Astaga! Kenapa aku harus ketemu Lidia di sini? "Lidia, Nak Yusuf ini kost di rumah ini. Orangnya baik. Kalau Andre nggak ada, dia yang antar Mama ke mana-mana." Haduh! Kenapa Tante Anne bilang seperti itu? Lidia pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa punya waktu untuk mengantar Tante Anne bepergian. Lidia pasti curiga kalau aku sudah tidak kerja lagi. Apalagi kalau dia tahu kalau aku ini sekarang hanya seorang supir. Mau ditaruh di mana mukaku ini.Tuh kan Lidia sampai ternganga mendengar ucapan tante Anne tadi. Pastilah dia bingung. Ah, kasian mantan istriku itu. Ternyata dia masih saja memikirkanku. "Memangnya Mama sudah pergi ke mana aja sejak pulang ke rumah?" Ya ampuuun, suara Lidia kenapa jadi makin merdu begini? Hati ini sungguh bergetar mendengarnya. "Mama nengok perusahaan-perusahaan, ke toko emas dan belanja. Pokoknya senang-senanglah. Sebenarnya kangen mau ngantor lagi. Tapi nggak boleh sama Andre". Tante Anne terus bercerita. Sementara aku terus mencuri pandang pada
Andre Laki-laki itu beberapa kali pernah hampir menyakiti Llidia. Kenapa Mama sampai bisa memperkerjakan dia sebagai supirnya? "Ayo kita masuk dulu, Ndre!" ajak Lidia. Kalau saja Lidia tidak menarik dan mengajakku untuk segera masuk. Sudah kujadikan perkedel laki-laki itu. Entah kenapa sejak bertemu dengan Lidia, aku selalu saja takut kehilangan wanitaku itu. Aku mengenalnya sejak awal ia berobat di rumah Jeng Putri. Lidia pada saat itu sangat kurus dan pucat. Namun aku melihatnya sebagai wanita yang kuat dan sangat penyabar. Kekagumanku padanya membuatku semakin ingin memilikinya. Lidia sangat telaten menemani dan membantu mama ketika mereka sama-sama berada di rumah perawatan Jeng Putri. Karena itulah kenapa Mama sangat menyayanginya. "Ada apa ini? Loh, Lidia kenapa nggak jadi pulang?" Tiba-tiba mama muncul dari dalam dan terkejut melihat Lidia kembali masuk. "Mama, kenapa sampai bisa memperkerjakan laki-laki kurang ajar itu?" teriakku. "Kurang ajar gimana? Memangnya apa ya
Sial! Lagi-lagi aku gagal untuk bisa berduaan dengan Lidia. Padahal kelihatannya Lidia sudah mulai perhatian lagi padaku. Tidak kusangka dia membelaku di depan kekasihnya. Sepertinya aku masih punya kesempatan untuk memilkinya lagi. Pagi ini aku kembali memutar otak untuk mencari uang. berkali-kali bagian penagihan mobil menelponku. Bahkan mereka sampai datang ke kantor lamaku. Beberapa teman menelponku. "Pak Yusuf, hutang-hutangnya dibayar, dong" "Pak, ada banyak debt kolektor cari-cari Pak Yusuf ke kantor." "Manager kok banyak utang. Memalukan!" Malu sekali rasanya. Mau di taruh dimana mukaku ini. Sebaiknya aku secepatnya minta pertanggung jawaban Rena. Mobil yg ditagih ini adalah mobil yang sekarang dipakai mantan istriku itu. Hutang-hutang kartu kreditpun semua adalah ulahnya. Aku akan coba menghubunginya. "Hallo, Rena," "Mau apa lagi kamu menghubungi Rena?" Sial! ternyata laki-laki itu yang menjawab panggilan dariku. "Saya hanya mau bilang, agar Rena segera melunasi hutan
Bab 27. Rahasia Terbongkar "Ja-jangan, Pak! Ini bukan mobil saya!!" Habislah aku kalau sampai mobil ini dijadikan jaminan. "Huuuu ... baru deh ngaku, kalau itu bukan mobilnya ...!" "Ya, mana mungkin itu mobilnya, yang kemarin aja bayarnya nunggak ..." "Halaaaah! Paling-paling juga ini mobil majikannya ..." Para tetangga bisik-bisik dan mentertawakanku. Dasar tetangga kurang kerjaan. Seenaknya saja mereka membicarakanku. Awas nanti kalau aku sudah menikah lagi dengan Lidia, mereka semua akan ternganga. "Kalau tidak, Bapak harus segera membayar tagihan yang sudah menunggak," bentak salah satu penagih itu. Langsung ciut nyaliku. Badan kedua penagih ini sangat besar dan kekar. Para tetangga kembali saling berbisik. Dasar orang-orang tukang gosip. Memangnya tidak ada kerjaan lain yang bermanfaat selain membicarakan orang lain? "To-tolong beri saya waktu, Pak!" Aku coba bernegosiasi. "Sudah tidak bisa, Pak!! Ini sudah menunggak tiga bulan." "Tolonglah, Pak!" Aku terus saja memoh
Lidia Sebenarnya Aku tidak tega melihat Mas Yusuf terpojok seperti itu. Mantan suamiku itu nampak tak berkutik berdiri di dekat pintu. Entah mengapa aku jadi merasa bersalah. Gara-gara aku dia kehilangan dan jadi pengangguran. Mama Anne terus menatap tajam pada Yusuf seakan tidak percaya. Namun aku tau Mama Anne adalah wanita yang bijak. Semoga dia tidak memecat Mas Yusuf. "Lidia sayang, kenapa kemarin kamu tidak terus terang dengan mama tentang si Yusuf ini ? Tatapan mata Mama Anne sekarang beralih padaku. Aku menarik napas panjang. Lalu membuangnya perlahan. Seraya berdoa dalam hati agar Andre bisa menahan emosinya. Wajah lelaki di sebelahku ini sudah mulai terlihat garang. "Maafkan Lidia Maa, Pak , Bu ..! Bukannya aku ingin menutupi hal yang sebenarnya. Tapi sesungguhnya sudah tidak ingin mengingat luka itu lagi. Aku saat ini sudah bahagia. Ada Andre yang selalu melindungiku. Lagi pula sepertinya Mas Yusuf sudah menerima akibat dari perbuatannya. Dia sudah kehilangan semua yang
Lidia Langkah kami semakin mendekat. Mama Anne mengenggam erat jemariku. Seakan-akan ingin menguatkan. Sementara Andre terlihat gelagapan menghadapi wanita cantik berambut merah itu. Wajahnya nampak kebingungan. Sudut matanya beberapa kali melirik ke arahku dan Mama. "Ehhemm." Mama Anne berdehem seraya mengangkat kedua alisnya dan menatap tajam pada Andre. Seolah ingin meminta sebuah penjelasan. Spontan perempuan itu menoleh pada pada kami. Astaga, kalung itu. Kenapa wanita itu juga memiliki kalung yang sama seperti yang mama berikan padaku. Hanya toko emas Andre satu-satunya yanng menjual kalung dengan desain seperti itu. "Siapa mereka, Ndre?" tanya wanita itu seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Hey ini rupanya artis yang terkenal itu?"ujarnya seraya tersenyum sinis padaku "Monica, tolong jaga sikapmu!" bentak Andre. "Untuk apa kau menemuiku?" tanyanya lagi. "Kamu kenapa berubah jadi dingin sih?" protes wanita itu. "Aku mencarimu karena ingin mengambil barangku
Andre Sepanjang perjalanan Mama hanya diam. Akupun tidak berani memulai pembicaraan. Bisa-bisa Mama akan semakin emosi. Lebih baik semua dibicarakan nanti di rumah. Sambil aku berpikir alasan apa yang akan kuberikan pada Mama nanti. Monica benar-benar pembuat sial. Aku tidak menyangka dia membongkar hubungan kami secepat ini. Padahal sudah kuberi penjelasan agar bersabar hingga aku bisa mendapatkan semua harta warisan Mama. Semoga kali ini mama mau mengerti dan memaafkanku. Tanpa terasa mobil sudah masuk ke dalam gerbang. Seorang security menghampiri kami ketika mobil sudah terparkir di depan teras, lalu membukakan pintu untuk Mama. "Setelah makan malam, temui mama di ruang keluarga!" pinta Mama tegas, seraya keluar dari mobil dan kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. "Baik, Ma," sahutku. Kemudian juga beranjak menuju kamarku yang berada di lantai dua. ---------------- Aku pun segera membersihkan diri dan bersiap-siap untuk menemui Mama. Sejak tadi Monica terus saja mengu
Lidia Hatiku hancur untuk yang kedua kalinya. Namun kali ini aku lebih siap. Karena sejak awal memang tak ingin terlalu mencintai laki-laki itu. Ya, semua berawal dari permintaan Mama Anne. Wanita yang begitu dekat denganku selama lebih dari enam bulan tinggal di rumah pengobatan Jeng Putri. Mama Anne begitu ingin manjadikan aku sebagai menantunya. Lalu memohon agar aku mau menjadi kekasih Andre, anaknya yang sering mondar-mandir datang untuk mengurus dirinya. Andre, laki-laki sukses dan tampan. Sangat sulit jika seorang wanita menolak pesonanya Aku pun luluh oleh perhatian dan kasih sayangnya. Namun aku tak menyangka, Andre begitu menginginkanku seutuhnya sebelum adanya ikatan pernikahan. Tentu saja aku selalu menolaknya. Sejujurnya rasa ragu itu mulai muncul, sejak aku tau Andre sudah terbiasa dengan pergaulan bebasnya. Aku sangat bersyukur Allah memberiku petunjuk secepat ini. Entah apa yang terjadi jika aku mengetahuinya jika telah menikah dengannya. Tiba-tiba sebuah pes
Kami sedang menuju kampung halaman Naila. Walau kak Fahri keberatan, Mama tetap bersikeras mau ikut mendampingi kami. Akhirnya Kak Fahri menyerah. Justru aku sangat senang jika mama ikut. Mama bisa menjadi penengah diantara kami. Suasana di dalam mobil agak canggung. Kak Fahri menyetir mobil ditemani Bondan yang duduk disampingnya.Naila dan aku duduk di kursi tengah. Sementara Mama memilih pergi dengan mobilnya sendiri dengan seorang supir yang menyetir mobilnya. Mobil kami beriring-iringan hingga sampai ke kampung halaman Naila yang masih terletak di daerah jawa barat. Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana namun cukup luas dan bersih. Menurut Naila dia sudah menceritakan semuanya pada bapak dan ibunya semalam lewat telpon. Jadi sepertinya mereka sudah siap-siap menyambut kedatangan kami. Naila menghambur ke pelukan seorang laki-laki tua sambil menangis tergugu. "M-maafkan Nai, Pak! Nai sudah banyak bohong sama Bapak." "M-maafkan Nai, Bu!" Seorang wanita setengah ba
Kak Fahri bilang malam ini dia akan menyelesaikan masalah Naila. Suamiku itu telah meminta Naila untuk datang selepas isya. "Lidia, Aku butuh dukunganmu. Malam ini aku akan menceraikan Naila. Lalu, tolong biarkan dia tinggal di asrama putri hingga masa iddahnya habis." Entah kenapa dadaku selalu bergemuruh setiap Kak Fahri membicarakan Naila. Rasanya sangat sakit jika mengingat mereka pernah terikat dalam ikatan pernikahan. Walaupun Kak Fahri bilang akan menceraikan wanita itu, tapi hati ini terasa panas dan membara saat mendengar namanya. "Lidiaa ..." Kak Fahri membelai lenganku lembut, karena aku hanya bergeming. Kemudiam suamiku itu menggenggam erat jemariku. "Lidia Sayang, di hati ini hanya ada kamu seorang. Tak pernah berubah sejak dulu." "Halaah, gombal!" ketusku spontan. Kak Fahri terkejut dengan sikapku. Suamiku itu kemudian menjatuhkan bobotnya di sofa ruang tamu ini. Entah kenapa aku kini merasa risih setiap menerima sikap mesra dari kak Fahri. Apakah aku terlalu ke
POV FAHRI "Assalamualaikum, Ustad. Ada seorang pria yang hendak bertemu dengan Ustad." Seorang santri masuk ke ruanganku. "Siapa?" "Dia bilang namanya Bondan, Ustad." Sontak aku berdiri. "Cepat suruh orang itu masuk!" pintaku tak sabar. Tak lama santri itu keluar dan menyuruh pria yang bernama Bondan itu masuk. "Assalamualaikum, Ustad Fahri!" Seorang pria tinggi dengan tubuh kekar, memakai kaos kerah bergaris, celana jeans dan peci di kepalanya. Jika diliat dari penampilannya yang bersih dan rapi, sama sekal tidak menampakkan dirinya seorang preman. "Waalaikumsalam! Silakan duduk ...!" "Terima kasih, Ustad." "Apa benar kamu yang bernama Bondan?" Pria itu mengangguk sopan. "S-saya Bondan. Saya pernah dekat dengan Naila." Aku menatap tajam pada pria di hadapanku ini. Bagaimanapun juga aku harus tetap waspada. Namun wajahnya sekilas ada kemiripan dengan Ibrahim, Anak Naila. Semoga saja ada titiik terang. "Kenapa kamu dulu putus dengan Naila?" pancingku. "Saya nggak pernah
Sebenarnya datang bulanku sudah telat satu minggu. Namun aku belum berani berharap apapun. Apalagi dengan masalah yang aku hadapi saat ini membuatku merasa lebih tegang dan banyak pikiran. Rasanya begitu lelah. Pagi ini seperti biasa Kak Fahri sudah berangkat ke pesantren. Mama masih menginap di sini. Hanya Mama yang membuatku kuat saat ini. Beliau begitu menguatkan diriku. Persis ketika aku terpuruk saat sakit dan diceraikan oleh Mas Yusuf dulu. Mama Anne juga yang memberiku semangat agar bisa sehat kembali. Menurut Jeng Putri saat itu, yang bisa menyembuhkan tubuh kita adalah diri kita sendiri. Sejak tadi aku tak melihat Mama Anne keluar kamar. Setelah sarapan tadi, Mama masuk lagi ke kamar. Namun sepertinya Mama sedang menghubungi seseorang. Sejak tadi tak henti-hentinya Mama berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Akan tetapi tak begitu jelas apa yang sedang Mama bicarakan. Ya Allah, kenapa perutku sakit sekali? Aku bergegas ke kamar mandi. Kekecewaan kembali kurasakan s
POV FAHRI Assalamualaikum ..." Aku tersentak dari lamunan saat mendengar seseorang datang mengucapkan salam. "Naila..?" "Ustad ...!" Tiba-tiba saja Naila menghampiriku dan meraih tanganku, lalu menciumnya. Aku yang masih terkejut tak sempat mengelak. "Hei! Lepaskan tangan anakku!" Ternyata Mama dan Lidia telah berada di belakangku. Ya Allah, Lidia tampak sangat sedih dan terpukul. Wajahnya pucat dan sembab. "Kamu Naila, kan? Apa kamu lupa peraturan yang ada di pesantren ini?" Mama memandang sinis pada Naila. "Iy-iyaa, Bu. Tapi ..., Ustad Fahri adalah ...""Kenapa dengan anak saya? Apa yang hendak kamu katakan?" Mama menatapku tajam seolah menyimpan kecurigaan. Apa yang hendak dikatakan Naila? Apa dia akan membongkar semuanya di depan Mama? "Ustad Fahri adalah ... suami saya." Ya Allah, Naila ... "Apaaa?" Mama terpekik mendengar ucapan Naila barusan, hingga membuatku menghempas napas kasar. Tidak seharusnya dia mengatakannya sekarang. "Fahri! jelaskan pada mama sekarang
Pov Fahri Mama dan Lidia masuk ke dalam kamar. Tinggal aku sendiri berada di ruang tamu ini. Masalah Naila sungguh membuatku pusing. Seharusnya sejak anaknya itu lahir, aku segera menceraikannya. Namun aku juga nggak tega mendengar bapaknya yang sedang sakit-sakitan. Orang tuanya pasti sangat terpukul jika tahu keadaan anaknya yang sebenarnya. Tiba-tiba saja kejadian lima tahun yang lalu kembali terlintas di benakku. Saat itu Nenek masih hidup. Aku sudah mulai membantu nenek mengajar para santri di pesantren. Naila adalah salah satu alumni yang juga mengajar di pesantren ini. Kami memang sering bertemu di acara-acara khusus dan rapat pengurus pesantren. Walau aku bukan lulusan pesantren, tapi Nenek bersikeras agar aku mau mengajar dan menggantikan beliau kelak. Mama menyekolahkan aku di bidang bisnis dengan harapan bisa ikut mengelola perusahaan Mama di jakarta dan di luar negeri. Namun setelah lulus S2, aku lebih memilih tinggal dan membantu Nenek di bogor. Bagaimanapun juga, Nen
Aku marapatkan telingaku ke pintu. Tubuhku bergetar hebat saat mengetahui suara siapa saja yang berada di dalam. Dadaku bergemuruh dan sesak. Seakan ada batu besar yang menghimpit. Benarkah apa yang aku dengar ini? Atau hanya mimpi? Atau mungkin saja saat ini mereka berdua sedang prank aku. Sepertinya firasatku sejak kemarin memang tidak salah. Ada sesuatu yang terjadi diantara mereka. "Tidak semudah itu, Naila. Aku tak mau menyakiti perasaan Lidia. Dia sedang program hamil. Aku tak mau dia berpikir yang berat-berat." Kak Fahri ternyata masih memikirkan perasaanku, makamya dia tak mau terus terang. Lalu siapa Ayah dari anak yang kemarin dibawa Naila? Apakah ... "Tapi Upstad, Ibra sebentar lagi akan sekolah. Dia butuh akte dan nama seorang Ayah. Apa kata orang tuaku jika mengetahui bahwa kita hanya menikah siri?" "Apaaaa? Kalian menikah siri?" jeritku bergetar. Tak tahan akhirnya aku memberanikan diri masuk ke dalam ruangan yang cukup besar itu. Kak Fahri dan Naila sedang duduk
Aku membalikkan tubuhku. Anak balita itu turun dari pangkuan Naila dan berjalan menghampiri Kak Fahri. "Ayah ... Ayah ...!" "Assalamualaikum Ibra, kamu sudah semakin besar sekarang." Kak Fahri berjongkok mengimbangi tubuh mungil itu. Suamiku memberikan tangannya untuk dicium oleh anak yang dia panggil Ibra. "Apaa? A-ayah?" Spontan aku memandang Kak Fahri dengan tatapan penuh tanda tanya. "Nah, Ibra. Kenalkan ini Ibu. Panggilnya Ibu Lidia, Ya!" Kak Fahri meraih tanganku agar mendekat pada Ibra. Namun Ibra hanya memandangku dengan wajah bingung. Perlahan anak itu justru menjauh dariku. "Ibuuuu ....!" teriak Ibra menghampiri Naila. Kak Fahri nampak gelagapan. "Istirahatlah Naila. Saya dan Lidia masuk dulu." "Iy-iya, ustad. Saya permisi ke asrama putri dulu." Kak Fahri kembali meraih jemariku dan membawaku masuk ke dalam rumah. "Bikinin aku makanan, dong! Aku kangen masakan kamu. Laper, nih!" Sebenarnya aku masih sangat penasaran kenapa anaknya Naila memanggil Kak Fahri den
Lidia "Cukup, Andre! Lidia, ayo pulang. Kita kembali ke pesantren!" Kak Fahri menghentikan makannya, kemudian bangkit dari kursi dan menghampiriku. "Kak ..., kita kan mau menginap," ucapku hati-hati. Aku tau saat ini Kak Fahri sedang dilanda api cemburu. Wajahnya merah padam. "Fahrii ... , tolong jangan pulang, Sayang. Mama masih kangen sama kalian!" Mama tampak sedih dan terus memohon. Sementara Andre tampak salah tingkah. Sepertinya dia tak sengaja membuat Kak Fahri cemburu. "Aku minta maaf ....! Aku nggak bermaksud membuatmu marah. Tolong jangan pulang. Biar aku saja yang pindah ke kamar kost." Andre beranjak dari kursinya dan melangkah pergi melewati pintu belakang. Sepertinya Andre memang benar-benar ke rumah kost yang di belakang rumah Mama Anne. Tempat Mas Yusuf dulu pernah tinggal di sana. Tak satupun dari kami mencegah kepergian Andre. Mama juga membiarkan Andre .pergi. Mungkin sejak dulu mereka memang tidak cocok. Wajah Kak Fahri terlihat mulai tenang. Suamiku itu kem