Pagi ini tidak ada sarapan, pakaianku kembali kusetrika sendiri, semua kukerjakan sendiri. Menurut yayasan penyalur ART, Widia tidak nyaman bekerja disini karena perlakuan istriku. Memang sejak awal Rena tidak suka dengan Widia. Hari ini adalah batas waktu yang diberikan Pak Sami untukku mendapatkan kontrak kerja dengan Darasifa. Apa yang harus aku katakan kalau aku tidak berhasil. Aku pasti akan di pecat. Sial sekali aku ini. Terancam dipecat dengan hutang yang menumpuk. Semoga Pak Sami masih mau memberiku tambahan waktu. Perjalanan menuju kantor hari ini lancar. Sesampainya di kantor aku langsung menuju kantin untuk makan. Sejak semalam aku tidak makan. Punya istri tidak berguna. Hanya ingin enaknya saja. "Tumben sarapan di kantin lagi, Pak Yusuf." Aku hanya tersenyum menanggapi sapaan teman-teman kantor. Nasi uduk dan gorengan sudah cukup untuk sarapan pagi ini. Aku harus lebih berhemat sekarang. Biarlah Rena mengurus perutnya sendiri. Aku sudah enggan memikirkan wanita itu.
"Kerja nggak becus kalian semua! "Pak Sami terlihat sangat marah hingga menggebrak meja di depanmya. Semua yang ada di ruang meeting ini diam tertunduk. Termasuk Aku. Entah apa yang akan terjadi nanti, aku pasrah. Semua kepala divisi hadir dalam meeting bulanan ini. Termasuk aku dari divisi operational lapangan. "Yusuf. Apa saja kerjamu? Setiap hari ke lapangan. Tapi tidak satupun iklan kita yang jalan," teriak Pak Sami seraya melotot padaku. Habislah sudah diriku. Satu-persatu setiap divisi menerima protes pedas dari Pak Sami atas kerja mereka satu bulan ini. "Kalian tau? omzet kita bulan ini turun tiga puluh persen. Kalau tidak segera di benahi, bisa-bisa bulan depan kita mengalami kerugian." Jelasnya dengan nada tinggi penuh emosi. Setelah mengevaluasi kerja setiap divisi, meetingpun berakhir. Tiba-tiba Pak Sami menghampiriku. "Yusuf, setelah meeting ini, kamu ke ruangan saya!" perintahnya. "Baik, Pak." Aku mengangguk. Tamatlah riwayatku. Dengan membuang nafas kasar, aku
"Perempuan murahan kamu Rena. Keluar kalian dari sini!!" teriakku. Tubuhku bergetar menahan emosi yang sudah memuncak. Kedua tanganku mengepal. Rasanya kemarahanku sudah keubun-ubun. Dua manusia laknat itu kelabakan mencari pakaian mereka yang berceceran di lantai. Wajah Rena yang sebelummya nampak menggoda, kini berubah menjadi sangat ketakutan ketika melihatku. Aku yang muak melihat pemandangan itu langsung menuju ke ruang tamu. Laki-laki gemuk berkulit hitam yang bersama Rena tadi nampak sangat marah menghampiriku. "Hai laki-laki nggak berguna, Keluar kamu dari sini!" bentaknya. Hey bisa-bisanya dia mengusirku dari rumahku sendiri. "Kurang ajar, kalian yang seharusnya pergi dari rumahku!" sahutku setengah berteriak. "Jangan mimpi kamu! Rumah ini sudah jadi milikku sekarang. Kamu lupa? kalau rumah ini sudah digadaikan oleh istrimu?" Jelas pria gemuk itu. Sementara Rena masih meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Astaga Renaaa!! Jadi rumah inipun sudah jatuh ke tangan laki
