya merah padam. "Fahrii ... , tolong jangan pulang, Sayang. Mama masih kangen sama kalian!" Mama tampak sedih dan terus memohon. Sementara Andre tampak salah tingkah. Sepertinya dia tak sengaja membuat Kak Fahri cemburu. "Aku minta maaf ....! Aku nggak bermaksud membuatmu marah. Tolong jangan pulang. Biar aku saja yang pindah ke kamar kost." Andre beranjak dari kursinya dan melangkah pergi melewati pintu belakang. Sepertinya Andre memang benar-benar ke rumah kost yang di belakang rumah Mama Anne. Tempat Mas Yusuf dulu pernah tinggal di sana. Tak satupun dari kami mencegah kepergian Andre. Mama juga membiarkan Andre .pergi. Mungkin sejak dulu mereka memang tidak cocok. Wajah Kak Fahri terlihat mulai tenang. Suamiku itu kem