Ola tersenyum geli. Memulai saja tidak bagaimana bisa putus? "Kalau Rean nggak mau putus gimana?" Nyaris saja tawa Ola menyembur melihat dua alis tebal Bumi menukik tajam. Dia tahu Bumi kesal, tapi raut muka lelaki itu terlihat menggemaskan. "Apa pun alasannya, kamu harus bisa putus sama dia. Aku nggak mau jadi yang kedua," ujar pria itu dengan muka cemberut. Demi Tuhan! Ola sering melihat wajah marah Bumi, tapi dia belum pernah melihat wajah cemberut lelaki itu. Apalagi cemberut karena cemburu. Gimana Ola tidak ingin terus menerjangnya kalau semenggemaskan itu? "Kak Bumi lucu deh." Ujung jemarinya bergerak menyentuh jakun di leher Bumi yang terus saja bergerak naik turun. Sentuhan ringan itu lalu naik mendekati telinga. "Aku serius, nggak sedang melucu," balas pria itu dengan nada tegas. Dia menangkap tangan iseng Ola yang bermain nakal di area belakang telinganya. "Iya. Aku tau." Kembali Ola mendekat. Menjangkau bibir pria itu dan menyentuhnya. Keduanya kembali bercumbu. Men
"Maaf. Mungkin lain kali." Dua alis Bumi sontak menukik mendengar ucapan Ola. Gadis itu tengah menerima panggilan telepon dari Rean. Bumi menoleh sekilas sambil menggeram sebelum fokusnya kembali ke jalanan di depannya. "Ola, nggak ada lain kali ya," ucap lelaki itu memperingatkan. Di sampingnya Ola nyengir sebelum fokus ke panggilan teleponnya lagi. "Rean, aku tutup dulu ya. Bye." Ola menghela napas ketika panggilan singkat itu berakhir. Ujung matanya melirik pria di sampingnya yang berwajah masam. "Kok nggak diputusin sekalian?" Bibir mungil Ola menganga seketika. Detik berikutnya kekehannya meluncur. "Kak Bumi nggak sabaran amat sih. Nggak sopan tau mutusin orang lewat telepon," sahut Ola sambil mengulum senyum. Jika membahas Rean pria itu jadi mendadak kekanak-kanakan dan bersumbu pendek. "Terus kamu mau ketemu lagi sama dia?" Ola mengangguk-angguk dengan alis terangkat tinggi-tinggi. "Kamu harus ngasih tau aku kapan ketemu dan dimana tempatnya, biar aku bisa ne
"Aku mau rayain ultah berdua sama Kak Bumi aja." Bumi menoleh cepat dan langsung mendapati muka close up Ola yang sedang tersenyum manis padanya. Dia agak terkesiap. Kacamata bacanya sampai merosot lantaran jarak wajah gadis itu terlalu dekat dengan wajahnya. Pria tiga puluh tahun ini menelan ludah sebelum berdeham sambil memalingkan wajah. "Kenapa?" tanya pria itu mengalihkan pandangan ke layar laptop yang ada di pangkuannya. "Mami sama papi aja masih di Kanada. Kayaknya semesta emang merestui kita buat berduaan aja deh, Kak." Ola terkikik sendiri dengan pemikirannya yang absurd. Membuang napas pelan, Bumi akhirnya menutup laptop. Merevisi tesis ditemani Ola memang bukan ide bagus. Nyaris satu jam dia menekuri laptop satu paragraf pun belum ada yang dia kerjakan. Pasalnya selama itu Ola terus saja membuatnya salah fokus. Ada saja gangguan kecil yang gadis itu buat. "Ya kita lihat entar aja," ucap Bumi sambil melepas kacamata dan menyimpannya kembali di cover-nya. "Gimana kalau
"Masih lama?" Bumi yang sedang menghadapi layar laptop mendongak sejenak. Di ambang pintu dia melihat Ola berdiri sambil memeluk guling. Bumi pikir gadis itu sudah tidur pulas. "Sedikit lagi. Kamu bisa tidur lebih dulu," ucap Bumi sambil tersenyum lalu kembali melarikan jari jemarinya di atas keyboard laptop. "Aku nggak bisa tidur. Kak Bumi mau aku bikinin minuman?" "Nggak perlu. Ini sebentar lagi selesai." Gadis yang rambutnya sedikit kusut itu menyeret kaki, memasuki ruang kerja Bumi. Dan melempar gulingnya begitu saja. "Kamu sudah mau sidang tesis lagi ya?" "Iya. Doakan lancar ya." "Hu-um." Ola mengangguk, berdiri di samping kursi yang Bumi duduki dengan wajah kusut. Mata legamnya tertuju ke layar laptop meski tidak mengerti apa yang sedang lelaki itu tulis. Beberapa kali juga dia menguap. "Ngantuk kan? Sana balik ke kamar lagi aja.""Tapi kamu belum selesai." Kaki Ola bergerak. Dia memaksa masuk ke celah antara meja dan kursi Bumi. Saat gadis itu masih berumur belasan tah