Bab 22. Pekerjaan Baru Yusuf Sudah satu minggu aku berada di kost-kostan ini. Selama itu pula aku berusaha mencari pekerjaan lewat online. Tapi belum ada hasilnya. Sedangkan uang simpananku hampir menipis. Beginilah nasib hidup sebantang kara, tidak ada tempat untuk pulang. Sejak remaja kedua orang tuaku sudah meninggal karena kecelakaan. Aku berjuang sendiri hingga bisa bekerja di beberapa perusahaan yang bonafid. Namun roda kehidupan itu terus berputar. Aku yang lupa diri dan tidak pernah bersyukur ketika sedang berada di atas. Pada akhirnya kini kembali berada di bawah. Saat ini Aku kembali mulai dari nol. Mencoba untuk kembali bangkit. Walau tanpa seseorang yang mendukung dan mendampingiku saat ini. Tidak seperti dulu, ketika baru pertama meniti karier selalu ada Lidia yang menyemangatiku. Pagi ini kuputuskan untuk berjalan-jalan di halaman kost yang lumayan luas. Banyak pepohonan dan tanaman penyejuk mata. Pemandangan hamparan rumput yang luas membuat suasana hati menjadi le
Bab 23. Pertemuan Mengejutkan Lidia Sebenarnya aku tak tega melihat Mas Yusuf memohon-mohon padaku. Betapa jahatnya aku. Ya Allah, ampuni hambamu ini. Hamba hanya manusia biasa yang kadang lupa dan tak bisa menahan perasaan yang terlalu dalam. Aku hanya ingin Mas Yusuf menyadari kekhilafannya dulu. Dan bisa berubah menjadi lebih baik di kemudian hari. Ya. Mungkin dengan cara ini, laki-laki itu bisa jera akan perbuatan yang telah dilakukannya. Agar dia tahu betapa sombong dan serakahnya dia dulu. Mendapatkan seorang istri seperti Rena sebagai penggantiku dulu, ternyata justru menjadikanmu lebih menderita dan terpuruk karena ulahnya. Betapa penghianatannya dulu telah membuat hati seseoang hancur berkeping-keping. Namun semua itu menjadi suatu pembelajaran untukku. Menjadikan aku sebagai wanita yang kini lebih kuat. Bagaimana nasib mantan suamiku itu sekarang? Apa benar dia dipecat karena tidak berhasil menjadikan aku sebagai brand ambassador produk perusahaannya? Semoga kamu b
Astaga! Kenapa aku harus ketemu Lidia di sini? "Lidia, Nak Yusuf ini kost di rumah ini. Orangnya baik. Kalau Andre nggak ada, dia yang antar Mama ke mana-mana." Haduh! Kenapa Tante Anne bilang seperti itu? Lidia pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa punya waktu untuk mengantar Tante Anne bepergian. Lidia pasti curiga kalau aku sudah tidak kerja lagi. Apalagi kalau dia tahu kalau aku ini sekarang hanya seorang supir. Mau ditaruh di mana mukaku ini.Tuh kan Lidia sampai ternganga mendengar ucapan tante Anne tadi. Pastilah dia bingung. Ah, kasian mantan istriku itu. Ternyata dia masih saja memikirkanku. "Memangnya Mama sudah pergi ke mana aja sejak pulang ke rumah?" Ya ampuuun, suara Lidia kenapa jadi makin merdu begini? Hati ini sungguh bergetar mendengarnya. "Mama nengok perusahaan-perusahaan, ke toko emas dan belanja. Pokoknya senang-senanglah. Sebenarnya kangen mau ngantor lagi. Tapi nggak boleh sama Andre". Tante Anne terus bercerita. Sementara aku terus mencuri pandang pada
Andre Laki-laki itu beberapa kali pernah hampir menyakiti Llidia. Kenapa Mama sampai bisa memperkerjakan dia sebagai supirnya? "Ayo kita masuk dulu, Ndre!" ajak Lidia. Kalau saja Lidia tidak menarik dan mengajakku untuk segera masuk. Sudah kujadikan perkedel laki-laki itu. Entah kenapa sejak bertemu dengan Lidia, aku selalu saja takut kehilangan wanitaku itu. Aku mengenalnya sejak awal ia berobat di rumah Jeng Putri. Lidia pada saat itu sangat kurus dan pucat. Namun aku melihatnya sebagai wanita yang kuat dan sangat penyabar. Kekagumanku padanya membuatku semakin ingin memilikinya. Lidia sangat telaten menemani dan membantu mama ketika mereka sama-sama berada di rumah perawatan Jeng Putri. Karena itulah kenapa Mama sangat menyayanginya. "Ada apa ini? Loh, Lidia kenapa nggak jadi pulang?" Tiba-tiba mama muncul dari dalam dan terkejut melihat Lidia kembali masuk. "Mama, kenapa sampai bisa memperkerjakan laki-laki kurang ajar itu?" teriakku. "Kurang ajar gimana? Memangnya apa ya
