"Kata dokter ibu cuma kecapean. Karena ibu kan udah tua juga."Bumi melirik Bu Tina yang terbaring di tempat tidur saat Nadira menjelaskan kondisi ibu panti tersebut. Wanita tua itu tampak tertidur dengan nyaman. "Ibu masih sering pegang kerjaan rumah? Kan udah banyak asisten yang bantu." "Nggak sering, Kak. Tapi ibu juga kadang sok ngeyel kalau dibilangin. Padahal semua kerjaan rumah panti udah ada yang urus. Terus...." Nadira menggantung kalimatnya dan dengan ragu menatap Ola yang berada di samping Bumi terus menerus. "Terus?" "Uhm, beberapa hari terakhir Ibu juga nanyain Kak Bumi terus. Aku sering pergoki ibu mengusap poto Kak Bumi pas masih kecil. Kayaknya ibu rindu sama Kak Bumi." Kembali Bumi melirik ranjang Bu Tina. Biasanya sebulan sekali Bumi akan menyempatkan waktu pulang ke panti. Namun sudah hampir setengah tahun dia absen. Meski begitu dia terus memantau keadaan panti lewat Nadira. Apalagi Daniel juga sudah menyerahkan tanggung jawab donasi kepadanya. Bumi menarik na
Lebih dari lima puluh anak panti yang diasuh oleh Bu Tina. Dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai usia mereka dan jenis kelamin. Menempati bangunan tua yang sudah dipugar oleh Daniel sejak lama. Tanahnya yang sempat menjadi sengketa pun dibebaskan juga oleh pria itu. Keterlibatan Daniel dengan panti asuhan yang diberi nama Griya Kasih Ibu itu berawal dari pertemuan menakjubkan antara dirinya dengan Bumi yang saat itu masih menjadi remaja tanggung di tengah teriknya kota. Remaja lima belas tahun penjual kerupuk yang menolongnya merebut tas berisi dokumen dan beberapa barang penting lainnya yang dicuri oleh teman sebayanya. Akibat menolong Daniel, kerupuk yang dia bawa di kantong plastik besar hancur. Dagangannya jelas merugi, tapi remaja itu masih bisa tersenyum saat menyerahkan tas milik Daniel yang berhasil dia rebut. Luka di sudut bibir anak itu membuat Daniel akhirnya membawa Bumi remaja masuk ke salah satu restoran. Di restoran itulah untuk pertama kalinya Bumi mengenal keluarga
Mata Ola setengah memicing saat melihat seorang pria dengan rambut setengah dikucir menggendong Rani di punggung dan juga Ali di depannya. Rani dan Ali anak panti yang masih balita. Kedua anak itu masih sangat polos. Jika diiming-imingi sesuatu mereka dengan mudah menjadi dekat dengan si pengiming itu. Mengingat banyaknya kasus tindakan kriminal terhadap anak akhir-akhir ini, membuat Ola kontan siaga. Dia dengan cepat melangkahkan kakinya, mencegat pria itu yang terlihat hendak menuju ke arah belakang rumah. Bisa saja kan Rani dan Ali mau diculik? "Hei! Tunggu!" seru Ola memasang wajah galak. Pria dengan rambut semi gondrong yang dikucir hanya setengah itu menoleh dan berbalik. Kembali tatap Ola menyipit melihat pria itu. Dari jarak dekat, pria itu lumayan cakep. Memiliki wajah bersih dengan hidung mancung yang pas. Di sudut mata kanannya terdapat tahi lalat kecil yang sialnya membuat pria itu justru terlihat manis. Tidak ada tampang penculik, tapi wajah kan bisa menipu. Ola mene
"Kenapa kamu nggak pertimbangkan saran Ibu, Kak? Aku pikir yang Ibu bilang benar. Makin cepat kita ngasih tau mami sama papi itu makin baik. Kita nggak perlu kucing-kucingan lagi."Ola menjatuhkan kepalanya ke bahu Bumi. Saat ini keduanya tengah duduk di bangku panjang taman samping rumah. Menikmati semilir angin sore dari dedaunan yang bergoyang. Griya Kasih Ibu Ini masih sangat asri. Lingkungannya dibuat sejuk meski letaknya di tengah kota. "Aku masih belum siap." Bumi menarik napas panjang. Seandainya Daniel dan Delotta bisa menerima, itu tidak akan menjadi soal. Tapi bagaimana jika mereka menolak hubungan ini? Segalanya akan berantakan. Bukan hanya tidak bisa bersama Ola, mungkin saja dirinya bakal diusir dari keluarga Jagland. Sementara saat ini Bumi merasa kemungkinan diterimanya sangat tipis. "Terus siapnya kapan?" tanya Ola, sedikit mendongakkan kepala untuk melihat wajah Bumi. "Nanti ya. Aku nggak yakin kalau sekarang kita jujur, papi sama mami bakal terima." Diraihnya ta