"Kita nggak akan bisa begini kalau di rumah papi." Ola mengeratkan pelukannya. Tidak seperti di kosan, tempat tidur di kamar Bumi jauh lebih luas dan juga memiliki tempat tidur yang lebih lebar. Sehingga dia bisa lebih leluasa bergerak. "Pinter. Sebisa mungkin kamu harus jaga sikap." "Kok cuma aku?" Ola sedikit menjauhkan pelukannya dan mendongak. "Kamu juga dong." "Aku selalu bisa jaga sikap. Kamu yang sering sembrono." Dengan pelan Bumi mendorong dahi Ola. Senyumnya terulas lemah saat melihat bibir Ola mengerucut. "Satu lagi, hentikan kebiasaan kamu memonyongkan bibir begitu." "Memangnnya kenapa?" Lagi-lagi Bumi hanya tersenyum kecil. Dia tidak akan memberitahu kalau bibir Ola yang maju seperti itu sangat menggemaskan. Dulu saat otaknya sedang tidak beres, kadang pikiran liarnya berputar-putar membayangkan rasa bibir itu. "Pokoknya jangan biasakan begitu.""Jelek ya?" Ola nyengir, menunjukkan deretan giginya yang putih. "Ya gitu deh. Jadi nggak manis." Namun Bumi terkesiap s
GPS mobil menunjukkan saat ini Ola dan Bumi memasuki wilayah Bandung Barat. Sepagi ini keduanya sudah memasuki kawasan Kota Lembang. Ola yang sejak tadi tertidur agak kaget saat membuka mata. Jika bukan karena perutnya yang keroncongan mungkin dia akan lanjut tidur sampai tidak sadar Bumi memboyongnya ke tempat yang berbeda. "Kita mau ke mana, Kak?" tanya Ola menatap pria di sisinya, lalu kembali menatap jalanan di sekitarnya. Kendaraan yang mereka tumpangi melaju turun. Beberapa kali Ola juga melewati tempat wisata kota. "Ke tempat yang kamu mau.""Lembang. Kita mau ke vila yang waktu itu?" tanya Ola tampak antusias. Mata mengantuknya hilang tak berbekas saat melihat senyum penuh arti pria di sebelahnya. "Katanya nggak mau ke vila. Bilangnya : Kita mau merayakan ultah kamu, bukan bulan madu," ujar Ola lagi sambil menirukan gaya bicara Bumi waktu itu. Tapi Bumi di sebelahnya malah makin tersenyum bukannya membalas sindiran Ola. Dia memutar kemudi dan menepikan kendaraannya di pingg
Kemunculan Rean dan ayahnya sama sekali tidak terlintas di kepala Bumi. Dan itu memang tidak ada dalam agenda rencana yang lelaki itu buat. Jadi dia agak terkejut dengan kemunculan keduanya. Namun yang menyebalkan, Ola sepertinya bahagia dengan kedatangan lelaki itu. Gadis itu tertawa senang sambil melambaikan tangan penuh semangat ketika melihat Rean. Bumi belum memastikan lagi apakah Ola sudah putus dari salah satu mahasiswa jebolan perguruan tinggi di NYC itu."Kok kamu bisa ke sini?" tanya Ola heran begitu Rean menghampirinya."Kenapa nggak bisa?" sahut Rean sambil melirik Daniel yang ternyata tengah senyum-senyum sendiri melihat mereka."Jangan heran ya, Ola. Om dan Rean kemarin bertemu papi kamu. Lalu papi kamu mengundang Om dan Rean buat ikut acara family camp kalian dalam rangka rayain ultah kamu."Ucapan Danudirja barusan membuat Ola paham. Gadis itu membulatkan mulut seraya mengangguk."Kamu seneng kan ada Rean di sini?" goda Daniel sambil menggerak-gerakan kedua alisnya. "B
Senyum Ola terbit ketika akhirnya dia menemukan Bumi. Pria itu tengah duduk sendirian di pinggiran sungai jernih di dekat tenda. Di saat yang lain tengah berkumpul di kebun stroberi, pria itu malah memisahkan diri. Dengan pelan Ola jalan mengendap-ngendap, melipir ke pinggir tenda. Dan ketika tepat berada di belakang Bumi, dua lengannya langsung merangkul leher pria itu. Serta-merta tindakan itu membuat Bumi terkejut bukan main. Hampir saja pria itu jatuh ke sungai kalau kaki panjangnya tidak segera menyangga bobot tubuhnya. "Ola!" Tanpa merasa bersalah gadis itu malah tersenyum lebar. "Kak Bumi lagi mikirin apa? Kok nggak ikut berkebun?" Tidak seperti Ola yang terlihat santai, raut terkejut Bumi berubah panik. Dengan enggan dia mencoba melepaskan rangkulan lengan Ola. "Ola, jaga sikap. Nanti ada yang lihat," bisik Bumi sembari celingukan, takut ada yang memergoki mereka. "Mereka jauh, Kak. Ada di ujung sana. Nggak mungkin tiba-tiba langsung ke sini." "Iya, tapi jangan begini."