Sial! Lagi-lagi aku gagal untuk bisa berduaan dengan Lidia. Padahal kelihatannya Lidia sudah mulai perhatian lagi padaku. Tidak kusangka dia membelaku di depan kekasihnya. Sepertinya aku masih punya kesempatan untuk memilkinya lagi. Pagi ini aku kembali memutar otak untuk mencari uang. berkali-kali bagian penagihan mobil menelponku. Bahkan mereka sampai datang ke kantor lamaku. Beberapa teman menelponku. "Pak Yusuf, hutang-hutangnya dibayar, dong" "Pak, ada banyak debt kolektor cari-cari Pak Yusuf ke kantor." "Manager kok banyak utang. Memalukan!" Malu sekali rasanya. Mau di taruh dimana mukaku ini. Sebaiknya aku secepatnya minta pertanggung jawaban Rena. Mobil yg ditagih ini adalah mobil yang sekarang dipakai mantan istriku itu. Hutang-hutang kartu kreditpun semua adalah ulahnya. Aku akan coba menghubunginya. "Hallo, Rena," "Mau apa lagi kamu menghubungi Rena?" Sial! ternyata laki-laki itu yang menjawab panggilan dariku. "Saya hanya mau bilang, agar Rena segera melunasi hutan
Kami sedang menuju kampung halaman Naila. Walau kak Fahri keberatan, Mama tetap bersikeras mau ikut mendampingi kami. Akhirnya Kak Fahri menyerah. Justru aku sangat senang jika mama ikut. Mama bisa menjadi penengah diantara kami. Suasana di dalam mobil agak canggung. Kak Fahri menyetir mobil ditemani Bondan yang duduk disampingnya.Naila dan aku duduk di kursi tengah. Sementara Mama memilih pergi dengan mobilnya sendiri dengan seorang supir yang menyetir mobilnya. Mobil kami beriring-iringan hingga sampai ke kampung halaman Naila yang masih terletak di daerah jawa barat. Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana namun cukup luas dan bersih. Menurut Naila dia sudah menceritakan semuanya pada bapak dan ibunya semalam lewat telpon. Jadi sepertinya mereka sudah siap-siap menyambut kedatangan kami. Naila menghambur ke pelukan seorang laki-laki tua sambil menangis tergugu. "M-maafkan Nai, Pak! Nai sudah banyak bohong sama Bapak." "M-maafkan Nai, Bu!" Seorang wanita setengah ba
Kak Fahri bilang malam ini dia akan menyelesaikan masalah Naila. Suamiku itu telah meminta Naila untuk datang selepas isya. "Lidia, Aku butuh dukunganmu. Malam ini aku akan menceraikan Naila. Lalu, tolong biarkan dia tinggal di asrama putri hingga masa iddahnya habis." Entah kenapa dadaku selalu bergemuruh setiap Kak Fahri membicarakan Naila. Rasanya sangat sakit jika mengingat mereka pernah terikat dalam ikatan pernikahan. Walaupun Kak Fahri bilang akan menceraikan wanita itu, tapi hati ini terasa panas dan membara saat mendengar namanya. "Lidiaa ..." Kak Fahri membelai lenganku lembut, karena aku hanya bergeming. Kemudiam suamiku itu menggenggam erat jemariku. "Lidia Sayang, di hati ini hanya ada kamu seorang. Tak pernah berubah sejak dulu." "Halaah, gombal!" ketusku spontan. Kak Fahri terkejut dengan sikapku. Suamiku itu kemudian menjatuhkan bobotnya di sofa ruang tamu ini. Entah kenapa aku kini merasa risih setiap menerima sikap mesra dari kak Fahri. Apakah aku terlalu ke
POV FAHRI "Assalamualaikum, Ustad. Ada seorang pria yang hendak bertemu dengan Ustad." Seorang santri masuk ke ruanganku. "Siapa?" "Dia bilang namanya Bondan, Ustad." Sontak aku berdiri. "Cepat suruh orang itu masuk!" pintaku tak sabar. Tak lama santri itu keluar dan menyuruh pria yang bernama Bondan itu masuk. "Assalamualaikum, Ustad Fahri!" Seorang pria tinggi dengan tubuh kekar, memakai kaos kerah bergaris, celana jeans dan peci di kepalanya. Jika diliat dari penampilannya yang bersih dan rapi, sama sekal tidak menampakkan dirinya seorang preman. "Waalaikumsalam! Silakan duduk ...!" "Terima kasih, Ustad." "Apa benar kamu yang bernama Bondan?" Pria itu mengangguk sopan. "S-saya Bondan. Saya pernah dekat dengan Naila." Aku menatap tajam pada pria di hadapanku ini. Bagaimanapun juga aku harus tetap waspada. Namun wajahnya sekilas ada kemiripan dengan Ibrahim, Anak Naila. Semoga saja ada titiik terang. "Kenapa kamu dulu putus dengan Naila?" pancingku. "Saya nggak pernah
Sebenarnya datang bulanku sudah telat satu minggu. Namun aku belum berani berharap apapun. Apalagi dengan masalah yang aku hadapi saat ini membuatku merasa lebih tegang dan banyak pikiran. Rasanya begitu lelah. Pagi ini seperti biasa Kak Fahri sudah berangkat ke pesantren. Mama masih menginap di sini. Hanya Mama yang membuatku kuat saat ini. Beliau begitu menguatkan diriku. Persis ketika aku terpuruk saat sakit dan diceraikan oleh Mas Yusuf dulu. Mama Anne juga yang memberiku semangat agar bisa sehat kembali. Menurut Jeng Putri saat itu, yang bisa menyembuhkan tubuh kita adalah diri kita sendiri. Sejak tadi aku tak melihat Mama Anne keluar kamar. Setelah sarapan tadi, Mama masuk lagi ke kamar. Namun sepertinya Mama sedang menghubungi seseorang. Sejak tadi tak henti-hentinya Mama berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Akan tetapi tak begitu jelas apa yang sedang Mama bicarakan. Ya Allah, kenapa perutku sakit sekali? Aku bergegas ke kamar mandi. Kekecewaan kembali kurasakan s
POV FAHRI Assalamualaikum ..." Aku tersentak dari lamunan saat mendengar seseorang datang mengucapkan salam. "Naila..?" "Ustad ...!" Tiba-tiba saja Naila menghampiriku dan meraih tanganku, lalu menciumnya. Aku yang masih terkejut tak sempat mengelak. "Hei! Lepaskan tangan anakku!" Ternyata Mama dan Lidia telah berada di belakangku. Ya Allah, Lidia tampak sangat sedih dan terpukul. Wajahnya pucat dan sembab. "Kamu Naila, kan? Apa kamu lupa peraturan yang ada di pesantren ini?" Mama memandang sinis pada Naila. "Iy-iyaa, Bu. Tapi ..., Ustad Fahri adalah ...""Kenapa dengan anak saya? Apa yang hendak kamu katakan?" Mama menatapku tajam seolah menyimpan kecurigaan. Apa yang hendak dikatakan Naila? Apa dia akan membongkar semuanya di depan Mama? "Ustad Fahri adalah ... suami saya." Ya Allah, Naila ... "Apaaa?" Mama terpekik mendengar ucapan Naila barusan, hingga membuatku menghempas napas kasar. Tidak seharusnya dia mengatakannya sekarang. "Fahri! jelaskan pada mama sekarang
Pov Fahri Mama dan Lidia masuk ke dalam kamar. Tinggal aku sendiri berada di ruang tamu ini. Masalah Naila sungguh membuatku pusing. Seharusnya sejak anaknya itu lahir, aku segera menceraikannya. Namun aku juga nggak tega mendengar bapaknya yang sedang sakit-sakitan. Orang tuanya pasti sangat terpukul jika tahu keadaan anaknya yang sebenarnya. Tiba-tiba saja kejadian lima tahun yang lalu kembali terlintas di benakku. Saat itu Nenek masih hidup. Aku sudah mulai membantu nenek mengajar para santri di pesantren. Naila adalah salah satu alumni yang juga mengajar di pesantren ini. Kami memang sering bertemu di acara-acara khusus dan rapat pengurus pesantren. Walau aku bukan lulusan pesantren, tapi Nenek bersikeras agar aku mau mengajar dan menggantikan beliau kelak. Mama menyekolahkan aku di bidang bisnis dengan harapan bisa ikut mengelola perusahaan Mama di jakarta dan di luar negeri. Namun setelah lulus S2, aku lebih memilih tinggal dan membantu Nenek di bogor. Bagaimanapun juga, Nen
Aku marapatkan telingaku ke pintu. Tubuhku bergetar hebat saat mengetahui suara siapa saja yang berada di dalam. Dadaku bergemuruh dan sesak. Seakan ada batu besar yang menghimpit. Benarkah apa yang aku dengar ini? Atau hanya mimpi? Atau mungkin saja saat ini mereka berdua sedang prank aku. Sepertinya firasatku sejak kemarin memang tidak salah. Ada sesuatu yang terjadi diantara mereka. "Tidak semudah itu, Naila. Aku tak mau menyakiti perasaan Lidia. Dia sedang program hamil. Aku tak mau dia berpikir yang berat-berat." Kak Fahri ternyata masih memikirkan perasaanku, makamya dia tak mau terus terang. Lalu siapa Ayah dari anak yang kemarin dibawa Naila? Apakah ... "Tapi Upstad, Ibra sebentar lagi akan sekolah. Dia butuh akte dan nama seorang Ayah. Apa kata orang tuaku jika mengetahui bahwa kita hanya menikah siri?" "Apaaaa? Kalian menikah siri?" jeritku bergetar. Tak tahan akhirnya aku memberanikan diri masuk ke dalam ruangan yang cukup besar itu. Kak Fahri dan Naila sedang duduk
Aku membalikkan tubuhku. Anak balita itu turun dari pangkuan Naila dan berjalan menghampiri Kak Fahri. "Ayah ... Ayah ...!" "Assalamualaikum Ibra, kamu sudah semakin besar sekarang." Kak Fahri berjongkok mengimbangi tubuh mungil itu. Suamiku memberikan tangannya untuk dicium oleh anak yang dia panggil Ibra. "Apaa? A-ayah?" Spontan aku memandang Kak Fahri dengan tatapan penuh tanda tanya. "Nah, Ibra. Kenalkan ini Ibu. Panggilnya Ibu Lidia, Ya!" Kak Fahri meraih tanganku agar mendekat pada Ibra. Namun Ibra hanya memandangku dengan wajah bingung. Perlahan anak itu justru menjauh dariku. "Ibuuuu ....!" teriak Ibra menghampiri Naila. Kak Fahri nampak gelagapan. "Istirahatlah Naila. Saya dan Lidia masuk dulu." "Iy-iya, ustad. Saya permisi ke asrama putri dulu." Kak Fahri kembali meraih jemariku dan membawaku masuk ke dalam rumah. "Bikinin aku makanan, dong! Aku kangen masakan kamu. Laper, nih!" Sebenarnya aku masih sangat penasaran kenapa anaknya Naila memanggil Kak Fahri den
Lidia "Cukup, Andre! Lidia, ayo pulang. Kita kembali ke pesantren!" Kak Fahri menghentikan makannya, kemudian bangkit dari kursi dan menghampiriku. "Kak ..., kita kan mau menginap," ucapku hati-hati. Aku tau saat ini Kak Fahri sedang dilanda api cemburu. Wajahnya merah padam. "Fahrii ... , tolong jangan pulang, Sayang. Mama masih kangen sama kalian!" Mama tampak sedih dan terus memohon. Sementara Andre tampak salah tingkah. Sepertinya dia tak sengaja membuat Kak Fahri cemburu. "Aku minta maaf ....! Aku nggak bermaksud membuatmu marah. Tolong jangan pulang. Biar aku saja yang pindah ke kamar kost." Andre beranjak dari kursinya dan melangkah pergi melewati pintu belakang. Sepertinya Andre memang benar-benar ke rumah kost yang di belakang rumah Mama Anne. Tempat Mas Yusuf dulu pernah tinggal di sana. Tak satupun dari kami mencegah kepergian Andre. Mama juga membiarkan Andre .pergi. Mungkin sejak dulu mereka memang tidak cocok. Wajah Kak Fahri terlihat mulai tenang. Suamiku itu kem