Kepala Ola menoleh ke sisi kanan ketika merasakan bahunya dicolek. Namun dia tidak menemukan siapa pun di sana. Saat memutuskan mengabaikan dan tanpa sengaja menolehkan wajah ke kiri, dia dikejutkan oleh wajah seorang lelaki yang muncul secara close up dengan mata juling dan lidah terjulur. Spontan dia menjerit, dan buku yang sedang dia pegang refleks menghantam tepat ke hidung lelaki tersebut. "Mampus lo!" umpatnya secara bersamaan dengan rasa puas yang tak terkira. "Ouch! Sakit, astaga. Kasar banget sih jadi cewek." Lelaki itu mundur sambil mengiris. Dia mengusap hidungnya yang memerah sambil menggerutu. "Syukurin. Makanya jangan suka ganggu orang." Ola mendengus alih-alih minta maaf. Namun seolah belum kapok, lelaki yang tak lain adalah Haru itu kembali mendekat. "Lagian serius banget baca bukunya?" Sambil masih mengelus hidung dia bergerak duduk di sisi bangku kosong yang Ola duduki. "Heh! Siapa yang nyuruh kamu duduk di situ?" tegur Ola dengan kening berlipat. Mata legamnya
Rasa kesal Ola kali ini tidak main-main. Sepanjang hari ini Bumi dibuat senewen oleh gadis itu. Bukan hanya didiamkan, tapi Ola kerap kali menghindar saat Bumi mencoba mendekat. Yang paling terlihat jelas ketika mereka semua makan bersama di balé. Saat Ola sedang menuang nasi untuk beberapa anak panti yang duduk di dekatnya, Bumi juga ikut mengacungkan piring ke gadis itu. Biasanya Ola akan dengan senang hati menuangkan nasi ke piringnya. Namun kali ini gadis itu melewatinya begitu saja. Dan lebih memilih menuangkan nasi ke piring Haru. "Terima kasih, Cantik," ucap Haru sumringah. "Sama-sama." Sikap Ola jelas menyedot perhatian semua yang ada di balé. Akan tetapi, tidak ada yang berani bersuara. Bumi pun akhirnya menelan rasa kecewanya dan menarik mundur piringnya lagi. Bumi kembali mendekati Ola saat sore menjelang. Ketika gadis itu sedang menemani anak-anak bermain. Namun di saat yang bersamaan Dira yang sedang memasang sesuatu di dinding berteriak meminta tolong padanya. Langka
Ola masih enggan menatap Bumi secara langsung. Bahkan dia terus memalingkan wajah sembari melipat lengan ke depan dada ketika Bumi menggiringnya duduk di pinggiran tempat tidur. "Kamu mau begini terus?" tanya Bumi setelah menghela napas beberapa kali. Dengan ujung mata Ola melirik sebal pria itu. "Kamu habis bentak aku loh." "Oke aku minta maaf. Aku minta maaf juga soal tadi pagi." Bumi mencoba kembali lunak. Akan lebih mudah mengendalikan Ola jika mereka sedang berdua saja seperti ini. "Karena udah bikin kamu marah." Ola makin melengos. Masih sebal dengan kejadian itu, ditambah lagi di panti barusan yang lagi-lagi Bumi bersikap sok care sama Dira. Rasa dongkolnya yang sudah mencapai leher, mendadak naik ke ubun-ubun."Tadinya Mbak Atin minta antar ke pasar. Tapi ternyata Ibu memanggil Mbak Atin untuk dimintai bantuannya. Mbak Atin bilang mau nyuruh anak panti yang gantiin dia belanja. Aku nggak tau kalau itu Dira. Aku nggak mungkin bilang nggak bisa setelah tau itu Dira kan?" Ma
"Berhenti tertawa," hardik Bumi sebal melihat Ola terus tergelak. "Dasar cemen, baru juga aku pelorotin celana udah panik. Gegayaan mau nidurin aku," cibir Ola di tengah tawanya yang terdengar begitu renyah. Kejadiannya sama sekali tidak Bumi duga. Dia yang berencana menakuti gadis itu mendadak panik sendiri saat Ola ikut-ikutan membuka baju dan celananya. Hasilnya sudah bisa ditebak. Pria itu kehebohan sendiri meminta Ola untuk mengenakan pakaiannya kembali. Bumi membanting tubuhnya ke atas ranjang. Masih bertelanjang dada, dengan ikat pinggang yang masih belum dia kaitkan kembali. "Padahal aku nggak keberatan loh kalau Kak Bumi mau." "Diem!" Ola kembali terbahak. Gagal sudah dia melihat sesuatu yang Bumi sembunyikan di balik boxernya itu. Padahal dia sangat penasaran bentukannya wkwkwk. Gadis itu mendekati Bumi begitu tawanya reda. Menempelkan belakang kepala ke bahu pria itu. "Kak." "Hm." "Lain kali bisa tegas dikit nggak sama Dira? Aku nggak mau dia salah paham sama sikap
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari
Sudah lebih dari tiga hari di Raja Ampat, kegiatan yang Bumi dan Ola lakukan hanya di seputar pantai dan kamar. Tidak peduli pada kegiatan diving atau jelajah alam yang diatur oleh pihak resort. Mereka berdua memilih menghabiskan waktu di sekitar resort. Lebih tepatnya Bumi yang ingin tetap di dalam resort. "Capek, Yang. Kita kan udah pernah. Mending di kamar, kelonan. Sama juga olahraga kan?" sahut Bumi sambil malas-malas di dalam selimut ketika Ola berinisiatif mengajaknya ikut rombongan diving. "Memangnya kamu nggak bosan, Kak?" Sambil menarik pinggang Ola mendekat, pria itu berujar. "Mana mungkin aku bosan kalau bisa peluk kamu gini." Tangannya yang nakal lantas bergerak pelan menggelitiki perut Ola, sampai wanita itu tertawa geli. "Seenggaknya kita harus renang. Aku mau meluncur di dekat dermaga."Mendengar kata renang dan meluncur, sebuah ide terlintas di kepala Bumi. "Kamu mau coba hal baru nggak?" tanya Bumi sambil menahan senyum. "Aku yakin kamu pasti suka." Alis Ola men
Desahan Ola kembali mengudara ketika puncak dadanya kembali tenggelam di mulut hangat suaminya. Genggamannya pada kain yang mengalasi tempat tidur terlepas ketika hawa panas tubuhnya kembali tinggi. Telapak tangan Bumi yang tidak mau berhenti meraba membuat libidonya naik seketika. Rasa sakit di bawah sana pun mendadak tersamarkan. "Kamu merasa lebih baik?" tanya Bumi sesaat setelah melepas kulumannya. Dengan wajah memerah Ola mengangguk. Sakit tapi juga nikmat. Itu hal yang tidak bisa dia ungkapkan sekarang. "Boleh aku bergerak sekarang?" Bumi merasa perlu izin karena tidak ingin membuat istrinya kesakitan lagi. Dan lagi-lagi pertanyaannya hanya dibalas anggukan. Perlahan dia pun menggerakkan pinggul. Terlihat sangat hati-hati. Namun sepelan apa pun dia bergerak, wajah Ola masih terlihat kesakitan. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Bumi sekali lagi untuk memastikan lanjut atau berhenti. Dua tangan Ola terjulur dan menyentuh bahu Bumi. Dia memang masih merasakan nyeri, tapi jug
Ola menggigit bibir melihat Bumi berdiri di bawah siraman air shower dengan kepala menunduk. Setelah membuat pria itu kecewa, Ola terlihat begitu menyesal. Mungkin saat ini Bumi tersiksa karena harus menahan hasrat. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tapi Ola tahu Bumi pasti sangat kecewa padanya. Bukankah selama ini dia yang selalu menggoda? Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, Ola menyelinap masuk ke kamar mandi. Berjalan pelan mendekati Bumi, lalu memeluk tubuh pria itu dari belakang, hingga dirinya ikut tersiram air dari shower kamar mandi dengan konsep natural itu. Bumi yang tengah mendinginkan tubuh, agak tersentak ketika sepasang lengan mendekapnya. Dia tahu itu Ola, istrinya. "Maafin aku, Kak," bisik wanita itu kemudian. Bumi menarik napas sebelum melepas pelukan Ola dan memutar badan. "Kenapa kamu nggak istirahat?" tanya pria itu seraya mengusap rambut Ola yang basah. "Kak, aku mau melakukannya sekali lagi." Sejak berdiri di ambang pintu kamar mandi dan melihat
"Se-sebentar?"Dahi Bumi mengernyit ketika Ola menahan dadanya ketika dia hendak mendekat. "Ada apa?" "I-itu, apa bisa masuk?" tanya Ola dengan wajah ragu. Sejujurnya dia masih syok dengan sesuatu yang dilihatnya. Oke, fine. Dia sering iseng ingin menyentuh atau melihat sebelumnya, tapi ketika Ola benar-benar bisa melihat benda itu, dia merasa ngeri sendiri. Apa bisa benda panjang dan besar itu menembus miliknya yang hanya memiliki lubang kecil, sekecil lubang semut? Ya Tuhan! Bumi terkekeh melihat wajah tegang sang istri. Dengan lembut dia menyentuh sisi wajah Ola. "Tentu saja bisa, Sayang. Kenapa nggak bisa? Milik wanita kan elastis. Mungkin awalnya sakit, tapi setelahnya enggak lagi.""Ka-kamu yakin?"Bumi terkekeh. Merasa geli melihat ekspresi Ola saat ini. "Kamu takut? Bukannya kamu yang biasanya suka godain aku biar ini..." Ola terperanjat ketika Bumi menyentak pangkal pahanya hingga benda itu tepat mengenai perutnya. "...bisa masuk ke dalam kamu." Ola meringis dengan alis m