"Kamu nggak bosan seumur hidup bareng aku terus? Dari kecil, dari kamu umur lima tahun." Ola menggeleng dan tersenyum kecil mendapat pertanyaan dari suaminya. Dia makin merapatkan diri. "Meski hubungan kita nggak mulus, tapi aku bahagia seumur hidup sama kamu. Justru yang harusnya tanya itu aku. Emang kamu nggak capek ngadepin sifat childish aku dari dulu sampai sekarang?""Sebenarnya sih capek." Jawaban Bumi sontak membuat Ola menjauhkan kepala dan menatap lelaki ituu dengan alis tertaut. "kok gitu?!" Reaksi Ola membuat Bumi terkekeh. Pria itu kembali meraih kepala Ola untuk bersandar di pundaknya lagi. "Nggak dong, Sayang. Kalau capek mana mungkin bisa bertahan sampai anak tiga." Mendengar itu Ola ikut terkekeh dan makin merapatkan diri. Matanya terpejam saat tangan Bumi menyentuh perutnya yang sudah makin besar. "Nggak nyangka anak manja seperti kamu bisa melahirkan anak-anak hebat seperti mereka." "Sekarang aku udah nggak manja lagi loh, Kak." "Iya, sekarang Ola si manja da
Jika biasanya Ola liburan ke Eropa bersama keluarganya, kali ini dia memilih destinasi New Zealand. Sesuatu yang tidak dia rencanakan karena terlintas begitu saja. Bumi bilang itu kado kehamilan ketiganya. Ola membuang napas, rasanya jahitan di perut baru saja kering. Membayangkan perutnya akan dibedah ketiga kalinya membuat Ola merinding. "Kamu ibu yang kuat, kamu pasti bisa," ucap Bumi menyemangati dan menenangkan saat Ola gelisah dengan segala pikiran buruk yang ada. "Tapi janji ini yang terakhir ya." "Hu-üm." Kehamilan Ola kali ini tidak seperti kehamilan sebelumnya. Dia menjadi gampang lelah, dan haus. Bahkan morning sick tidak bisa dihindari. Jadi, selama seminggu liburan dia tidak bisa menikmati dengan maksimal. Lebih banyak tinggal di hotel daripada berwisata musim semi. "Aku nggak mau tau, setelah anak ini lahir kamu harus mengajakku ke sini lagi," rengek Ola saat baru keluar dari kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Wajahnya memucat, keringat dingin keluar begitu deras
Bumi menyentak tangan Ola yang berdiri di dekatnya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Niat Ola menghampiri anak-anaknya yang sedang asyik main pasir pantai pun urung lantaran Bumi memeluknya begitu erat. Terlebih dengan iseng pria itu mulai mengendus pundaknya yang terbuka. "Kak, nanti anak-anak liat," tegur Ola ketika tangan Bumi menyelinap ke balik kain pantai yang dia pakai. "Anak-anak lagi sibuk sendiri," sahut Bumi, lantas mengecup lembut punggung Ola. Dia terkekeh ketika tubuh istrinya berjengit. Ola masih begitu sensitif dengan sentuhannya. "Kak, udah. Aku harus temeni anak-anak main." Ola berusaha menyingkirkan tangan Bumi yang masih bergerak naik turun di atas pahanya. Alih-alih berhenti pria itu makin menjadi. Ola sampai melebarkan mata saat merasakan tangan Bumi merambat ke dadanya. Buru-buru dia menjauhkan tangan nakal itu dari sana dan menggeram. "Ada Gyan dan Javas, mereka aman. Kita kembali ke cottage dulu, ya," bujuk Bumi saat Ola berusaha lepas dari kungkung
Kaki-kaki kecil berlarian di lantai rumah besar milik Daniel. Suara celotehan anak-anak terdengar meriah di setiap penjuru ruangan. Sesekali suara tangisan saling bersahutan saat mereka saling berebut mainan. Sebentar kemudian tawa-tawa lucu mereka bersusulan. Pemandangan itu-lah yang Daniel inginkan. Menghabiskan masa tua dengan cucu-cucunya yang melimpah ruah. Daniel sedang menikmati teh hangat yang sudah Delotta sajikan saat suara tangisan Vyora--anak kedua Ola--melengking. Hampir saja dia menyemburkan isi mulutnya sebelum bergegas meletakkan cangkirnya kembali. Dengan cepat pria tua itu melangkah mendekati sang cucu yang mukanya sudah memerah. "Hei, hei, cucu kesayangan Opa kenapa?" tanya pria itu sambil menggendong anak perempuan berusia satu tahun itu. "Adek digigit semut, Opa," jawab Vion--anak pertama Ola--seraya sibuk dengan mainan di tangannya. "Digigit semut? Mana coba Opa liat." Vion langsung meninggalkan mainannya lalu menunjuk paha chubbi Vyora yang memerah. "Tuh li
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari